Manusia adalah makhluk ciptaan Allah yang hidup di dunia, tapi sebenarnya adalah penghuni surga. Manusia diturunkan ke bumi sebagai sebuah fase ujian untuk mengetahui siapa yang akan lulus dalam ujian tersebut sehingga layak untuk kembali ke rumah aslinya, surga. Dunia amat berbeda dari surga yang merupakan tempat didapatkannya berbagai kenikmatan dengan ‘’instan’’. Apa yang kita minta di sana dengan mudahnya tersedia di depan mata. Apa yang tebersit di pikiran penghuni surga, akan tiba-tiba tersaji tanpa membutuhkan waktu yang lama. Namun tak demikian halnya dengan dunia. Ia merupakan tempat di mana ketika seseorang menginginkan sesuatu, akan membutuhkan proses dan usaha untuk mencapainya. Misalnya untuk makan, perlu berbagai proses yang harus dijalani. Untuk mendapatkan nasi yang tersaji di meja perlu seruntutan proses dimulai dari benih yang disemai hingga gabah yang siap untuk dipanen. Gabah lalu digiling menjadi beras, dan beras ditanak menjadi nasi yang siap santap.
Pada intinya, dunia adalah ladang proses untuk mendapat hasil yang terbaik. Begitu pula, ia juga ladang untuk mengumpulkan bekal menuju rumah sesungguhnya. Tiket dan bekal menujunya tidaklah mudah. Butuh pahala ibadah kepada yang Maha Esa, amal saleh kepada semesta, dan muamalah yang baik dengan sesama. Banyak yang pada akhirnya tak lulus karena tidak dapat menyeimbangkan antara ketiganya. Kesalehan bukan hanya kepada Tuhan semata, ada hak adami yang perlu ditunaikan. Hubungan dengan sesama manusia, di satu sisi, lebih berat dibandingkan dengan hak Ilahi. Ketika melakukan maksiat atau dosa, istighfar dan tobat bisa menjadi penebusnya. Namun saat kesalahan kepada sesama manusia dilakukan tapi tak disertai permohonan maaf kepada yang bersangkutan, maka ampunannya tidaklah mudah didapatkan. Kita mungkin masih ingat saat Rasulullah bertanya kepada para Sahabat, “Tahukah kalian siapa orang yang bangkrut dan merugi?”1 Berbagai jawaban mengarah pada hal materi, seperti yang merugi dalam perdagangan, perniagaan, tak punya uang, dan sebagainya. Bukan, bukan itu yang Rasulullah maksudkan. Orang yang bangkrut ialah mereka yang di dunia banyak melakukan amal kebaikan dan pahalanya tinggi menggunung di hari penghisaban, tapi sayangnya mereka juga tak absen menjahati dan melukai hati orang lain. Sehingga pada saat itu datang orang-orang yang mengadu atas keburukannya. Dari amalannya yang menggunung dikurangi satu pahala untuk diberikan pada orang yang disakitinya itu sebagai penebusan. Lalu datang orang kedua, ketiga, keempat, kelima, dan seterusnya mengadukan hal yang sama. Mereka semua adalah orang yang pernah dijahati olehnya. Pahalanya pun habis tak bersisa. Masih belum selesai di situ, masih terus berdatangan orang yang mengadukannya, sehingga pahalanya tak cukup untuk menebus hak adami yang telah dilanggarnya saat berada di dunia. Lantas jalan satu-satunya adalah mengambil dosa-dosa orang yang disakitinya lalu ditimpakan kepadanya. Sehingga ia yang datang dengan amal saleh yang menggunung, lalu bangkrut karena habis digunakan untuk penebusan kesalahannya.
Dunia adalah ladang akhirat, begitu Rasulullah berpesan kepada kita. Ke mana kita akan kembali kelak saat di akhirat sangat berkaitan dengan apa yang kita tanam saat di dunia. Kebaikan, kejujuran, kedermawanan, maupun penghormatan yang kita berikan kepada orang lain akan termanifestasikan menjadi pahala yang mengantarkan kita pada surga-Nya. Sebaliknya, keburukan, kejahatan, kebohongan, kesombongan, juga kekikiran akan termanifestasikan menjadi dosa yang menjadikan manusia berhak menerima neraka. Itulah mengapa setiap pekerjaan yang kita lakukan, ucapan yang kita katakan, dan perilaku yang kita praktikkan harus didasarkan pada kemanfaatan kepada orang lain. Bila hal itu berguna dan memberikan nilai positif, baik bagi lingkungan sekitar maupun kehidupan kita, maka kita bisa tetap melestarikannya. Namun bila tidak, kita perlu meninggalkan dan menjauh darinya.
Di kehidupan yang hanya sehari ini, bukankah tak cukup layak jika keburukan dilakukan. Ibaratnya, kita datang bertamu di pagi hari dan pergi pulang di sore hari. Kita takkan berlama-lama di tempat itu, karena kita tahu bukan di sana kita akan tinggal. Ada rumah yang kita tinggalkan yang kita akan kembali kepadanya. Dengan perspektif ini, manusia akan menghargai dunia sepantasnya saja tanpa melebih-lebihkannya. Inilah prinsip kehidupan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau memosisikan dirinya di dunia seperti seorang musafir atau pelintas jalan saja.2
Dunia dengan gemerlap isinya memang menarik untuk dipandang mata. Seringkali kita lupa bahwa pada saatnya itu semua takkan ada nilainya. Konon seorang khalifah ada yang pernah ditanya, untuk mendapatkan segelas air ini, apa yang akan ia pertaruhkan? Bila dalam keadaan normal, harga segelas air itu hanyalah satu dinar saja. Namun pada saat semua sumber air telah sirna dan tenggorokan tak lagi dapat menelannya, istana dan seisinya rela ia gunakan sebagai harga untuk menebusnya. Begitulah, kita mati-matian mencari dan mengejar dunia hingga terlena dan lupa bahwa akan ada saat ketika semua yang dipunya takkan dapat menjadi teman di kala sendirian kelak di alam baka, bahkan sepasang kaus kaki butut sekalipun.
Diceritakan bahwa seorang yang kaya raya tengah sakit keras, lalu karena merasa bahwa waktunya tidak lama lagi, ia pun berwasiat kepada kepada anak-anaknya agar kelak dikuburkan bersama dengan kaus kaki kesayangannya. Anak-anaknya terkejut karena tak ada yang istimewa dari kaus kaki itu. Namun karena menghormati sang ayah, mereka pun manggut-manggut menyetujuinya. Tak berselang lama, sang ayah pun wafat dan anak tertua ingin memenuhi keinginan terakhirnya dengan menguburkannya bersama kaus kaki butut kesayangannya. Di saat itulah terjadi perdebatan antara sang anak dengan pemuka agama yang mengurus penguburannya. Dikatakan bahwa jenazah tidak diperkenankan untuk dikubur bersama dengan benda apapun kecuali beberapa helai kain kafan saja. Si anak bersikeras merasa perlu memenuhi wasiat sang ayah sehingga ia tidak mau tahu. Pada saat situasi sedang buntu, pengacara sang ayah lalu muncul menyerahkan sepucuk surat kepada anak-anaknya. Anak tertua membuka surat dan membacanya di depan hadirin yang bertakziah. ‘’Aku tahu, kalian mungkin sekarang sedang bersitegang dengan pemuka agama karena tidak diperkenankan memakaikanku kaus kaki yang kuwasiatkan itu. Kini paham kah kalian, bahwa harta yang kau kumpulkan dengan susah payah siang dan malam takkan dapat kaubawa, meski hanya sepasang kaus kaki butut tak berharga. Hanya amal saleh dan sedekah jariah yang dilakukan saat hidup yang akan menjadi bekal dan penerang jalan untuk menyusuri alam akhirat kelak. Satu lagi yang perlu kalian ketahui, bahwa kafan tak memiliki saku. Jadi, hiduplah di dunia seakan-akan kalian adalah musafir yang berteduh di bawah pohon rindang lalu paham bahwa akan kembali beranjak meneruskan perjalanan.’’
