Syekh Mukhtar adalah ulama besar dari Tanah Pasundan yang mengajar di Masjidil Haram dan menjadi Syekh bagi para murid Sunda yang bermukim di sekitar Makkah di awal abad ke-20 M. Sejarah hidupnya tercatat dalam banyak buku biografi berbahasa Arab seperti Natsr al-Jawahir wa al-Durar fi ‘Ulama’ al-Qarn al-Rabi’ ‘Asyar (Yusuf al-Mara’syali), Tashnif al-Asma’ bi Syuyukh al-Ijazah wa al-Sama’ (Muhammad Sa’id bin Muhammad Mamduh), dan A’lam al-Makkiyyin (Abdullah al-Mu’allimi).1 Syekh Mukhtar meninggalkan warisan intelektual dan sastra yang amat berharga, yakni karya tulis berbahasa Arab, Melayu, dan Sunda dengan berbagai topik tauhid, fikih, tasawuf, dan hadis. Sebagian besar karya tersebut telah dicetak, tetapi ada pula yang masih dalam bentuk manuskrip.
Penulisan Karya dalam Bahasa Sunda
Ada sejumlah ulama Sunda yang mengajar di Masjidil Haram seperti Syekh Muhammad Nawawi Banten (w. 1897), Syekh Muhammad Garut, Syekh Hasan Mustafa Garut (w. 1930), Syekh Marzuq Banten, Syekh Abdul Haq bin Abdul Hanan Banten (w. 1906), Syekh Masduqi Majalengka (w. 1935), Syekh Husain Cianjur, Syekh Hanafi Bogor, Syekh Abu Bakar Sukabumi.2 Kebanyakan mereka menulis buku dalam bahasa Arab,3 kecuali Syekh Mukhtar yang berperan penting dalam gerakan menulis buku berbahasa Sunda pertama di Makkah, serta dicetak di Makkah dan Kairo. Eksistensi kitab-kitab berbahasa Sunda yang beliau tulis dianggap penting di kalangan pelajar serta mendapat perhatian dari para peneliti sehingga ada gerakan ilmiah, budaya, dan sastra Sunda di Kota Suci kala itu. Syekh Mukhtar menginspirasi murid-murid Sundanya di Makkah untuk menulis berbagai disiplin keilmuan Islam dalam bahasa Sunda Pegon, di antara mereka ada Syekh Ahmad Dimyathi Bandung, Syekh Sanusi Sukabumi, Syekh Nuh Cianjur, Syekh Tubagus Bakri Purwakarta yang di kemudian hari menjadi ulama besar di Sunda. Para ulama inilah yang memainkan peran penting dalam sejarah perkembangan sastra Sunda Islam, yang menjadikan gerakan penulisan buku-buku Sunda pada paruh pertama abad ke-20 terasa aktif, yang belum pernah ada sebelumnya dan tiada yang menyamainya hingga kini.
Sunda, Negeri Jawa, dan Buku-buku Sunda
Siozaki4 menyebutkan bahwa dalam sumber-sumber sejarah Arab, kata “Jawa” atau “Negeri Jawa” merupakan istilah Arab untuk mengungkapkan kawasan Asia Tenggara. Istilah ini mencakup wilayah Indonesia, Malaysia, Singapura, Kesultanan Brunei Darussalam, Pattani (di Thailand), Mindanao (di Filipina) dan Shamia (di Kamboja dan Vietnam). Orang-orang yang datang dari wilayah ini dikenal dengan nama “al-Jawi” atau orang Jawa, dengan bentuk jamaknya “Jawiyyun” atau “al-Jawah”. Dalam terminologi lokal yang berlaku5, daerah ini dikenal sebagai Nusantara yang berarti kepulauan. Bahasa Melayu merupakan bahasa pengantar mereka, yang ditulis dalam abjad Arab dan dikenal juga sebagai “Bahasa Jawi”.
