Artikel ini merupakan lanjutan dari artikel Hati (Qalbu) – 1
Iman adalah ruh dan kehidupan bagi hati. Ibadah adalah darah yang mengaliri urat-uratnya. Sementara tafakur, muraqabah, dan muhasabah adalah dasar bagi keberlangsungan keberadaannya. Hati yang ada di dalam diri seseorang yang tidak beriman adalah hati yang mati, karena semua pintu menuju kegaiban tertutup baginya. Sebagaimana halnya yang terjadi pada orang-orang yang tidak mau menunaikan ibadah. Padahal itu akan menyeret pelakunya kearah kematian disebabkan penyakit yang tidak dapat diharapkan kesembuhannya. Adapun pada seseorang yang miskin dari tafakur, muhasabah, dan muraqabah, maka hatinya akan rentan terserang oleh berbagai bentuk bahaya, sehingga keamanannya tidak dapat terjamin.
Orang-orang yang termasuk kelompok pertama, sebenarnya tidak memiliki hati, meski di dalam dada mereka terdapat otot-otot yang bertugas mengisap dan memompa. Orang-orang yang termasuk kelompok kedua, mereka hidup dalam dunia kebingungan mereka yang berkabut di antara ada dan tiada. Mereka adalah para tawanan jarak [1] yang tidak mampu mereka lampaui sehingga mereka tidak pernah sampai di tujuan. Adapun orang-orang yang termasuk kelompok ketiga, mereka telah menempuh jarak yang jauh dan melewati berbagai rintangan, akan tetapi karena mereka tidak mampu mencapai puncak, maka di setiap saat mereka selalu dianggap berada di tepi jurang. Mereka terkadang berjalan, tapi terkadang terjatuh. Mereka melewati perlombaan yang mereka jalani terkadang sebagai pemenang, tapi terkadang sebagai pecundang. Demikianlah mereka menghabiskan umur mereka untuk mendaki bukit yang tidak akan pernah dapat mereka capai.
Adapun orang-orang yang beriman, dan mereka hidup dengan keimanan mereka, yaitu mereka yang mendirikan “kemah-kemah” mereka di dataran ihsan, mereka selalu berada di puncak keamanan di dalam kawasan sebab-musabab kehidupan. Mereka selalu dalam perlindungan dan ketenangan disebabkan adanya perlindungan Ilahi. Mereka menatap entitas menggunakan mata batin, dan mereka melihat segala yang ada di balik entitas dengan cahaya Allah. Mereka selalu berhati-hati, karena mereka hidup dengan hati yang selalu bergetar seperti hati merpati yang selalu mencari keridhaan Allah subhânahu wa ta’âla di setiap tempat. Mereka mengatur semua perbuatan mereka agar sesuai dengan keridhaan-Nya. Mereka melewati pagi dalam cinta kepada Allah dan melewati petang juga dengan cinta kepada Allah. Allah pun mencintai mereka dan Dia juga membuat semua hati yang beriman ikut mencintai mereka. Demikianlah mereka menjadi sosok yang “diterima oleh manusia dan jin”, dan selalu disambut dengan kehangatan dan keridhaan di mana pun juga.
Sayyidina Yusuf ‘alaihi salam “ash-Shiddiq”, yang nama baiknya disebut-sebut dalam surah Yusuf yang mulia, di dalam surah ini namanya lima kali disebut dengan sifat “al-muhsinûn“. Ini berarti bahwa semunya; baik bumi maupun langit, baik kawan maupun lawan, bahkan baik sang Khaliq maupun makhluq, semuanya bersaksi atas keyakinan, muhasabah, dan muraqabah yang dimiliki Nabi Yusuf ‘alaihi salam.
Allah subhanahu wa ta’ala menarik perhatian kita dengan menunjukkan kepekaan yang dimiliki Yusuf terhadap nilai-nilai ihsan, termasuk ketika nabi agung ini masih berusia muda laksana kumtum bunga yang belum merekah. Allah subhânahu wa ta’âla berfirman, “Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik,” (QS Yusuf [12]: 22).
