Harun al-Rasyid adalah seorang khalifah yang sangat abid, dalam satu hari, khalifah biasa mendirikan shalat sebanyak 100 rakaat hingga beliau meninggal dunia. Imam alSuyuthi dalam bukunya al-Tanbih biman yab’atsuhu Allah ‘ala ra’s kulli mi’a, menganggapnya sama seperti Imam Syafi’i yaitu sebagai orang-orang yang membawa pembaharuan bagi Islam pada masa abad pertama Hijriah.
Khalifah Abbasiyah itu bernama lengkap Abu Ja’far, Harun bin Muhamad al-Mahdi bin al-Manshur, yang wafat tahun 193 H. Pada banyak buku, namanya dikaitkan secara salah kaprah dengan kegilaan dan hura-hura. Ibunya bernama Ummul Hadi, al-Rasyid dilahirkan di Ray pada tahun 145 H. Ketika beranjak dewasa, ia dicalonkan menjadi khalifah oleh ayahnya, kemudian al-Rasyid diberi amanat untuk memegang beberapa kawasan penting kekhalifahan. Ayahnya menjadikan al-Rasyid sebagai amir (gubernur) Shaifah pada tahun 163 H dan tahun 165 H. Pada tahun 164 H, ayahnya memberikan al-Rasyid kepercayaan untuk memerintah kawasan Maghrib secara utuh. Waktu itu al-Rasyid sudah memegang kawasan al-Anbar, sampai ke ujung Afrika.
Pada tahun 166, ayahnya mengangkat dirinya sebagai putera mahkota kekhalifahan setelah al-Hadi. Pada tahun 169 H, al-Rasyid menjadi calon khalifah favorit yang ditunjuk oleh al-Mahdi. Ia melihat alRasyid lebih memiliki karakter, pemberani, dan berprinsip. Tapi, kematian al-Mahdi membuat al-Rasyid harus bersabar dahulu. Lantas, pada tahun berikutnya, al-Rasyid menjadi khalifah ketika kakaknya, alHadi meninggal dunia pada 1 Rabiul Awwal 170 H/ 14 September 786 M. Harun al-Rasyid berumur 25 tahun ketika memegang tampuk kekhalifahan Abbasiyah. Ia terus menjadi khalifah selama 23 tahun, 2 bulan, dan 18 hari, sampai meninggal dunia pada 3 Jumadil Akhir tahun 194 H/ 24 Maret 808 M.
Masa kepemimpinan Harun al-Rasyid merupakan masa yang gemilang. Kekhalifahan pada masanya telah sampai pada prestasi tertinggi baik dari segi kerajaan, kekayaan, ilmu pengetahuan, sastra, maupun seni. Ekonomi, sains, dan seni pada masanya telah sampai pada puncak kesuksesannya. Kemakmuran masyarakat dan umat pada masanya-pun telah mencapai pada prestasi yang besar. Harun al-Rasyid didampingi petinggi negara yang banyak diisi oleh para budak sebagai pemegang administrasi negara dan panglima perang, sehingga kekhalifahan disegani baik di dalam maupun di luar. Dan hal tersebut tidak terlepas dari keluhuran budi al-Rasyid sendiri.
Pada masa beliau, kota Baghdad telah mencapai puncak kemakmuran serta kegemilangannya, baik dari segi struktur, arsitektur, dan ekonomi. Harun al-Rasyid merupakan khalifah Abbasiyah yang amat sangat dermawan, beliau tidak segan memberikan hartanya seakan tidak pernah takut jatuh miskin.
Adapun dunia sains dan pengetahuan, Baghdad pada masanya telah menjelma menjadi kiblat para pencari ilmu dari seluruh kawasan Islam. mereka berdatangan ke Baghdad untuk menyempurnakan pengetahuan, sains, dan aneka seni yang mereka pelajari. Baghdad telah menjadi universitas tinggi bagi para pencari bermacam ilmu-ilmu agama maupun bahasa Arab. Di sana terdapat banyak sekali para ahli hadis, qori, ahli fiqih, ahli gramatikal, ahli bahasa dan sastra Arab. Mereka semua belajar, serta mengajar di masjid-masjid umum, yang dianggap sebagai sekolah tinggi pengetahuan. Pada saat itu jarang ada orang yang dianggap sebagai orang alim, faqih, ahli hadis, atau penulis, jika tidak pernah berkunjung ke Baghdad dan menimba ilmu dari ulama-ulamanya.