Adapun Tatar Sunda6 merupakan bagian tak terpisahkan dari Jawa Raya, terletak di bagian barat pulau Jawa dan penduduknya dikenal sebagai “Urang Sunda” yang menggunakan bahasa Sunda.7 Islam telah menyebar di Sunda sejak awal abad ke-16 M, saat dua kesultanan Islam berdiri: Kesultanan Cirebon dengan pendirinya Sultan Syarif Hidayatullah (w. 1568 M) dan Kesultanan Banten dengan pendirinya Sultan Syarif Hasanuddin (w. 1570 M). Kedua kesultanan ini merupakan jelmaan dari Kerajaan Sunda Kuno dan Padjadjaran, yang menganut Hindu, dengan pemerintahannya yang berakhir pada 1579.8
Sejak orang Sunda masuk Islam (16 M), lambat laun mereka mulai menggunakan abjad Arab, selain abjad Sunda Kuno. Kemudian di abad ke-17 mereka juga menggunakan aksara Jawa Hanacaraka bersamaan dengan dikuasainya sebagian besar wilayah Sunda oleh Kesultanan Mataram Islam Jawa. Abjad Latin Belanda digunakan sejak paruh kedua abad ke-19 akibat meningkatnya pengaruh kolonial Belanda.9
Para Pendatang dan Ulama Sunda di Makkah (19-20 M)
Makkah bukan hanya pusat spiritual bagi dunia Islam, tetapi juga sentral penting bagi gerakan intelektual, ilmiah, budaya, dan sastra. Dampak spiritual dan intelektualnya telah mencapai kawasan Asia Tenggara dengan sangat kuat dan secara langsung.10 Sejumlah besar orang Jawa, termasuk Sunda, telah datang ke Makkah dan Madinah sejak awal abad ke-17 M untuk menuntut ilmu. Sebagaimana disebutkan dalam buku “Babad Banten” yang ditulis pada 1662 M, Sultan Abu al-Mafakhir Abdul Qadir al-Bantani al-Jawi (penguasa ke-4 Kesultanan Banten, wafat 1651 M) mengirim tiga ulama Banten ke Makkah pada tahun 1632 lalu bermukim di sana selama dua tahun untuk belajar pada Syekh Muhammad bin Ali bin ‘Alan al-Siddiqi al-Shafi’i al-Makki (w. 1647), yang menulis buku “Dalil al-Falihin Syarh Riyad al-Salihin” juga sebuah buku yang khusus menjawab pertanyaan-pertanyaan dari Sultan Abu al-Mafakhir al-Bantani dengan judul “al-Mawahib al-Rabbaniyah fi Jawab al-As’ilah al-Jawiyah” yang ditulis pada tahun 1637 M.11
Pada paruh kedua abad ke-19 M (bersamaan dengan dibukanya Kanal Suez yang mendatangkan gelombang baru yang lebih hidup dan lebih aktif dalam pergerakan navigasi antara Eropa dan Asia) jumlah jemaah haji dari Jawa dan Sunda kian meningkat,12 Begitu pula jumlah orang Sunda yang bermukim di Makkah. Pada 1885, ketika Snouck Hurgronje berada di Makkah, ia menyaksikan sejumlah besar penuntut ilmu dari Sunda yang lebih banyak jika dibandingkan penduduk dari Asia Tenggara lainnya. Snouck berkata:
“Mari mengalihkan perhatian ke bagian barat pulau Jawa yang merupakan wilayah bahasa Sunda. Wilayah ini tak tertandingi di antara penduduk India Timur (negeri Jawi) dalam hal jumlah peziarah atau penuntut ilmu di Makkah.” 13
Banyak ulama senior Jawa, termasuk Sunda, memperoleh izin mengajar di Masjidil Haram.14 Beberapa dari mereka memiliki kedudukan penting, baik di Pemerintahan Utsmaniyah, Hasyim, maupun Saudi. Dalam naskah nomor (211/12286 BOA, I.DH) yang tersimpan di perpustakaan Arsip Perdana Menteri Turki Utsmani (Başbakanlik Osmanlı Arşivi) di Istanbul tercatat pada 1266 H (1849 M), tercantum di dalamnya nama-nama ulama Jawa yang mengajar di Makkah, di antaranya: Syekh Abdul Ghani bin Muhammad Zain Banten, Syekh Abdullah bin Muhammad Zubaidi, Syekh Ahmad Khatib bin Abdul Ghaffar Sambas al-Jawi, Syekh Ibrahim bin Wad al-Jawi, Syekh Ismail bin Abdullah al-Khalidi al-Jawi, Syekh Muhammad ‘Id bin Sa’id Palembang, Syekh Muhammad Ali bin Abdullah al-Jawi, Syekh Muhammad Arshad bin Abdul Fattah Bugis, Syekh Muhammad bin Abdullah Zubaidi, Syekh Salih bin Muhammad Murid al-Rawi al-Saman al-Jawi.15
Pada paruh kedua abad ke-19 M, terdapat ulama Jawa yang menjadi guru di Masjidil Haram. Snouck Hurgronje pada tahun 1888 menyebutkan dari Betawi ada Syekh Junaid, Syekh Mujtaba, dan Syekh Idrus; dari Garut (Jawa Barat dan Sunda) ada Syekh Muhammad, Syekh Hasan Mustafa, Syekh Nawawi, Syekh Abdul Karim, Syekh Marzuqi, Syekh Ismail, Syekh Tamim, Syekh Arshad bin Alwan, Syekh Arshad bin As’ad, dan Syekh Ahmad Jaha; dari Minangkabau (Sumatera Barat) ada Syekh Ahmad bin Abdul Latif al-Khatib; dari daerah Pattani (Thailand bagian selatan) ada Syekh Ahmad al-Pattani; dari wilayah Sumbawa ada Syekh Zain al-Din bin Badawi; dari wilayah Basan (Pulau Raja) ada Syekh Ahmad. 16
Kantor Konsulat Belanda di Jeddah tahun 1910 menyebutkan bahwa ulama Jawa yang mengajar di Masjidil Haram di awal abad ke-20 adalah: Syekh Ahmad al-Khatib al-Minangkabawi, Syekh Muhammad Mahfuz al-Turmusi, Syekh Abdul Hamid Kudus, Syekh Nahrawi Banyumas, Syekh Mukhtar bin ‘Atarid Bogor, Syekh Abdul Qadir bin Shabir al-Mandili, Syekh Baqir bin Nur Jogja, Syekh Azhari bin Abdullah Palembang, dan Syekh Nur al-Fathani. 17
Dalam laporan KJRI (Konsulat Jenderal Republik Indonesia) tahun 1941, terdapat nama-nama ulama Sunda yang mengajar di Makkah, yaitu: Syekh Abdul Fattah Banten, Syekh Abdullah Nawawi Banten, Syekh Ahmad Jaha Banten, Syekh Ali Banten, Syekh Arif Banten, Syekh Arsyadin Banten, Syekh Marzuqi Banten, Syekh Muhammad Syadzili Banten, Syekh Rasyidi Banten, Syekh Sya’ban Banten, Syekh Yasir Banten, Syekh Muhammad Hanafi Bogor, Syekh Mukhtar bin ‘Atarid Bogor, Syekh Idris Cianjur, Syekh Muhammad Husain Cianjur, Syekh Salim Cianjur, Syekh Taha Ciawi, Syekh Ahmad Junaid Garut Syekh Muhammad Qurthubi Garut, Syekh Saduqi Majalengka, Syekh Abu Bakar Sukabumi, Syekh Sanusi Sukabumi.18
Seorang Bangsawan Ilmuwan Islam
Syekh Mukhtar lahir 14 Syakban 1278 H (14 Februari 1862 M) di Bogor dari keluarga bangsawan Sunda. Ayahnya, Syekh ‘Atarid (Raden Natanagara) dan kakeknya Raden Aria Wariatanoedar VI (w. 1813) adalah bupati Cianjur.19 Ketika Gubernur Bandung, Raden Adipati Arya Wiranatakusumah menunaikan haji pada 1924, beliau bertemu dengan Syekh Mukhtar dan menyebut dirinya sebagai ulama Sunda dari keluarga bangsawan Sunda Cianjur.20 Ia belajar ilmu dasar Islam dan menghafal Al-Qur’an dari ayahnya, juga para masayikh di Bogor. Beliau bersekolah di sekolah umum Belanda seperti kebanyakan putra bangsawan Sunda lainnya hingga lulus dari sekolah menengah dan dikenal dengan ketekunan dan kecerdasannya dalam semua bidang ilmu, khususnya matematika, yang menjadikannya unggul dalam ilmu mawaris dan falak/astronomi. 21
Pada 1299 H (1881 M), Syekh Mukhtar pindah ke Batavia dan belajar di bawah asuhan Sayid Utsman bin Abdullah bin Aqil bin Yahya al-Hadrami al-Batawi yang diangkat sebagai mufti Betawi sejak 1889 M. Dari beliau, Syekh Mukhtar mempelajari beberapa kitab seperti “Milhah al-I’rab”, “Alfiyah Ibnu Malik”, “Qatr al-Nada”, “Ghayah al-Taqrib”, “al-Irshad”, “Zubad Ibnu Ruslan”. Beliau juga diberikan sanad/ijazah dengan semua riwayatnya karena seringnya Syekh Mukhtar berguru dan mengaji kepada beliau. 22
Setelah itu beliau pindah ke Hijaz dan menetap tidak jauh dari Makkah untuk belajar pada syekh besar Makkah seperti Sayid Bakri Shatha, Syekh Muhammad Sa’id Babshil, Syekh Sayid Husain bin Muhammad al-Habshi, Syekh Sulaiman al-Zuhdi al-Naqsyabandi, Syekh Muhammad bin Sulaiman Hasballah al-Makki, dan Sayid Muhammad Amin Ridwan al-Madani.23 Syekh Sayid Muhammad Amin bin Ridwan al-Madani pernah memuji muridnya itu dengan ucapan: “Ulama yang disinari cahaya, dihiasi hiasan orang-orang baik. Orang yang adil, teguh, dapat dipercaya, berbudi luhur, dan seorang alim serta pengamal yang sempurna.” 24
Setelah mendapat izin dari gurunya, Syekh Mukhtar mengajar di Masjidil Haram dan diterima sangat baik oleh para penuntut ilmu dari Jawa. Menurut penuturan Syekh Muhammad Yasin al-Fadani25, Syekh Mukhtar mengajar antara Magrib dan Isya dalam majelis (halaqah) di Masjidil Haram yang dihadiri sekitar empat ratus syekh dan pelajar senior. Beliau juga mengajar di rumahnya di kawasan Jabal Abi Qubais. Di pagi hari, beliau mengajar ilmu nahwu, sharaf, dan balaghah. Di sore hari, beliau mengajar “Ihya’ ‘Ulum al-Din” karya Imam al-Ghazali. Pada hari Selasa, beliau hanya mengajar ilmu falak atau miqat dalam karya-karyanya yang terkenal,“Taqriib al-Maqsad fi al-A’mal bi al-Rubu’ al-Mujib”. 26
Menariknya, di setiap Jumat malam beliau mengadakan majelis zikir dan doa yang sangat ramai. Setelah majelis, disajikan makanan kepada para hadirin. Majelis semacam ini masih lumrah dilakukan di kalangan umat Islam Tanah Jawa dan dipertahankan hingga kini dengan sebutan “kendurenan, selamatan, atau berkatan”.
Syekh Mukhtar memiliki kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa Arab, Melayu, dan Sunda. Kitab yang ditulis dalam Arab adalah: (1) “Ithaf al-Sadah al-Muhaditsin bi Musalsalat al-Hadits al-Arba’in” (ilmu hadis), (2) “al-Mawarid fi Syuyukhi Ibni ‘Atarid” (biografi para gurunya), (3) “Jam’u al-Syawarid min Marwiyati Ibni ‘Atarid” (ditahkik olehnya), (4) “al-Durr al-Munif bi Syarh al-Wird al-Latif”, (5) “Taqrib al-Maqsad fi al-A’mal bi al-Rubu’ al-Mujib” (ilmu falak), (6) “al-Sawa’iq al-Muhriqah lil Auham al-Kadzibah fi Bayani Hall al-Bulut” (ilmu fikih). Kitab yang ditulis dalam Melayu adalah:
(1) “Kitab Usul al-Din” (ilmu akidah), (2) “Risalah al-Wahbah al-Ilahiyah fi Bayani Isqath Ma ‘ala al-Mayyit min al-Huquq wa al-Siyam wa al-Salah”. Sedangkan yang dalam bahasa Sunda adalah: (1) “Hidayah al-Zairin wa al-Ghayah al-Makmul fi Ziyarah al-Rasul”, (2) “Manasik al-Hajj”, (3) “I’tiqad Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah”, (4) “Kifayah al-Mubtadiin li ‘Ibadati Rab al-‘Alamin”, (5) “Hidayah al-Mubtadi’iin ila Suluk Maslak al-Muttaqin”.
Tiga kitab Syekh Mukhtar yang dicetak di Percetakan Mustafa al-Baabi al-Halabi Mesir adalah: (1) “Aqidah Ahl-al-Sunnah wa al-Jama’ah fi al-’Aqa’id”, (2) “Kifayah al-Mubtadi’in li ‘Ibadati Rabb al-‘Alamin”, (2) “Hidayah al-Mubtadi’in ila Suluk Maslak al-Muttaqin”.
Buku pertama, ‘Aqa’id Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, dicetak pada Desember 1922 M. Di sampulnya tertulis:
“Buku Aqidah Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah: Karangan Raden Haji Muhammad Mukhtar bin Raden Haji Natanegara, ahli negri Bogor, Betawi anu mukim di negri Makkah anu sok muruk di masjidil harom.” (Buku Aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah: Karangan Raden Haji Muhammad Mukhtar bin Raden Haji Natanegara, berasal Bogor-Betawi yang tinggal di negeri Makkah dan mengajar di Masjidil Haram.
Melalui buku ini, penulis berbicara tentang prinsip-prinsip akidah Ahlussunnah wal Jamaah: mulai dari sifat-sifat yang wajib, yang mustahil, dan yang jaiz bagi Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya).27
Buku kedua, Kifayah al-Mubtadi’in li ‘Ibadah Rabb al-‘Alamin, dicetak April 1923 M. Di sampulnya tertulis:
“Kacukupan sakabeh jalmi anu kakara diajar dina jalan kumawula ka Tuhan robbul alamin. Aya di jerona tilu elmu anu fardu ain ka sakabeh jalmi anu mukalaf. Hiji ilmu ushuluddin, ka dua elmu fiqih, ka tilu elmu tasawuf. Karangan hamba Allah anu leuwih hina nyaeta Raden H. Muhammad Mukhtar bin Raden Haji Natanegara orang negeri Jawa Bogor anu mukim di Makkah Musyaroffah anu sok muruq di Masjidil haram.” (Kecukupan bagi seluruh manusia yang baru belajar pengabdian kepada Rabb al-‘Alamin, di dalamnya ada tiga ilmu yang hukumnya fardu ain kepada seluruh manusia yang mukalaf; ilmu ushuluddin, fikih, dan tasawuf. Karangan hamba Allah yang hina, Raden Haji Muhammad Mukhtar bin Raden Haji Natanegara, orang negeri Jawa Bogor yang tinggal di Makkah Musyarrafah yang mengajar di Masjidil Haram).
