Menjunjung tinggi kehidupan lebih dari nilai-nilai keagamaan merupakan dimensi pokok keimanan yang dapat ditemukan pada semua agama besar di dunia ini. Seseorang tidak dapat dikatakan beriman kepada Tuhan tetapi secara arogan mengabaikan setiap bagian dari entitas penciptaan seluruh alam dan dunia kosmik yang patut untuk dihormati. Mengakui kehormatan seseorang adalah untuk menegaskan kesakralan, misteri dari kosmos alam semesta. Entitas ciptaan tak bisa dipisahkan dari kehormatan penciptaanya. Ketika kisah penciptaan semesta yang ada pada kitab kaum Ibrani diinterpretasikan dalam komunitas Kristen sebagai izin bagi manusia untuk memanfaatkan semua makhluk, bab pertama Kitab Kejadian menjelaskan tentang hubungan saling menghormati dan saling bertanggung jawab antar makhluk. Dan bagi Muslim, Al-Qur’an menegaskan bahwa, “Sungguh, Allah yang menumbuhkan butir (padi-padian) dan biji (kurma). Dia mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup. Itulah (kekuasaan) Allah, maka mengapa kamu masih berpaling?” (QS. Al-An’am 6:95).
Penghormatan kepada kehidupan, khususnya bagi sebagian kelompok Kristen radikal, disamakan dengan aborsi dan keadaan mengakhiri hidup seseorang dengan izin medis. Ayat “Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiayamu.” (Matius 5:44) seringkali diabaikan oleh para pendukung hukuman mati di Amerika Utara dan pengadilan kilat serta hukuman mati yang saat ini dijatuhkan di negeri Irak sana. Tidak sulit untuk memahami bagaimana kehadiran setan secara vulgar mengasingkan orang-orang beragama dari “kebaikan sejati, tanggung jawab sejati, keadilan sejati, dan hal-hal lain yang tumbuh dari akar yang tertancap lebih dalam daripada dunia tempat kita tinggal sementara pada skema bumi ini. Inilah pesan inti dari semua agama manusia.” (Václav Havel).
Religiusitas umat manusia harus memiliki perwujudan kongkritnya dalam kehidupan sehari-hari manusia. Kebenaran agama akan kosong dan menjadi candu ketika agama hanya sebatas doktrin yang berada di luar kehidupan keseharian yang penuh dengan harapan dan kecemasan, pengalaman kegembiraan serta kegelisahan.
Orang yang benar-benar beriman bukanlah yang hafal sederetan dalil namun tanpa pemahaman, karena ada ajaran agama yang akan terkesan irasional. Faktanya, Tuhan sesungguhnya berada jauh dari jangkauan pemahaman kita, dan komunikasi dari realitas Tuhan selalu disesuaikan dengan hidup ataupun tradisi kaum beragama lainnya.
Amerika Serikat, Israel, negara-negara Islam, dan bahkan Rusia merupakan negara yang terbentuk dari akar religius. Namun visi mereka terhadap agama dan keimanan terkesan lebih politeistis dan dipolitisasi. Semua negara itu mengakui “satu” Tuhan, tetapi gagal mengenali bahwa Tuhan sering diduga sebagai musuh pula oleh sebagian pihak. Apa artinya pesan damai seperti shalom, salam, dan sapaan-sapaan perdamaian lainnya, ketika masih sangat banyak kekerasan dan pembunuhan dalam konfrontasi kehidupan sehari-hari? Alasan-alasan seperti keamanan negara adalah sangat bias dan mengikis makna kemajemukan religiusitas, sehingga yang tersisa hanya tinggal rasa tidak aman dan saling curiga. Kehendak menggunakan kekerasan pada dasarnya menunjukkan kemerosotan religiusitas dari banyak kekuatan-kekuatan tersebut.
Sebagai seorang yang mempraktikkan ajaran Kristen, saya sadar terhadap ketiadaan hubungan antara ajaran Alkitab yang begitu jelas dengan agenda politik dan kultural yang diusung saudara-saudara seagama saya, yang seringkali menggunakan nama “kebenaran agama” di luar konteksnya, kemudian menggunakan kebenaran tersebut sebagai ideologi tanpa mempertimbangkan akibat pilihan mereka terhadap pesan utama yang disampaikan Yesus. Acapkali kriteria menjadi seorang Kristen dikerdilkan kepada isu-isu tertentu yang dijadikan sebagai kriteria ortodoksi. Isu aborsi, nasib Kota Yerusalem, dan dukungan terhadap misi militer (entah siapa dan apa tujuan militer itu) selalu dibicarakan di mana-mana tanpa dipelajari terlebih dahulu konteks dan konsekuensinya. Kekhawatiran berlebih terhadap keselamatan anggota keluarga mereka, seringkali mencampuradukkan agama dengan sikap patriotisme, sehingga membutakan banyak orang Kristen pada peperangan yang menghancurkan kehidupan pihak yang mereka anggap “musuh” dan jutaan warga sipil lainnya yang kehidupannya direnggut oleh kematian atau rasa keputusasaan.
Masyarakat Barat perlu “mengingat lagi” sejarah Kristen dan Yahudi yang menampilkan integritas moral dengan memahami yang disampaikan Yahweh kepada mereka, “Kalian tidak boleh melecehkan ataupun menganiaya orang asing, sebab kalian juga orang asing ketika berada di negeri Mesir” (Exodus 22:20). Kaum Muslim, Yahudi, dan Nasrani dapat berbagi harapan yang lebih kuat untuk meraih perdamaian dan menegaskan martabat kemanusiaan dengan cara meninjau kembali komitmen masing-masing terhadap agama dari perspektif Sang Pencipta, yakni Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Pemurah.
