Maulana Jalaludin Rumi, yang hidup pada abad ke 13, hingga saat ini masih dikenal sebagai salah satu penyair muslim paling berpengaruh dalam sejarah1. Rumi terutama dikenal karena puisi-puisinya yang menyebarkan pesan cinta, keanekaragaman, dan transendensi-diri. Beberapa dari maha karyanya adalah Matsnawi, Diwan-i Kabir, dan Fihi Ma Fihi. Diwan-i Kabir, yang disebut juga Diwan-i shams, sebagian besarnya ditulis dalam Bahasa Persia dan dianggap sebagai salah satu karya sastra Persia yang paling menakjubkan. Diwan-i Kabir juga berisi puisi-puisi Arab dan campuran Yunani-Persia.
Pada artikel ini, kita akan membahas sisi tentang Rumi yang masih belum banyak diketahui. Secara khusus, kami ingin menunjukan bahwa dalam puisinya, ternyata Rumi (disadari atau tidak) telah mengarah kepada sebuah observasi astronomi yang disebut “lensa gravitasi”. Kami serahkan kepada pembaca untuk memutuskan apakah ini adalah murni ketidaksengajaan atau sebuah pesan tersirat yang ingin disampaikan Sang Penyair.
Mari kita mulai dengan memahami puisi berikut ini yang menggambarkan kesatuan dan cinta terhadap kemanusiaan1. Puisi ini berasal dari kumpulan puisi Diwan-i Kabir. Coba perhatikan kalimat yang digarisbawahi di bawah ini. Untuk tetap menjaga konteks puisinya dan lebih memahami cara menafsirkan kalimat ini serta hubungannya dengan lensa gravitasi, kami sertakan sebagian besar bagian puisinya.
Datang, datang, mendekatlah.
Sampai kapan kerusuhan ini akan terus berlangsung?
Karena kau adalah aku, dan aku adalah kamu. Apalah arti dari
“kita” dan “mereka”?
Kita adalah cahaya suci Tuhan; kita adalah cermin Tuhan.
…
Tapi mengapa kita memicingkan mata?
Meskipun kita berbagi tubuh yang sama,
Mengapa yang kaya memandang rendah yang miskin?
…
Tetapi kita telah melihat satu sebagai dua
Karena lengkungan dari surga
Mari, bebaskan dirimu dari keegoisan ini
Dan berdamai dengan semua orang serta berperilaku baik terhadap sesama.
Selama kau masih ada dalam dirimu, kau hanyalah sebulir gandum, setitik partikel
Tetapi saat kau berbaur dan bersatu dengan yang lain,
maka kau akan menjadi lautan, menjadi sebuah tambang.
Tiap insan memikul nyawa yang sama
Tetapi jasadnya ada dalam ratusan ribu
Sebagaimana, tak terhingganya jumlah butir almond di dunia ini
Tapi pada setiapnya ada kandungan minyak yang sama
Ada banyak bahasa dan dialek di dunia ini
Tetapi makna semuanya adalah sama
Air yang berada di tempat yang berbeda
kan bersatu pabila wadahnya rusak
dan mulai mengarungi satu aliran.
Rumi membuat beberapa metafora pada puisi di atas. Misalnya, ia membandingkan esensi semua manusia pada cermin individu yang menyuguhkan satu kebenaran yaitu, refleksi dari sifat-sifat Tuhan dalam diri mereka. Kenyataan ini membuat cita-cita kita satu dan sama. Kita semua diciptakan dengan satu gagasan, satu pikiran, yaitu untuk menunjukkan manifestasi dari nama-nama dan sifat-sifat-Nya di muka Bumi. Maka dari itu, Rumi mengatakan bahwa kita harus berperan seperti satu anggota tubuh yang sama dan tidak memandang rendah pada yang miskin. Kita harus melepaskan segala keegoisan dan bersatu dalam tujuan yang sama, agar semua orang akan mampu meraih pada satu makna yang lebih besar. Alasan mengapa kita memandang satu arti sebagai dua atau lebih terletak dalam Kebijaksanaan Ilahi dan cerminan kebijaksanaanNya dalam rincian halus ciptaan-Nya, seperti “Lengkungan Surga”. Terlepas dari lengkungan-lengkungan ini, segala sesuatu seperti: tubuh yang berbeda-beda, kacang almond yang tak terhingga, dan banyaknya bahasa dan dialek sesungguhnya memiliki satu asal.
Salah satu nasihat bijak dibalik hikmah adanya perbedaan dalam penciptaan digambarkan dalam Al-Quran, surah Al-Hujuraat ayat 13: “Wahai manusia! Sesungguhnya Kami telah menciptakan kalian dalam keadaan sama, dari satu asal: Adam dan Hawa. Lalu kalian Kami jadikan dengan keturunan, berbangsa-bangsa, dan bersuku-suku, supaya kalian saling mengenal dan saling menolong. Sesungguhnya orang yang paling mulia derajatnya disisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa diantara kalian. Allah sungguh Maha Mengetahui segala sesuatu dan Maha Mengenal, yang tiada suatu rahasiapun tersembunyi bagi-Nya.
Apabila hanya ada satu suku dengan anggotaanggota masyarakat, kemampuan, dan pekerjaannya yang serupa, maka motivasi manusia untuk mengenal satu sama lain akan terbatas. Hal ini akan memperlambat pertumbuhan manusia di Bumi secara signifikan. Bayangkan sebuah dunia dengan satu keluarga besar yang memiliki jutaan anggota keluarga dan tak ada keluarga lain untuk disaingi, keadaan ini akan seperti suku primitif Amazon. Lalu, bayangkanlah dunia dengan jutaan keluarga berbeda yang masing-masing memiliki 10 anggota keluarga sebagai dunia modern multinasional. Pada perumpamaan kedua ini, masyarakatnya yang memiliki kesamaan akan cenderung termotivasi untuk mengenal satu sama lain, membangun keselarasan dan hubungan yang kooperatif, untuk bersaing dan berkembang. Sehingga, akan lebih mudah menjadi manifestasi cerminan sifat-sifat Tuhan di dunia melalui ketakwaan, amal baik dan pengagungan pada-Nya.