Dalam buku ini, penulis berbicara tentang tiga ilmu dasar yang harus dipelajari umat Islam: akidah, ilmu fikih, dan ilmu tasawuf).28
Buku ketiga, Hidayah al-Mubtadi’in Ila Suluk Maslak al-Muttaqin, dicetak Agustus 1927 M) Di sampulnya tertulis:
“Hidayah al-Mubtadi’in Ila Suluk Maslak al-Muttaqin: panuduh jalmi anu kakara diajar kana ngajalankeun perjalanana jalma anu muttaqin nyaeta jalmi sariyeun ka Allah. Karangan hamba Allah anu leuwih hina yakni Raden Haji Muhammad Mukhtar bin Raden Haji Natanegara Jawi Bogori anu mukim di Makkah Musyaroffah anu sok muruq di Masjidil Haram”. (Petunjuk bagi orang yang baru belajar menjalani perjalanan sebagai manusia yang bertakwa, yang takut kepada Allah. Karangan hamba Allah yang hina, Raden Haji Muhammad Mukhtar bin Raden Haji Natanegara, orang negeri Jawa Bogor yang tinggal di Makkah Musyarrafah yang mengajar di Masjidil Haram). Dalam buku ini, penulis berbicara tentang prinsip-prinsip tasawuf).29
Syekh Mukhtar dan Upaya Pencendekiaan Bahasa Sunda
Alasan utama mengapa Syekh Mukhtar menulis kitab berbahasa Sunda lalu mencetaknya di Makkah juga di Kairo adalah untuk menjadikannya referensi yang membantu para pelajar pemula Sunda di Makkah dan untuk memfasilitasi pemahaman prinsip-prinsip dasar Islam di kampung halaman mereka, baik fikih maupun tasawuf, langsung dalam bahasa ibunya. Empat dari buku Syekh Mukhtar berhubungan dengan prinsip-prinsip ini. Alasan penulisan buku Haji dan Umrah adalah untuk membantu para jemaah Sunda memahami hukum haji dan umrah, doa-doa yang dibaca di dalamnya, dan hal-hal lain terkait dengannya.
Meski begitu, kemungkinan besar ada alasan lain, yakni semangat Syekh Mukhtar yang datang dari keluarga bangsawan Sunda untuk menjadikan bahasa Sunda sebagai bahasa yang memiliki status ilmiah dan nilai sastra di tengah budaya Makkah dan dunia Islam. Ada banyak karya ulama Jawa yang dicetak di Makkah dan Kairo, serta di Istanbul dan Mumbai (India) dalam bahasa Arab, Melayu, dan Jawa Mriki. Adapun yang berbahasa Sunda, baru dimulai oleh Syekh Mukhtar. Tidak berlebihan jika dikatakan beliau adalah pelopor “Gerakan Kebangkitan Sastra Sunda di Makkah”.
Sebelum abad ke-20 M, pelajar Sunda di Makkah harus terlebih dahulu mempelajari kaidah-kaidah bahasa Arab dan dasar-dasar keilmuan Islam dalam bahasa Jawa Mriki, bukan dalam bahasa Sunda, bahasa ibu mereka, sesuai dengan kesaksian Snouck Hurgronje berikut:
“Bahasa Sunda tidak memiliki nilai ilmiah yang besar. Begitu pula dengan bahasa Aceh dan Lampung. Para penuntut ilmu dari daerah ini tidak belajar dalam bahasa daerah mereka, tetapi dalam bahasa asing. Namun untuk pemula, catatan pendek atau terjemahan kecil tersedia dalam bahasa ibu mereka yang didikte oleh guru lokal dari daerah itu sendiri. Banyak dari mereka yang berbicara bahasa Sunda harus belajar bahasa Jawa (Mriki) terlebih dahulu jika ingin mencari ilmu. Sedangkan mereka yang berasal dari Aceh, Lampung, dan Sambawa perlu belajar bahasa Melayu. Pilihan ini tidak hanya ada di Tanah Air, tetapi juga di Makkah.”.30
