“Sebaik-baik manusia adalah yang ada pada zamanku, kemudian setelah mereka, kemudian setelah mereka.” [1]
Demikian Baginda Nabi bersabda tentang Para Sahabatnya. Dalam sabdanya tersebut, terdapat sebuah petunjuk yang luar biasa. Manusia pada dasarnya membutuhkan role model yang dapat diambil darinya sebuah inspirasi bagi kehidupannya. Sebelum umatnya mengambil inspirasi dari tokoh-tokoh khayalan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah menunjukkan siapa saja orang yang layak menjadi inspirasi.
Di antara golongan Para Sahabat, terdapat satu kelompok Sahabat yang amat istimewa. Mereka adalah Ahlus Shuffah. Secara sederhana, Ahlus Shuffah bermakna para Sahabat yang tinggal dan beraktivitas di shuffah. Shuffah sendiri secara harfiah dapat berarti sofa tempat duduk atau tempat menjamu tamu. Dalam literatur Islam, shuffah dimaknai sebagai serambi atau teras depan yang memanjang dan berbentuk tertutup. Pada awalnya, serambi tersebut merupakan bagian dari masjid yang baru dibangun di kota Madinah. Dan di masa berikutnya, shuffah lalu menjelma menjadi ruang teras di kebanyakan masjid dalam tradisi arsitektur Islam.[2,3] Shuffah merupakan institusi pendidikan Islam pertama yang di dalamnya terdapat murid, guru, kelas, asrama, dan juga beasiswa.
Siapa Saja yang Tinggal di Shuffah
Mereka yang tinggal di shuffah sangat beraneka ragam yang terbagi menjadi beberapa kelompok:
Kelompok pertama adalah Para Sahabat muhajirin yang tidak memiliki kerabat dan miskin. Di antara mereka ada Sayidina Abdullah bin Mas’ud, Bilal bin Rabah, ‘Ammar bin Yasir, Salman al-Farisi, dan Suhayb al-Rumi. Shuffah tak hanya ditinggali para Sahabat muhajirin yang berasal dari Mekkah, ada pula para Sahabat yang berasal dari luar Mekkah seperti Abu Hurairah, Said bin ‘Amr, dan Wasilah bin al-Asqa’ radiallahu ‘anhum ajma’in.
Kelompok kedua adalah Para Sahabat yang belum menikah. Meski mereka memiliki keluarga dan rumah, tetapi lebih memilih tinggal di shuffah agar dapat lebih sering bertemu, menimba ilmu, dan mendapat banyak hikmah dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Di antara kelompok kedua ini adalah Sayidina Abdullah bin Umar, Ka‘b bin Malik, Hanzalah bin Abi ‘Amir, Haritsah bin Nu‘man, dan Abu Ayyub al-Ansari radiallahu ‘anhum ajma’in.
Kelompok ketiga adalah orang-orang dari kabilah Arab non-penduduk Mekkah yang masuk Islam dan berhijrah ke Madinah. Rasulullah mendorong mereka untuk berhijrah agar jumlah umat Islam di Madinah bertambah. Tujuan lainnya adalah agar mereka tidak disiksa oleh pemimpin kaumnya serta memudahkan usaha mereka dalam mempelajari Islam. Salah satu di antara mereka adalah Furat bin Hayyan radiallahu ‘anhu.
