Yang dimaksud dengan ‘hati’ (qalb) adalah hati seperti yang kita kenal, atau berarti pula ‘hati kecil’ (fuâd). Ada dua pengertian yang dipakai di sini, yaitu: Pertama, jantung – organ tubuh biologis terpenting yang dimiliki manusia dan biasanya terletak di dada sebelah kiri, atau di bawah payudara sebelah kiri, yang bentuknya mirip cangkang buah pinus. Organ ini sangat istimewa dan berbeda dibandingkan semua organ tubuh lainnya, baik dari segi struktur maupun sel-sel pembentuknya, sebab organ ini memiliki dua serambi, dua bilik, dan dua lubang, organ inilah yang menjadi pusat semua perasaan dan emosi, serta menjadi pusat semua urat dan pembuluh darah. Tidak seperti organ tubuh lainnya, organ ini dapat bergerak secara mandiri, sehingga membuatnya sebagai organ yang sangat dinamis, karena ia bergerak seperti sebuah penggerak mekanis yang kinerjanya sangat mirip dengan pompa yang dapat menyembur dan menghisap.
Kedua, menurut pengertian yang kedua, ‘al-qalb’ mirip dengan pengertian pertama, tapi pengertian kedua ini menunjukkan ‘hati’ sebagai organ maknawi dan spiritual. Hati menjadi pusat dari segala perasaan, kesadaran, pemahaman, akal, dan daya kehendak. Hati merupakan sebuah lathifah (perasaan atau titik halus batin) ruhaniah yang oleh para sufi disebut dengan istilah ‘Hakikat Kemanusiaan’ (al-Haqîqah al-Insâniyyah), sementara para filsuf menyebutnya ‘Jiwa Nalar’ (an-Nafs an-Nâthiqah). Hati inilah yang merupakan hakikat manusia. Dengan dimensi maknawiah inilah manusia dapat disebut dengan predikat-predikat seperti ‘yang berilmu’, ‘yang memahami’, dan ‘yang arif’. Ruh menjadi dasar dan inti bagi lathifah ini, sementara ruh biologis adalah bagaikan bahtera baginya.
Lathifah inilah yang menjadi objek firman Allah dan tuntutan atas tanggung jawab. Lathifah inilah yang akan menerima hukuman dan pahala. Lathifah inilah yang akan naik tinggi dengan hidayah, dan akan terpuruk dengan kesesatan. Lathifah inilah yang akan menjadi mulia atau menjadi hina. Lathifah inilah yang menjadi ‘cermin berkilau’ bagi makrifat Ilahiah.
Hati memiliki keistimewaan sebagai subjek persepsi (al-mudrik) dan sekaligus objek persepsi (al-mudrak). Dengan menggunakan hati, manusia dapat masuk ke dalam ruh, tubuh, dan akalnya. Hati adalah laksana mata bagi ruh, sementara al-bashîrah (mata batin) adalah penglihatannya terhadap dunianya, akal adalah nyawanya, dan kehendak adalah penggerak dinamis-internal-nya.
Ketika kita menyebut ‘hati kecil’ (al-fuâd) dengan pengertian umum, yaitu sebagai ‘hati kedua’, tanpa memedulikan perbedaan antara keduanya, ungkapan yang dipakai, dan kebiasaan penggunaan dua kata ini sebagai metafora, maka lathifah spiritual ini sebenarnya memiliki hubungan yang sangat erat dengan hati-biologis. Adapun berkenaan dengan masalah bagaimana sebenarnya hubungan antara hati-biologis (jantung) dengan hati-spiritual (hati), maka para filsuf dan kalangan ahli hikmah Islam telah banyak membahasnya sejak lama.
Adalah sama saja apakah hubungan antara keduanya merupakan hubungan langsung, tidak langsung, berhubungan dengan dinamika hati, ataukah berhubungan dengan kemampuannya, namun yang pasti adalah bahwa: antara organ yang ada di dalam dada kita, yang disebut hati-fisik (jantung) yang merupakan bongkahan daging yang bentuknya mirip buah shanaubar, dengan lathifah Rabbaniyah yang menjadi simbol kemanusiaan manusia dan sumber kehidupan bagi semua perasaan manusia, tidak diragukan lagi, memang merupakan dua sisi manifestasi dari satu esensi yang sama, karena antara keduanya saling mengisi dan saling mempengaruhi. Namun sayangnya, hubungan dan keterkaitan antara keduanya masih diliputi kabut dan ketidakjelasan sebagaimana halnya berbagai entitas lain seperti hati, ruh, akal, dan persepsi.
‘Hati’ dalam pengertiannya yang kedua inilah yang lebih sering muncul ketika kata ‘hati’ (al-qalb) disebutkan pada ayat-ayat Al Qur`an, ilmu-ilmu agama, akhlak, adab, dan tasawuf. Sebagaimana halnya pengertian ini juga muncul dalam penjelasan tentang tujuan hati yang hakiki yaitu iman, makrifat kepada Allah, mahabbah kepada Allah, dan cita-rasa ruhaniah (adz-dzauq ar-rûhâniy).
Hati adalah sebuah entitas nurani yang menakjubkan dan memiliki dua sisi berbeda; yang pertama selalu memandang ke Alam Arwah (‘Âlam al-Arwâh), sementara yang kedua selalu memandang Alam Fisik (‘Âlam al-Ajsâm). Jika tubuh tunduk pada perintah ruh yang tercakup dalam perintah-perintah syariat tauhid, maka hati mengalirkan limpahan anugerah yang ia dapat dari Alam Arwah kepada tubuh dan jasad, sehingga memberi embusan angin ketenangan dan ketenteraman.
