Dalam sejarah kehidupan manusia, permasalahan antarnegara pada awalnya akan diselesaikan melalui jalan diplomatik, namun ketika jalan ini sudah buntu maka perang menjadi sesuatu yang tak terelakkan lagi. Pihak yang tak ragu mempersenjatai tentaranya dengan senjata-senjata paling modern dan mengerahkan mereka maju ke medan perang dengan menghalalkan segala cara untuk mencapai kemenangan, seringkali melakukan tindakan-tindakan yang tidak dapat ditolerir sehingga ketika perang sudah tak terbendung, adanya suatu hukum dan aturan kemanusiaan dirasa perlu untuk dipatuhi.
Walaupun saat ini kaidah-kaidah hukum perang yang ada menjadi harapan bagi berbagai negara dan institusi untuk dapat mencegah direnggutnya kemanusiaan dengan cara yang biadab, namun ternyata masih saja terjadi konflik-konflik yang makin memanas di berbagai penjuru dunia ini. Dilihat dari sisi ini hukum Islam adalah khazanah yang sarat hikmah untuk mencegah terjadinya perang atau jikalau pun terjadi perang dapat menjadi kaidah-kaidah yang harus diterapkan selama perang berlangsung.
Tujuan Utama Dalam Islam adalah Perdamaian
Satu dari tujuan dasar dari hukum Islam adalah menegakkan perdamaian di bumi. Menurut hukum Islam, perang hanya diperbolehkan jika terdapat suatu kondisi yang mengancam kehidupan individu dan masyarakat secara umum dan selama masih mengikuti asas-asas yang mengatur tentang hal ini. Perang bukanlah sebuah tujuan, ia hanyalah sebuah alat yang hanya boleh digunakan saat kondisi sudah sangat mendesak. Dengan kata lain, dalam hukum Islam yang ditekankan adalah perang sebagai alat untuk bertahan. Dalam hal ini kata bertahan diartikan untuk melindungi harta saja. Tidak diperkenankan untuk berlebihan atau melampaui batasan yang telah ditentukan. Dalam Al-Quran Al-Karim, Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: “Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al Baqarah(2):190)
Dalam Islam, jika jalur diplomatik sudah mengalami kebuntuan, maka perang dianggap sebagai jalan yang tidak dapat dihindari lagi. Akan tetapi, hal ini tidak boleh menjadi tujuan yang diinginkan. Tujuan utamanya haruslah hanya untuk mencari Ridha Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Selama sepuluh tahun Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam tinggal di Mekah, Beliau mengalami lebih dari dua puluh perang. Jika dirata-rata, dalam satu tahun terjadi dua perang. Ketika beliau wafat, seluruh semenanjung Arab telah menjadi muslim. Pada perang-perang ini, 250 orang dari pihak musuh gugur dan sekitar 150 orang syahid dari pihak muslim. Kenyataan ini menunjukkan bahwa Beliau Shalallahu alaihi wa sallam tidak berperang untuk menghancurkan kemanusiaan.
Penggunaan Kekuatan, Adalah Wewenang Negara
Jika kita tengok pengaplikasian hukum ini dalam sejarah Islam, terlihat bahwa keputusan untuk berperang hanya boleh diambil oleh negara. Jadi tidak ada istilahnya seorang individu atau kelompok tertentu mengancam pemerintahan untuk kemudian mengumumkan perang begitu saja tanpa mengindahkan hukum yang ada dan menggunakan kekuatan negara untuk itu. Abu Yusuf mengatakan bahwa bahkan pasukan yang akan maju ke medan perang sekalipun tidak bisa mengambil keputusan untuk berperang. Pendapat ini juga disetujui oleh Maverdî yang bahkan menurut Sarakhsi dalam karyanya yang berjudul Syaybani dikatakan bahwa: “selama pemerintah tidak mengeluarkan keputusan perang maka sebuah negara Islam tidak bisa berperang sekalipun ada pergerakan yang mengancam dari suatu negara lain.” Sehingga jika ada kelompok atau organisasi yang membuat kerusakan dan kekerasan baik di dalam negerinya sendiri maupun di negeri lain dengan mengatasnamakan agama merupakan tindakan yang jelas tidak sesuai dengan norma agama itu sendiri.
