Kemajuan teknologi dan informasi saat ini tak terbendung. Efek positifnya, melalui kemajuan teknologi dan informasi tersebut banyak kemudahan yang diperoleh manusia, mulai dari berbagai fasilitas untuk mengakses informasi, kepraktisan berbelanja, mendapatkan transportasi, termasuk kemudahan berteman melalui media sosial. Meski demikian di sisi lain, efek negatifnya pun turut mewarnai kemajuan teknologi informasi yang ada seperti semakin banyaknya pelanggaran hak cipta, timbulnya kejahatan siber (cybercrime), maraknya perilaku tak senonoh, perjudian, penipuan, termasuk juga kekerasan dan perundungan (bullying). Barometer efek negatif tersebut disebabkan karena adanya kontradiksi dengan norma agama dan hukum yang berlaku.
Pada hakikatnya teknologi adalah alat yang bersifat netral, manusia sebagai penggunanyalah yang menentukan baik-buruknya. Berkaitan dengan ini, istilah yang sering kita dengar adalah the man behind the gun (orang di balik senjata). Potensi penggunaan keliru dapat terjadi pada alat apapun oleh pengguna yang memang sedari awal memiliki sudut pandang keliru atau bisa pula karena digunakan bukan oleh ahlinya, sehingga tanpa sadar cenderung pada perilaku merusak atau memang telah menyadari adanya potensi negatif tersebut tetapi tetap sengaja menggunakannya sebagai alat keburukan. Itulah mengapa sedari awal penciptaannya, manusia diberi gelar khalifah, karena manusia memiliki potensi untuk dapat menjadikan sesuatu bermanfaat dan baik, tetapi di sisi lain juga berpotensi berbuat kerusakan.
Agama Sebagai Sokoguru1 dan Modal Peradaban
Peradaban identik dengan nilai-nilai kesopanan, penghormatan, budi pekerti luhur, tutur bahasa, etika, dan kebudayaan yang disepakati bersama. Peradaban suatu bangsa tampak manakala ia menunjukkan serangkaian aktivitas yang berhubungan dengan kehidupan, pola pemikiran, keilmuan, keyakinan, hingga karakter tertentu yang bersifat materiil dan non-materiil.2 Sebagai bangsa yang beragama, berdasarkan sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa, Indonesia mempunyai potensi menjadi bangsa yang memiliki peradaban “apik” yang ditopang oleh ajaran masing-masing agama. Unggah-ungguh3, akhlakul karimah, inklusivitas, moderasi, dan penghargaan hak hidup berdampingan adalah modal keagamaan yang harus terus dihidupkan di mana pun manusia berada. Modal keagamaan itu perlu terus dikuatkan dalam rel kehidupan di balik terjangan arus derasnya teknologi-informasi. Dunia gawai yang tak mungkin dihindari itu telah membelah kehidupan kita pada dunia maya dan nyata, menjadikan kita semua harus kembali tawāshau bil haqqi wa tawāshau bis shabr4. Kekuatan agama dalam memengaruhi penganutnya -baik melalui ajaran, hukum, dan prinsip kepercayaan- terhadap kekuatan tak terlihat (gaib) dan kedekatan pada kebaikan apabila menjalankan ajaran dan kedekatan pada kedurhakaan saat melanggarnya, serta membangun hubungan baik antar sesama merupakan kata kunci dalam kekuatan moral pada kehidupan yang berlangsung di banyak media sosial saat ini.
Bagaimana seyogianya manusia bergaul di dunia nyata dan dunia maya telah diatur dalam literatur religi. Sebagai pembanding, Sidharta Gautama dalam ajaran Budha mengajarkan kepada pengikutnya tentang moral cinta kasih yang menuntun pada pengendalian diri dari perbuatan-perbuatan buruk karena perbuatan-perbuatan buruk akan merugikan orang lain, lingkungan, dan diri sendiri.5 Umat Kristiani juga telah akrab dengan ayat yang dijadikan landasan kasih dalam kehidupan sehari-hari, Yesus (Isa ‘alaihi salam) berkata: “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.”6 Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam ajarannya menekankan bahwa kemajuan suatu peradaban adalah manakala manusianya memiliki akhlak, innamā bu’itstu liutammimā makārimal akhlāk7. Melalui akhlak, manusia akan mampu mempertahankan karakter humanisnya dan memosisikan diri sesuai dengan kehormatannya.