Kelompok keempat adalah para tamu. Mereka adalah orang-orang yang mengunjungi Madinah dalam rangka berkenalan dengan Rasulullah dan ingin belajar Islam. Pada tahun ke-10 Hijriah, terjadi periode sanatul wufud, yakni tahun ketika orang-orang berbondong-bondong masuk Islam, dan di tahun tersebut, shuffah tidak lagi memadai untuk ditinggali maupun sekadar menjadi tempat singgah para tamu.[4]
Karakteristik Ahlus Shuffah
Para penghuni shuffah mendedikasikan seluruh waktunya untuk menuntut ilmu. Terdapat peristiwa menarik yang menggambarkan aktivitas mereka di sana. “Suatu ketika, Baginda Nabi keluar dari rumahnya menuju masjid. Di dalam masjid, Beliau menyaksikan adanya dua kelompok manusia. Kelompok pertama adalah mereka yang membaca Al-Qur’an dan memanjatkan doa kepada Allah subhânahu wa ta’âla dan kelompok kedua adalah mereka yang belajar dan mengajarkan ilmu. Saat melihat keduanya, Rasulullah bersabda: ‘Dua kelompok tadi sama-sama melakukan kebaikan. Kelompok pertama membaca Al-Qur’an dan berdoa kepada Allah. Jika Allah berkehendak, Dia mengabulkannya. Jika berkehendak sebaliknya, Dia tidak mengabulkannya. Sedangkan kelompok kedua belajar dan mengajarkan ilmu. Tiada keraguan bahwa aku dikirim untuk menjadi seorang guru.’ kemudian Beliau mendekati kelompok kedua yang sibuk beraktivitas dengan ilmu.”[5]
Sebenarnya, dua kelompok tersebut adalah para Ahlus Shuffah. Karena aktivitas mereka di siang hari disibukkan oleh aktivitas belajar, mengajar, dan beribadah, maka mereka pun menggunakan shuffah sebagai tempat beristirahat sekaligus tempat muzakarah ilmu.
Para ahlus shuffah merupakan Para Sahabat yang masih bujangan. Setelah menikah, mereka tinggal di rumahnya masing-masing. Di antara para ahlus shuffah, hanya Abdullah bin Mas’ud yang mengambil izin dari Rasulullah untuk tinggal di shuffah meski beliau telah menikah, Beliau tinggal di shuffah bersama anggota keluarganya. Jumlah mereka senantiasa berubah-ubah, menyesuaikan situasi dan kondisi. Karenanya, terdapat perbedaan pendapat terkait jumlah mereka dalam berbagai referensi yang ada. Ada yang menyampaikan bahwa terdapat 400-700 Sahabat yang tercatat pernah tinggal di shuffah. [6]
Mereka fokus pada kegiatan belajar-mengajar. Karenanya, mereka hampir tidak memiliki waktu cukup untuk memiliki mata pencaharian tetap. Meski begitu, mereka tidak menjadi beban bagi Sahabat lain. Karena ada juga dari mereka yang mengumpulkan kayu bakar untuk dijual atau menjadi buruh angkut air bagi masyarakat Madinah, guna mencari penghasilan tambahan untuk memenuhi kebutuhannya.[7]
Mereka memiliki pengetahuan dan kedalaman spiritual tinggi karena bisa memfokuskan diri tanpa terpecah konsentrasinya pada hal-hal seperti merawat anggota keluarga atau menjaga harta dunia. Mereka senantiasa beribadah di waktu malam dan berpuasa di waktu siang. Para alumni shuffah juga dikenal dengan kezuhudannya. Saat Ubadah bin Shamit diliputi keraguan apakah akan menerima atau menolak hadiah alat panah dari muridnya, ia bertanya kepada Rasulullah. Beliau pun memberikan jawaban yang dapat menjadi pelajaran bagi kita semua: “Ambillah, jika kamu tidak takut akan dikalungkan padamu sebuah kalung dari api di akhirat kelak.” Demikianlah, para ahlus shuffah memiliki empat karakter utama, yakni bujangan, sederhana, rendah hati, dan saleh.[8]
Ahlus Shuffah adalah orang-orang yang tidak diperintahkan untuk berangkat ke medan perang. Mereka tidak berangkat karena sibuk mengajarkan agama kepada kaumnya. Orang-orang munafik pun melontarkan kritiknya, “Sungguh, masih ada orang-orang yang tertinggal di pedalaman, maka celakalah mereka itu.” Setelah itu, turun firman Allah yang menyatakan, “Tidak sepatutnya bagi orang-orang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang).”[9]
Ayat tersebut mengajarkan bahwa terdapat urgensi agar para ahli ilmu harus senantiasa bersedia untuk menutrisi kaumnya dan orang-orang yang baru pulang dari medan perjuangan. Keberadaan ahlus shuffah memastikan adanya penguasaan agama dan mengajarkan ilmu kepada mereka yang sibuk dengan tugas-tugasnya, sehingga pengetahuan agama mereka tidak tertinggal dari yang lainnya.[10]
Donatur Ahlus Shuffah
Ahlus shuffah tidak memikirkan kebutuhan sehari-hari. Karenanya, mereka bisa lebih banyak menghabiskan waktu bersama Sang Nabi, fokus merekam ilmu dan hikmah, sehingga kita dapati ahlus shuffah adalah mereka yang juga banyak sekali meriwayatkan hadis Nabi.
Untuk kebutuhan sehari-hari mereka, Rasulullah menjadi donatur utama. Selain Beliau, ada pula donatur tetap seperti Sa’ad bin Ubadah, Abu Bakar As-Shiddiq, dan para Sahabat kaya lain. Sayidina Sa’d misalnya, beliau mewarisi kedermawanan para leluhurnya. Kedermawanannya kian luas saat beliau masuk Islam, doanya: “Ya Allah, berilah hamba harta sehingga bisa melakukan banyak kebaikan”, hingga ia memiliki rumah sebesar benteng dan selalu mengadakan jamuan setiap harinya. Semua orang datang dan menikmati hidangan di sana. Khusus untuk ahlus shuffah, beliau mengundang 80 orang untuk makan di rumahnya setiap hari.[11]
Contoh lain adalah Abu Hurairah yang menceritakan bahwa ia pernah diundang makan di rumah Sahabat Ja’far bin Abi Thalib yang amat dermawan. Terkadang, para Sahabat yang mampu juga mengirimkan makanan, memberikan sedekah sunah dan wajibnya untuk diterima Para Sahabat penghuni shuffah. Demikian juga saat Sayidah Fatimah melahirkan Sayidina Hasan dan Husein, Rasulullah mencukur rambut keduanya, menimbang, dan menyedekahkan perak seberat timbangan rambut tersebut pada ahlus shuffah.[12]
Peran utama donatur shuffah adalah mencukupi kebutuhan sandang dan pangan mereka. Rasulullah mendorong para Sahabat agar berkenan mengundang ahlus shuffah untuk makan di rumahnya. Untuk itu, ahlus shuffah disebut juga sebagai adyaful muslimin, tamunya umat Islam. Barangsiapa di rumahnya ada makanan untuk dua orang, hendaknya orang ketiga adalah ahlus shuffah; Barangsiapa di rumahnya ada makanan untuk tiga orang, hendaknya orang keempat adalah ahlus shuffah; Barangsiapa di rumahnya ada makanan untuk empat orang, hendaknya ia memanggil orang kelima atau keenam dari ahlus shuffah. Rasulullah sendiri mengundang 10 orang, sedangkan Sayidina Abu Bakar memanggil 3 orang dari mereka untuk makan di rumahnya.[13]
Para Guru, Kiprah Ahlus Shuffah, dan Inspirasi bagi Masyarakat Abad ini
Shuffah merupakan institusi pendidikan pertama umat Islam. Rasulullah sendiri menjadi pengajar utamanya. Selain Beliau, terdapat Abdullah bin Mas’ud, Salim Maula Abu Hudzaifah, Mu’adz bin Jabal, dan Ubay bin Ka’ab sebagai pengajar Al-Qur’an. Kapasitas mereka tidak diragukan lagi. Rasulullah menggambarkan penguasaan ilmu Al-Qur’an mereka sebagai berikut: “Ambillah Al-Qur’an dari empat orang, dari Abdullah bin Mas’ud, Salim, Mu’adz bin Jabal dan Ubay bin Ka’ab.”[14] Ada Abdullah bin Said bin al-Ash dan Sayidina Ubadah bin Shamit yang mengajar membaca dan menulis.[15,16] Ada juga Abu Ubaidah bin Jarrah. Ketika Sahabat Abu Tsa’labah al-Husyani meminta rekomendasi guru untuk dia belajar, Rasulullah menjawab: “Aku menyerahkan dirimu kepada Abu Ubaidah bin Jarrah, sosok yang akan mengajari dan membimbingmu dengan cara yang paling baik.”[17]. Rasulullah juga menunjuk dua ahlus shuffah untuk mengajarkan Al-Qur’an kepada penduduk Madinah. Mereka adalah Abdullah bin Ummi Maktum dan Mus’ab bin Umair.[18]
Di antara alumni shuffah yang masyhur kiprahnya adalah Sayidinia Bilal bin Rabah dan Abdullah bin Ummi Maktum sebagai penyeru azan di Masjid Nabawi; Mu’adz bin Jabal sebagai guru dan gubernur di Yaman; Abu Hurairah yang telah meriwayatkan ribuan hadis dari Rasulullah. Ada juga Abu Ubaidah bin Jarrah yang dipercaya mengelola keuangan negara di masa kepemimpinan Sayidina Abu Bakar; Huzaifah bin Yaman yang menjadi walikota Mada’in di masa Sayidina Umar dan Sayidina Usman; serta Abu Darda’ yang memilih menjadi guru di Syam daripada menerima tugas sebagai pejabat negara yang ditawarkan oleh Sayidina Umar. Bersama istrinya, Ummu Darda’, beliau membangun sekolah yang mengajarkan Al-Qur’an, hadis, tafsir, dan fikih di Syam. Tercatat ada lebih dari 1600 penuntut ilmu yang pernah belajar dan singgah di majelis ilmu yang diasuh Abu Darda’.[19] Ahlus shuffah memainkan peran terbesarnya ketika perluasan wilayah Islam mencapai puncaknya di masa Amirul Mukminin Umar bin Khattab. Di masa itu, para alumni ahlus shuffah dikirim ke seluruh penjuru dunia untuk mengajarkan Islam kepada masyarakat yang baru memeluk Islam.
