Waktu telah beranjak larut malam. Berbagai pikiran berkecamuk di kepalanya, matanya mulai berkaca-kaca, dan perasaannya begitu sensitif. Saat ia merebahkan kepalanya ke atas bantal, terlintas berbagai peristiwa yang terus menggelayuti pikirannya. Ia teringat lagi pada obrolan pada sebuah kajian yang membahas tentang ‘muhasabah’ beberapa hari yang lalu. Pada kajian itu dibahas tentang hadis yang menyatakan bahwa orang yang paling cerdas adalah orang yang selalu bermuhasabah yaitu yang paling banyak mengingat mati dan paling baik persiapannya menghadapi kehidupan setelah mati.
Pada kajian itu, terjadi juga sebuah obrolan dengan seorang teman yang pekerjaannya merupakan seorang bendahara di kantornya. Ditanyakan padanya oleh yang memberikan materi kajian sebagai kiasan sederhana dari pembahasan itu agar semua yang hadir dapat lebih memahami konsep yang sedang dibahas: “Jika saja kantor tempat anda bekerja memberikan pilihan dan bertanya, untuk pekerjaan pemeriksaan keuangan di kantor mana yang akan lebih baik, apakah anda cukup datang setahun sekali-dua kali saja, sebulan sekali, ataukah lebih baik anda kami gaji penuh dan datang setiap hari agar bisa mengontrol dan memeriksa masalah keuangan setiap harinya?” “Tentu saja, memeriksa keuangan setiap harinya adalah sistem keuangan yang paling sehat”, jawab teman tersebut. “Bahkan ada kelebihan lainnya jika terjadi kesalahan dalam perhitungan maka sebelum bertambah parah dapat segera diperbaiki dalam waktu singkat,” imbuhnya. Kajian kami hari itu terus berlanjut dengan mengambil hikmah dari contoh ini, manusia yang terus bermuhasabah atas semua perbuatannya setiap hari pastinya dianggap manusia yang perbuatannya cerdas.
Kalimat terakhir yang diucapkan temannya hari itu menghiasi pikirannya selama berhari-hari. Ia terus menerus memikirkan kalimat itu sembari bertafakur penuh kekhusyukan dalam muhasabah dirinya ditemani keheningan malam. Seluruh perbuatan yang pernah dilakukannya sejak darah muda mulai mengalir dalam nadinya, kembali hadir di pelupuk mata. Saat mengingat kembali semua kesalahan yang pernah dilakukannya, betapa pedih rasa penyesalan yang dirasakannya, seandainya dahulu godaan nafsu dapat ditahannya sekarang ia tak mungkin merasakan perih yang amat dalam seperti ini. “Betapa bahagianya jika saja kesadaran ini kumiliki sejak dulu. Pastilah lebih sedikit kesalahan yang kulakukan, waktu akan kuhabiskan untuk hal-hal yang lebih baik dan mungkin aku bisa menjadi hamba yang lebih baik”, pikirnya.
Perasaan dan pikirannya berkecamuk satu sama lain. Tiba-tiba terselip pikiran: “Syukurlah aku masih hidup, nafasku masih terasa hangat. Kalau begitu pintu taubat masih terbuka lebar.” Lalu, teringat ia pada apa yang pernah dibacanya, bahwa saat kita mengingat semua dosa yang dilakukan, lalu di sisi lain merasa menyesal atasnya maka ini adalah tanda bahwa masih ada iman di hati orang tersebut. Perasaan ini membuatnya sedikit lega tapi waktu terus berputar dan sebagian malam telah mulai beranjak pergi. Lalu teringatlah ia akan anak-anaknya yang sedang terlelap tidur di pembaringan. Kehidupannya yang bahagia bersama keluarga dan anak-anaknya yang sehat. Air mata mengambang di pelupuk matanya. “Bagaimana mungkin aku menjadi hamba-Mu yang seperti ini, Ya Rabb, Betapa besar anugerah yang Kau curahkan. Aku penuh kesalahan tetapi Kau tak pernah memutuskan nikmat yang selalu Kau hidangkan Tidak pula kau hukum aku hingga punggungku merungkuk Betapa Halîm dan Rahîmnya diri-Mu” ucapnya terbata-bata. Lalu terbersit doa yang sering diucapkan Ustad Said Nursi, “Yaa Hâlikul Karîm Yaa Rabbir-Rahîm aku hamba-Mu, makhluk-Mu dan ciptaan-Mu yang bernama Said ini, yang walaupun lemah, lalai, durhaka, tak berilmu, hina, dina, penuh dosa, berlumur kesalahan, penuh dengan keluh kesah, terlebih lagi hanyalah seorang hamba yang lari dari tuannya, empat puluh tahun kemudian menyesali semuanya ini lalu kembali, pulang kepada-Mu. Berlindung pada Rahmat-Mu. Kuakui segala kesalahan dan dosaku yang tak terhingga. Rasa was-was dan berbagai penyakit hati telah menjangkiti, Aku memohon dan bermunajat hanya pada-Mu. Sekiranya Engkau mengabulkannya dengan Rahmat-Mu yang sempurna, Kau ampuni dengan Rahmat-Mu, tentunya itu hanya karena kemuliaan-Mu. Karena Engkaulah Arhamarrâhimîn, jika Engkau tak mengabulkannya maka pintu manakah yang bisa kuketuk? Apakah ada pintu selain-Mu? Tak ada Rabb selain Engkau yang bisa kutuju. Tak ada pula hak mâbud selain-Mu sehingga aku dapat berlindung padanya.” Ia pun berdoa seperti doa Ustad ini, ditambahkannya pula perkataan Ustaz Said Nursi: “Aku tak mengenal apapun kenikmatan dari kehidupan duniaku selama delapan puluh tahun kehidupanku” yang digantinya dengan kalimat “selama tiga puluh tahun kehidupanku, tak ada kenikmatan dunia yang belum kurasakan”. Rasa sedih meliputi dirinya saat mengucap kalimat terakhir ini. Penuh rasa malu bercampur dengan harapan, memohon pertolongan dari Rahmat Allah yang Maha luas.
