“Namaku Laila. Sewaktu masih SD, aku tinggal di sebuah desa. Kebanyakan masyarakat di sekitarku mengaku beragama Islam, tetapi tak sedikit yang meninggalkan salat. Jika ditanya tentang keyakinannya, mereka pasti menjawab beragama Islam. Namun demikian, mereka tidak pernah sembahyang, tidak pula ke masjid untuk salat berjamaah. Mereka juga tidak membayar zakat, pun tidak berpuasa. Apalagi menjalankan ibadah haji, terpikir pun tidak.”
“Aku beragama, tetapi merasa jauh dari agama. Hatiku tidak tergerak untuk menjalankan ibadah. Padahal aku dulu bersekolah agama. Aku seakan-akan belum merasakan esensi beribadah itu sendiri. Orang-orang mengatakan jika aku menganut deisme.
Apa yang harus kulakukan?!”
Paragraf di atas merupakan cuplikan fenomena yang marak terjadi di tengah masyarakat saat ini, sebuah fenomena ketika manusia meninggalkan nilai-nilai agama yang dianutnya. Apa yang sebenarnya terjadi atau apa yang sebenarnya hilang dari kita? Apakah semudah itu orang-orang meninggalkan nilai-nilai agamanya? Pantaskah jika agama diperlakukan layaknya barang dagangan di pasar, ditukar, ditanggalkan, dan dibiarkan begitu saja? Apa itu deisme yang dikatakan Laila di atas? Apakah ideologi ini merupakan alternatif baru dari ateisme, atau bahkan ia sesuatu yang bertolak belakang darinya?
Ateisme merupakan aliran yang mengatakan bahwa Tuhan tidak ada, sehingga perubahan yang terjadi di alam semesta dianggap tak ada hubungannya dengan Tuhan. