Buya Taufiq Ismail adalah seorang penyair istimewa Indonesia yang aktif berkiprah dan memiliki banyak karya mahsyur. Membaca puisi-puisi Buya Taufiq Ismail laksana mengarungi khazanah keindahan dunia, seasyik memetik ranum tangkai bunga nan wangi. Beberapa puisinya bahkan melegenda karena dijadikan syair lagu-lagu penyanyi terkenal Bimbo dan Chrisye. Beliau berpengalaman menjadi penyair tamu di Universitas Iowa dan menerjemahkan puisi karya 160 penyair Amerika yang melingkupi masa 130 tahun, menjadi sebuah buku puisi terjemahan bertajuk Rerumputan Dedaunan setebal 694 halaman (2010). Terakhir yang sangat fenomenal adalah buku puisinya Debu di atas Debu dialihbahasakan ke dalam berbagai bahasa: Inggris, Arab, Belanda, Prancis, Bosnia, Jerman, Farsi, Rusia, Korea, Jepang, Cina, dan Turki (2004-2021). Totalitas pujangga satu ini dalam berkarya sudah tidak lagi diragukan, maka berikut petikan wawancara Mata Air dengan penyair kebanggaan tanah air ini:
M: Seorang Taufiq Ismail adalah pujangga termashyur di negeri ini, apakah sejak kecil Buya telah bercita-cita menjadi seorang penyair? Siapa penyair yang karya-karyanya Buya baca sejak kecil?
T: Puisi pertama saya dimuat di Ruang Anak-anak, harian Sinar Baroe, bentuknya gurindam dua baris, waktu itu tahun 1942 saya baru kelas 2 SR. Motivasi menulis gurindam itu karena ingin meniru ayah saya yang menulis tajuk rencana koran, meniru ibu yang menulis pantun 3 bait di majalah perempuan. Saya ingin sekali melihat nama saya dicetak di halaman koran seperti nama mereka. Saat di sekolah dulu favorit saya buku-buku petualangan Winnetou karangan Karl May. Puisi Amir Hamzah, Chairil Anwar, Sitor Situmorang, Cerpen Idrus, Antologi Gema Tanah Airnya H.B. Jassin, Novel-novel Buya Hamka, Takdir Alisjahbana, Abdul Muis, dan sejenisnya. Puisi Dunia, terjemahan Taslim Ali, 2 jilid sangat saya sukai, berkali-kali tamat saya baca sampai lusuh kulit luar bukunya.
M: Apa kenangan masa kecil yang sangat berkesan dan membentuk karakter tulisan sastra Buya saat ini?
T: Masa kecil dan remaja saya berlangsung di 8 kota: Solo, Semarang, Salatiga, Yogya, Bukittinggi, Bogor, Pekalongan dan Milwaukee. Masing-masing kota memberi kenangan indah tersendiri. Ketika masih SMPN 1 Bukittinggi dan SMAN Pekalongan pada tahun 1950-an, di kedua sekolah itu tidak ada perpustakaan. Namun karena suka membaca, maka saya jadi anggota perpustakaan kota. Lalu pada masa itu Djawatan Pendidikan Masjarakat di Pekalongan memberikan kepercayaan pada beberapa LSM, untuk masing-masing mengelola perpustakaan kecil sejumlah 300 buku yang dibuka sehari seminggu. Karena beranda rumah orang tua saya besar, maka saya dan S.N. Ratmana mengelola perpustakaan yang dibuka tiap Ahad pagi hingga petang itu. Kunci lemari saya yang pegang maka saya leluasa betul membaca buku dari Senin sampai Sabtu. Semua jenis buku, dari buku tentang cara bercocok tanam anggrek hingga prosedur mengecor beton karya Prof. Rooseno yang merupakan buku pegangan mahasiswa teknik sipil pun saya baca. Sambil berlagak buku-buku itu saya tenteng ke mana-mana. Semua teman heran. “Kau baca buku itu?” tanya mereka. “Ya.” “Tamat?” “Ya.” “Apa isinya?” “Nggak ngerti.” Begitulah kira-kira percakapan kami waktu itu, hingga teman-teman pun batal, tak jadi kagum.
