“Kamu terlihat luar biasa. Berat badanmu turun, ya?’’ Kebanyakan dari kita sangat menikmati pujian semacam ini. Pesan-pesan yang disampaikan oleh budaya kita sangat mendukung konsep tentang betapa pentingnya untuk menjadi langsing. Sehingga diet, olahraga, melewatkan waktu makan, ketidakpuasan pada bentuk tubuh yang dimiliki, serta keinginan untuk turun berat badan merupakan norma yang dimiliki oleh hampir 70 persen remaja (Siegel dan et al.). Ketika masalah-masalah ini menjadi lebih serius maka hal tersebut bisa dikategorikan sebagai sebuah gangguan makan atau yang dikenal dengan istilah eating disorder.
Gangguan makan bukanlah adanya masalah seseorang dengan makanan. Masalah gangguan pola makan ini bermula ketika seseorang berkeinginan untuk turun berat badan, keinginan ini lalu berubah menjadi sebuah perilaku yang pada akhirnya susah untuk dikendalikan. Sebuah kebiasaan makan menjadi sebuah gangguan pola makan ketika hal itu bisa memuaskan kebutuhan psikologis seseorang. Gangguan makan merupakan sebuah kombinasi antara anoreksia nervosa, bulimia nervosa, dan binge-eating disorder (BED).
Anorexia nervosa adalah sebuah upaya disengaja untuk berhenti makan, gangguan makan yang ditandai dengan rasa takut yang berlebihan bila berat badan bertambah, dan gangguan persepsi pada bentuk tubuh. Penderita anoreksia terobsesi untuk memiliki tubuh kurus, dan melakukan berbagai upaya untuk mendapatkan bentuk tubuh yang ideal dengan standar yang dibuatnya sendiri. Untuk itu mereka akan berusaha keras membatasi porsi makan seminimal mungkin, bahkan terkadang menjadi tidak masuk akal, atau menggunakan obat-obatan seperti pencahar dan penekan nafsu makan. Meski berat badan sudah banyak berkurang, penderita anoreksia akan terus berolahraga secara berlebihan karena ketakutan yang berlebihan akan berat badan tubuhnya yang dapat bertambah.
Bulimia nervosa merupakan perilaku makan dalam jumlah banyak dalam waktu yang singkat, yang kemudian membuat dirinya merasa sakit, lalu memuntahkan apa yang baru saja dimakannya. Sedangkan binge-eating atau makan berlebihan adalah kondisi di mana seseorang makan berlebihan di luar kendali dan tak berdaya untuk menghentikannya. Penderitanya sering makan bahkan ketika mereka tidak lapar dan terus makan meskipun setelah mereka kenyang karena ia menggunakan makanan sebagai sarana untuk melampiaskan gangguan-gangguan emosionalnya. Gangguan makan bisa jadi merupakaan sebuah gejala bagi permasalahan psikologis lainnya. Studi pada tahun 2003 menemukan bahwa seorang penderita anoreksia 56 kali lebih ingin melakukan percobaan bunuh diri daripada orang yang tidak memiliki anoreksia (Polivy dan Herman). Beberapa remaja mengalami perkembangan kondisi gangguan makan ini karena adanya pengaruh keluarga, permasalahan psikoseksual, maupun faktor-faktor sosiokultural.
Pengaruh keluarga, seperti perilaku orang tua yang menjadikan makanan sebagai hadiah bagi anak, komentar kritis atau sindiran dari orangtua, serta faktor-faktor biologis dapat menyebabkan gangguan makan pada remaja. Beberapa masalah terkait perilaku ini bisa saja terlihat begitu polos pada awalnya. Sebagai contoh, banyak orang tua yang menjadikan makanan sebagai hiburan untuk anak-anaknya setelah melewati hari yang melelahkan. Makanan dijadikan sebagai obat untuk menenangkan kecemasan pada anak-anak (Siegel dan et al. 32). Dalam kasus seperti ini, di kemudian hari makanan akan menjadi masalah bagi para remaja seperti ini, yang tidak tahu bagaimana menangani stres dan perasaan kesedihan yang mereka alami dan hanya mengaitkannya dengan makanan.