Sebagaimana dijelaskan Snouck, salah satu bahasa masyarakat Jawa yang memiliki status ilmiah dan nilai budaya di Makkah adalah bahasa Melayu dan bahasa Jawa Mriki. Banyak sarjana Jawa yang menulis buku mereka dalam dua bahasa utama ini. Snouck menulis:
“Bahasa Sunda belum memenuhi standar yang tinggi, yang bersamanya menjadi bahasa peradaban Islam. Dapat dikatakan bahwa bahasa Melayu dan Bahasa Jawa (Mriki) adalah dua representasi bahasa peradaban ini, diikuti oleh bahasa Madura, bahasa Makassar, dan bahasa Bugis pada tingkatan yang lebih rendah. Pada dua bahasa pertama, kami menemukan banyak istilah bahasa Arab yang diterjemahkan serta banyak karya, penafsiran, dan tulisan keagamaan yang ditulis dalam dialek lokal yang independen dari bahasa Arab dengan gaya yang baik. Adapun tiga bahasa lainnya, ia memperoleh status Islam pada tingkat yang lebih rendah daripada dua bahasa pertama. Untuk itu, orang-orang yang berkeinginan menuntut ilmu dan tidak mampu mempelajari bahasa Arab perlu mempelajari salah satu dari dua bahasa sebelumnya, bahasa Melayu dan bahasa Jawa”.31
“Gerakan Kebangkitan Sastra Sunda di Makkah” telah dimulai hampir setengah abad yang lalu, oleh seorang ulama Sunda bernama Raden Muhammad Musa (1822-1886 M), yang juga merupakan hakimnya hakim (hoofd penghulu) di Garut Jawa Barat yang berperan sebagai pelopor dalam gerakan kebangkitan sastra Sunda modern di Tanah Air.32 Melalui pemaparan ini, kita dapat melihat kepribadian Syekh Mukhtar bin ‘Atarid al-Bogori al-Jawi al-Makki, salah satu ulama besar dan guru di Masjidil Haram, yang dapat dianggap sebagai syekh besar dan referensi penting bagi pelajar Jawa, terutama Sunda, yang bermukim di Kota Suci. Tokoh ini juga penting dalam sejarah pemikiran Islam bagi kawasan Asia Tenggara pada umumnya, juga kawasan Sunda khususnya.
Penulis adalah seorang ahli filologi dan aktif mengajar di Pascasarjana Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA) Jakarta.
Referensi:
- Yousef al-Mara’syali, Natsr al-Jawaahir Wa al-Durar Fii ‘Ulaamaa’ al-Qarn al-Rabi’ ‘Asyar, (Bairut, Daar al-Ma’rifah, 1427 H), jilid 2, 1048-1050.
- Michael F. Laffan, Islamic Nationhood and Colonial Indonesia: The Umma Below the Winds)London: RoutledgeCurzon, 2003( p. 106; M. Shaleh Putuhena, Haji Indonesia: Suatu Kajian Sejarah Tentang Perjalanan dan Pengaruhnya pada Pertengahan Pertama Abad XX )Disertasi. Program Pascasarjana IAIN Yogyakarta, 2003( p. 490). Snouck Hurgraneh, Safahaat Min Tariikh Makkah, (al-Riyaadl: Daar al-Malik Abdul Aziz, 1999), jilid 2.
- Snouck Hurgraneh, Safahaat Min Tariikh Makkah, 624.
- Yuki Siozaki, Ahmad al-Fatani Fatwa Collection on Modern Problems: Souteast Asian ‘Ulama’ in the Middle East and the Transition of Fiqh Methodology in the Late 19th Century (Tokyo: SIAS Working Paper Series 21, May 2012), 26.
- Michael F. Laffan, Finding Java: Muslim Nomenclature of Insular Southeast Asia from Srivijaya to Snouck Hurgronje (Singapore: Asia Research Institute, National University of Singapore, 2005).
- Dikenal juga dengan Tanah Sunda atau Bumi Pasundan.
- Edi S. Ekadjati, Masyarakat Sunda dan Kebudayaannya (Jakarta: Girimukti Pasaka, 1984).