Islam disebut sebagai agama shālih li kulli zamān wa makān, yakni sesuai dengan segala era, kondisi, dan lingkungan manapun karena mampu mempertahankan karakter humanisnya dalam membangun peradaban yang lebih baik. Keberhasilan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam membangun peradaban diakui melalui tinta emas para outsider (orang-orang di luar Islam). Prof. H.A.R. Gibb memberikan pujian dalam bukunya Mohammedanism: “Islam is in the full light of history” (Islam memancarkan cahaya yang sempurna dalam sejarahnya). Michael H. Hart dalam bukunya, The 100: A Ranking of the Most Influential Persons in History, menempatkan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam pada urutan yang pertama (ke-1) dari 100 tokoh yang paling berpengaruh dalam peradaban manusia karena berhasil membangun peradaban dari masyarakat Arab yang jahili menuju bangsa yang tajali8. Modal moralis dari sumber suci dan tokoh agama adalah sesuatu yang mahal untuk dihilangkan, maka dari itu, pengikutnya wajib pula untuk melestarikannya.
Dengan demikian, kehidupan yang paripurna pada diri seorang insan adalah manakala melekat padanya nilai-nilai kefitrahannya sebagai manusia, yakni memiliki moral, hidup berdampingan dengan sesama secara rukun, terjaga tutur katanya, memiliki empati, mampu menempatkan diri dengan baik di tengah-tengah kemajemukan, berlapang dada, serta membuka perspektif yang luas sehingga tidak gampang menghakimi. Semua modal itu merupakan ajaran agama dalam rangka menempatkan posisi mulia manusia sebagai subjek yang memberikan pembedaan dengan nafsu hewani dan syaithani.
Mengaplikasikan Adab di Media Sosial
Dalam literatur agama, ditemukan kunci sukses peradaban yang dibangun oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sang pembawa risalah agama Islam, yakni yang terletak pada ilmu, amal, dan akhlak. Ilmu mewakili aspek keislaman, amal mewakili aspek keimanan, dan akhlak mewakili aspek keihsanan. Tiga karakter tersebut harus diupayakan secara berkesinambungan agar tetap berada pada diri seorang Muslim. Apabila salah satu dari tiga karakter tersebut hilang, maka runtuhlah fondasi peradaban yang selama ini dicontohkan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik melalui qaul (perkataan) dan fi’il (perbuatan).
Penerapan karakter ilmu, amal, dan akhlak haruslah ada di segala lini, di dunia nyata juga dunia maya. Salah satu hal yang cukup mengkhawatirkan saat ini adalah apabila kemajuan teknologi dan informasi tidak dibarengi dengan ilmu, amal, dan akhlak, sehingga akan berakibat pada “kebutaan” dan “kelumpuhan” dalam arti kehilangan arah dan petunjuk yang pada akhirnya mengarahkan seseorang pada sesuatu yang destruktif. Pada akhirnya, orang akan menggunakan teknologi untuk hal-hal yang bertentangan dengan nilai agama dan kehidupan, baik ia sadari secara langsung atau tidak. Hal ini dapat saja terjadi apabila pengguna teknologi (user) tidak memiliki ilmu yang memadai terkait aspek ontologi (apa), epistemologi (dari mana), aksiologi (untuk apa) dari alat yang digunakan sehingga menghasilkan pengamalan yang keliru dan tidak ada nilai akhlak atau keihsanan (kebaikan) dari apa yang ia lakukan.
Sayangnya, media-media sosial hari ini, sebagai bagian dari kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, hampir setiap waktu dipadati dengan komentar caci-maki, penyebaran berita bohong, dan hal-hal negatif lainnya, yang tak jarang dilakukan oleh orang yang mengaku beragama, ditambah dengan sikap atau perilaku yang seolah-olah “paling benar sendiri” demi ego pribadi tanpa pertimbangan akan menyakiti orang lain. Imbas dari semua itu adalah rusaknya tatanan keberagaman yang dibangun dalam kehidupan umat beragama. Padahal, sedari awal misi yang dibangun dalam Islam bukanlah menghilangkan perbedaan atau keberagaman yang ada, justru menghargai perbedaan atau keberagaman sehingga dapat saling memahami dan saling mengenal. (QS. Al-Hujurat: 13)
Membangun adab di mana pun sangat penting, tak terkecuali di media sosial, mengingat hari ini sebagian besar aktivitas manusia berlangsung melaluinya. Berdasarkan laporan dari We are Social dan Hootsuite, terhitung pada Januari 2021 sejumlah 4,2 miliar manusia di dunia ini telah bergabung di media sosial, dan data pengguna tersebut akan cenderung terus meningkat. Terkhusus di Indonesia, berdasarkan Data Indonesia.id per Januari 2022 telah ada 191,4 juta jiwa (68,9%) dari jumlah total populasi di Indonesia yang aktif di media sosial, sehingga bisa saja saat ini mencapai 70% dari total populasi Indonesia.
