Meski beberapa orang menyangkal adanya kondisi super talenta dan lebih melihat kesuksesan sebagai buah dari konsentrasi yang sangat ekstrem dan kerja keras, namun ada pula sebagian orang yang setuju bahwa ada individu yang dilahirkan dengan talenta tertentu di berbagai bidang, seperti seni, kepemimpinan, skolastik, dan keunggulan ilmiah. Bila dilihat dari perspektif umum, dapat dibuat daftar karakteristik orang-orang yang memiliki bakat luar biasa ini, yaitu orang-orang yang: berkepribadian kuat, memiliki kemampuan bertanya yang baik, mampu berkontemplasi, tertarik pada masalah sosial dan global, tidak cocok dengan disiplin dan rutinitas, memiliki kemampuan belajar yang cepat, dll. Penelitian mendalam dilakukan untuk memahami kebutuhan khusus bagi orang-orang dengan talenta seperti ini dan mengembangkan sistem pendidikan yang dapat memenuhi kebutuhan mereka. Kelas-kelas dengan tingkatan lanjut di sekolah merupakan salah satu hasil dari upaya tersebut. Sebagai tambahan dari kelas-kelas lanjutan ini, adalah dipersiapkannya kurikulum yang telah diperkaya bagi siswa-siswa dengan karakteristik tersebut, ada pelatihan yang dikembangkan untuk memicu kreativitas pikiran; misalnya dengan melengkapi cerita, menemukan persamaan antara dua set informasi yang diberikan, mengenali urutan tersembunyi dalam serangkaian angka atau bentuk tertentu, dll. Meskipun kebutuhan manusia-manusia berbakat ini ditangani dari aspek yang akan menguntungkan masyarakat dengan potensi penemuan yang dapat dilakukan di masa depan, namun sayangnya pendidikan spiritual dan pola perilaku mereka masih belum banyak dipelajari. Mengingat fakta bahwa umat manusia telah melewati masa-masa di mana spiritualitas dan nilai-nilai agama telah diabaikan, masa di mana ego diidolakan, maka keadaan orang-orang dengan bakat khusus ini menjadi kritis, karena kurangnya pendidikan memadai bagi nilai-nilai dan pondasi yang mampu membangun jembatan antara pikiran dan hati mereka. Ini merupakan karya kolaboratif antara pikiran dan hati yang akan menghasilkan pendidikan spiritual dan perilaku yang diinginkan dari orang-orang dengan talenta khusus. Tetapi, bagaimanakah caranya agar dapat memuaskan pikiran dan hati pada saat yang bersamaan? Secara tradisi, seringkali hati dikaitkan dengan agama dan pikiran dengan sains. Jadi, kerja sama antara pikiran dan hati berarti kerja sama antara sains dan agama. Sayangnya, beberapa persoalan agama yang hanya bergantung pada penerimaan dan bukan pada investigasi atau pencarian terlalu ditekankan selama berabad-abad karena berbagai alasan tertentu. Alhasil dikarenakan tekanan berlebihan dan insentif lain, maka masyarakat Barat memutus ikatan antara sains dan agama, yang mereka anggap mengarah pada hubungan tidak seimbang antara pikiran dan hati. Dalam ketidakseimbangan ini, pikiran akan bersatu dengan ego dan menindas hati; hati tercekik atas nama rasionalisme, dan sains digunakan sebagai sarana untuk menyangkal agama.
Memang benar bahwa agama adalah sebuah cara yang pada akhirnya menjadi sumber kepatuhan dan penerimaan, dan bukan pada sesuatu yang patut untuk dipertanyakan. Namun bagaimanapun juga, persepsi yang benar tentang agama tidak akan pernah bertentangan dengan kondisi pikiran manusia, karena fakta bahwa baik agama maupun pikiran, keduanya berasal dari Tuhan. Oleh karena itu, agama yang benar akan menerima informasi tentang alam semesta yang datang melalui pertanyaan intelektual sebagai cara untuk memperoleh pengetahuan tentang Tuhan; sehingga konsekuensi dari hal ini adalah hubungan antara pikiran dengan hati. Agama yang benar akan menutrisi hati sedemikian rupa, sehingga cinta yang memancar di dalamnya akan memberikan momentum bagi investigasi dari pikiran, memungkinkan pengetahuan yang lebih besar tentang Tuhan diperoleh, yang pada akhirnya akan meningkatkan rasa cinta pada Tuhan, dan dengan demikian, menghubungkan hati pada pikiran. Tidak adanya hubungan siklus sejati antara pikiran dan hati inilah yang menghasilkan pikiran tak terkontrol, tidak terdidik, dan suka mengidolakan diri sendiri sehingga mendorong ego menciptakan lingkaran buruk di mana ego akan menjadi pendorong bagi pikiran. Oleh karena itu, pertanyaannya adalah “Bagaimana seseorang dapat mencapai kesatuan antara pikiran dan hati sehingga pendidikan bagi orang-orang yang bertalenta khusus akan menjadikan mereka menjadi manusia-manusia berkhidmah yang rendah hati kepada masyarakat dan kepada Tuhan?”
