Siapa yang tak kenal dengan sosok Imam Abu Hanifah, seorang ulama besar yang memiliki nama lengkap Nu’man bin Tsabit bin Zauthah bin Ma’ah. Ia terlahir pada tahun 80 H dan wafat pada tahun 150 H/ 767 M. Imam Abu Hanifah dikategorikan mayoritas ulama, seperti Ibn Sa’ad, adz-Zahabī, Ibn Hajar al-Asqalani, al-Irāqī, ath-Thabari, ad-Dāruquthni, as-Suyuthī, dan al-Bulqaini, sebagai kalangan tābi‘īn. Sebab kata al-‘Irāqī, “Meskipun tidak ada sebuah hadis yang absah diriwiyatkan Imam Abu Hanifah dari para sahabat, namun ia pernah melihat Anas bin Malik.” Hal ini sesuai pengakuan Abu Hanifah sendiri, “Aku menjumpai tujuh orang sahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, yaitu Anas bin Mālik, Abdullah bin Juz’in az-Zabīdi, Jābir bin Abdillah, Ma’qal bin Yasār, Wāsilah bin Asqa’, Aisyah binti Umar, dan Abdullah bin Anīs.
Imam Abu Hanifah merupakan ahli fikih dan ilmu kalam yang par-excellence. Beliau digelari sebagai seorang wali “al-Watad”, karena banyak mengerjakan salat, dengan bacaan Al-Qur’an yang lama. Selain itu Ia adalah seorang ahli dan praktisi pendidikan Islam yang sangat luar biasa. Sebagaimana dikatakan Asy-Syafii, “Tidaklah ada seseorang yang mempelajari ilmu fikih, melainkan ia pengikut Imam Abu Hanifah (man tafaqqaha, fa huwa ‘iyālu Abī Hanifah)”.
Imam Abu Hanifah merupakan keturunan Persia, meskipun lahir dan tumbuh di Arab. Beliau memperoleh jalur keilmuan dari Syaikh Hammād, dari Ibrāhīm, dari Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, dan Abdullah bin Abbās. Ia juga menjadi muara keilmuan dari Abdullah bin Mas’ūd. Sosok yang menjadi imam agung dan mujtahid terdepan ini kemudian dikenal dengan sebutan al-Imām al-A’dzam yang berarti Imam terbesar.
Terdapat beberapa karya tulis yang dinisbatkan kepada Imam Abu Hanifah, diantaranya: al-Fiqh al-Akbar, al-Fiqh al-Absath, al-‘Ālim wa al-Muta‘allim, ar-Risālah ila Muqātil bin Sulaiman Shāhib at-Tafsīr, ar-Risālah ila Utsmān al-Battā Faqīh al-Bashrah, dan al-Washiyyah serta Musnad Abī Hanīfah, yang dianggap sebagai kitab hadis pertama dengan sistematika ilmu fikih.
Dalam pandangan Imam Abu Hanifah, tujuan pendidikan adalah mencari rida Allah subhânahu wa ta’âla dan ampunan-Nya, bukan untuk memperoleh harta, kekuasaan, dan kehormatan. Karenanya, “Barang siapa yang mencari ilmu demi memperoleh harta dunia, maka ilmunya akan muspro (sia-sia) dan tidak berguna. Namun barang siapa yang mencari ilmu demi agama, maka ia akan diberkahi dan mendapatkan kejernihan hati.”
Akan tetapi, bukan berarti sembarangan dalam mendalami suatu ilmu, namun tetap ditimbang secara saksama. Hal ini dilakukan Imam Abu Hanifah, “Kemudian aku disarankan mendalami fikih, dan tidak kujumpai problematikanya. Hal pertama yang kulakukan adalah menetapi para ulama. Kemudian, jika ada pertanyaan yang terkait dengan permasalahan agama, jika tahu, aku akan menjawabnya. Namun jika tidak, aku akan bertanya kepada para ulama. Jawaban dari para ulama, nanti akan kusampaikan dengan penuh kemuliaan, pengetahuan, dan keagungan. Barang siapa yang mencari ilmu fikih karena motif agama, maka Allah subhânahu wa ta’âla akan menempatkan dirinya pada posisi yang mulia dan mengangkat derajatnya. Dan barangsiapa yang bermotivasi ibadah dan kebaikan, maka takkan ada seorang pun yang nyinyir berkomentar bahwa, ‘ia beribadah tanpa ilmu dan nalar’. Bahkan ia akan disebut sebagai yang telah mengetahui dan mengamalkan ilmunya.”
Sedangkan terkait dengan penyampaian materi, Imam Abu Hanifah menyebutkan ada tujuh prinsip yang harus diperhatikan.
Prinsip Keteladanan
Imam Abu Hanifah berwasiat kepada muridnya agar menjadi teladan yang baik bagi lingkungan sekitar dalam hal ibadah, istikamah, dan perilaku. Sebab orang berilmu, akan berpengaruh besar bagi masyarakatnya. Orang berilmu harus mawas diri dalam segala perilakunya di masyarakat, matang dalam segala pertimbangan. Seorang berilmu harus menjauhi segala perkara yang tidak laik. Sebaiknya, ia tidak sering belanja ke pasar dan tidak nongkrong di pinggir jalan, namun justru harus banyak berada di masjid. Tidak banyak makan dan minum di pasar, masjid, dan kedai. Tidak mengenakan pakaian mewah. Tidak menemani orang fasik, kecuali untuk berdakwah. Juga untuk bersegera masuk ke masjid, ketika suara azan berkumandang. Pesannya juga, “Dan perbanyaklah berzikir kepada Allah ketika berada di hadapan manusia agar mereka mempelajari hal tersebut dari dirimu. Juga berpuasalah beberapa hari dalam setiap bulannya agar masyarakat bisa mencontohmu.”