Sebagai seorang Katolik, saya menaruh harapan dalam sikap dan aksi Paus Francis. Di berbagai kesempatan di hadapan publik, beliau menyambut para pencari suaka sembari mengingatkan seantero Eropa terkait kewajiban mereka untuk menerima orang-orang tersebut. Beliau juga mempromosikan perilaku berwawasan lingkungan hidup yang mengikat kehidupan dan kesejahteraan hidup manusia dengan lingkungan hidupnya, menekankan bahwa tak ada yang namanya manusia yang lebih rendah atau manusia yang lebih mulia. Namun perlu diingat bahwa kesediaan untuk mendengarkan tangis keputusasaan para pencari suaka itu dan perjuangan untuk mewujudkan keadilan ekologis tak terbatas hanya bagi pemeluk agama tertentu saja, yang merupakan indikasi keuniversalan kemanusiaan, sehingga partikularisme agama harus terlebih dahulu dan terlalu mudah untuk dikesampingkan.
Pada saat yang sama, ada banyak organisasi di Eropa yang menolak kedatangan para pencari suaka yang telah kehilangan tanah air dan hampir kehilangan kewarganegaraannya ini. Mereka yang menolak biasanya takut bahwa para pengungsi yang rata-rata merupakan muslim ini akan merusak budaya Kristen Eropa, padahal hal ini menunjukkan bahwa mereka lupa pada sikap kasih sayang, kepedulian pada kaum yang termarjinalkan, dan menolong mereka dari para tiran adalah bagian integral dari budaya yang mereka junjung tinggi itu sendiri.
Selain itu, banyak negara dan para pelaku usaha yang terus-menerus merusak ekologi alam. Mereka gagal menolak godaan harta, bahkan aturan yang ada mereka anggap sebagai pengganggu semata. Padahal, moralitas dan iman adalah dua sisi pada koin yang sama. Iman akan membawa setiap orang pada gerak dinamik dari kasih Tuhan dan kreativitas. Moralitas memiliki arti mengizinkan Kehendak Tuhan menjadi cinta dan kreativitas dalam kehidupan. Kita tak boleh menganggap Tuhan membiarkan segala yang kita lakukan, seakan terdapat kondisi tertentu bahwa manusia memiliki hak untuk melakukan segala sesuatu sekehendak mereka seperti tindak kekerasan, pertumpahan darah dalam perang, merusak ekosistem sekitar, dan menyakiti hati orang lain. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman, “… Dan janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia dan berbuatlah baik (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi…” (QS. Al-Qassash 28:77). Aturan emas “jika kau tak ingin sakit, maka jangan sakiti orang lain” pada permukaannya mungkin seakan terlihat seperti upaya melindungi diri sendiri saja. Padahal, aturan itu menjelaskan tentang ketersambungan antar-makhluk. Hadiah kehidupan membawakan kita pada tanggung jawab untuk merawat kehidupan yang lebih luas, sebab semua yang hidup adalah satu kesatuan. “… Barangsiapa memelihara kehidupan seorang manusia, maka seakan-akan dia telah memelihara kehidupan semua manusia.” (QS. Al-Maidah 5:32).
Pada kemungkinan terburuknya bisa jadi agama dalam kehidupan publik dapat menggiring menuju negara teokratis yang akan mengekang, kondisi hipokrit sosial, dan mengabaikan martabat orang atau kelompok tertentu. Seringkali lebih mudah bagi sebagian orang untuk mengaburkan kasih sayang Tuhan, yang sebenarnya amat ingin mereka hormati. Namun, agama memiliki sebuah hak dan kewajiban untuk berbicara secara terbuka tentang nilai-nilai yang membuat manusia hidup bersama-sama mengejar kebaikan umum, daripada sekadar menganggap bahwa hanya yang terkuat saja yang akan bertahan hidup.
Akan tetapi jika agama adalah untuk menjalankan sebuah peran konstruktif di ruang lingkup publik, hal ini akan diperlukan untuk menemukan daerah di mana penganut agama-agama yang berbeda akan dapat berbagi tujuan, nilai, dan keyakinan bersamanya. Polarisasi di dalam dan antar agama sudah menghilangkan tempat asli agama di ruang publik dengan menggunakan ideologi yang memecah belah dan halangan yang menghindarkan orang-orang untuk berbuat baik bersama-sama. Pada kenyataannya, kemudian berkembang agama-agama palsu yang menyuburkan perilaku congkak dan menyempitkan keuniversalitasan penciptaan untuk membuang jauh-jauh ajaran kitab-kitab suci yang sesungguhnya telah disediakan bagi umat manusia. Agama bukan tentang sebuah samar-samar “lebih dari kehidupan,” sebagaimana jika seolah hidup adalah sesuatu yang kurang dari apa yang manusia dan alam benar-benar rindukan. Agama adalah tentang hidup itu sendiri dan tugas bagi setiap orang beriman untuk menjaga dan merawat kehidupan itu. Itulah ibadah yang sejati, bahwa sesungguhnya segala yang hidup adalah manifestasi bagi wujud Tuhan di tengah-tengah kita semua.
Ditulis oleh Richard Shields, seorang penganut Katolik yang memiliki perhatian besar terhadap kegiatan dialog antar agama.
Diterbitkan pada Majalah Mata Air edisi 29
Discussion about this post