Saat ini, ketika ilmu pengetahuan dan media untuk mengaksesnya semakin bertambah, sebaliknya para pelajar yang merupakan generasi muda abad ini semakin berkurang hasratnya terhadap pelajaran sains dan matematika. Bagi kebanyakan mereka, matematika adalah pekerjaan utama bagi komputer atau kalkulator dan bukannya sebuah upaya manusia untuk memecahkan “kode bahasa” bagaimana alam semesta ini ditulis. Sains dan teknologi dianggap sinonim, di mana teknologi dipandang sebagai hasil dari pengembangan sains sehingga perkembangannya hanya terkait pada produk-produk elektronik baru, kegunaannya secara ekonomis atau bagi dunia militer. Coba bandingkan perilaku ini dengan buku Mathematical Principles of Natural Philosophy (Dasar-Dasar Matematika dan Filsafat Alam) yang ditulis oleh Isaac Newton, atau terhadap pemikiran “music of the spheres”, (yakni suatu konsep filsafat Yunani Kuno yang membahas proporsi sempurna dari gerakan benda-benda langit seperti matahari, planet, dan bulan sebagai suatu bentuk komposisi musik yang melodinya tak terdengar dan pada hakikatnya berupa konsep matematika) yang dilontarkan oleh para pemikir lain sebelum dirinya, menjelaskan mengapa generasi terdahulu menggenggam sains dan hakikat sebagai sesuatu yang amat berharga (setidaknya relatif lebih), dibandingkan generasi muda saat ini yang justru terobsesi pada teknologi dan kekuatan? Adakah yang salah dalam pendidikan sains kita yang membuat generasi muda kini justru menjauh dari sains dan bukannya tertarik untuk menggali khazanahnya lebih dalam?
Untuk menerangkan hal ini, mari kita menilik sebagian adegan dalam film The Truman Show. Dalam film ini, kehidupan seorang pria direkam secara terus-menerus dan disiarkan ke seluruh dunia sebagai sebuah acara televisi. Sejak bayi, seluruh kehidupannya telah direncanakan dengan lengkap dan sebagian besar kejadian-kejadian penting dalam hidup pria tersebut telah dirancang oleh para pembuat acara itu. Namun, semua ini tanpa sepengetahuan Truman, sang bintang utama. Ketika ia tumbuh besar hingga sampai di bangku sekolah dasar, hasrat Truman untuk mengeksplorasi dunia pun tumbuh. Namun, ini berarti Truman akan meninggalkan lokasi syuting yang dibuat meliputi wilayah cukup luas dan dikelilingi oleh perairan. Situasi ini memberikan keyakinan bahwa ia tinggal di sebuah pulau. Sehingga untuk mencegah kepergiannya dari lokasi syuting, namun tetap agar terlihat tidak melanggar kebebasan dirinya dalam membuat pilihan, para pembuat film itu melakukan dua hal. Pertama, sebuah skenario dibuat di mana ayah Truman tenggelam di laut ketika dirinya dan Truman terperangkap dalam badai ketika berlayar. Akibatnya, jebakan psikologis negatif ini digunakan untuk membuat agar Truman tetap menjauh dari laut. Di tahun-tahun kehidupan Truman selanjutnya, para perancang acara TV ini menugaskan seorang guru geografi yang terus-menerus berusaha membatasi hasrat Truman untuk pergi menjelajah dunia. Setiap kali Truman menyatakan ketertarikannya untuk menjelajahi sebuah tempat, gurunya mengatakan bahwa hal itu telah dilakukan. Rencana yang dibuat perancang acara TV ini berhasil, Truman akhirnya mengubur dalam-dalam hasrat untuk menjelajah di lubuk hatinya.