Bersama teman-teman yang gemar membaca ini lah kami terdorong menulis. Kami penggemar majalah Mimbar Indonesia dan Kisah, yang memuat sajak dan cerpen. Pak H.B. Jassin duduk sebagai redaktur sastra di kedua majalah itu. Kami berlomba-lomba mengirim karangan ke sana. Lima orang berhasil menembus kedua majalah itu. Muhsin Djalaludin Zuhdy (sajak), Hadi Utomo (cerpen), Sukamto A.G (sajak), S.N. Ratmana (cerpen) dan saya (sajak). Pada masa bersamaan Ajip Rosidi (Jakarta), W.S. Rendra (Solo), Motinggo Busye (Bukittinggi), Alwi Dahlan (Bukittinggi), Suwardi Idris (Bukittinggi), N.H. Dini (Semarang), S.M. Ardan (Jakarta) juga mulai menulis ketika masih duduk di bangku SMA, bahkan Ajip dan Busye sudah memulainya sejak SMP. Kami menulis karena dirangsang bacaan. Buku dan majalah memberi stimulasi besar untuk mengarang.
M: Menarik sekali cerita ini, berarti awal mulanya bukan karena pelajaran atau bimbingan di sekolah ya? Lalu apa esensi dan prinsip pendidikan sastra yang dibutuhkan agar anak-anak Indonesia lebih suka membaca dan menulis?
T: Perlu saya garis bawahi di sini bahwa pada saat itu, sayangnya buku yang kami baca tidak dari perpustakaan sekolah. Sementara karangan yang kami tulis bukan karena dibimbing guru mengarang di kelas Bahasa. Belakangan, 25-30 tahun kemudian, dalam lingkungan majalah sastra Horison dan Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta, berlangsung berbagai diskusi, seminar dan simposium yang kemudian memetakan persoalan sekitar sastra Indonesia. Ada 35 butir pembahasan kami, dan etiologinya pada butir 35, yaitu merosotnya wajib baca buku sastra, bimbingan mengarang dan pengajaran sastra di sekolah.
Kaidah-kaidah berbahasa tidak boleh diajarkan seperti mengajarkan rumus kimia. Bagaimana mungkin siswa suka sastra jika pelajaran ini diajarkan seperti formula ilmu alam yang disodorkan, lalu siswa hanya disuruh membuat 3 contoh kalimat, begini terus selama di SD, SMP, dan SMA. Dua belas tahun lamanya.
Dominasi pengajaran tata bahasa di SMA kita sedemikian rupa, seolah tata Bahasa kita amat susahnya. Pengajaran sastra dipinggirkan, bimbingan mengarang disingkirkan. Padahal di negara-negara yang tata bahasanya lebih rumit seperti di Rusia, tata bahasa tidak diajarkan di SMA. Tetapi tata bahasa itu diperiksa dalam tulisan. Tugas mengarang dan membaca banyak. Murid akan ketahuan kalau tata bahasanya lemah dari karangan yang dibuatnya. Saya pernah melakukan penelitian yang respondennya 11 negara dan hasilnya adalah di negara-negara tersebut tata bahasa hanya diajarkan di SD dan SMP. Di SMA tugas murid hanya dua, yaitu : membaca dan mengarang.
Sangat disayangkan bahwa pengajaran bahasa lebih ditekankan hanya pada pengajaran tata-bahasa saja sementara tugas membaca dan mengarang sangat berkurang. Pelajaran 4 jam bahasa selama seminggu itu menjadi sangat membosankan. Sangat membosankan. Sayangnya kita tidak menuntun siswa masuk ke jalan raya peradaban dunia dengan membawanya ke perpustakaan sekolah, memperkenalkannya pada buku-buku sastra yang lengkap disediakan, menuntunnya sampai adiksi membaca, melatihnya agar menjadikan buku (bukan sastra saja) sebagai rujukan terpelajar dalam kehidupan.