Solusi untuk masalah ini sebagian terletak pada apa yang dapat disebut sebagai “pendidikan ego”. Meskipun mungkin terdengar baru, sesungguhnya konsep ini berakar dari budaya Muslim yang disebut “adab.” Dalam konteks artikel ini, adab dapat secara singkat dideskripsikan sebagai pengetahuan akan fungsi ideal dan batasan ego dalam tataran menjadikan diri sebagai hamba Tuhan yang baik dan anggota masyarakat yang setia. Adab secara tradisional dipelajari dari orang-orang yang sudah mempraktikkannya. Ini mengacu pada pendidikan melalui bahasa disposisi (kondisi/ hal). Oleh karena itu, pendidik yang menghiasi dirinya dengan adab sangat diperlukan untuk mendidik ego murid-murid bertalenta khusus yang berada dalam bimbingannya. Melalui sebuah renungan singkat, dapat dengan mudah dipahami bahwa para Nabi dan orang-orang suci di sepanjang sejarah maupun para arif bijaksana dari berbagai latar budaya berbeda adalah mereka yang mewakili misi pendidikan atas ego manusia pada tingkat yang berbeda. Bagi umat Islam, adab terutama dipelajari dari Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi wasallam, yakni sosok yang tidak hanya mengajarkan namun juga melakukan sebuah jalan yang akan mengarahkan kita pada titik di mana pikiran dan hati disatukan serta tunduk pada Allah. Bahkan menurut pandangan mereka yang berada di luar Islam, Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi wasallam adalah sosok luar biasa dan terhormat sebagai sosok guru, pemimpin, hamba Allah, sebagai kepala keluarga, komandan, ahli strategi… seseorang yang datang dengan pemahaman yang benar-benar baru tentang kehidupan dan agama. Dalam konteks ini, kita dapat mengikuti ini sebagai model di mana pendekatan baru terhadap agama dapat dilihat sebagai inovasi yang diperkenalkan oleh seseorang yang penuh bakat. Berdasarkan model ini, dapat dikatakan bahwa dengan mempelajari perilaku hasanah/baik dari Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi wasallam, yang merupakan sosok bertalenta khusus dalam berbagai aspek, sebuah metode bagi pendidikan ego anak-anak atau manusia berbakat super dapat dikembangkan. Berikut ini adalah beberapa kesimpulan dari analisis tersebut.
Rasa Kepemilikan pada Inovasi
Meskipun Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi wasallam yang mengabarkan dan mengajarkan Islam, tetapi Allah-lah yang mengajari Beliau tentang agama ini dan menurunkan Al-Qur’an padanya. Oleh karena itu, Rasulullah adalah seperti pemancar di mana arus Islam mengalir, tetapi Nabi sendiri bukanlah pemilik atau pencetus dari Islam tersebut. Demikian pula, setiap penemuan, baik itu teori, mesin sistem sosial atau strategi; hanya dimiliki, berasal, dan diilhami oleh Allah. Seorang inventor hanyalah seperti mata air yang melalui inovasinya1, dikirimkan Tuhan sebagai rahmat bagi umat manusia.
Pada berbagai aspek, poin ini sangat penting. Dalam kapasitas masyarakat, cara pemikiran seperti ini mencegah pada pengidolaan berlebihan bagi orang-orang tertentu dan membuka pada pintu kesyukuran dan pujian hanya pada Sang Pencipta. Bagi si penemu, hal ini menyelamatkan mereka dari sikap arogan dan kesombongan, serta mendorong untuk merasa bersyukur dan memuji Allah. Dari aspek lain, penemuan merupakan hadiah dari Tuhan bukan hanya bagi penemu itu sendiri, tapi juga masyarakat. Oleh karena itu, terutama bagi seorang penemu, ia memainkan peran yang mirip dengan seorang ibu, pemberian ini haruslah segera menuntun rasa cinta kepada Tuhan.
Inovasi Sebagai Unit Perbandingan
Salah satu tujuan penciptaan ego dan potensi nyata yang dimiliki manusia adalah agar seorang individu dapat menggunakannya sebagai unit perbandingan untuk belajar tentang Penciptanya.2 Dengan kata lain, secara rendah hati membuatnya mampu mengatakan “betapa indahnya saya diciptakan dan betapa indahnya Penciptaku” alih-alih justru dengan angkuh mengatakan “betapa cantiknya saya”. Dalam sebuah hadis, Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi wasallam bersabda, “Tuhanku telah mendidikku dan betapa indahnya Ia telah mendidikku”.3 Dalam teks aslinya, kata adab digunakan untuk pendidikan. Berdasarkan model ini, maka baik yang berbakat atau memiliki talenta di bidang tertentu maupun inovasi yang mengikuti potensi ini, keduanya merupakan unit perbandingan yang baik. Seseorang yang berbakat di bidang apapun dapat melihat Allah sebagai sumber utama dari bakat yang dimilikinya dan sebagaimana Kemahakuasaan Tuhan akan menjalankan semua sifat-Nya di alam semesta dalam semua skala.