Sebelum kembali ke topik pembicaraan kita, saya juga ingin menyebutkan ide utama sebuah acara bincang-bincang TEDx talk yang dibawakan Nate Staniforth. Nate adalah seorang pesulap dari Kota Iowa dan ia mengunjungi anak-anak yang beberapa di antaranya masih duduk di bangku taman kanak-kanak untuk sebuah tujuan: yaitu membantu orang-orang mengalami rasa takjub. Nasihat yang disampaikannya di akhir bincang-bincang bagi para pemirsa adalah bahwa ketika Anda melihat sebuah trik sulap, alih-alih berusaha mencari rahasia bagaimana trik itu dilakukan di internet, manfaatkanlah waktu Anda untuk sejenak merasa takjub. Jika tidak, mencari tahu realitas di balik sebuah trik sulap akan dengan cepat melenyapkan perasaan takjub dan kagum yang kita miliki. Ini mirip seperti jika seseorang menyampaikan sebuah cerita lucu, dan di tengah-tengah cerita, ada orang lain yang telah mengetahui akhir ceritanya menceritakan klimaks dari cerita tersebut sehingga merusak suasana yang ditujukan sebagai hiburan tersebut.
Manusia diciptakan dengan tingkat ketertarikan yang berbeda terhadap matematika dan sains. Bagi sebagian kecil orang, kedua mata pelajaran ini sangat menarik, tetapi bagi sebagian besar yang lain, kedua pelajaran tersebut tidak lebih dari sebuah beban. Namun, cara pandang ini dapat diubah. Kadang-kadang, siswa berkembang dengan cara yang berbeda, dan setelah beberapa tahun menunjukkan ketidaktertarikannya, bisa saja mereka mulai memiliki ketertarikan terhadap matematika atau sains. Dan cepat atau lambat, ketika mereka telah mendapatkan semangatnya, tiba-tiba, cerita hidup berbagai ilmuwan memantik imajinasi mereka. Jalan hidup yang membawa kepada suatu inovasi penemuan atau suatu teori ilmiah memberi energi bagi darah muda yang mengalir dalam tubuh mereka. Ketika mereka sampai pada saat di mana penjelasan dari suatu pencarian panjang dalam melakukan eksperimen akhirnya terbuka, mereka merasakan bahwa seolah-olah merekalah yang menemukan jawabannya. Dan ketika sebuah eksperimen yang memasukkan konsep-konsep baru dan mengejutkan ditampilkan, mereka akan membayangkan dirinya berada di awal suatu perjalanan besar yang luar biasa. Simfoni lagu mulai memainkan catatan-catatannya yang paling menyenangkan di dalam otak mereka.
Kemudian apa yang terjadi? Seringkali kita tidak membiarkan siswa berlama-lama merasakan perasaan takjub dan kagum. Belum sempat mereka berpikir menggunakan imajinasi dan kecerdasannya, kita sudah menampilkan kepada mereka penjelasan dan rumus-rumus matematika yang telah diakui secara eksperimen. Dan ketika melakukan ini, bahasa instruksinya melibatkan frase-frase penuh otoritas seperti, “fenomena ini dikenal sebagai…”, “persamaan yang mengaturnya adalah…”, atau “penjelasan bagi laju perubahan tersebut dikontrol oleh…”. Bagi kebanyakan siswa, penjelasan-penjelasan seperti ini tampak lebih rumit dibandingkan fenomena itu sendiri. Sementara bagi siswa lainnya, mereka akan menganggap bahwa ada sebuah penjelasan pada bagaimana sesuatu yang terlihat ajaib tersebut terjadi. Semakin besar penekanan kita pada penjelasan, maka akan semakin kuat kesan yang timbul bahwa “segala sesuatunya telah diketahui, dan kamu tidak perlu lagi menyentuhnya.”
Bagi kebanyakan dari siswa tersebut, cerita berakhir sampai di sini. Hal ini berarti bahwa saat kita memperkaya pendidikan sains dengan menambahkan daftar penjelasan, kita sebenarnya sedang menjauhkan siswa dari sains itu sendiri menuju ke hal-hal yang dapat mereka coba dan eksplorasi, seperti telepon pintar, games komputer, dan sejenisnya. Namun, ini tidak menggambarkan kondisi seluruhnya karena walaupun sedikit, tetap ada sejumlah siswa yang bisa menikmati mempelajari penjelasan-penjelasan tersebut. Meskipun rasa ‘takjub yang asli’ telah kehilangan kekuatannya saat mereka mempelajari penjelasan, eksistensi dari sebuah jawaban, dan kemampuan manusia untuk menemukannya akan memunculkan ‘rasa takjub yang baru’. Hal ini bagus, tetapi apakah perbedaan antara orang-orang yang bisa menikmati belajar melalui penjelasan dan mereka yang tidak menikmatinya?
