Arabia …… padang pasir yang luasnya hampir mencapai tiga ribu kilometer persegi. Hanya sebuah padang pasir, namun disinilah tempat di mana jiwa kemanusiaan dihidupkan kembali berulang-ulang di sepanjang rangkaian sejarah, mulai dari Nabi Adam hingga Nabi Ibrahim, dan sampai pada Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam.
Seperti dikisahkan dalam Al Quran (QS. 14: 3441), Ibrahim meninggalkan istrinya Hajar dan putranya Ismail di bukit Mekkah berdasarkan perintah Allah subhânahu wa ta’âla. Ka’bah telah berdiri saat itu, tetapi dalam kondisi hancur. Ibrahim kembali membangun Ka’bah bersama putranya Ismail yang masih muda. Karena kesucian Ka’bah, manusia mulai tinggal di sekitarnya, sehingga Mekkah menjadi sebuah kota dan pusat bagi ibadah haji, bahkan para pedagang melakukan perdagangan dengan menggunakan karavan-karavannya dari Syria, Jordan menuju ke Abyssinia (Ethiopia). Karena terbagi-bagi dalam berbagai suku yang berbeda, Mekkah menderita karena adanya fanatisme ras dan perang saudara juga permusuhan selama berabad-abad, para wanita tidak dihargai karena mereka tidak ikut serta dalam peperangan.
Dalam konteks yang lebih luas, pada saat itu kerajaan Byzantium dan Persia mengalami konflik terus menerus dan berperang selama lebih dari 60 tahun, membuat para pemimpin mereka kelelahan. Ada sebuah keinginan dalam keputusasaan akan hadirnya sebuah pesan yang mengutamakan perdamaian dan bukannya peperangan, sebuah pesan yang merayakan kebebasan serta hak bagi semua orang tanpa membedakan kulit, ras ataupun jenis kelamin. Hingga datanglah seorang Nabi dari Mekkah, yang mengajarkan dan menjanjikan semua ini. Beliau tidak sendirian dalam menjalankan misinya dan teman terdekatnya adalah Sahabat Abu Bakar.
Abu Bakar dipanggil juga dengan sebutan Ash-Shiddiq (yang berarti “benar atau jujur” dalam bahasa Arab), Abu Bakar berusia kira-kira lebih muda dua tahun dari Nabi. Sebelum memeluk agama Islam, ia dikenal sebagai Abdul Ka’bah (pelayan Ka’bah), di kemudian hari Rasulullah mengganti namanya menjadi Abdullah (pelayan/ hamba Allah).
Pada saat itu di kalangan remaja sifat-sifat suka bersenda gurau, boros, bertingkah laku tanpa aturan sangatlah umum, namun Abu Bakar memiliki sifat yang sangat berbeda. Hidup beliau sangat disiplin. Beliau mengatakan bahwa ia tidak pernah menyentuh anggur karena ia ingin menjaga reputasi dan harga dirinya. Ini menunjukan bahwa beliau memiliki kehormatan dan reputasi yang baik bahkan sebelum memeluk Islam (Ibn al-Athir, 1280).
Abu Bakar tidak pernah pergi ke sekolah sebagaimana laki-laki Arab pada umumnya, tetapi beliau sangat senang belajar dan mengamati segala sesuatu. Ia terus menerus memperhatikan dan mempelajari hal-hal yang terjadi di sekitarnya. Selain itu beliau mempunyai daya ingat yang sangat kuat. Beliau dapat mengulang sebuah ayat bahkan jika hanya pernah mendengarnya sekali saja. Beliau juga suka mendatangi banyak kegiatan-kegiatan sastra (puisi) (Ibn alAthir,1280).
Abu Bakar bepergian ke berbagai negara termasuk Ethiopia, Yaman, dan Syria. Perjalanan bisnis ini memberinya kekayaan, pengalaman dan cara pandang yang luas dalam hidupnya. Ia menjadi salah satu pebisnis terkaya di Mekkah. Oleh karena itu semua maka keberadaan dan pengaruhnya menjadi semakin bertambah di kalangan masyarakat. Beliau adalah seorang pekerja keras, dermawan, ramah, jujur, dan berkomitmen. Ia memiliki pengaruh yang kuat di antara teman dan rekan-rekannya. Sebagai seorang pedagang, ia selalu adil dan tidak pernah mengkhianati orang lain. Beliau juga suka menjenguk orang sakit dan memberi sedekah bagi yang membutuhkan (at-Tabarî, 1987). Suatu hari Rasulullah bertanya pada Para Sahabat, “apakah ada di antara kalian yang menjenguk orang sakit hari ini?” Abu Bakar berkata, “Saya.” “Apakah ada diantara kalian yang berpuasa hari ini?” Abu Bakar berkata “Saya.” “Apakah ada diantara kalian yang menghadiri pemakaman hari ini?” Abu Bakar berkata “Saya.” “Apakah ada diantara kalian yang menolong fakir miskin hari ini?” Abu Bakar berkata “Saya.” Lalu Nabi Muhammad berkata, “barang siapa yang mengerjakan empat kebaikan ini dalam satu hari maka ia berada diantara orang-orang yang masuk surga.”