Sebagaimana berlebihan pada sesuatu adalah sebuah masalah, maka begitu juga dengan larangan keras atas sesuatu. Jika orang tua berlebihan membatasi akses anak-anak pada “makanan rendah gizi” alias junk food, maka besar kemungkinan anak-anak tersebut justru akan makan secara berlebihan makanan-makanan yang dilarang tersebut. Kebiasaan ini kelak akan menjadi penyebab bagi adanya gangguan makan pada anak tersebut di kemudian hari (Polivy and Herman). Penelitian telah menunjukkan bahwa orang tua dari anak-anak yang mengalami gangguan makan ternyata memiliki orang tua berperilaku proteksi yang berlebihan atau overprotective. Orang tua seperti ini juga suka mengkritik atau mengeluhkan penampilan anak-anaknya.
Komentar-komentar berupa kritikan atau sindiran yang berhubungan dengan penampilan anak, bahkan yang hanya dalam bentuk gurauan sekalipun dapat meningkatkan risiko timbulnya gangguan makan pada remaja. Terlebih lagi, remaja yang memiliki risiko tinggi memiliki gangguan makan ternyata dulunya sering menerima kritikan atau tidak mendapatkan penerimaan yang baik dari keluarganya. Di sisi lain, remaja-remaja yang memiliki hubungan baik dengan orang tua dan anggota keluarganya berisiko rendah untuk mengalami gangguan makan. Dukungan emosional dari keluarga dapat membantu remaja membangun kebiasaan makan dan bayangan tentang tubuhnya secara lebih positif.
Gangguan makan pada beberapa remaja adakalanya juga merupakan warisan genetika. Faktor genetis merupakan alasan bagi sekitar 56 persen risiko berkembangnya gangguan makan (Polivy dan Herman). Selain itu, data statistik menunjukkan bahwa remaja yang memiliki anggota keluarga dengan gangguan makan akan berpotensi memiliki anoreksia nervosa 12 kali lebih banyak dan bulimia empat kali lebih banyak daripada remaja lain tanpa rekam jejak keluarga semacam ini (Polivy dan Herman). Lebih lanjut, seorang ibu dengan gangguan makan memiliki pengaruh negatif pada perilaku makan anak mereka. Beberapa orang tua dengan gangguan makan seperti ini akan memberi makan anaknya secara tidak teratur dan dengan makanan yang rendah nutrisi.
Permasalahan psikoseksual pada remaja juga bisa menjadi penyebab lainnya. Di mana terjadi kasus penurunan berat badan secara ekstrem terjadi, maka biasanya depresi psikologis mungkin menjadi salah satu penyebabnya. Remaja yang pola makannya tidak teratur, sebenarnya lapar secara psikologis saja (Siegel dan et al. 7). Stabilitas emosi, auto-kritik terhadap diri sendiri, dan perfeksionisme memainkan peran besar dalam perkembangan gangguan pola makan. Remaja penderita pre-anoreksia biasanya merupakan remaja model atau contoh di lingkungannya, anak-anak yang justru tidak suka mengeluh dan pribadi-pribadi yang suka membantu. Di sisi lain, remaja dengan anoreksia dan bulimia biasanya sangat perfeksionis dan kompetitif. Mereka sangat kritis terhadap diri mereka sendiri dan cepat merasa sedih saat gagal meraih suatu hal yang diidamkannya. Perasaan ketidakpuasan inilah yang kemudian perlahan menuntun mereka pada permasalahan pola makan ini (Polivy dan Herman).
Masalah identitas gender, seperti rasa ketidaknyamanan dengan jenis kelamin sendiri, juga dapat menyebabkan gangguan makan. Selama masa pertumbuhannya, banyak remaja yang menghadapi perubahan fisik di tubuhnya. Remaja putri cenderung ingin mengurangi ukuran seluruh bagian tubuhnya. Sebaliknya, remaja putra lebih condong pada keinginan untuk menambah ukuran bagian atas tubuhnya. Penelitian menunjukkan bahwa pada tahun 2005, sebanyak 45,6 persen dari siswa sekolah menengah atas mencoba untuk menurunkan berat badan mereka (Polivy dan Herman). Remaja perempuan menunjukkan risiko yang lebih besar mengalami gangguan makan, karena biasanya gadis muda lebih terpacu untuk memedulikan pandangan dan pendapat orang lain terhadap penampilan mereka.