Prinsip Pengajaran Bertahap
Prinsip pengajaran secara bertahap dianggap sebagai salah satu hal yang amat penting bagi para aktivis pendidikan kontemporer. Hal ini diisyaratkan oleh Allah subhânahu wa ta’âla dalam QS. Al-Baqarah: 286, “Sesungguhnya Allah tidak menuntut seorang hamba melainkan sesuai dengan kemampuannya.” Dan hal ini telah dipesankan oleh Imam Abu Hanifah kepada muridnya, Khālid as-Simtī, sebagai berikut, “Ajarilah mereka dengan ilmu yang sederhana terlebih dahulu sebelum konsep yang rumit” dan beliau sendiri mengajari muridnya untuk mengajarkan segala perkara yang mudah terlebih dahulu sebelum yang rumit, lalu barulah kemudian meningkat terus levelnya.
Prinsip Menjaga Keunikan Individu
Imam Abu Hanifah meminta kepada Khālid as-Simtī, untuk menjaga keunikan para siswa dalam pendidikannya, “Berikanlah kesempatan untuk mengendapkan kompetensi yang telah disampaikan kepada setiap siswa yang agak lambat dalam hal memahami ilmu. Dan persilakanlah setiap siswa untuk bisa memahami ilmu sesuai dengan kapasitasnya masing-masing.” Bahkan al-Syaibani, mengaitkan erat kondisi lingkungan sekitar peserta didik dengan materi pelajaran.
Prinsip Kasih Sayang
Imam Abu Hanifah menganggap para murid sebagai anggota keluarganya yang sejati. Ia memperhatikan kondisi mereka tidak hanya sebatas lingkup pendidikan, bahkan dalam persoalan keluarga sekalipun. Jika didapati di antara para siswa ada yang pandai atau ingin melanjutkan pelajaran, ia memperhatikan hal tersebut hingga tuntas. Beliau amat mendukung para muridnya yang pandai dan tuntas dalam pembelajaran untuk mendirikan halaqah kajian di sebelah kajian yang diasuhnya, serta tidak segan memberikan hartanya kepada siswa, dan menanggung biaya pendidikan mereka. Menarik bahwa beliau tidak pernah memberikan perlakuan yang berbeda antara murid-muridnya dengan anak dari keturunannya sendiri. Bahkan ia akan berendah hati untuk datang menghadiri kajian yang diasuh oleh muridnya tersebut dan memujinya di hadapan masyarakat dengan menyebut sifatnya yang baik, sehingga masyarakat menerima muridnya dengan baik dan menyambut mereka. Ia kerap menasehati Abu Yusuf, “Sambutlah semua siswa yang datang belajar kepadamu seolah mereka semua adalah anak-anakmu agar bertambah rasa suka mereka dalam menuntut ilmu.”
Prinsip Tidak Bersikap Fanatik
Pada suatu hari, Khalifah mengundang para ulama untuk dimintai pendapat tentang suatu persoalan. Masing-masing ulama diminta untuk memberi pendapatnya masing-masing. Tiba giliran al-Hasan bin ‘Ammarah menyampaikan pendapatnya. Usai mendengar pendapat al-Hasan, maka Imam Abu Hanifah berkata, “Pendapat yang telah saya sampaikan tadi kurang tepat, dan pendapat yang tepat adalah yang berasal dari al-Hasan.” Usai pertemuan tersebut, maka al-Hasan berkata, “Seandainya Imam Abu Hanifah konsisten dengan pendapatnya, menganggapnya tepat, dan mau terus meyakinkan khalifah serta mendebat pendapatku, niscaya akan mampu dilakukan oleh Imam Abu Hanifah.”
Prinsip Amar Makruf dan Nahi Munkar
Imam Abu Hanifah berkata pada Khalid as-Simti, “Ketika engkau dipanelkan dengan yang lain dalam satu forum atau dalam satu kajian di sebuah masjid, kemudian terjadi tanya jawab, dan yang lain berbicara secara mendalam tentang suatu pendapat yang berbeda denganmu, maka janganlah kamu memperlihatkan sikap yang berbeda dengan mereka. Namun jika engkau dimintai pendapat, maka jawablah dengan pemahaman yang umum diketahui masyarakat, kemudian engkau tambahkan dengan pendapat yang lain berikut argumentasinya. Jika mereka bisa mendengarkan yang engkau katakan, maka mereka akan menilai kadar pendapat yang lain, juga tentang dirimu. Jika mereka kembali bertanya menurut siapakah pendapat yang lain tersebut, katakanlah itu menurut pendapat dari sebagian ulama. Jika mereka bisa memahami dan menyimak pendapatmu, maka mereka akan mengetahui kualitas dirimu sekaligus kedudukanmu.”
Entrepreneurship (Kewirausahaan)
Imam Abu Hanifah menekankan kemandirian dan kewirausahaan. Karenanya, usai melaksanakan sholat subuh, para murid diperintahkannya untuk pergi berusaha memenuhi kebutuhan hidup mereka masing-masing. Setelah itu, barulah mereka akan datang kembali belajar bersama Imam Abu Hanifah. Dan inilah salah satu prinsip pendidikan yang ditekankan oleh Imam Abu Hanifah dalam pengajarannya.
Penulis adalah Mudir Ma’had Darulhusna Bogor dan Dosen di IIQ Jakarta. Karya bukunya adalah: Kurikulum Pendidikan Empat Imam Mazhab (2017); Kunci Rahasia Ilmu Kasyf Imam al-Ghazali (2019), dan Iklīl al-Musthafa fi al-Arba’īn an-Nawawiyah (2020). Selain itu aktif juga menerjemahkan berbagai karya sastra Arab dan menjadi editor beberapa buku.
Discussion about this post