Ibnu Sina, yang di negara barat lebih dikenal dengan nama Avicenna, dalam karyanya The Canon of Medicine (Ansiklopedia Medis akbarnya al-Qanun fi al- Tibb- Perpustakaan Kedokteran Nasional Amerika Serikat, MS A 53) menyatakan bahwa, “Sekresi tubuh organisme inang (misalnya manusia) terkontaminasi cemaran organisme asing yang tidak dapat dilihat oleh mata telanjang sehingga terjadi infeksi.” Lihat juga parafrase pernyataan klasik milenium ini, “Infeksi disebabkan oleh kontaminasi cairan tubuh organisme inang oleh mikroorganisme asing yang tercemar.” Hal ini sangat menarik karena definisinya hampir sama dengan definisi infeksi yang kita gunakan saat ini.
Ibnu Sina telah menghipotesa keberadaan mikro organisme pada saat itu. Ibnu Sina bahkan melangkah lebih jauh dengan berhipotesa bahwa penyakit yang disebabkan oleh mikroba (misalnya tuberkulosis) dapat menular dan bahwa mereka yang terinfeksi harus dikarantina. Mari kita tinjau secara singkat penemuan mikroorganisme dan betapa menakjubkannya intuisi dan visi dari “Bapak Pengobatan Modern”, Ibnu Sina ( Colgan 2009 ).
Pada abad ketujuh belas, hampir tujuh abad setelah Ibnu Sina, ilmuwan Belanda Anton van Leeuwenhoek (juga disebut sebagai “Bapak Mikrobiologi”) mengamati mikroorganisme di bawah mikroskop (van Leeuwenhoek, 1980). Pada penemuan mendasarnya, ia menunjukkan bahwa ada organisme hidup yang tidak terlihat oleh mata telanjang. Pada saat itu Van Leeuwenhoek belum menyadari bahwa mikroorganisme (mikroba patogen : yang menyebabkan penyakit) sesungguhnya dapat menjadi penyebab infeksi. Hal ini bertentangan dengan penemuan oleh Ibnu Sina tujuh abad sebelumnya bahwa mikroorganisme bisa menjadi penyebab infeksi meskipun bukti untuk keberadaan mikroorganisme pada saat itu masih sangat terbatas. Hampir dua abad setelah pengamatan pertama Leeuwenhoek terhadap mikroorganisme, pada tahun 1876, Robert Koch, seorang dokter Jerman, mendalilkan bahwa mikroorganisme benar-benar bisa menjadi penyebab infeksi dan penyakit, karena menurut pengamatan mendasarnya menunjukkan bahwa pada darah hewan yang terinfeksi dengan kandungan bakteri patogen saat ditransfer ke hewan yang sehat menyebabkan hewan penerima akan menjadi sakit (Koch 1999) .
Mari kita luangkan waktu sejenak untuk merenungkan kisah hidup Ibnu Sina demi mendorong pembaca untuk belajar lebih banyak tentang beliau (McGinnis 2010) dan kontribusinya dalam pengobatan modern serta ilmu pengetahuan.
Ibnu Sina lahir pada tahun 980 di desa Afsyanah dekat Bukhara, Uzbekistan (sebelumnya dikenal sebagai Khorasan) ayahnya bernama Abdullah, dari Balkh dan istrinya Setareh, merupakan penduduk lokal Afsyanah. Berkat posisi ayahnya sebagai gubernur serta latar belakangnya sebagai seorang ulama, Ibnu Sina memiliki akses ke pendidikan yang sangat baik di Bukhara, yang pada saat itu merupakan ibukota dan pusat intelektual di wilayah Samanids. Ibnu Sina diajarkan oleh beberapa ulama yang paling terkenal di zaman itu dalam ilmu sains dan teologi Islam. Pada usia 18, Ibnu Sina sudah menguasai ilmu-ilmu yang berkembang pada zaman itu dan telah menjadi seorang dokter praktik. Selain keahliannya di bidang kedokteran yang menjadikannya terkenal di dunia, ia juga seorang filsuf ternama, astrofisikawan, matematikawan, dan teolog. Beliau menghabiskan hidupnya dengan mendidik orang-orang, merawat pasien dan menulis buku yang tidak hanya mencerahkan masyarakat di zamannya, tetapi juga generasi kemudian di seluruh dunia.
Meskipun Ibnu Sina dianggap sebagai salah satu filsuf Muslim terbesar dari abad pertengahan, beliau juga adalah seorang dokter yang dihormati secara luas dan dikenal sebagai “Prince of Physicians” di Barat, atau “al-Sheikh al-Rais” (Pemimpin Ulama) ditengah-tengah para mahasiswa dan koleganya (McGinnis 2010, 227). Ensiklopedia medis akbarnya ‘al-Qanun fi al-Tibb’ (The Canon of Medicine), yang berisikan jutaan catatan dalam bidang medis, telah digunakan sebagai buku teks medis standar sampai dengan abad ketujuh belas dan masih secara luas dianggap sebagai sumber yang berharga untuk penelitian kedokteran. Kitab ini telah dicetak sebanyak tiga puluh enam kali di abad kelima belas dan keenam belas saja (Ullman, 1978) serta dianggap sebagai salah satu buku yang paling berpengaruh di Eropa selama Abad Pertengahan dan Renaisans (Siraisi, 2001).
The Canon of Medicine terdiri dari lima jilid buku dengan tiap buku dibagi menjadi berbagai pokok bahasan, subpokok bahasan, ringkasan, dan bagian. Buku pertama, juga disebut sebagai al-Kulliyyat (The Collection), membahas latar belakang ilmiah kedokteran dan anatomi seperti fisiologi, simtomatologi, dan prinsip-prinsip terapi. Buku kedua memiliki catatan tentang sifat terapeutik bahan yang digunakan dalam kedokteran. Buku ketiga dikhususkan untuk patologi dan penyakit tertentu atau penyakit lokal. Penyakit yang mempengaruhi seluruh tubuh, seperti demam, dibahas di buku keempat. Ibnu Sina menjelaskan pencampuran obat dalam bagian akhir buku, yang merupakan buku tentang farmakologi. Ibnu Sina, di Canonnya, mengambil sistem kedokterannya dari seorang dokter Yunani-Romawi bernama Galen (Galen dari Pergamon, Bergama modern, Izmir, Turki, 129-200 M) yang berdasarkan pendekatan Hippocrates (460-370 SM). Ibnu Sina juga diuntungkan oleh ar-Razi (Rhazes dalam bahasa Latin , 865-925 M) dan al-Majusi (Haly Abbas dalam bahasa Latin, meninggal sekitar tahun 990M ) untuk menyajikan pandangan yang sistematis dan komprehensif dari ilmu medis pada saat itu (Prioreschi 2003).
Ibnu Sina hanyalah salah satu dari banyak pemikir besar Dunia Muslim selama era abad pertengahan. Pengetahuan yang dikembangkan oleh ilmuwan muslim yang kemudian tersebar ke seluruh Eropa dan memungkinkan Eropa bangkit dari Abad Kegelapan ke masa Renaisans. Kita bisa membangun sebuah generasi baru ulama seperti Ibnu Sina yang dapat memimpin masyarakat dengan penemuan-penemuan inovatif dan interpretasi mencerahkan.
Penulis : Ihsan Ali – Ahmet Guçlu
Discussion about this post