Ketika para narapidana yang terdiri dari orang-orang beruntung dan orang-orang malang itu, merasakan kedalaman, kecermatan, kejernihan, dan unsur anugerah laduniyah yang ada dalam cakrawala pemikiran Yusuf ‘alaihi salâm, mereka pun menjadikan nabiyullah ini sebagai rujukan dalam masalah yang mereka hadapi. Mereka selalu mencurahkan keluhan kepadanya sembari mempercayai, beriman, dan bahkan bergantung kepada Yusuf. Mereka berkata, “…Berikanlah kepada kami takwilnya; sesungguhnya kami memandang kamu termasuk orang-orang yang pandai (menakwilkan mimpi),” (QS Yusuf [12]: 36).
Demikianlah para narapidana itu lalu menyampaikan masalah mereka kepada Yusuf ‘alaihi salâm; sosok pemuda yang benar-benar baik. Pemuda yang telah berhasil melewati berbagai cobaan dengan baik. Ia sangat dicintai oleh siapapun, baik kawan maupun lawan, tapi keadaannya tidak pernah berubah ketika menghadapi fitnah dunia. Allah pun memujinya sekali lagi dengan firman-Nya, “Kami melimpahkan rahmat Kami kepada siapa yang Kami kehendaki dan Kami tidak menyianyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik,” (QS Yusuf [12]: 56). Lewat ayat ini Allah ingin mengingatkan adanya pengayoman Ilahi terhadap Yusuf ‘alaihi salâm.
Sementara itu, saudara-saudara Yusuf ‘alaihi salâm yang sampai saat itu selalu benci terhadapnya, ternyata juga tidak sanggup untuk menanggalkan kedengkian mereka terhadap Yusuf ‘alaihi salâm sampai akhirnya mereka berkata, “…sesungguhnya kami melihat kamu termasuk orang-orang yang berbuat baik,” (QS Yusuf [12]: 78). Ayat ini menunjukkan pengakuan dari saudara-saudara Yusuf atas kebenaran Yusuf sembari meminta maaf kepadanya.
Demikianlah Yusuf mencapai kedewasaan dengan ketenangan di dalam dirinya. Yusuf lalu bersaksi atas dirinya sendiri dengan menyatakan nikmat dan anugerah yang telah Allah limpahkan kepadanya, di antaranya dalam bentuk kelembutan Ilahiah yang ia rasakan. Di antara sekian banyak kesaksian atas kemuliaan Yusuf, nabiyullah ini berkata, “Sesungguhnya siapa saja yang bertakwa dan bersabar, maka sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik,” (QS Yusuf [12]: 90).
Hati Yusuf yang disaksikan oleh semua kalangan dengan kesaksian yang baik, sama sekali tidak memiliki kecenderungan untuk menyimpang dari kebenaran disebabkan munculnya berbagai dinamika dalam kehidupan atas ketetapan takdir Allah subhânahu wa ta’âla, sebagaimana hati itu juga tidak memiliki kecenderungan untuk melanggar hal-hal yang diharamkan oleh-Nya. Bagi manusia, hati adalah laksana singgasana di atas seluruh semesta. Hati adalah cermin cemerlang yang selalu berada di bawah pengawasan Allah di setiap saat sehingga ia tidak dapat diabaikan seperti anggota tubuh lainnya. Bahkan hati adalah nyawa bagi hakikat kemanusiaan dan menjadi objek pujian serta pandangan Allah subhânahu wa ta’âla. Jalaluddin Rumi mengingatkan fakta ini dalam syairnya,
“Allah subhânahu wa ta’âla berfirman, “Pandangan Kami ke arah hati, bukan kepada penampilan yang terdiri dari air dan tanah.” Adapun jika kau berkata bahwa kau memiliki hati, maka ketahuilah bahwa hati kecil ada di ketinggian singgasana dan bukan di tempat rendah. Wahai Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkaulah Maha Pemberi (karunia).Wahai Allah, wahai Zat membolak-balikkan hati, tetapkanlah hati kami atas agama-Mu. Limpahkanlah selawat dan salam kepada Sayyidina Muhammad yang dicintai semua hati, dan kepada segenap keluarga serta sahabat beliau.”
[1] Maksudnya bahwa jarak antara klaim seperti ini dengan keberadaan hati memang benar-benar menjadi jarak antara keterpurukan ke tanah dan kenaikan ke singgasana.
Ditulis oleh M. Fethullah Gulen
Diterbitkan pada Majalah Mata Air Vol. 3 No. 11
Discussion about this post