Kita tidak melatih siswa menulis sebagai catatan dan analisis fakta, mengarang sebagai ekspresi diri, mencipta sebagai kreasi estetika. Kita belum pernah betul-betul meyakinkan siswa bahwa kemampuan menulis harus dikuasai siapa saja yang akan bekerja di bidang apa pun juga kelak dalam karir dan kehidupannya. Inilah sketsa garis kasar Generasi Nol Buku, yang Rabun Membaca dan Pincang Mengarang, produk kelalaian kita 76 tahun lamanya.
M: Buya menyebutkan sebuah kalimat yang cukup dalam, tentang Generasi Nol Buku, yang Rabun Membaca dan Pincang Mengarang. Apa latar belakang pernyataan ini dan kondisi ideal sastra bagi sebuah bangsa?
T: Pada tahun 1996 saya mengikuti seminar tentang sastra Indonesia-Malaysia di Moskow, sehingga mendapat kesempatan memperoleh informasi langsung tentang pengajaran membaca, mengarang dan apresiasi sastra di sekolah. Saat itu responden saya Elvira Karimova Vernon, seorang insinyur-psikolog, menuliskan bahwa pada tahun 1980-an siswa SMA Rusia wajib membaca setidaknya 12 buku berikut ini : War and Peace (Tolstoy), Mother (Maxim Gorky), Crime and Punishment (Fyodor Dostoyevsky), And Quiet Flows the Don (Michael Solokhov), Cherry Orchard (Anton Chekhov), Short Stories (Maxim Gorky), Poetry (Mayakovsky, Lermontov, Pushkin), The Captain’s Daughter (Lermontov), Eugine Onegin (Alexander Pushkin), What to Do (Chernyshevsky), The Dead Souls and Other Stories (Nikolai Gogol), The Prose of Paustovsky and Simonov. Kita tahu bahwa seluruh nama itu adalah raksasa sastra dunia. Yang paling mereka sukai adalah Perang dan Damai karya Empu Leo Tolstoy. Seluruh tamatan SMA Rusia minimum telah membaca buku-buku wajib di atas. Belum lagi apabila siswa tersebut juga mengambil sastra asing, seperti Inggris, Perancis, dan Jerman. Lalu antara bulan Juli-Oktober 1997 saya melakukan serangkaian wawancara dengan tamatan SMA dari 13 negara tentang kewajiban membaca buku, tersedianya buku wajib di perpustakaan sekolah, bimbingan menulis, dan pengajaran sastra. Hasilnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
No. | ASAL SEKOLAH | BUKU WAJIB | NAMA SMU/KOTA | TAHUN |
1 | SMA Thailand Selatan | 5 judul | Narathiwat | 1986-1991 |
2 | SMA Malaysia | 6 judul | Kuala Kangsar | 1976-1980 |
3 | SMA Singapura | 6 judul | Stamford College | 1982-1983 |
4 | SMA Brunei Darussalam | 7 judul | SMA Melayu I | 1966-1969 |
5 | SMA Rusia Sovyet | 12 judul | Uva | 1980-an |
6 | SMA Canada | 13 judul | Canterbury | 1992-1994 |
7 | SMA Jepang | 15 judul | Urawa | 1969-1972 |
8 | SMA Internasional, Swiss | 15 judul | Jenewa | 1991-1994 |
9 | SMA Jerman Barat | 22 judul | Wanne-Eickel | 1966-1975 |
10 | SMA Prancis | 30 judul | Pontoise | 1967-1970 |
11 | SMA Belanda | 30 judul | Middleburg | 1970-1973 |
12 | SMA Amerika Serikat | 32 judul | Forest Hills | 1987-1989 |
