Misi NASA Memberikan Pencerahan Baru tentang Matahari
Meski Matahari berada di pusat Sistem Tata Surya kita, tetapi perilaku mendasarnya masih menjadi teka-teki besar. Robot penyelidik NASA bernama Parker Solar Probe diluncurkan pada tahun 2018, bertujuan untuk menjawab beberapa pertanyaan mendasar tentang Matahari seperti, “Mengapa atmosfer di sekitar Matahari (korona) sangatlah panas? Dari mana asal angin solar datang? Apa yang menyebabkannya ditembakkan ke luar korona? Apa yang membuat Matahari sesekali menyala, lalu menembakkan partikel secara lebih gencar ke ruang angkasa?’’ Inilah beberapa pertanyaan yang diharapkan ilmuwan dapat dijawab Parker sebelum misinya berakhir pada 2025. Sementara ini, Parker mendekati Matahari selama beberapa hari di akhir November dan April 2019. Selama dua pertemuannya dengan Matahari itu, Parker Solar Probe telah bepergian pada jarak 15 juta mil dari permukaan Matahari, jauh melampaui rekor pertama 25 juta mil yang diset oleh misi NASA Helio 2 pada tahun 1976. Parker juga diklaim sebagai objek buatan manusia tercepat dalam sejarah Helio 2, yang diluncurkan di dekat Matahari dengan jarak 153.000 mil/jam. Hasil kumpulan pelepasan pertamanya datang dari pengukuran korona, yang secara mencengangkan lebih panas daripada permukaan itu sendiri. Korona memanjang jutaan mil dari permukaan Matahari menuju ruang angkasa. Kawasan ini hanya dapat terlihat oleh mata telanjang ketika gerhana matahari terjadi, tampak seperti sebuah cincin emas menggantung di langit gelap. Korona memancarkan aliran kuat partikel energi tinggi, yang dikenal sebagai solar wind, yang dapat dirasakan di sepanjang sistem Tata Surya kita. Data Parker juga menunjukkan bahwa angin solar jauh dari pergolakan di dekat Matahari daripada daerah di sekitar kita. Angin akan menyeret bidang magnetik Matahari ke luar angkasa, bahkan lengkungan bidang itu cukup bagi kekuatan magnetik untuk berbalik secara sempurna selama beberapa menit dalam satu waktu dan menunjuk balik pada Matahari itu sendiri daripada ke ruang angkasa. Kekuatan efek ini benar-benar mencengangkan sekaligus membingungkan. Para peneliti juga menemukan bahwa pergeseran pada bidang magnet Matahari mempercepat partikel-partikelnya mengalir menjauh dari Matahari lebih cepat daripada model lain yang sebelumnya telah diprediksi.
Penelitian ini menyoroti gagasan bahwa kedekatan adalah segalanya untuk dapat mempelajari Matahari. Parker melanjutkan perjalanannya untuk bisa lebih mendekati Matahari. Sebagaimanya saat orbitnya menyusut, maka pada akhirnya ia akan menggapai jarak perihelion yang hanya 6,16 juta km pada tahun 2025, dimana ia akan mengalami suhu sekitar 1400° C. Untunglah ada perlindungan yang telah dipersiapkan oleh pelindung panas karbon yang didesain secara khusus, sehingga robot itu tidak akan meleleh dan pesawat ruang angkasa beserta instrumennya akan terlindungi pada suhu sekitar 29°C.
Bale SD et al. “Highly structured slow solar wind emerging from an equatorial coronal hole.” Howard RA et al. “Near-Sun observations of an F-corona decrease and K-corona fine structure.” Kasper JC et al. “Alfvénic velocity spikes and rotational flows in the near-Sun solar wind.” McComas DJ et al. “Probing the energetic particle environment near the Sun.”
Sains di Balik Anak-Anak Bilingual
Sebuah studi baru menunjukkan bahwa seorang anak bilingual menggunakan jumlah kata yang sama banyaknya dengan anak-anak yang hanya menguasai satu bahasa saja saat mereka menyampaikan sebuah cerita. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa anak bilingual mendapat skor lebih rendah dibandingkan anak monolingual dalam sebuah latihan menghapal kosakata tradisional. Meski begitu, penemuan baru ini mungkin akan mengubah pemahaman tentang bahasa ganda dan kognisi pada anak. Mempelajari kata sangat berhubungan langsung dengan berapa banyak waktu yang dihabiskan bagi masing-masing bahasa. Bagi anak bilingual, waktu mereka akan terbagi untuk dua bahasa. Sebagaimana yang diduga sebelumnya, mereka condong memiliki hapalan kosakata yang lebih rendah pada masing-masing bahasanya. Meski demikian, penelitian ini juga mengarahkan sebuah fungsi dari bercerita, yang ternyata menunjukkan bahwa anak bilingual sama kuatnya dengan anak monolingual pada kemampuan ini. Para peneliti menguji dalam sebuah grup anak bilingual yang menguasai bahasa Inggris dan Prancis sejak lahir, daripada anak yang belajar kedua bahasa itu beberapa waktu setelahnya. Mereka menggunakan pengukuran baru yang lebih sensitif untuk menguji fleksibilitas kognitif, kemampuan peserta uji coba untuk berganti bahasa di antara permainan dengan aturan main yang berbeda, selain juga memperhatikan akurasi dan reaksi waktu yang ada. Studi mereka ini dibangun atas dasar ujian kosakata peneliti sebelumnya pada anak bilingual yang telah mempelajari bahasa Inggris sebagai bahasa kedua. Secara garis besar, anak bilingual menggunakan sejumlah banyak kata untuk menceritakan sebuah cerita sebagaimana anak monolingual. Anak-anak itu juga menggunakan banyak kata yang sama saat bercerita dalam bahasa Prancis sebagaimana saat mereka menceritakannya dalam bahasa Inggris. Analisis mereka menduga bahwa jumlah kata yang digunakan oleh anak bilingual dalam cerita mereka sangat berhubungan erat dengan level fleksibilitas kognitifnya yang tinggi, yakni kemampuan untuk berganti pikiran tentang konsep-konsep berbeda. Para peneliti menekankan bahwa orangtua anak bilingual tak perlu risau dengan pencapaian akademis anak-anaknya dalam jangka waktu lama. Kosakata adalah prediksi kuat kesuksesan pendidikan, sebagaimana juga kemampuan bercerita. Dalam konteks kemampuan bercerita, anak-anak bilingual mampu menggunakan kemampuan fleksibilitasnya untuk menyampaikan cerita dengan cara yang lebih kreatif.
Nicoladis et al. “How to use a wide variety of words in telling a story with a small vocabulary: cognitive predictors of lexical selection for simultaneous bilingual children.” Language, Cognition and Neuroscience, October 2019.
Pengembangan Tomat Baru untuk Taman Kota dan Ruang Angkasa
Manusia memiliki masalah besar tentang bagaimana mencukupi makanan di masa depan. Sebagai akibat dari meningkatnya populasi manusia, pola kehancuran yang terus berlanjut dikarenakan perubahan iklim, dan fakta tentang penggunaan lahan berkelanjutan menjadi tantangan besar sehingga mempelajari bagaimana menumbuhkan makanan yang cukup bagi semua orang merupakan pertanyaan menarik bagi bidang agrikultural. Dalam upaya menumbuhkan tanaman di lokasi yang lebih kecil dan jauh dari kondisi ideal, para ilmuwan mengembangkan varian modifikasi genetik tomat “kota” baru yang dapat matang dalam tandan terpadu seperti anggur. Tomat-tomat ini menyerupai sebuah buket bunga, yang isinya bukan mawar tetapi tomat ceri. Selain itu, tomat ini dapat lebih cepat matang dan siap panen kurang dari 40 hari saja. Para ilmuwan memanfaatkan teknologi edit-genetik CRISPR dan memproduksi tomat baru itu dengan cara mencari setelan 3 gen berbeda yang mengontrol peralihan pertumbuhan reproduktif dan ukuran tumbuhan, yakni: 1) Pemangkasan (SP atau self-pruning), 2) SP5G, dan 3) gen SIER. Dua gen pertama bertugas mencegah pertumbuhan, pertumbuhan bunga, dan pembuahan dini, sedangkan gen SIER bertugas mengontrol panjang batang tanaman. Mengubah dua gen pertama berakibat pada tumbuhan tomat yang tidak dapat berbuah banyak dan rasa yang tidak enak. Hal ini terjadi hingga para ilmuwan mengidentifikasi gen ketiga, yang memungkinkan mereka memproduksi tumbuhan seperti yang diinginkan. Studi ini menunjukkan bahwa kita dapat memroduksi tanaman dengan cara baru tanpa memerlukan banyak lahan atau menambah pupuk berlebihan, yang hanya akan berakhir di sungai atau aliran air. Penemuan ini juga bisa menjadi pendekatan komplemen untuk ketersediaan makanan bagi masyarakat secara lokal dengan mengurangi jejak pemakaian karbon. Perubahan iklim diprediksi akan mengubah pertumbuhan kondisi Bumi kita dan memperburuk keadaan bagi banyak tumbuh-tumbuhan.
Para petani akan segera dapat menumbuhkan setandan tomat seperti buah anggur hanya dalam sebuah unit penyimpanan, dalam sebuah kontainer pengiriman barang, di atap gedung pencakar langit, dan pada akhirnya di planet Mars nanti, saat manusia telah dapat membentangkan langkahnya dari Bumi menuju Bulan.
Kwon CT et al. “Rapid customization of Solanaceae fruit crops for
urban agriculture.” Nature Biotechnology, December 2019.
Discussion about this post