Lantas, bagaimana kita dapat membangun adab yang baik di media sosial? Di sinilah pentingnya penerapan karakter ilmu, amal, dan akhlak sebagaimana disampaikan di atas.
Aspek pertama, ilmu. Fenomena saling mencaci-maki, berujar kebencian, serta menyebarkan berita hoaks terjadi karena beragama yang tidak diimbangi dengan aspek ilmu pengetahuan. Pentingnya memahami hakikat, sumber, dan tujuan penggunaan media sosial secara positif akan menghindarkan seseorang dari hal-hal yang keliru dan bertentangan dengan nilai agama. Ibaratnya orang akan cenderung merasa benar karena tidak paham kebenaran yang sesungguhnya. Belajar ilmu apapun selama tidak bertentangan dengan agama sangat dianjurkan agar kita tidak keliru dalam bertindak. Pengetahuan terkait dengan penggunaan media sosial yang baik dan sesuai aturan agama akan mengantarkan penggunanya memahami apa yang perlu dan tidak perlu dilakukan di media sosial sehingga pada akhirnya dapat menghindarkan diri dari mencaci, merendahkan, merasa paling benar dari orang lain, serta mampu menerima perbedaan. Perbuatan yang tidak dilandasi ilmu bagi pengguna media sosial sangat berbahaya bagi keutuhan agama dan keutuhan bangsa. Padahal Allah subhanahu wa ta’ala sangat mewanti-wanti laa tafarraqu (jangan kalian bercerai berai).
Aspek kedua, amal. Penting bagi orang Muslim untuk memahami penggunaan teknologi sesuai dengan rambu-rambu keimanan demi mewujudkan akhlak sebagai konsepsi rahmatan lil ‘alamin (QS. al-Anbiya: 107). Salah satu tujuan dari kemudahan komunikasi di media sosial adalah agar terwujudnya kemudahan dalam silaturahim, mendekatkan yang jauh dan menghadirkan kepedulian pada sesama. Tujuan demikian harus diamalkan oleh pengguna media sosial, karena beramal tanpa akhlak akan mempersempit makna amal yang sesungguhnya. Sebagai umat beragama, kita dianjurkan untuk bersikap inklusif terhadap nilai sosial yang ada sehingga mempertahankan eksistensi Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin yakni menjadi rahmat bagi semesta alam.
Aspek ketiga, akhlak. Sikap tasamuh (toleransi), menolong dalam kebaikan (ta’awun ‘alal birri), dan lapang dada harus ada pada diri setiap pengguna media sosial. Sikap tasamuh (toleran) berguna bagi pengguna media sosial untuk saling menghormati perbedaan pendapat. Pengguna media sosial harus menyadari bahwa perbedaan pendapat dapat disebabkan oleh latar belakang ilmu, lingkungan tempat tinggal, dan pengalaman hidup yang berbeda sehingga sudut pandang yang dihasilkan pun tentu akan berbeda. Menyadari hal ini, maka akan timbul sikap saling menghormati perbedaan. Sikap tasamuh juga harus diiringi dengan upaya menolong dalam kebaikan (ta’āwun ‘alal birr), mengingatkan apabila teman di dunia maya keliru, atau bahkan tidak meladeni ungkapan-ungkapan menyakitkan yang berakibat pada perpecahan, merupakan jalan terbaik demi menghindari hal-hal yang dapat merusak tatanan persaudaraan. Sikap lapang dada juga penting sebagai kontrol pribadi, bahwa kita selaku pengguna media sosial bisa saja melakukan hal-hal yang keliru, maka kesiapan menerima kritik dan saran sangat penting sehingga lahirlah sikap tawaduk sebagai ciri khas dari kematangan emosional beragama seseorang. Ibarat padi, semakin berisi, maka semakin ia menundukkan tangkai. Mudah menerima nasihat dan mampu mengintrospeksi diri adalah bukti kematangan diri seseorang dalam beragama.