Ya, berada di dunia bagaikan seorang pengelana. Pengelana yang pergi ke suatu tempat demi sebuah tujuan mulia. Perjalanannya bisa jadi memakan waktu yang lama, berminggu-minggu, berbulan-bulan, atau bahkan bertahun-tahun. Di tengah perjalanan ia akan merasa kelelahan, sehingga memutuskan berteduh di bawah pohon yang rindang. Bisa jadi pohon itu indah, memberikan keteduhan juga tempat yang nyaman untuk beristirahat. Namun apakah pengelana itu akan lupa dengan tujuannya dan terpana pada tempat peristirahatannya. Seharusnya, tentu saja tidak. Ia harus ingat apa atau kemana tujuannya, sehingga ia sadar bahwa di situ dia hanya tinggal sementara. Begitulah dunia. Manusia datang dari surga diturunkan ke dunia dan seharusnya kembali lagi ke sana suatu saat nantinya. Dunia hanya tempat persinggahan bagi manusia untuk mengumpulkan amal sebanyak-banyaknya sebagai bekal atau tiket masuk ke rumah aslinya.
Para rasul, nabi, dan orang-orang saleh amat memahami prinsip hidup semacam ini, hingga mereka pun hidup di dunia sekadarnya saja. Ketika makan pun mereka hanya untuk memberi nutrisi tubuh semata. Mereka tidur juga hanya untuk memenuhi hak tubuhnya. Mereka menghabiskan hidup untuk sesuatu yang dapat dijadikan bekal untuk kehidupan selanjutnya. Ini bukan berarti bahwa hidup dengan mengabaikan dunia. Tentu tidak. Al-Qur’an bahkan menekankan bahwa hiduplah untuk akhirat dan jangan lupakan dunia.3 Sering juga kita mendengar sebuah ungkapan yang berbunyi, ‘’Beramallah untuk duniamu seakan kau abadi di dalamnya dan beramallah untuk akhiratmu seakan kau mati esok hari.’’ Ungkapan ini mengajarkan kita tentang keseimbangan yang harus dijaga tanpa mengabaikan salah satunya. Allah tidak menciptakan kita di dunia sia-sia. Ada tujuan dan hikmahnya. Allah menciptakan segala hal duniawi yang manusia di dalamnya untuk dijalani. Karena dari satu sisi, dunia adalah ladang akhirat yang di dalamnya ditanam berbagai kebaikan untuk dipanen hasilnya di kehidupan akhirat. Jika kita menanam kebaikan, maka kebaikan pula yang akan kita tuai. Namun bila keburukan yang kita tanam, maka keburukan pula yang akan kita tuai.
Pada intinya, kunci sukses kehidupan di dunia dan akhirat sebagaimana yang Rasululullah praktikkan adalah menikmati setiap proses yang dijalani di dunia tapi juga senantiasa mempersiapkan diri untuk akhirat; hidup di dunia dan selalu merasakan kehidupan seakan dekat dengan kematian. ‘’Perbanyaklah mengingat pemutus kelezatan, yakni kematian.’’4, adalah wasiat Rasulullah kepada kita semua. Senantiasa mengingat dan memikirkan kematian akan membuat manusia tidak muluk-muluk mengejar dunia. Ia akan paham bahwa apa yang didapatnya tidak akan dapat dibawanya. Sebaliknya ia akan mendermakannya demi kebaikan dan menjadi bekal di kehidupan abadi. Inilah kunci hidup keselamatan, melepaskan diri dari jeratan dunia demi selamat di kehidupan akhirat.
Dalam karyanya, Matsnawi, Maulana Jalaluddin Rumi dengan indahnya membahas tentang hal ini. Suatu ketika saudagar kaya akan bepergian ke India. Ia adalah seseorang yang amat baik hatinya. Ditanyakannya pada seluruh keluarga dan pembantunya apa oleh-oleh yang mereka inginkan dari sana. Satu per satu ia tanyakan dan masing-masing menyebutkan beraneka hadiah yang diinginkan. Tak lupa, saudagar itu juga menanyakan pada burung beo kesayangannya, apa kiranya oleh-oleh yang ia suka. Burung beo berkata, aku hanya ingin jika kau bertemu dengan burung-burung beo yang ada di sana mengatakan hal ini saja, ‘’Aku di sini dikurung dalam sangkar, sedangkan kalian terbang bebas sesuka hati. Tidakkah menurut kalian ini tidak adil?’’ Ya, itulah permintaan dari sang beo.