Ketika Abu Bakar masih remaja, ia menjadi relawan yang bertugas memutuskan jumlah uang yang akan diberikan bagi orang yang terbunuh atau terluka. Tugas ini mirip seperti pengadilan atau kantor hakim. Pada saat itu beliau selalu memuaskan kedua belah pihak dengan keputusannya yang adilnya (at-Tabari, 1987).
Ketika perintah pertama dari Allah diturunkan kepada Rasulullah, orang pertama yang percaya adalah Abu Bakar. Pada saat ia menyatakan keyakinannya, Abu Bakar memutuskannya dengan cepat tanpa keraguan, ini menunjukan beliau sangat mempercayai Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah mengagumi penerimaanya pada Islam dengan mengatakan, “Selain Abu Bakar, semua orang yang saya ajak untuk memeluk Islam sempat menunjukan keraguan, tetapi Abu Bakar menerima ajakan saya tanpa keraguan sedikitpun” (Bukhari, 870). Padahal sebelumnya , Abu Bakar selalu meragukan pemujaan berhala dan tidak pernah tertarik pada segala bentuk pemujaan.
Ketika Islam mulai tersebar di Mekkah, para pemuja berhala yang ada di Mekkah menyiksa dan mengintimidasi orang-orang yang mengimani Islam, sehingga mereka terpaksa pindah ke Abassiah. Saat itu Abu Bakar tidak pergi, tetapi memutuskan untuk tetap tinggal dengan Rasulullah dan mendukung Beliau saat dibutuhkan. Abu Bakar pulalah yang menemani Rasulullah berhijrah, dan melakukan perjalanan bersejarahnya menuju Madinah, sebuah peristiwa yang akan mengubah sejarah untuk selamanya.
Selanjutnya, ketika terjadi perang Badar dan Uhud antara kaum muslim dan para penyembah berhala di Arab, Abu Bakar bersama beberapa sahabat lain-Nya, dipercayai untuk menjaga keamanan Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Ketika akhirnya Mekkah ditundukan pada tahun 630 SM, seluruh suku di semenanjung Arab yakin bahwa Rasulullah adalah utusan Allah. Mereka berhenti melawan dan mengirimkan perwakilan ke Madinah untuk menyatakan kepercayaan mereka pada Rasulullah. Ketika Beliau sibuk menjamu para utusan tersebut, Rasulullah mempercayakan tugas untuk memimpin orang-orang yang melakukan haji pada Abu Bakar. Kejadian ini membuktikan hal yang sangat penting untuk menentukan siapa khalifah berikutnya setelah Rasulullah wafat. (Ibn al-Khatir, Ismail, 1932).
Kepemimpinannya
Rasulullah melakukan ibadah haji dua tahun setelah penaklukan Mekkah. Inilah yang dinamakan “Haji Wada” (perpisahan), karena Rasulullah jatuh sakit saat perjalanan pulangnya ke Madinah dan wafat dua minggu setelahnya. Pada hari-hari terakhir sebelum wafat, Beliau tidak dapat menjadi imam sholat di masjid. Beliau meminta istrinya Aisyah, untuk mengatakan kepada ayahnya, Abu Bakar agar menjadi imam di masjid. Hal ini dinilai oleh orang-orang muslim sebagai tanda bahwa Abu Bakar akan menjadi khalifah selanjutnya setelah Rasulullah tiada (Ibnu Hisham, 1992).
Ketika Rasulullah wafat pada tahun 632 SM, banyak Sahabat, diantaranya adalah Umar Bin Khatab, yang sangat terkejut dan menolak kenyataan tersebut. Tetapi seperti biasanya, Abu Bakar dengan ketabahannya menenangkan massa yang memberontak dan meyakinkan mereka bahwa Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam tidaklah lebih dari seorang Nabi dan sama seperti Nabi-nabi sebelumnya yang telah wafat, bahwa tidak ada alasan bagi siapapun untuk tidak mengakui kematian Beliau.
Setelah perdebatan yang panjang, antara pihak Madinah dan Mekkah yang mengutarakan pendapat mereka secara bebas, akhirnya dengan suara bulat Abu Bakar ditunjuk sebagai khalifah pertama. Setelahnya, dibuatlah diskusi terbuka di dalam masjid, dan orang-orang dari dekat maupun jauh berkumpul di sana untuk menyatakan sumpah setia mereka untuk patuh kepada Abu Bakar. (Ibn Hisham, 1992).
Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam secara keras menolak rasisme dan kesukuan. Beliau juga mengakhiri pertikaian dan peperangan antar suku. Sir William Muir menyatakan pernyataan sebagai berikut :
Keganjilan pertama, yang menyita perhatian kita adalah terbaginya Arab menjadi banyaknya bagian. Masing-masing bagian berdiri secara independen, hal ini meresahkan dan sering menjadi pemicu peperangan di antara mereka sendiri. Bahkan jika terdapat persamaan darah atau ketertarikan yang sama pada suatu hal, selalu saja ada sebab yang muncul untuk memisahkan dan membuat mereka membenci satu sama lain. Demikianlah era yang menunjukkan bahwa Islam telah meretrospeksi sejarah Arab dalam waktu singkat, sebuah keadaan yang kompleks dengan berbagai kombinasi dan tekanan, suku yang dahulu selalu gagal ketika mencoba berbagai cara untuk bersatu. Saat masalah belum juga bisa terpecahkan, dengan apapun yang bisa membuat suku-suku ini untuk tunduk untuk bersatu, dan ternyata semua itu dapat diselesaikan oleh Muhammad. (Muir,1988).
Alih-alih mengajarkan perbedaan kesukuan dan tribalisme, Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam justru mengajarkan kebajikan dan Iman pada Allah. Beliau juga mengajarkan untuk patuh pada keputusan bersama. Masyarakat bebas untuk memilih perwakilannya. Setelah wafatnya Rasulullah, para pengikutnya berdiskusi untuk memutuskan siapa di antara mereka yang akan menjadi khalifah selanjut-Nya. Seorang pemimpin kaum Muslimin yang berhasil menggantikan sosok Rasulullah dalam segala aspek kecuali aspek kenabian pada masa kepemimpinan-Nya, disebut sebagai penerus Beliau. Khalifah berarti penerus yang berhasil. Jadi, pemimpin kaum muslim setelah wafatnya Rasulullah disebut Khalifah.
Perang terhadap yang murtad
Abu Bakar harus berjuang menghadapi orang-orang yang murtad dan nabi-nabi palsu. Hal apakah yang menyebabkan adanya aksi pemurtadan ini? Pertama, wafatnya Rasulullah adalah sebuah goncangan bagi kaum muslimin, pertama kalinya sepanjang sejarah kaum Mekkah dan Madinah, mereka dapat hidup berdampingan dalam satu agama. Tradisi, permusuhan dan nilai kesukuan mereka telah dihapuskan. Namun tentu saja, pemahaman mereka terhadap sistem yang baru tidaklah mudah. Mereka menerima sistem ini dengan mengikuti jejak Rasul. Jadi wafatnya Beliau sangat mengejutkan. Pemahaman bagi sistem yang baru sangatlah sulit bagi suku-suku yang baru saja masuk Islam. Beberapa dari mereka meninggalkan agama baru ini dan mengikuti jejak nabi palsu yang muncul dan memerintahkan mereka kembali ke adat yang lama.
Kedua, Islam mengajarkan zakat dan sedekah. Zakat dikumpulkan dari orang-orang yang mampu dan di berikan untuk kesejahteraan orang yang membutuhkan dan para musafir yang tidak memiliki uang untuk melanjutkan perjalanan mereka. Zakat diberikan juga kepada orang-orang yang tidak mampu membayar hutang dan yang sedang mengalami musibah. Beberapa suku menolak membayar zakat setelah Rasulullah wafat. Ini menandakan pemberontakan mereka terhadap perwakilan baru mereka di Madinah.
Ketiga, pengaruh Roma dari utara dan Persia serta Abassiah dari timur dan selatan. Mereka mempengaruhi suku-suku yang berada jauh dari Madinah untuk kembali pada kepercayaan dan tradisi lama mereka (asım, 1981 )
Abu Bakar berhasil memadamkan pemberontakan dan menyatukan kembali persatuan Arab. Reputasi baiknya di masyarakat, karakter dan penilaiannya yang bijak sangat berpengaruh terhadap para pemberontak dan membangun kembali persatuan tersebut. Ia mengirimkan pasukan-pasukan tentara untuk memerangi pemberontak dan akhirnya mereka pun tunduk.