Adab Belajar di Dunia Maya
Pandemi yang beberapa tahun belakangan menyelimuti belahan bumi berimbas pada pergeseran tata laksana kegiatan belajar-mengajar di sebagian besar sekolah di Indonesia, dari yang awalnya tatap muka menjadi tatap gawai atau via daring. Walaupun pembelajaran tidak dilaksanakan dalam satu majelis dan tempat, tetapi etika belajar tidak boleh dikesampingkan oleh penuntut ilmu. Para ulama terdahulu banyak mengarang kitab tentang pentingnya adab sebelum ilmu dalam rangka membangun konsepsi keilmuan yang menghasilkan kemanfaatan yang luas bagi kehidupan. Kitab populer seperti Adab al-Alim wal Muta’allim karya KH. Hasyim Asy’ari menekankan pentingnya menghormati guru sebelum menimba ilmu, Syeikh Zarnuji dalam Ta’lim al-Muta’allim juga menekankan adab yang dimulai dengan niat, kesabaran, kesungguhan, kesinambungan, ketertiban, dan tawakal bagi para pencari ilmu.
Pembelajaran yang dilaksanakan secara daring menuntut pelajar agar tidak melupakan adab selayaknya bertatap muka secara langsung dengan guru. Keberkahan merupakan tujuan utama setiap ilmu yang dicari. Keberkahan dicapai dengan adab, dan adab dicapai dengan pemahaman esensi ilmu yang dipelajari dalam rangka bismi rabbikal ladzi khalaq, mengenal hakikat pemilik ilmu, yakni Allah yang menciptakan. Kerap kali dalam pembelajaran daring, adab penuntut ilmu jadi “abu-abu” karena kurangnya kesadaran untuk takzim9 kepada guru hanya karena faktor jarak, apalagi ditambah dengan kejenuhan menatap layar dengan keterbatasan metode pembelajaran yang hanya disampaikan dengan ceramah atau satu arah. Penuntut ilmu harus mempunyai kesadaran, sekalipun proses pembelajaran dilaksanakan dengan saling berjauhan. Namun untuk menimba ilmu akan terasa dekat manakala dilakukan dengan adab-adab penuntut ilmu, yakni niat dan ketekunan mencari rida Ilahi. Habib Umar bin al-Hafizh pernah menyampaikan pentingnya mengambil ilmu dengan ketundukan pada guru, diibaratkan mengambil pulpen (benda mati) yang jatuh dari saku saja seseorang harus menunduk, apalagi mengambil ilmu dari seorang guru maka harusnya lebih memiliki ketundukan kepadanya.
Untuk mencapai kebaikan itu, dalam pembelajaran daring hendaknya seorang pencari ilmu terus mencari keridaan guru. Beberapa tips berikut mungkin tampak biasa, tetapi ia akan membekas dalam diri pencari rida guru dalam ilmu:
- Pertama, hendaknya dalam pembelajaran sedapat mungkin murid mengonsentrasikan diri berniat mencari ilmu. Apabila pembelajaran dilakukan via daring, maka menjauhi keramaian dan membuka kamera. Guru akan bahagia manakala dapat menatap wajah sang murid dan murid memahami apa yang disampaikannya.
- Kedua, hendaknya murid mencatat setiap informasi yang diberikan. Metode belajar yang efektif adalah bil qalam (dengan catatan). Terdapat perumpamaan bahwa ilmu adalah hewan buruan, dan pena merupakan tali pengendali agar dia tidak kabur dan lari.
- Ketiga, apabila terdapat sesuatu yang mendesak dan menyebabkan dirinya harus menutup kamera, maka hendaknya murid meminta izin kepada sang guru, setidaknya agar guru tahu apa yang dilakukannya.
- Keempat, mencari ilmu ibarat memetik buah dari pohon seorang saudagar dermawan yang terhormat. Karenanya, kita perlu tahu bagaimana berinteraksi dan berkomunikasi dengannya sehingga dia berkenan memberikan buah miliknya kepada kita. Begitupun guru, kita harus menghormatinya, menjaga marwahnya, dan menempatkan dirinya pada posisi tertinggi dalam hati kita agar ketika guru rida, maka Allah pun tak segan memancarkan cahaya pemahaman kepada kita atas ilmu-ilmu yang ada di semesta.
Demikianlah, semoga kita dapat senantiasa menjadi manusia beragama yang melestarikan adab di manapun kita berada.
Referensi :
- Tiang seri.
- Muhammad Fethullah Gulen, Membangun Peradaban Kita, Penerbit Republika, 2013.
- Tata krama
- Saling mengingatkan dalam kebenaran dan kesabaran. (QS. al-Ashr: 3)
- Mengutip Pernyataan Bhikkhu Sri Pannavaro Mahathera dalam Dharmasanti Waisak Nasional, kemenag.go.id
- Injil Markus 22:39.
- Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.
- Tajali artinya pencerahan hati, tersingkapnya tabir menuju rida Ilahi.
- Hormat
Discussion about this post