Mari kita gunakan sebuah metafora untuk mengatasi teka teki ini. Ketika kita melihat ke atas langit malam, kita hanya akan melihat banyak sekali titik-titik cahaya. Namun, saat ini kita tahu bahwa sebagian besar titik-titik cahaya tersebut sebenarnya adalah galaksi-galaksi yang mengandung milyaran bintang. Dan kita juga tahu bahwa ada pula titik-titik cahaya lainnya yang tidak dapat dilihat dengan mata biasa. Bagaimana kita mengetahui hal ini? Kita memiliki teleskop yang dapat memperkuat penglihatan kita. Teleskop-teleskop tersebut bekerja sebagai berikut: semakin besar cermin sebuah teleskop, semakin besar resolusinya. Dengan teleskop yang lebih besar, kita dapat melihat galaksi yang ketika dari jarak sangat jauh hanya nampak seperti titik-titik di langit. Juga, untuk dapat melihat benda-benda angkasa pada jarak yang sangat jauh, teleskop memerlukan waktu pengamatan yang sangat lama untuk mengumpulkan cahaya yang cukup dari benda-benda tersebut. Kedua faktor ini, cermin yang lebih besar dan waktu yang lebih lama, menentukan seberapa dalam kita dapat mengamati alam semesta.
Kembali ke masalah pendidikan sains, melalui kedua faktor ini kebanyakan siswa tidak memiliki perspektif kecerdasan yang cukup luas untuk memahami berbagai keindahan yang tersembunyi di balik gambar besar yang terlihat atau mereka tidak memiliki kesabaran yang cukup untuk tekun bekerja menemukan fenomena yang tidak terlihat pada pengamatan awal. Tetapi kekurangan-kekurangan ini tidak hanya berasal dari sisi siswa saja. Mungkin saja para guru pun tidak mampu melihat gambaran besar dan rasa takjub yang ada bersamanya, sehingga siswa pun menjadi tidak terbantu untuk memahaminya. Terlebih lagi jika kurikulum yang digunakan tidak memberikan waktu yang cukup bagi siswa untuk mencerna materi baru dan merasakan keceriaan dalam proses penemuannya.
Di dalam artikelnya yang berjudul A Rationale for Fiction yang terbit pada jurnal The Fountain ke-49, Firat Kocol membicarakan tentang pengelompokan pengetahuan dalam dua kategori: yaitu pengetahuan yang dapat ditransfer dan yang tidak. Sebagai contoh, penjumlahan dasar merupakan pengetahuan yang dapat ditransfer tetapi perasaan terkejut tidak dapat. Dalam kehidupan nyata, ada berbagai campuran dari kedua tipe pengetahuan tersebut. Dalam banyak kejadian, Kocol mengklaim bahwa pengetahuan yang tidak dapat ditransfer hanya dapat dimunculkan dalam audiensi melalui fiksi, wujudkan ia dalam bentuk seni, cerita, atau musik.
Ketika kita berpikir dalam konteks pendidikan sains, tidaklah sulit untuk melihat bahwa seluruh upaya kita difokuskan pada aspek-aspek sains yang dapat ditransfer tadi. Sayangnya, kita mengabaikan aspek yang tidak dapat ditransfer seperti perasaan takjub tersebut. Sebaliknya, perasaan takjub dan kekaguman ini justru dianggap sebagai tugas dari industri hiburan, yang didukung oleh teknologi audio-visual. Padahal, perasaan bukanlah sesuatu yang saintifik sama sekali (atau begitulah kata logika)! Akibatnya, karena pendidikan sains telah mengabaikan jiwa manusia, maka jiwa manusia pun mulai mengabaikan sains.