Dewasa ini, masyarakat dunia terasa sangat membutuhkan insan dengan karakter layaknya para alumni shuffah. Dunia membutuhkan generasi yang siap menjadi arsitek peradaban, membangun masa depan melalui pendidikan, dan siap berangkat ke mana saja mereka dibutuhkan. Tumbuhnya generasi ini tidak bisa diserahkan begitu saja pada berjalannya waktu. Dibutuhkan para mentor yang dapat membimbing mereka dan para donatur yang mencukupi kebutuhan sehari-harinya, sehingga generasi shuffah abad 21 ini bisa fokus menimba ilmu, menutrisi kalbu, dan mematangkan perkembangan akal dan jiwanya. Mari kita membuka “sekolah-sekolah shuffah” dan mengajarkan ilmu agama serta sains kepada generasi muda, membimbing mereka menjadi seorang muslim yang baik dan bermanfaat bagi masyarakatnya, sehingga mata ini menjadi saksi bagi lahirnya generasi emas sekali lagi.
Ahlus Shuffah di Zaman Modern
Sebagaimana di awal perkembangan Islam, sayangnya kita masih memiliki kebutuhan yang besar akan sumber daya manusia dengan penguasaan bidang pengetahuan yang mumpuni, berpengalaman dalam mendidik generasi muda, piawai dalam mengelola masyarakat, serta tentu saja memiliki kualitas keimanan yang istimewa. Generasi shuffah di zaman modern dapat terlahir bila kita mampu menemukan dan menunjuk para guru yang merelakan waktunya demi mendidik dan membimbing para penuntut ilmu dengan penuh ketulusan dan keikhlasan. Mereka mendidik dan membimbing siswa-siswinya hingga larut dalam kenikmatan belajar-mengajar. Malam-malam mereka pun dipenuhi doa, yakni doa yang porsi terbesarnya tidak ditujukan bagi kesejahteraan pribadinya, melainkan untuk keselamatan iman dan keberhasilan anak-anak didiknya.
Guru-guru yang tak kenal lelah dan tak kehabisan kesabaran layaknya seorang pemahat terampil. Apabila pemahat mengukir batu, maka para guru memahat kalbu. Pahatan para guru merupakan karya seni tak ternilai harganya. Mahakarya guru-guru yang demikianlah yang akan memakmurkan alam semesta.
Generasi shuffah di masa modern dapat terlahir apabila kita berebut untuk memberikan dukungan terbaik, tidak hanya spiritual, melainkan juga materi terbaik yang kita miliki. Untuk mendukung generasi ini tidak hanya para crazy rich yang memiliki kesempatan. Mereka yang memiliki penghasilan pas-pasan pun tak boleh ragu untuk mengulurkan tangan. Bukanlah kedermawanan jika kita mampu membantu dalam keadaan lapang. Kedermawanan adalah tetap mampu membantu meski sedang dalam kesempitan, sebagaimana Para Sahabat yang diminta mengumpulkan sedekah untuk mendukung Jaysyul Usrah (pasukan yang ada dalam kondisi kesulitan) menuju Tabuk. Tak hanya yang kaya, yang tak berpunya pun memberi apa yang tersisa dari diri mereka. Sayangnya, sebagian sahabat benar-benar tak memiliki sisa harta yang dapat memodali mereka untuk berangkat ke Tabuk, sehingga mereka pun menangis karenanya. “Mereka kembali, sedangkan mata mereka bercucuran air mata karena sedih tidak memperoleh apa yang akan mereka infakkan.”[20] Demikianlah pujian Allah kepada mereka. Karenanya, mari membangun sekolah, membuka asrama mahasiswa, dan memberi beasiswa, sehingga benih-benih ahlus shuffah generasi kedua dapat terlahir kembali di milenium ketiga ini.