Kemudian ia terus memikirkan betapa banyaknya nikmat-nikmat Allah yang tercurah padanya. Pertama yang terbersit di benaknya saat mengingat tentang nikmat adalah iman yang ada di hati, lalu kesehatan yang masih dimiliki. Ia terpaku sejenak, menarik nafas teramat dalam. Ia mencoba merasakan lamat-lamat seluruh getaran dalam tubuhnya. “Alhamdulillah, tak ada rasa sakit ataupun nyeri sedikit pun”, dalam hati ia membatin sembari matanya mulai berkaca-kaca. Teringat olehnya seorang sahabat yang dikenalnya dua tahun lalu di Rumah Sakit. Temannya itu menderita sakit gula sehingga karena penyakitnya tersebut sudah memasuki stadium yang parah, ia harus merelakan kakinya diamputasi. Bentuk tangannya pun sudah rusak, beberapa jarinya dipotong dari ujung, beberapa dipotong dari bagian tengahnya. Hanya sebagian tangan kanannya yang masih bisa digunakannya. Mata kanannya juga sudah tidak berfungsi dikarenakan hal yang sama, tapi mata kirinya masih sedikit bisa berfungsi. Ia masih muda, namun sejak penyakit tersebut mulai menimpa dirinya sebagai cobaan ia berkata pada istrinya: “Aku akan menceraikanmu agar kau bisa menikah lagi dengan yang lain”. Istrinya pun akhirnya menikah dengan yang lain. Namun setelah mengalami semua ini, kapanpun ia menanyakan apa kabar sahabatnya itu selalu saja jawaban yang diterimanya adalah: “Alhamdulillah syukur, tidak ada yang ingin kukeluhkan”. Laki-laki itu terus merenungi perkataan sahabatnya yang sakit itu dan hatinya terasa sesak karena penyesalan, begitu besarnya nikmat ada pada dirinya dan betapa sedikit rasa syukur pada Rabb-Nya.
Beberapa lama ia diam terpaku, rasa kantuk tak juga hadir di pelupuk matanya. Ia terus berkutat pada renungan betapa egois dirinya selama ini. Begitu banyak sahabatnya yang dengan kekhasannya masing-masing menawarkan pertamanan yang indah. Satu persatu bayangan raut wajah mereka menghiasi ingatannya. Tanpa sadar, tersungging senyum saat membayangkan tentang mereka. Ia tak pernah merasa bosan saat berada bersama mereka. Dulu ia selalu berdoa: “Ya Rabb, kumohon jadikan kami kelak selalu bersama di akhirat, dekat dengan Rasulullah tercinta.” Saat berada dalam kondisi sulit, tanpa ragu ia selalu datang pada mereka. Merekapun selalu menyambut ramah dan penuh pengertian. Sehingga ia termenung: “Betapa manusia terkadang alpa untuk bersyukur atas nikmat persahabatan yang seperti ini”. Bahkan ia bertetangga dekat dengan salah satu dari sahabatnya tersebut dan ada rasa hormat teramat dalam darinya pada sahabatnya itu. Betapa penuh pengorbanan sikap mereka hingga ia selalu berpikir seandainya saja semua orang memiliki tetangga sebaik mereka. Suatu hari ia harus pergi ke luar kota, maka kunci rumah dititipkan pada sahabatnya yang tinggal tak jauh dari rumahnya itu. Saat tiba kembali di rumah betapa kagetnya ia saat melihat meja makannya penuh dengan makanan dan kue-kue yang amat lezat. Ada sepucuk kartu di sebelah makanan itu, bertuliskan kalimat pendek dengan bahasa anak-anak: “Selamat datang, kami sangat merindukan kalian.” Kembali ia tersenyum simpul mengingat kenangan manis ini.
Malam semakin panjang, satu pikiran datang silih berganti dengan pikiran dan ingatan lain. Semua ingatan yang kembali menari-nari di benaknya itu mengantarkannya pada kesimpulan betapa tak bersyukurnya ia atas segala nikmat yang datang tercurah padanya. Bibirnya lirih mengucap: “Bukan karena aku layak atas nikmat-Mu namun belas kasih-Mu lah yang menjadi sebabnya.”
Dalam pergulatan pikiran ini, lisannya terus berdoa dan disapanya pagi dengan lantunan pinta: “Ya Rabb, aku begitu lemah menghadapi semua nikmatmu yang tak bertepi, kumohon jadikanlah aku hamba-Mu yang tau betapa berharganya nikmat ini dan selalu bersyukur atasnya.”
Discussion about this post