13 | AMS Hindia Belanda-A | 25 judul | Yogyakarta | 1939-1942 |
AMS Hindia Belanda-B | 15 judul | Malang | 1929-1932 | |
SMA Indonesia | 0 judul | Di Mana Saja | 1950-1997 |
Dari tabel di atas jelas tampak bahwa siswa AMS pada zaman Hindia Belanda saja wajib membaca 25 judul buku selama masa 3 tahun. Lebih menarik lagi mereka membaca 25 judul buku sastra bukan hanya dalam satu bahasa, tapi dalam 3 atau 4 bahasa : Belanda, Inggris, Prancis, Jerman dan Belanda. Mereka wajib menulis 1 karangan per minggu. Sehingga ada 18 karangan selama satu kwartal, 36 karangan selama setahun, 108 karangan selama 3 tahun. Keistimewaan generasi ini adalah penguasaan bahasa asing, yaitu bahasa Belanda, Arab, Inggris dan Prancis, yang sistem pengajarannya luar biasa. Hasil dari pendidikan ini tidak tanggung-tanggung, Soekarno, Hatta, Agus Salim, Sjahrir, Rustam Effendi, Tan Malaka, Sukiman Wirjosandjojo, Sumitro Djojohadikusumo, M. Natsir, Wilopo, Soepomo, Sjafrudin Prawiranegara, Leimena, dan seterusnya.
Menurut penelitian Applebee di 1210 SMA di Amerika Serikat pada tahun 1989 ada lima komponen pengajaran bahasa dan sastra yang harus ada sepanjang siswa kelas IX-XII dengan perbandingan 50% pengajaran sastra, 28% mengarang, 10% tata bahasa, 9% bicara, 3% lainnya. Maka tragedi nol buku bermula sejak awal 1950-an. Ketika wajib baca 25 buku sastra dan bimbingan menulis 108 karangan di SMA digunting habis, karena dipandang menghabiskan waktu pelajaran dan tidak perlu. Sebaliknya siswa melulu diberi teori tata bahasa membosankan. Ini kesalahan peradaban luar biasa besar, kerugian tak terkira-kira. Hal ini terjadi karena adanya sikap meremehkan yang sangat keliru terhadap pembentukan literasi anak didik, sikap meremehkan yang sesat terhadap bimbingan kemampuan menulis siswa, sikap meremehkan yang patologis terhadap apresiasi karya sastra.
Kalau begitu bagaimana sekarang? Apa yang sebaiknya kita lakukan? Mari kita mengejar ketertinggalan berpuluh tahun ini. Kita cukupkan mengajar tata bahasa di SD dan SMP saja. Sementara di SMA tugas siswa dua saja: membaca buku, membaca buku, membaca buku, lalu menulis karangan, menulis karangan, menulis karangan. Jangan biarkan mereka mengikuti generasi 6 dasawarsa yang tak suka membaca buku, yang tak mampu memindahkan ide di kepala menjadi bentuk tertulis. Guru harus kita persiapkan menguasai seluruh buku sastra, sehingga mampu mendiskusikannya dengan leluasa. Guru juga kita persiapkan biasa menulis agar bisa membimbing siswa mampu menulis karangan dengan baik. Perpustakaan SMA kita lengkapi dengan buku-buku sastra yang baik agar orangtua tak perlu membelikannya.
M: Buya pernah menghabiskan masa pendidikan pertukaran pelajar di luar negeri, adakah hal mengesankan saat berada di sana?