Urgensi dari dukungan materi ini tidak bisa dipandang sebelah mata. Rasulullah merasa sedih saat melihat ada orang mampu tetapi hanya memberi sebagian kecil dari hartanya. Disampaikan bahwasanya pada suatu hari Rasulullah melihat kurma yang disedekahkan memiliki kualitas yang rendah. Beliau bersabda: “Dermawan ini sebenarnya mampu membawakan sesuatu yang lebih baik lagi.”[21]
Generasi ahlus shuffah di masa modern dapat terlahir kembali apabila muncul anak-anak muda yang rela mendedikasikan dirinya untuk belajar, menuntut ilmu, ikhlas meninggalkan kegembiraan hidup di masa muda. Mereka menyadari tanggung jawab yang diembannya, memahami besarnya kepercayaan masyarakat kepadanya. Dengannya, para anak muda ini mem-fana-kan diri dalam tugas suci ini. Mereka benar-benar menginsyafi kalam mutiara Imam Syafii, “Jika kamu tidak sanggup menahan lelahnya belajar, maka kamu harus sanggup menahan pedihnya kebodohan”.
Proses ini bisa jadi tidak menuai hasil dalam jangka waktu yang pendek. Namun, jika kita tidak mulai menanamnya hari ini, lantas apa yang akan kita tuai 10-20 tahun nanti…?
Bagus Hartanto adalah seorang Edukator/Aktivis Pendidikan
Referensi:
- HR. Bukhari, Syahadat, no. 2652
- H. Kamil Yilmaz (2001) “Tasavvufi Açıdan Aslıab-ı Suffa”, Istanbul: Tasavvuf, İlmi ve Akademik Araştırma Dergisi, hlm. 12
- Rifat Atay (2007) “Reviving Suffa Tradition”, Leeds: Leeds Metropolitan Univ. Press, hlm. 460
- Yılmaz Çelik (2016) “Hz. Peygamber Dönemi İnsana Yönelik Sosyal Hizmetler”, Konya: Disertasi Doktoral Universitas Necmettin Erbakan, hlm. 41
- HR. Ibnu Majah, no. 225
- Yakhsyallah Mansur, 2015, Ash-Shuffah, Jakarta: Republika Penerbit, hlm. 38
- Atay, 2007: hlm. 461.
- Atay, 2007: hlm. 459.
- QS. At-Taubah 9/122
- Fethullah Gulen, 2015. “Aksiyon İnsanları ve İlim Ehli“, diakses di https://www.herkul.org/kirik-testi/kirik-testi-aksiyon-insanlari-ve-ilim-ehli/” pada 18 Oktober 2021
- Celik 2016: 42
- Aksoy, 2010: 27-28
- Aksoy: 2010, hlm. 27
- HR. Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Ahmad
- Prof. Dr. M. Faruk Bayraktar (2006), “Yetişkinlik Dönemi Eğitimi ve Problemleri”, Istanbul: Ensar Neşriyat Tic. A.Ş., hlm. 44
- Basri Cetin (2019), ”Asr-ı Saadet’te Suffe; Doğuşu, Önemi ve İşlevi”, Istanbul: Institul Ilmu Sosial Istanbul University, hlm. 160
- Basri Cetin (2019), ”Asr-ı Saadet’te Suffe; Doğuşu, Önemi ve İşlevi”, Istanbul: Institul Ilmu Sosial Istanbul University, hlm. 161
- Ibid
- Basri Cetin (2019), ”Asr-ı Saadet’te Suffe; Doğuşu, Önemi ve İşlevi”, Istanbul: Institul Ilmu Sosial Istanbul University, hlm. 84-87
- QS. At-Taubah 9/92
- HR. Bukhari, Fadhailul Ashab, no. 10 & Celik, 2016: hlm. 42
Discussion about this post