Kaidah Hukum Perang Dalam Islam dan Penerapannya
Ketika seorang muslim dihadapkan pada suatu keadaan yang mengharuskannya untuk berperang, tetap saja ia tidak boleh merenggut kehormatan dan martabat kemanusiaan. Hal ini karena dalam Islam, meskipun dalam perang sekalipun, aturan-aturan agama harus tetap ditegakkan. Tidak seperti pada peperangan di dunia modern pada masa sekarang ini, dimana hal-hal terkait “perlindungan terhadap warga sipil dan lingkungan” masih menjadi masalah besar, peperangan di zaman Rasululullah shalallahu alaihi wa sallam mencontohkan bentuk perlindungan ini dengan sangat baik.
Di tiap peperangannya, dalam jangka waktu tertentu Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam menjamin keselamatan kaum wanita, anak-anak, lansia, orang-orang yang mengabdikan dirinya untuk agama, para pekerja, dan pembantu, selama mereka tidak ikut serta dalam peperangan tersebut. Setiap kali Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam melepas keberangkatan pasukan ke medan perang, beliau selalu berpesan, “Berangkatlah kalian dengan nama Allah. Berperanglah kalian untuk agama Allah dan demi Allah serta janganlah kalian membunuh orang-orang tua!” Kemudian Beliau akan melanjutkan pesannya, “jangan pula kalian bunuh para pendeta/biarawan.” Pesan ini menunjukkan bahwa Beliau melarang umat muslim untuk membunuh para ahli ibadah agama lain selama mereka tidak menyerang. Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam juga berpesan terkait para pekerja dan pembantu rumah tangga, bahwa mereka adalah golongan lemah sehingga hanya karena mereka bersama dengan pihak musuh, bukan berarti mereka boleh dibunuh.
Selain melarang pasukan perang untuk membunuh warga sipil, Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam juga menghilangkan adat jahiliyah yang suka “menyiksa” jasad orang-orang yang sudah terbunuh. Kaum musyrik memiliki adat yang keji untuk melampiaskan dendamnya kepada musuh mereka meskipun musuhnya itu telah wafat terbunuh. Ketika mendapati jenazah Hamzah ra., paman dari Baginda Rasul shalallahu alaihi wa sallam yang sangat beliau kasihi dalam keadaan tercabik, di Perang Uhud, Beliau diliputi kesedihan yang amat dalam hingga berkata, “Jika Allah memberikanku kemenangan, aku akan membalas apa yang telah dilakukan pada Hamzah ini dengan memperlakukan hal yang sama kepada tigapuluh musyrik.” Kemudian Allah berfirman melalui Al Qur’an surat An Nahl, “Dan jika kamu membalas, maka balaslah dengan (balasan) yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang yang sabar.” (Q.S. An Nahl(16):126). Mendapati ayat ini, Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam pun membatalkan sumpahnya lalu menebus kafaratnya.
Tidak Merusak Lingkungan
Mengganggu suaka-suaka perlindungan, membakar pepohonan, mengganggu hewan, merusak lahan dan tanah subur, membuang sia-sia kekayaan alam yang ada di permukaan maupun di dalam bumi adalah beberapa larangan yang tidak boleh dilakukan saat berperang. Sesaat sebelum wafat, Baginda Nabi shalallahu alaihi wa sallam berpesan kepada komandan pasukannya yaitu Usamah bin Zaid (ra.), “Lawanlah mereka yang ingkar dengan serangan. Janganlah kalian mengingkari perjanjian yang sudah kalian buat. Jangan pula kalian memotong pohon yang menghasilkan buah dan jangan musnahkan kawanan hewan.” Sementara pemotongan pepohonan pada beberapa pengepungan –seperti pada operasi militer yang dilakukan pada Bani Nadir- adalah pengecualian, seperti yang terdapat pada Al Qur’an yang artinya, “Apa yang kamu tebang di antara pohon kurma (milik orang-orang kafir) atau yang kamu biarkan (tumbuh) berdiri di atas pokoknya, maka (itu) terjadi dengan izin Allah; dan karena Dia hendak memberikan kehinaan kepada orang-orang fasik.” (Q.S. Al Hasyr(59):5). Selain pada kondisi-kondisi pengecualian tersebut, Rasulullah melarang tegas perusakan pohon dan apa yang dihasilkan-nya.