Baghdad tidak hanya merupakan pusat dunia pengetahuan agama, namun juga tonggak tujuan pengetahuan umum seperti kedokteran, hikmah (filsafat), ataupun ilmu-ilmu terapan lainnya. Khalifah Harun al-Rasyid sendiri mendatangkan banyak dokter ke Baghdad, insinyur, ilmuwan serta teknisi berbagai cabang keilmuan lain dari kawasan berbeda-beda di seantero kekhalifahan Islam. Mereka telah meraup ilmu dari umat-umat kuno terdahulu, lalu mengembangkannya berkat kecerdasan akal dan rasa keingintahuan yang tinggi.
Akhlak dan Perjuangan Harun al-Rasyid
Selain seorang khalifah yang rajin menunaikan ibadah, Harun al-Rasyid juga gemar bersedekah. Setiap hari, khalifah selalu menyedekahkan harta miliknya sebesar 1000 dirham. Dalam sejarah kekhalifahan Abbasiyah, tidak ada khalifah yang sedermawan Harun al-Rasyid, kecuali al-Mamun, anaknya sendiri.
Khalifah juga tidak pernah meninggalkan ibadah haji tiap tahunnya kecuali jika sedang sibuk berperang. Diriwayatkan oleh al-Shouli, dari Yaqub bin Ja’far: “ketika Harun al-Rasyid diangkat menjadi khalifah, pada tahun tersebut ia keluar Baghdad untuk menguasai kawasan-kawasan Romawi, lalu selesai berperang pada bulan Sya’ban dan langsung menjalankan ibadah haji. Di al-Haramain, Khalifah al-Rasyid membagikan harta kepada penduduk di sana. Sebelumnya Khalifah bermimpi bertemu Baginda Rasulullah. Dalam tidurnya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam pun berkata kepadanya; “Sudah ditentukan untukmu, bulan ini berperanglah, dan laksanakan ibadah haji, serta dermawanlah kepada penduduk al-Haramain.” Maka khalifah-pun melaksanakan semua anjuran Rasulullah tersebut.
Khalifah Harun al-Rasyid telah melakukan 9 kali haji selama memerintah. Ketika berhaji, khalifah selalu membawa para fuqaha dan anak-anaknya. Dan ketika berhalangan, 300 orang akan menghajikannya dengan dibekali biaya besar dan membawa kiswah Kabah yang agung. Khalifah juga gemar mendengarkan ceramah para pemberi nasihat. Hatinya yang lunak selalu membuat khalifah cepat mencucurkan air mata ketika mendengarkannya.
Harun al-Rasyid tidak pernah membiarkan tentaranya keluar berperang sendirian. Ia selalu menemani mereka bahkan berada di depan sebagai panglima perang. Ia lakukan itu supaya tidak membiasakan bersantai, atau dilalaikan oleh kesenangan hidup sehingga melupakan kewajiban berdakwah.
Pada tahun 187 H, khalifah menerima surat dari Kaisar Romawi Nikephoros I yang meminta pembatalan genjatan senjata yang pada masa sebelumnya dilakukan oleh umat muslimin dengan Ratu Irene. Dalam suratnya, Nikephoros mengatakan:
“Dari Nikephoros Kaisar Romawi, kepada Harun al-Rasyid, Raja Arab.”
Ratu sebelum saya (yang dimaksud adalah Ratu Irene) yang menebus kekuasaannya dengan membayar 70 ribu dinar, dan dibayarkan ke kas khalifah setiap tahunnya- telah memposisikanmu sebagai benteng (dalam catur) dan menjadikan dirinya sendiri sebagai pion. Irene memberimu banyak uang karena kelemahan kaum perempuan dan kebodohan mereka. Jika anda membaca surat ini, maka kembalikanlah uang yang anda dapatkan darinya. Dan jika tidak, maka hanya ada pedang antara anda dengan saya.”
Ketika khalifah Harun al-Rasyid membaca surat tersebut, beliau amat marah sampai-sampai tidak ada yang ingin menatap wajahnya, apalagi mengajaknya berbicara. Petinggi negara di sekelilingnya segera keluar ruangan karena takut. Bahkan sang menteri agung pun diam kebingungan. Khalifah segera memanggil juru tulis dan segera menuliskan balasan:
“Bismillahirrahmanirrahim, dari Harun al-Rasyid, Pemimpin Kaum Beriman, kepada Nikephoros, pendustanya Romawi. Saya telah membaca suratmu dan jawabannya adalah apa yang kamu lihat, bukan yang kamu dengar.”