T: Memasuki tahun 1956 saya mendapatkan beasiswa bersekolah SMA setahun di AS melalui program AFSIS angkatan pertama. Saya tinggal di kota kecil Whitefish Bay, desa satelit kota Milwaukee, di tepi danau Michigan. Mata saya terbelalak melihat perpustakaan SMA Whitefish Bay. Ruangannya luas, asri, dan jumlah bukunya seingat saya sekitar 100.000 judul, siswa pengunjung banyak tapi tidak berisik. Buku yang wajib dibaca di kelas sastra disediakan semua di perpustakaan sekolah. Kewajiban membaca dan menulis seperti tak ada habis-habisnya, bukan hanya di kelas sastra tapi juga di pelajaran lain. Siswa sibuk sekali tak ada waktu berleha-leha menonton televisi. Guru sastra saya memberi tugas bertimbun-timbun membaca buku (dibaca di rumah atau di ruangan study hall di sekolah), membimbing diskusi buku dan tugas mengarang. Tata Bahasa tidak diajarkan, tapi dicek dalam karangan. Bu Clara Czarkowsky, guru saya itu mengenalkan kami pada karya Stephen Crane, Ralph Waldo Emerson, Henry David Thoreau, Ernest Hemingway, John Steinbeck, Herman Melville, Edgar Allan Poe, Walt Whitman, Emily Dickinson, Carl Sandburg, Edwin Markham dan seterusnya. Diskusi novel makin menarik karena filmnya ditayangkan pula, seperti The Old Man and the Sea (Hemingway) dan Moby Dick (Melville). Kemudian ada pula seri film singkat riwayat hidup penyair Poe, Whitman, Dickinson, dan lain-lain. Sastra diajarkan dengan sangat memikat. Kecintaan saya pada sastra makin menjadi-jadi. Saya mabuk sastra.
M: Kalau begitu apa saran dari Buya agar pendidikan sastra di Indonesia lebih baik? Apakah ada hal khusus yang bisa dilakukan para guru agar siswa lebih menyukai sastra?
T: Untuk meletakkan dasar yang kuat suatu program kegiatan yang dapat mengatasi keterbelakangan kita, maka tentulah terlebih dahulu ditetapkan cara pandang, paradigma baru sebagai acuan memperbaiki pengajaran membaca, mengarang, dan apresiasi sastra di SMA kita.
- Siswa dibimbing memasuki sastra secara asyik, nikmat dan gembira. Pendekatannya bukan keilmuan seperti ilmu eksakta, bukan pula hafalan seperti belajar sejarah, yang harus dibentuk adalah citra sastra di hati siswa sebagai suatu hal menyenangkan, yang membuat mereka antusias, dan yang mereka rasa perlukan dalam hidup.
- Siswa membaca langsung karya sastra puisi, cerpen, novel, drama dan essay, bukan melalui ringkasannya. Oleh karena itu buku-buku itu harus ada lengkap di perpustakaan sekolah.
- Kelas mengarang harus dibuat menyenangkan, sehingga tidak menjadi beban, baik bagi guru maupun siswa. Mengarang harus dirasakan sebagai ekspresi diri yang melegakan perasaan. Cara kuno memberi judul klise seperti: “Cita-citaku” atau “Pengalaman Berlibur ke Rumah Nenek’’ harus diganti dengan imajinasi yang kaya, sesuai fantasi siswa. Mengarang bukan sekadar menulis laporan, tapi menggugah imajinasi dan menuntun siswa berpikir.
- Ketika membicarakan sastra, aneka ragam tafsir harus dihargai karena tidak ada tafsir tunggal terhadap karya sastra. Adanya bentuk soal pilihan ganda untuk tafsir karya sastra adalah kekeliruan yang harus diperbaiki.
- Pengetahuan tentang sastra (teori, definisi, sejarah) tidak utama dalam pengajaran sastra di SMA. Siswa jangan terus dibebani teori dan definisi. Tata bahasa tidak lagi diberikan secara teoritis tapi dicek penggunaannya dalam karya karangan siswa.