Muamalah dengan Hamba Sahaya
Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam, telah mencontohkan pentingnya kasih sayang kepada hamba sahaya dan tawanan perang. Aturan hukum yang mengatur mengenai muamalah dengan hamba sahaya dilakukan setelah Perang Badar berlangsung. Tak lama setelah perang berakhir, turunlah ayat “… Selanjutnya apabila kamu telah mengalahkan mereka, tawanlah mereka dan setelah itu kamu boleh membebaskan mereka atau menerima tebusan sampai perang selesai. Demikianlah, dan sekiranya Allah menghendaki, niscaya Dia membinasakan mereka, tetapi Dia hendak menguji kamu satu sama lain. Dan orang-orang yang gugur di jalan Allah, Allah tidak menyia-nyiakan amal mereka.” (Q.S. Muhammad(47):7) yang menjadi hukum perang yang memudahkan penyelesaian perkara ini.
Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam, berlaku lemah lembut terhadap para hamba sahaya yang menjadi tawanan perang setelah Perang Badar berakhir. Ketika para budak tawanan itu dibawa ke hadapan Beliau dalam keadaan dirantai, “Mari Kita ampuni mereka,” sabda Rasul, dan Beliau pun membebaskan mereka semua dengan kasih sayangnya. Beliau melarang para tawanan itu untuk dibunuh, bahkan agar mereka mendapatkan perlindungan lebih baik, mereka diikutkan ke dalam pasukan militer dan memerintahkan untuk melindungi para tawanan tersebut. Berdasarkan ayat: “Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan,” (QS. Al Insan (76):8), bagaikan menerima sebuah perintah, para sahabat memberikan roti mereka kepada para tawanan, sedangkan mereka hanya mengisi perutnya dengan kurma. Sebagai keringanan, Baginda Rasul memberi kesempatan bagi tawanan untuk dapat bebas dengan syarat membayar fidyah dan mengajarkan baca-tulis kepada sepuluh orang Madinah yang menjadi tawanan. Pada masa sesudahnya para hamba sahaya itu tidak lagi menghuni kamp-kamp konsentrasi, melainkan berada di dalam kehidupan sosial, misalnya, mereka disambut dengan jamuan dan kebutuhan-kebutuhan mereka akan sandang maupun pangan dipenuhi di rumah orang-orang muslim. Bahkan wasiat mereka pun dipenuhi.
Islam yang mengandung arti keamanan, keselamatan, kedamaian, telah mengatur bahwa mula-mula perdamaian harus dilindungi, barulah jika perang sudah tak bisa lagi dihindari maka Islam pun sudah mengatur bagaimana harus menyikapinya termasuk menjelaskan dengan rinci akan segala sesuatu yang dilarang untuk dilakukan dalam perang. Aturan-aturan yang dibentuk melalui pengamalan langsung oleh Nabiyullah shalallahu alaihi wa sallam ini telah memberikan sumbangsihnya di kala terjadi perang antar-bangsa.
Sumber:
- İsmail Kıllıoğlu, “Savaş ve Hukuk”, İlim ve Sanat, Juli-Agustus 1986, Edisi 8, Volume 2, halaman 32.
- Davut Aydüz, “İslâm’da Savaş Hukuku Prensipleri”, Yeni Ümit, Juli-Agustus-September 2012.
- M. Fethullah GÜLEN, Sonsuz Nur, İstanbul 1994.
Ditulis oleh Habip Balci
Diterbitkan majalah Sızıntı edisi 431
Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia pada Majalah Mata Air Vol. 3 No. 11
Discussion about this post