Hati adalah objek pandangan Allah subhânahu wa ta’âla, sebagaimana yang dinyatakan oleh para ulama masa lalu. Maksudnya adalah bahwa Allah subhânahu wa ta’âla selalu memandang hati manusia dan Dia melakukan interaksi dengan seseorang sesuai dengan kondisi hati orang tersebut. Demikianlah yang dinyatakan dalam sebuah hadis, “…akan tetapi Dia melihat ke hati kalian”.
Hal seperti itu dapat terjadi karena hati bagaikan sebuah benteng kokoh bagi banyak keistimewaan kehidupan manusia seperti akal, pengetahuan, ilmu, niat, iman, hikmah, dan kedekatan kepada Allah. Jika hati hidup dan tegak, maka segenap perasaan juga hidup. Tapi kalau ia hancur disebabkan perusak tertentu, maka kesinambungan hidup lathifah kemanusiaan ini akan menjadi sulit. Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam telah menarik perhatian kita kepada posisi penting al-qalb (jantung) bagi tubuh manusia. Beliau bersabda, “Ketahuilah bahwa sesungguhnya di dalam tubuh terdapat segumpal daging, yang jika ia baik maka seluruh tubuh menjadi baik; dan jika ia rusak, maka seluruh tubuh menjadi rusak. Ketahuilah bahwa itu adalah al-qalb (hati atau jantung).
Bagian terpenting dari hadis ini adalah kedudukan hati sebagai penuntun menuju al-Haqq Allah subhanahu wa ta’âla karena hati memiliki dua titik istinâd dan istimdâd, yaitu yang selalu mengalirkan ke dalam hati manusia berbagai hal yang dapat membuatnya menjadi berpengetahuan serta menjelaskan isi “kitab” alam semesta secara terperinci, dengan bahasa kebutuhan dan pengabulan kebutuhan itu, hingga ia menarik perhatian kepada dimensi ilahiah yang dimiliki hati dengan kata-kata indah yang diriwayatkan sebagai sebuah hadis.
Ibrahim Hakki menulis sebuah syair sebagai berikut, Al-Haqq berfirman, “Langit dan bumi tidak cukup bagi-Ku” Dia yang dikenal sebagai ‘khazanah tersembunyi’ ada di dalam hati
Karena hati memiliki lidah yang sangat fasih, yang dapat menjelaskan dan jujur tanpa pernah sekali pun berdusta, maka ia dianggap sebagai raja dalam kerajaan manusia. Bahkan hati dipandang lebih mulia daripada Ka’bah, karena ia menjadi satu-satunya juru bicara yang mampu menjelaskan hakikat Ilahiah yang luhur yang terkandung dalam alam semesta.
Hati adalah laksana benteng yang kokoh menjaga kesehatan dan kelurusan pikiran, kesehatan dan kejelasan visi, serta menjaga kesehatan dan kejernihan ruhani. Bahkan ia juga menjaga kesehatan dan kebugaran badan. Segala aspek material dan spiritual yang dimiliki manusia selalu berlindung di dalam benteng kokoh ini. Itulah sebabnya, hati yang memiliki fungsi seperti ini harus memiliki pos pengawas, ruang karantina kesehatan, dan tempat perawatan. Semua itu harus ada karena hati merupakan sebuah lathifah (entitas lembut) yang sangat sulit disembuhkan jika terluka, meski yang jauh lebih sulit adalah menghidupkannya jika ia sudah mati. Itulah sebabnya Al Qur`an berpesan kepada kita dengan sebuah do’a, ‘Wahai Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami,’ (QS-Ali Imran [3]: 8). Dan Rasulullah SAW mengingatkan kita tentang ‘karantina kesehatan’ dan ‘tempat perlindungan’ ini dengan cara berdo’a terusmenerus di pagi dan petang seraya memohon kepada Allah Ta’âla, “Wahai sang Pembolak-balik hati, teguhkanlah hatiku pada agama-Mu”
Ya, hati melakukan tugas sebagai jembatan penting untuk mengantarkan semua kebaikan dan berkah kepada manusia, sebagaimana ia juga dapat menjadi penghubung berbahaya yang membuka jalan bagi masuknya berbagai bentuk godaan syaitan dan bisikan nafsu. Setiap kali hati dapat diarahkan menuju al-Haqq, maka ia akan menjadi lentera terang yang menerangi seluruh bagian tubuh sampai ke pelosok sudut-sudutnya. Tetapi ketika hati diarahkan menuju materialisme, maka ia akan menjadi sasaran empuk bagi anak panah syaitan yang beracun.
Hati adalah kampung halaman bagi ruh keimanan, ibadah, dan ihsan, serta selalu menjadi tempat tinggal bagi semua itu. Meski hati laksana sungai yang di dalamnya mengalir berbagai bentuk perasaan yang halus dan lembut antara Allah, alam semesta, dan manusia. Tetapi lathifah langka ini memiliki musuh yang tak terhitung jumlahnya dan selalu berusaha mengubah arah aliran sungai ini.
Dari kekerasan hati sampai kekufuran, dari ‘ujub sampai kesombongan, dari sifat panjang angan-angan sampai ketamakan, dari syahwat sampai kealpaan, dan dari oportunisme sampai kehancuran akibat kedudukan, semua itu adalah musuh yang berlapis-lapis dan siap menghancurkan benteng hati melalui titik lemah atau dengan cara menyusup ke dalamnya.
Baca kelanjutan artikel ini di Hati (Qalbu) – 2
Ditulis oleh : M. Fethullah Gulen
Diterbitkan pada Majalah Mata Air Vol. 3 No. 10
Discussion about this post