Harun al-Rasyid waktu itu langsung berangkat sampai berhenti di Kota Heraklius. Di sana, terjadilah peperangan terkenal dan berakhir dengan kemenangan nyata bagi kaum muslim. Kaisar Nikephoros pun terpaksa menyerah dan menyanggupi diri akan membayar upeti setiap tahunnya.
Banyak penyair pada masanya yang memuji kebiasaan berhaji dan keberanian tersebut yang dianggap sudah melekat pada diri sang khalifah. Abu Nawas misalnya, berkata dalam syairnya ketika memuji khalifah:
Dua hal tidak pernah lepas darinya
Setiap tahun ada Perang dan Wifadah (haji)
Demi Ya’mulat, syi’arnya adalah bersegera
Hanya ada tidur di antara keduanya
Adapun Ashja’al-Sulami, dia memuji Khalifah dengan syairnya;
Dua perjalanan setiap tahun
Seribu haji dan dakwah yang tak pernah lepas
Kendaraan dipakai untuk ihram
Juga untuk melawan musuh
Khalifah juga mendapat pujian dari penyair Abul Ma’ali al-Kulabi;
Siapa yang ingin bertemu dengannya
atau mendatanginya
Maka datanglah ke tanah Haram,
atau benteng-benteng yang jauh di sana
Kecintaan Harun al-Rasyid Terhadap Ilmu dan Ulama
Khalifah Harun al-Rasyid sangat mencintai ulama, meninggikan perintah-perintah agama, serta membenci debat kusir. Qadi al-Fadhil berkata dalam risalahnya: “Saya tidak pernah mengetahui ada seorang raja yang amat suka bepergian mencari ilmu kecuali Harun al-Rasyid. Ia gemar bepergian dengan kedua anaknya al-Amin dan al-Mamun untuk mendengarkan isi buku al-Muwatha langsung dari Imam Malik pengarangnya. Ketika mendapat kabar kematian Abdullah bin Mubarak, ia pun bersedih dan berkabung untuknya.” Diriwayatkan dari Abu Muawiyah al-Dharir; “Ketika selesai makan, seseorang yang tidak aku kenal tiba-tiba menyalami kedua tanganku. Harun al-Rasyid-pun berkata; “Tahukah kamu siapa tadi yang menyalami tanganmu?” aku jawab; “Tidak.” Khalifah berkata; “Itu adalah aku. Kulakukan sebagai bentuk penghormatan terhadap ilmu.”
Para ulama tak ketinggalan selalu memuji-muji khalifah. Diriwayatkan dari Fudhail bin ‘Iyadh; “Tidak ada seorang yang lebih aku tangisi atas kepergiannya daripada kematian Amirul Mukminin Harun al-Rasyid. Saya berharap seandainya Allah mengambil lebihan dari umurku dan diberikan kepada Harun.”
Gairah al-Rasyid Terhadap Agama
Abu Muawiyah al-Dharir berkata; “Saya tidak pernah menyebut nama Rasululllah di dekat Harun al-Rasyid, kecuali beliau akan langsung mengatakan; Shallallahu ala sayyidi (semoga Allah memberikan shalawat kepada Tuanku Muhammad).
Diriwayatkan dari Kharzad si ahli ibadah; “Abu Muawiyah pernah membacakan sebuah hadis kepada al-Rasyid yang berbunyi;” Adam dan Musa-pun berdebat ” (Shahih Bukhari). Lalu seseorang pembesar yang hadir waktu itu berkata; “Memangnya Adam bertemu Musa di mana?” lantas Harun al-Rasyid pun marah dan berkata; “Hanya pecut dan pedang untuk orang yang zindik, yang lancang mencela hadis Rasulullah.” abu Muawiyah-pun segera menenangkan khalifah, sampai berkata; “Dia keceplosan wahai amirul mukminin.” Abu Muawiyah terus menenangkannya sampai emosi khalifah pun reda dan tidak marah lagi. Imam al-Suyuthi berkata; “Khalifah Harun al-Rasyid sangat mencintai ilmu dan ulama, dan selalu mengagungkan perintah-perintah Islam. Ia kurang suka ilmu kalam karena tidak suka perdebatan dalam urusan agama dan pembicaraan yang bertentangan dengan teks syariat.”