“Lengkungan” dalam ilmu astronomi
Setelah membahas puisi diatas, sekarang mari kita beralih ke topik astronomi. Secara khusus, kita akan mencari tahu hubungan antara “Lengkungan-lengkungan Surga” dengan astronomi. Pada puisi aslinya, frasa ini ditandai dengan5 kata pertama, “felek” yang dapat diterjemahkan menjadi “surga” dan kata kedua, “munhany”, dari Bahasa Arab yang dapat diterjemahkan menjadi “kurva” atau “lengkungan.” Dalam istilahnya seorang tua bertubuh bungkuk juga bisa disebut “munhany.” Meskipun ini adalah kata Bahasa Arab, namun kata ini juga digunakan dalam Bahasa Persia.
Pada ilmu astronomi, setiap galaksi (atau massa lainnya) membiaskan cahaya, setidaknya sampai batas tertentu, yang datang dari sumber cahaya yang jauh dalam angkasa seperti ledakan supernova atau galaksi lainnya. Karena pembiasan cahaya inilah, jika para astronom cukup beruntung karena berada di posisi yang memudahkan mereka melihat galaksi yang sedang membiaskan cahaya di angkasa, maka mereka akan dapat melihat dua, atau bahkan lebih, gambaran galaksi yang sama dengan mengarahkan teleskop mereka ke arah yang berbeda-beda. Inilah yang menjadi hasil dari lensa gravitasional dalam konsep astronomi. Lensa Gravitasional. Cahaya datang dari quasar yang jauh di belakang galaksi besar yang dibiaskan karena adanya gravitasi. Hal ini menghasilkan beberapa gambaran dari Bumi.
Lensa gravitasi memiliki cara kerja yang hampir sama dengan lensa optikal tetapi lensa ini menggunakan gravitasi untuk pembelokkan (atau pembiasan) cahaya dan bukan media padat optikal seperti kaca.
Menurut hukum relativitas umum, cahaya mengikuti lengkungan ruang-waktu yang dibentuk oleh objek yang sangat besar. Karena itu, ketika cahaya berjalan mengelilingi objek yang sangat besar, seperti pada lensa gravitasional tersebut, maka ia akan membengkok.
yang diambil dengan teleskop Hubble, terlihat ada beberapa gambar dari sebuah galaksi8. Kelima lingkaran biru tersebut menunjukan sebuah quasar lensa gravitasional yang unik. Gambar ini adalah gambar pertama satu satunya yang menggambarkan objek seperti itu. Lingkaran-lingkaran merah menandakan tiga gambar yang sangat berbeda dari satu latar belakang galaksi yang sama. Galaksi tersebut berjarak 12 juta tahun (jika dihubungkan hanya 1.8 juta tahun setelah Big Bang). Lingkaran kuning menandakan sebuah supernova yang ditemukan dengan membandingkan gambar ini dengan gambar sebuah gugusan bintang yang didapat dari Hubble sebelumnya. Sangatlah menarik untuk diperhatikan bahwa tidak hanya latar belakang jembatan Golden Gate pada gambar 2 beranalogi dengan latar belakang quasar dan galaksi pada gambar 4, tetapi ternyata keduanya menyerupai manifestasi sifat-sifat Tuhan yang Satu dalam berbagai bentuk seperti yang dijelaskan secara metafora oleh Rumi. Sangat jelas terlihat dari gambar ini bahwa lensa gravitasional bisa mengelabui kita dengan melihat satu sebagai dua atau lebih. Oleh karenanya, frasa “lengkungan surga” yang terdapat dalam puisi ini terasa cukup mencolok. Secara mencengangkan, Rumi mampu membuat sebuah analogi antara kesatuan manusia dan kesatuan tubuh surgawi yang muncul lebih dari satu kali di hadapan para ahli astronomi dikarenakan adanya ilusi gravitasional yang dihasilkan oleh lengkungan surga, atau mungkin oleh ruang dan waktu. Penutup
Kami sangat berterima kasih kepada Zeki Saritopak dan Mustafa Kaya atas kontribusi mereka ketika mendalami edisi asli dari Diwan-i Kabir. Artikel ini dibuat baik sebagian atau seluruhnya di MERGEOUS (mergeous.com), sebuah situs artikel online dan fasilitas perkembangan projek bagi penulis dan penerbit yang mendedikasikan dirinya bagi perkembangan teknologi yang menggabungkan sains dan agama.
Referensi
- Can, Sefik. 2004. Fundamentals of Rumi’s Thought, NJ: 2004.
- Diwan-e Shams-e Tabrizi, http://en.wikipedia.org/wiki/Diwan-e_Shams- -e_Tabrizi
- Al Hujurat 13, Kutub-u Sitte 1.5, Gold Soft, Akcag.
- Unal, Ali. 2012. The Qur’an with Annotated Interpretation in Modern English, NJ: Tughra Books.
- Foruzanfar, Badi’ ul-Zaman (ed.). 1984. Divan-e Kabir, Tehran: Daneshgah-e Tehran, 3rd reprint, vol. 6, pp. 243-44.
- Schultz, Bernard F. 2003. Gravity from the Ground Up, Cambridge University Press.
- Gravitational Lens, http://en.wikipedia.org/wiki/Gravitational_lens
- The European Homepage for the NASA/ESA Hubble Space Telescope,
Discussion about this post