Saudagar itu lalu berangkat ke India untuk berniaga dan menyempatkan diri untuk membelikan oleh-oleh bagi sanak saudaranya. Pesan dari beo kesayangannya pun tak dilupakan. Di sebuah taman kota yang rindang penuh pepohonan, ia bertemu dengan sekelompok burung beo yang bertengger di dahan pohon dengan bebasnya. Ia lalu menyapa mereka dan menyampaikan salam dan perkataan sesuai permintaan beonya. Setelah selesai dengan perkataannya, tiba-tiba salah satu beo yang ada di sana menggigil dan jatuh dari dahan yang ia hinggapi lalu mati. Saudagar itu sangat ketakutan dan merasa amat bersalah. Ia berpikir barangkali beo yang mati itu adalah saudara dari beo peliharaannya dan mati karena sedih mendengar kisah hidupnya.
Berselang beberapa hari, saudagar kaya tiba di rumahnya dan membagikan oleh-olehnya. Terkecuali untuk burung beo. Burung beo menagih hadiah untuknya. Namun saudagar enggan memberinya karena takut menjadi sedih karenanya. Beo itu bersikeras dan sang saudagar pun akhirnya menceritakannya. Usai mendengar cerita, burung beo menggigil, persis seperti burung beo yang ada di India itu lalu jatuh dan mati tak bernyawa. Sang saudagar sangat sedih dan menyalahkan dirinya sendiri. ‘’Aku tahu ini akan terjadi, tak seharusnya aku menceritakan ini padamu.’’, katanya sambil menahan isak tangis kesedihan. Ia pun lalu mengeluarkan beo kesayangannya yang kini tak lagi bernapas dari sangkar. Namun tiba-tiba, saat ia mengeluarkannnya dari sangkar, seketika burung beo terbang dan hinggap di tempat yang tinggi. Saudagar pun tercengang dan bertanya-tanya apa yang terjadi. Mengapa beo kesayangannya melakukan itu. Si beo pun mengatakan bahwa burung beo yang ia temui di India lah yang memberikannya cara agar dapat keluar dari sangkar yang mengurungnya. Ia dikurung karena bersuara indah dan berbulu menawan. Untuk dapat keluar dari kurungan itu, ia harus melepaskan dari keindahan semu yang mengurungnya, yakni dengan cara berpura-pura mati.
Begitulah. Dunia sangat indah dengan berbagai gemerlapnya. Agar kita dapat terbebas dari keindahan menyilaukan yang semu itu, kita harus merasakan kematian sebelum mati yang hakiki, yakni dengan melepaskan diri dari kehidupan dunia demi mempersiapkan diri untuk kehidupan yang abadi dan hakiki serta menjadi hamba bagi Yang Kuasa. Karena menurut Jalaluddin Rumi, hanya dengan menjadi hamba kepada Allah lah manusia mencapai kebebasan hakikinya.5
Penulis adalah lulusan ilmu hadis Universitas Al-Azhar, Mesir, dan aktif sebagai editor di Majalah Mata Air.
Referensi :
1. HR. Muslim no. 2581.
2. HR. Bukhori no. 471.
3.
.وَٱبۡتَغِ فِیمَاۤ ءَاتَىٰكَ ٱللَّهُ ٱلدَّارَ ٱلۡـَٔاخِرَةَۖ وَلَا تَنسَ نَصِیبَكَ مِنَ ٱلدُّنۡیَاۖ وَأَحۡسِن كَمَاۤ أَحۡسَنَ ٱللَّهُ إِلَیۡكَۖ وَلَا تَبۡغِ ٱلۡفَسَادَ فِی ٱلۡأَرۡضِۖ إِنَّ ٱللَّهَ لَا یُحِبُّ ٱلۡمُفۡسِدِینَ
(QS. Al-Qashash 77)
Dan carilah (pahala) negeri akhirat dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepada kamu, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan.
4. HR. Tirmidzi.
5.
Men Bende Şudem Men bende şudem bende şudem, bende şudem
Men bende be-haclet ser-efkende şudem
Her bende şeved şâd ki âzâd şeved
Men şâd ez-ânem ki Tura bende şudem
Aku jadi budak, jadi budak, jadi budak
Aku membungkuk mengabdi kepada-Mu
Para budak akan bahagia saat terbebas
Namun aku bahagia saat menjadi budak-Mu
-Maulana Jalaluddin Rumi, Divan-ı Kebir-
Penulis : Abdullah Farid
Discussion about this post