Harun al-Rasyid Sang Khalifah Humanis
Harun al-Rasyid adalah seseorang yang tidak melupakan bagian duniawi dirinya, ia tidak seperti orang yang berpaling secara total darinya. Al-Ashma’i berkata; “al-Rasyid menyukai acara keriangan (samr) dan gemar bercengkrama.” Al-Jahiz mengatakan; “Belum ada orang yang banyak merayakan puisi kecuali alRasyid.”
Para penyair tidak pernah berkumpul seperti ketika mereka duduk bersama dan memuji khalifah Harun al-Rasyid. Para penyair seperti Abul Atahiyah, Marwan bin Abi Hafsah, Salm al-Khasir, Ibnu Munadzir, Ashja’ al-Sulami, Kultsum bin Amr al-Etabi, Manshur al-Namiri, Emani al-Rajiz, dan sang pujangga tersohor yang juga sahabat khalifah, Abu Nawas, adalah deretan penyair yang sering berkumpul untuk membacakan puisi pujian terhadap sang khalifah.
Al-Rasyid sendiri memiliki kemampuan tata bahasa yang bagus, fasih berbicara, dan sangat mengetahui beban kekhalifahan yang dipikulnya. Beliau juga memiliki pandangan yang brilian dalam sastra dan fiqih. Al-Rasyid menyukai para penyair dan suka memberi hadiah kepada mereka.
Diriwayatkan dari Mu’awiyah bin Shaleh, dari ayahnya mengatakan; “syair
pertama yang dibacakan al-Rasyid adalah, dirinya melaksanakan haji pada
tahun yang sama ketika diangkat menjadi khalifah, lalu ia memasuki sebuah
rumah, dan mendapati di bagian depan rumah itu sebait syair, tertulis di atas dinding;
Wahai Amirul Mukminin, apakah anda tidak tahu?
Aku menebusmu dengan perginya seorang kekasih
Harun al-Rasyid pun memanggil juru tulis, dan menuliskan puisi;
Ya, demi tebusan-tebusan haji
Di Mekah tidak akan ada orang
yang naungannya hilang akan merugi
Selain gemar terhadap puisi, syair, dan para penyair, al-Rasyid juga menaruh perhatian yang besar terhadap fiqih, hadis, bahasa, dan sastra. Hal tersebut terbukti ketika orang-orang seperti al-Syafi’i, Abu Yusuf, Muhamad bin Hasan al-Syaibani, Sufyan bin Uyainah, dan Fudhail bin ‘Iyadh berkumpul bersamanya. Seorang faqih yang sekaligus sahabat karib Imam Abu Hanifah, yaitu Abu Yusuf Ya’qub bin Ibrahim al-Anshari, menuliskan buku “al-Kharaj” (buku pajak) untuk khalifah. Membaca pembukaan buku tersebut, kita akan mendapati wasiat Abu Yusuf yang ditujukan untuk al-Rasyid. Abu Yusuf menasehatinya untuk berbuat ikhlas, dan terbuka dalam memerintah. Hal tersebut tidak pernah dilakukan oleh Abu Yusuf kecuali terhadap al-Rasyid, hal ini karena Abu Yusuf sangat mengetahui sifat lapang dada khalifah yang selalu mendengarkan nasihat.
Harun al-Rasyid juga seorang khalifah yang selalu dekat dengan ulama-ulama gramatikal seperti Sibawaih dan al-Kisai. Di hadapan khalifah, mereka berdua sering melakukan diskusi mengenai permasalahan gramatikal, seperti kasus terkenal yang bernama “Masalah al-Zanburiyah”. Di hadapan al-Rasyid pula, al-Kisai berdebat dengan al-Mufadhdhal alDhabbi, al-‘Asmai, Abu Muhamad al-Yazidi, dan Abu Yusuf. (dinukil dari buku “Majelis al-Ulama” karangan al-Zujaji). ]
Imam al-Dzahabi berkata ketika mendeskripsikan khalifah Harun al-Rasyid; “Ia adalah seorang yang pemberani, tangkas, dermawan, kuat pendirian, dan terpuji. Dalam dirinya terdapat agama dan sunnah. Kulitnya putih dan berperawakan tinggi, berbadan kekar, berjenggot, dan beruban. Dalam satu hari, ia melaksanakan shalat sebanyak 100 rakaat seakan telah meninggalkan dunia ini. Setiap harinya, ia selalu bersedekah memakai uangnya sendiri sebanyak 1000 dirham. Ia juga patuh kepada para pembesar, dan berprilaku baik kepada mereka.” Al-Dzahabi juga berkata tentangnya dalam buku “Siyar A’lam al-Nubala”; “kebaikan-kebaikannya amatlah banyak, namun ia juga terkenal suka royal, pada kenikmatan dunia, dan musik. Semoga Allah mengampuninya.”