- Nina Herlina Lubis, Sejarah Perkembangan Islam di Jawa Barat (Bandung: Yayasan Sejarawan Indonesia Cabang Jawa Barat, 2011), 9.
- Edi S. Ekadjati, Naskah Sunda: Inventarisasi dan Pencatatan (Bandung: Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran dan The Toyota Foundation, 1988), p. 10; Mikihiro Moriyama, Semangat Baru: Kolonialisme, Budaya Cetak, dan Kesastraan Sunda Abad ke-19 (Depok: Komunitas Bambu, 2005), h. xi.
- Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad ke XVII dan XVIII (Jakarta: Prenada Media Group, 2013), 53; Henry Chambert-Loir, Naik Haji di Masa Silam: Kisah-Kisah Orang Indonesia Naik Haji (Jakarta: KPG-EFEO-PNRI, 2013), vol. 1, h. 86.
- Jajat Burhanudin, Islam dalam Arus Sejarah Indonesia (Jakarta: Prenada Media Group, 2017), 96-97; Yuyun Juariah, Menelusuri Jejak Islamisasi di Tatar Sunda Melalui Naskah Kuno. Jurnal al-Tsaqafa, vol. 13, no. 01 (Januari 2016), h. 185.
- Yumi Sugahara, Cit, h. 19.
- Snouck Hurgraneh, Safahaat Min Tariikh Makkah, 599.
- Ibid; M. Shaleh Putuhena, Cit;
- Hasan bin Muhammad bin Hasan Shu’aib, al-Dawr al-Tarbawi Li-Halaqaat al-‘Ilm Bil Masjid al-Haraam Fii ‘Ahd al-Malik Abdul Aziz, (Tesis Fakultas Tarbiyah Universitas Ummul Quro Mekkah, 2008), h. 361-362. Annabel T. Gallop, From Anatolia to Aceh: Ottomans, Turks and Southeast Asia, https://blogs.bl.uk/asianand-african/2015/03/from-anatolia-to-aceh-ottomans-turks-and-southeast-asia.html
- Snouck Hurgraneh, Safahaat Min Tariikh Makkah, 599.
- Michael F. Laffan, Islamic Nationhood and Colonial Indonesia: The Umma Below the Winds (London: Routledge Curzon, 2003), 175.
- Shaleh Putuhena, Op. Cit, h. 490.
- Ginanjar Sya’ban, Mahakarya Islam Nusantara: Naskah, Kitab, Manuskrip dan Korespondensi Ulama Nusantara (Jakarta: Pustaka Compass, 2017), 417.
- Henry Chamert-Loir, Cit, vol. 2, h. 599.
- Muhammad Sa’iid bin Muhammad Mamduh, Ibid, h. 885.
- Ibid
- Ibid.
- Ibid.
- Ibid.
- Ibid.
- Raden Muhammad Mukhtar Bin Raden Natanegara, Kitabu ‘Aqaa’id Ahl al-Sunnah Wa al-Jamaa’ah, (Cairo, Mathba’ah Musthafa al-Baabi al-Halabi, 1341 H), 1.
- Raden Muhammad Mukhtar Bin Raden Natanegara, Kifayatu al-Mubtadi’iin Fii ‘Ibaadati Rabb al–‘Aalaamiin, (Cairo, Mathba’ah Musthafa al-Baabi al-Halabi, 1342 H), 1
- Raden Muhammad Mukhtar Bin Raden Natanegara, Hidayatu al-Mubtadi’iin Ila Suluuk Maslak al-Muttaqiin, (Cairo, Mathba’ah Musthafa al-Baabi al-Halabi, 1346 H), 1
- Snouck Hurgraneh, Safahaat Min Tariikh Makkah, 599.
- Ibid, 600.
- Mikihiro Moriyama, Semangat Baru: Kolonialisme, Budaya Cetak, dan Kesastraan Sunda Abad ke-
Discussion about this post