Superioritas Versus Kebutuhan
Tanpa pendidikan ego yang tepat, sangat mudah bagi orang yang memiliki bakat khusus untuk berpuas diri dengan keyakinan bahwa mereka dapat melakukan hal-hal yang lebih baik daripada orang lain dan dapat menciptakan sesuatu karena merasa lebih unggul dari orang lain. Keyakinan semacam itu dikuasai oleh ego dan pada saat bersamaan merupakan sarana umpan balik untuk semakin memperkuat ego terus berada dalam lingkaran keburukan. Seseorang dengan bakat khusus justru dapat dengan mudah jatuh ke dalam lubang kesombongan yang dalam dan gelap jika memiliki pikiran semacam itu, dan akan menderita dalam kehidupan sosial mereka karena keyakinannya ini.
Sebaliknya, ego yang terdidik tahu bahwa ia tidak memiliki apa-apa dan tidak memiliki kekuatan daya cipta yang nyata. Ia tahu bahwa ia hanya dapat menerima hal-hal baik dari Penciptanya.4 Apa yang membuatnya bertekuklutut hanyalah kesadaran akan betapa miskin dan besar kebutuhannya sehingga membuatnya berdoa pada Yang Maha Kuasa agar kebutuhannya dapat terpenuhi. Cara pemahaman ini mengarah pada hasil bahwa sang penemulah yang membutuhkan penemuannya, karena cara mereka diciptakan, dan karena potensi yang mereka miliki; dengan kata lain karena “rasa lapar” telah dianugerahkan pada mereka.5 Kebutuhan- kebutuhan ini hanya dapat dipenuhi oleh Allah, Yang Maha Kaya, Maha Pemurah. Perenungan dan percobaan dalam beberapa cara harus mempertimbangkan doa dengan kesadaran penuh dan pemahaman tentang kebutuhan untuk mencapai hasil dari suatu upaya.
Sebelum masa kenabian, Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi wasallam mengasingkan diri di sebuah gua di gunung terdekat dan merenungi berbagai masalah masyarakat, seperti penindasan, kondisi kaum wanita yang malang, dan absurditas penyembahan berhala… Beliau merasa tersiksa dengan faktor-faktor ini, serta menginginkan keselamatan yang dapat memadamkan api dalam dirinya sehingga dapat membebaskan masyarakat dari kesengsaraan. Ini adalah cara di mana Nabi merasakan kebutuhannya, dan Allah menjawab doa yang secara sadar dan yang tidak sadar dipanjatkan, Allah memilihnya sebagai Utusan-Nya.
Lalu, Apa yang Penting dari Kondisi Multi Talenta atau Berbakat Khusus?
Hal istimewa ketika kita menjadi seseorang yang dianugerahi bakat tertentu adalah bahwa doa orang yang berbakat itu dijawab dengan cepat sesuai dengan anugerah yang diberikan itu. Inilah sebabnya mengapa orang tertentu dapat melakukan sesuatu atau mempelajari sesuatu dengan sangat cepat ketika orang lain tidak. Bersamaan dengan ini adalah diterimanya doa orang-orang suci dan para Nabi. Menurut tafsir Risalah Nur, doa-doa yang diungkapkan dalam bahasa atas kebutuhan dasar, potensi bawaan, dan dalam kesulitan besar akan dengan cepat diterima dan ditanggapi6, demikian halnya dengan orang-orang yang berbakat khusus tersebut. Potensi seseorang yang berbakat khusus membangun pondasi bagi penerimaan doa-doa mereka, yang dibuat dalam bahasa yang karena kebutuhan mereka untuk memenuhi dan mengembangkan potensinya.
Khidmah Sebagai Anugerah
Setiap orang adalah ciptaan Allah di mana berbagai Asma-Nya dimanifestasikan. Ini berarti bahwa setiap orang memiliki karunia atau bakat berbeda dan unik dari yang lain. Dalam kehidupan sehari-hari, kita biasanya mengenali bakat orang-orang yang mencapai hal-hal luar biasa. Namun bagaimanapun juga, setiap orang dapat menyadari karunia tertentu yang diberikan kepadanya. Karunia terbaik adalah rasa percaya dan cinta pada Tuhan. Setiap orang diberi potensi untuk menemukan keberadaan Tuhan dan perkenalannya dengan Sang Pencipta akan menuntun pada kasih sayang-Nya. Bagi masing-masing orang, penemuan ini unik; yakni sebuah penemuan yang tidak bisa dilakukan seseorang bagi orang lainnya.
Penulis adalah peraih gelar doktor dalam bidang Teknik Aerodinamika dan memiliki ketertarikan pada penulisan fiksi psikologis
Referensi :
- Nursi, S., The Words, Kaynak A.S., Izmir, 1997, First Word, hal. 4-5.
- ibid, Thirtieth Word, hal. 228-229.
- Al-Ajluni, Kashf al-Khafa, 1/72.
- Nursi, S., The Words, Thirtieth Word, hal. 229-230.
- ibid, Eighteenth Word, hal. 296.
- ibid, Twenty-third Word, hal. 412-415.
Discussion about this post