Muhammad bin Ali al-Kurasani berkata; “Harun al-Rasyid merupakan khalifah pertama yang memainkan permainan tongkat, bola, dan memanah. Al-Rasyid juga seorang khalifah pertama dari Bani Abbasiyah yang memainkan catur.”
Al-Jahiz berkata; Tidak ada khalifah yang dikerumuni menteri-menteri besar dari Barmak kecuali Harun al-Rasyid. Ia ditemani oleh Qadi Agung Abu Yusuf, penyair pribadi Marwan bin Abi Hafsah, nadim khalifah (teman berpesta) Abbas bin Muhamad, penyanyi pribadi Ibrahim al-Mosuli, dan isterinya Zubaidah.”
Termasuk sejarawan yang memuji khalifah adalah Ahmad bin Khalikan, yang mengatakan tentang khalifah dalam bukunya “Wafayat al-A’yan”; “Harun adalah khalifah paling agung, dan raja paling pemberani. Ia selalu melakukan haji,dakwah, tangkas, dan pemilik ide yang brillian.”
Mereka semua adalah sejarawan besar Islam yang menyebutkan seluruh aspek kehidupan Harun al-Rasyid. Mereka tidak hanya membeberkan kebaikan-kebaikan lalu menyembunyikan keburukan.
Wafatnya Sang Khalifah
Pada tanggal 5 Sya’ban tahun 192 H, Harun al-Rasyid bertolak dari Baghdad hendak menuju Khurasan, setelah khalifah mendapat kabar dari pemberontakan Rafi’ bin Laits yang sudah memanas di Transoxiana (kawasan Asia Tengah). Al-Rasyid pun meminta anaknya al-Amin untuk menjaga Baghdad. Bersama anaknya, Abdullah al-Mamun, al-Rasyid bertolak menuju lokasi dan ketika sampai di kota Thus pada tahun 193 H, sakitnya bertambah parah, dan beliau menemui ajalnya di sana pada malam sabtu 3 Jumadil Akhir tahun 193 H. Yang menshalatkan alRasyid adalah al-Shaleh, karena al-Mamun waktu itu sudah lebih dulu pergi ke Marwa (Merv), di Khurasan. Khalifah-pun dimakamkan di Madinah.
Dikatakan bahwasanya al-Rasyid pernah bermimpi akan meninggal di Thus. Khalifah-pun menangis dan berkata; Buatkanlah untukku sebuah kuburan.” Maka orang-orang pun membuatkan untuknya sebuah kuburan. Lalu ia ditempatkan dalam kubah di atas unta dan digiring sampai ke arah kuburan. Al-Rasyid pun berkata; “Wahai anak Adam, kalian akan kembali ke tempat ini (kuburan).” Ketika al-Rasyid meninggal, anaknya al-Amin yang waktu itu berada di Baghdad segera menjadi khalifah menggantikan ayahnya. Kematian al-Rasyid ini ditangisi oleh penyair Abu alShaisy dalam puisinya;
Matahari telah terbenam di Timur,
mataku berderai air mata
Kami tidak pernah melihat matahari terbenam
di tempat ia terbit
Sejarah ditulis dengan dipenuhi oleh berita-berita menakjubkan perihal Khalifah al-Rasyid dalam membela kebenaran, mencintai nasihat, dan mendekatkan diri dengan ulama. Tidak ada yang mengingkari fakta tersebut kecuali orang yang keras kepala dan ingkar terhadap kebenaran.
Penulis : Prof. Dr. Shalah Abdul Sattar al-Shahawi (seorang Peneliti Budaya Arab dan Islam di Mesir)
Discussion about this post