Mungkin hal ini seperti ketidaksukaan psikologis yang dialami Truman terkait dengan perjalanan melintasi laut: ketika kita melihat perasaan takjub tenggelam dalam lautan informasi yang sangat banyak, kita justru menghindar darinya dan informasi tersebut tidak akan pernah lagi menjadi bagian dari kita. Namun sekali lagi: mengapa rasa takjub? Mengapa perasaan takjub dan kagum ini sangat penting bagi kita? Mengapa, ketika hal ini tidak ada pada diri kita, apakah kita telah memutuskan hubungan kita dengan suatu hal?
Rasa takjub adalah perasaan mendalam yang kita dapatkan ketika melihat sesuatu yang tidak terpikirkan. Hubungan yang tidak diketahui antara permulaan dan akhir dari suatu kejadian justru membingungkan akal kita. Dengan kata lain, rasa takjub adalah perwujudan ketertarikan atas sesuatu yang tidak kita ketahui, dan bukan dari hal yang telah diketahui. Karena itu, sebuah potongan dari ilmu pengetahuan yang muncul untuk mendapatkan jawaban dari semua pertanyaan yang ada di dalam otak seorang siswa tidak ada hubungannya dengan rasa takjub! Hal ini akan terasa semakin benar jika sepotong pengetahuan tersebut mengklaim sebagai sesuatu yang unik, dan selanjutnya menutup pintu akan munculnya hal-hal yang tidak pasti.
Hal ini tentu bertolak belakang dengan gambaran tentang sains yang ada di dalam pikiran kita bukan? Mengapa teori yang dapat menjelaskan segalanya, yang lengkap dan konsisten justru tidak sesuai bagi otak manusia, ketika otak tersebut merupakan otak yang sebelumnya telah bekerja keras untuk menguak teka teki alam semesta selama ribuan tahun?
Untungnya, seorang ahli matematika yang hidup di awal abad XX tersandung dengan sesuatu yang serupa, dan jawabannya kemudian dikenal sebagai teorema ketidaklengkapan Gödel (Gödel’s incompleteness theorem) yang menantang kaum matematikawan. Mengambil teori ini sebagai dasarnya, kita dapat mengatakan bahwa adalah hal yang tidak mungkin bagi sepotong pengetahuan untuk dapat menjelaskan segala macam hal dengan lengkap dan konsisten. Dengan kata lain, sains tidak dapat meraih pencapaian tertingginya. Sangat logis bahwa kegagalan ini tentunya akan secara perlahan tetapi pasti menghambat pendidikan sains di sekolah juga.
Namun, bagaimana siswa bisa merasakan kesalahan ini jika mereka sendiri tidak mampu memahaminya? Jawabannya terletak pada aspek yang tidak dapat ditransfer pada materi yang diajarkan di sekolah. Seperti halnya Anda tidak perlu tahu kandungan molekul yang terdapat di dalam sebuah makanan hanya untuk menyadari bahwa makanan tersebut telah basi, mencegah munculnya rasa takjub sudah cukup bagi otak seorang siswa untuk mengabaikan sepotong ilmu pengetahuan tersebut karena perasaan itu sudah sirna.
Seperti adanya cahaya di dunia luar dan adanya mata di tubuh kita yang saling membutuhkan satu sama lain, adanya ketidaklengkapan dan ketidakkonsistenan di dunia luar membutuhkan adanya perasaan takjub. Perasaan takjub menginginkan pintu ketidakpastian tersebut terbuka.
Hal ini hanya akan mengerucut pada satu kesimpulan: bahwa kita harus memasukkan unsur rasa takjub ke dalam paket pendidikan sains, ajarkan siswa untuk merasakan kekaguman ketika melihat hal-hal luar biasa atau bahkan hal biasa sekalipun. Jika kita tidak melakukan hal ini, maka status mata pelajaran matematika dan sains akan terus terkesan buruk di kalangan generasi muda.
Diterbitkan oleh Fountain edisi 103
Penulis: Sermed Ogretim
Discussion about this post