Pada akhirnya, faktor sosiokultural seperti tekanan sosial dan pengaruh media sosial juga dapat menyebabkan permasalahan pada pola makan remaja. Hingga kini, gambaran tentang tubuh ideal perempuan merupakan topik yang masih paling banyak diperbincangkan. Masyarakat mencuci otak para remaja untuk meyakini bahwa ketika mereka kurus, maka mereka akan lebih bisa diterima oleh lingkungannya (Polivy dan Herman). Terkadang pasangan atau teman hidup juga bisa menyebabkan gangguan makan ini. Permasalahan asmara, kesendirian, dan hubungan yang tidak harmonis akan memicu perilaku yang merusak. Lebih lanjut, remaja yang memiliki gangguan makan akan mencari pengakuan dari lingkungan sekitarnya, sementara rendahnya penerimaan dari teman sebaya seringkali menjadi alasan bagi risiko meningkatnya gangguan pola makan pada diri mereka.
Ekspektasi kultural atau budaya juga dapat berkontribusi menimbulkan gangguan pola makan ini. Terkadang ekspektasi budaya dan pesan langsung maupun tidak langsung terkait gambaran tubuh, bisa menjadi hal yang begitu kasar. Para remaja dibuat percaya dengan perkataan bahwa: ‘’Bila ingin bahagia, maka kamu harus mempunyai bentuk tubuh yang bagus dan pendidikan yang sukses’’. Studi menunjukkan bahwa remaja-remaja putri Hispanik dan Asia-Amerika memiliki tingkat ketidakpuasan lebih tinggi pada tubuh mereka dibandingkan dengan remaja-remaja putri dari Kafkasia. Sebagian dari hal ini disebabkan oleh jargon ‘’tubuh ideal’’ yang digambarkan oleh berbagai media populer pada budaya mereka.
Remaja-remaja itu suka mengonsumsi bacaan dari media populer dan berkeinginan untuk menyerupai bintang favorit mereka yang ada di media tersebut. Media menggambarkan bahwa artis dan model yang masih muda, langsing, dan berpakaian stylish terlihat sangat sukses dan bahagia. Remaja yang suka menonton program-program televisi seperti ini pun cenderung melihat diri mereka sebagai sosok gemuk dan tidak bahagia. Ada banyak usaha yang secara lokal maupun internasional mencoba mengubah potret tidak realistis, penuh manipulasi Photoshop, fantasi, dan susah digapai terkait gambaran bentuk tubuh lelaki dan perempuan ideal ini, namun sayangnya gambaran yang masih dominan masih tentang mereka yang muda dan ramping sebagai sosok ideal (Ata dan et al.).
Pengaruh keluarga, permasalahan psikoseksual, dan faktor sosiokultural dapat berkontribusi cukup besar dalam hal perkembangan adanya gangguan pola makan pada remaja. Sangat penting untuk mengedukasi remaja terkait penyebab dan gejala-gejala gangguan makan ini, sebagaimana pemahaman akan hal ini dapat menuntun mereka untuk meminta bantuan dari para ahli. Penting juga bagi keluarga dari remaja-remaja tersebut untuk membantu mendukung mereka. Menjalin hubungan yang lebih sehat, membentuk tanggung jawab, dan belajar untuk mendengarkan curhatan mereka secara efektif sebagai hal-hal yang dapat membantu keluarga remaja itu untuk dapat berkomunikasi dengan mereka dan membantu remaja menghadapi permasalahan gangguan pola makan ini.
Gunel Mehraliyeva adalah seorang penulis yang aktif sebagai Guru di Department of Social Sciences at Nile Academy, Toronto-Canada.
Discussion about this post