Ekspedisi bagi Usamah
Perubahan yang dibawa oleh kaum muslim di Arab menarik perhatian kerajaan Roma (Byzantium). Mereka mengirimkan tentara untuk mencegah kekuatan muslim yang terus berkembang. Pada masa ketika Rasulullah masih ada, tentara Roma dan Muslim berperang di Muta, perbatasan Jordan. Tidak ada pihak yang kalah pada perang pertama ini. Satu tahun sebelum wafatnya Rasulullah, tentara Roma berencana mengirimkan pasukan yang lebih kuat. Mengetahui hal ini, Rasulullah meninggalkan Madinah dengan pasukan-Nya dan pergi ke Tabuk, di ujung utara Arab. Namun, sakitnya Rasulullah menyebabkan pasukannya menetap di Madinah dan tidak kembali. Setelah wafatnya Beliau, karena tersebar berita adanya pemberontakan diantara suku-suku, beberapa dari kaum muslimin ingin membatalkan ekspedisi ini. Tetapi, Abu Bakar, sebagai khalifah baru, dengan santun menegaskan: “Saya tidak akan membatalkan apapun yang telah dimulai oleh Rasul.” Hal yang menarik dari pasukan ini adalah mereka terdiri dari Para Sahabat Rasulullah yang terdahulu, tetapi pemimpinnya adalah Usamah bin Zaid, yang baru berusia 18 tahun. Selama masa hidup Rasulullahnya pernah berkata bahwa baik Usamah maupun ayahnya adalah seorang pemimpin yang kompeten. (At-Tabari, 1987).
Dibukukannya Al Quran
Terdapat 1200 kaum muslim terbunuh dalam perang Aqraba dan banyak diantara mereka yang merupakan para penghafal Al Quran. Umar bin Khatab, yang saudara laki-lakinya terbunuh saat perang tersebut, memikirkan apa yang akan terjadi bila perang terus berlanjut dan para penghafal Al Quran terus terbunuh. Ia lalu berkesimpulan bahwa jika ingin di wariskan, maka Al Quran harus disatukan dalam satu jilid. Pada saat itu, Para Sahabat menyatukan bagian-bagian yang terdapat pada mereka. Metode penulisannya berbeda-beda. Beberapa menuliskan-Nya di atas perkamen (kulit hewan), kelompok kedua menuliskannya pada daun pohon palmiya, golongan ketiga menulis di atas tulang dan yang keempat menulis di atas lempengan batu, sementara sebagian besar menghafalkannya dengan kalbunya. Jika banyak diantara para penghafal Al Quran terbunuh, maka sebagian dari Al Quran itu bisa saja menghilang. Memikirkan hal ini, Umar lalu pergi menemui khalifah, yang saat itu sedang berada di masjid Nabawi. Beliau mengutarakan idenya pada khalifah, namun Abu Bakar menolaknya karena hal tersebut bukanlah sesuatu yang pernah dilakukan oleh Rasulullah. Terjadi perdebatan panjang, namun pada akhirnya Abu bakar mengakui bahwa pendapat Umar adalah benar (Ezzati, 1978).
Keberhasilan Abu Bakar dalam penulisan Al Quran dianggap sebagai warisan yang sangat penting. Bahkan lebih penting dari peperangan terhadap orang yang murtad juga penaklukan Irak dan Syria. Ali bin Abi Thalib sering mengatakan: “Semoga Allah merahmati Abu Bakar! Ia patut dihargai karena ia begitu baik dalam mengumpulkan Al Quran.” (Ibnu Hajar,1988).
Penulis : Harun Gultekin
Harun Gultekin adalah seorang guru di Pioneer Academy of Science, New Jersey.
Diterbitkan di Fountain edisi 86
Referensi
- AlBukhari, Muhammad. 870. Sahih Bukhari. Hadith no: 4/1701.
- At-Tabarî. 1987. Abu Ja’far Muhammad ibn Jarir, Tarikh al-Umamwa alMuluk, Beirut.
- Cevdet, Ahmed (Paıa). 1976. Kısası Enbiya ve Tavarih-i Hulefa, Bedir Publishing, Istanbul.
- Ezzati, Abul-Fazl. 1978. An Introduction to the History of the Spread of Islam, London, News and Media Ltd.
- Ibn al-Athir. 1280. Usd al-ghaba fi ma’rifat al-sahaba, Cairo.Ibn al-Kathir, Abu’l-Fida’ Isma’il. 1932. al-Bidayahwa’n-Nihayah, Vol. 14, Beirut.
- Ibn Hajar al-Asqalani. 1988. Al-Isabah fi Tamyiz as-Sahabah, Daru’l-Bayan, Cairo.
- Ibn Hisham. 1992. al-Sirah an-Nabawiya, Dar al-Fikr, Beirut.
- Köksal, M. Asim. 1981. IslâmTarihi, Kamil Publishing, Istanbul.
- Muir, Sir William. 1988. Life of Muhammad, Osnabrück: Biblio
Discussion about this post