- Pengajaran sastra haruslah mendidik karakter siswa, membangun perilaku, menyemaikan nilai-nilai luhur, akhlak mulia pada batin siswa, membekali mereka menghadapi kenyataan kehidupan masa kini yang keras dan terus berubah. Keimanan, kejujuran, ketertiban, pengorbanan, demokrasi, tanggung-jawab, pengendalian diri, kebersamaan, penghargaan pada nyawa manusia, optimisme, kerja keras, keberanian mengubah nasib, adalah antara lain nilai-nilai luhur yang hancur di masa kini. Oleh karena itu, karya sastra yang relevan dengan nilai-nilai itulah yang harus kita pilih untuk disajikan dan didiskusikan di kelas.
M: Karya-karya Buya kental dengan pesan-pesan sosial, keadilan, serta kebenaran. Apa filosofi di balik puisi-puisi tersebut dan apa motivasi terbesar Buya saat menulis puisi dan menjadi sangat produktif menghasilkan karya?
T: Ketika merenungi perjalanan panjang puisi-puisi saya, karya-karya tersebut umpama sebagai sastra zarrah, sastra debu, yang sadar terhadap lingkungan, planet dan galaksinya, berikhtiar menanamkan akar ke dalam bumi, kemudian menumbuhkan pohon, dahan, ranting, putik dan daunnya tinggi menjulang ke atas sana. Ternyata ia menjelma menjadi tukang kebun dan penanam pohon. Dia memerlukan cahaya matahari, kesuburan tanah, cuaca dan pupuk. Dia tahu langit takkan tercapai, paling banyak hanya tergapai. Sastra debunya berikhtiar menuliskan kalimat yang baik dan indah, dengan ibarat pohon yang ditanamnya ini, yang rimbun daunnya diharapkan meneduhi musafir yang lewat serta menyuburkan pohon-pohon lain pula. Pohon yang mudah-mudahan menyajikan buah pada setiap musim, dengan seizin Sang Maha Pencipta Musim. Buah yang ranum lezat bermanfaat bagi lingkungan masyarakat sekitar pohon itu.
M: Karya Buya yang paling banyak diterjemahkan ke berbagai bahasa adalah buku kumpulan puisi DEBU DI ATAS DEBU. Mengapa buku itu diberi judul tersebut, apakah ada motivasi khusus mengapa diterjemahkan ke dalam banyak bahasa?
T: Salah satu impian kolektif penyair di mana pun adalah keinginan dikenalnya karya mereka dalam bahasa lain. Dengan dialihbahasakannya puisi, seolah puisi itu bepergian ke negeri-negeri di benua lain, menyeberangi samudera di atas air, melewati awan-awan di atas udara, masuk ke toko buku asing, dibaca di perpustakaan di benua yang jauh.
Merenungkan kembali puisi-puisi ini, saya merasa perlu mengetahui di mana posisi saya di alam semesta ini. Dalam garis bujur dan lintang geografi, berapa basis dan ordinat saya? Ternyata ranah pemukiman saya sebuah noktah geologi dari beberapa juta galaksi alam semesta ini. Noktah ini, sebuah titik benda angkasa bernama bumi. Bumi ini dalam perbandingan angkasa menyeluruh sebesar butir debu, beredar dengan setia di garis melengkung yang jelas, berlayar di angkasa raya berjuta tahun lamanya. Di atas permukaan butir debu ini, saya adalah setitik debu dalam ukuran mikroskopis. Kemudian, sesudah mikro-debu ini mengetahui posisinya di atas titik debu bernama bumi ini, seperti bermilyar-milyar mikro-debu lainnya, bekerja dan bertugaslah dia. Debu yang satu ini mula-mula berfungsi sebagai anak debu, lalu suami debu, ayah debu, kakek debu, warga negara debu, dan mengerjakan puisi debu.
M: Mohon sekiranya Buya berkenan memberikan nasihat yang berharga bagi majalah Mata Air agar majalah ini dapat terus menjadi kebaikan bagi negeri ini.
T: Teruslah berkarya memajukan literasi bangsa dalam rida Yang Maha Penyayang (Taufiq Ismail, Juli 2021).
Penulis : Astri Katrini Alafta
Discussion about this post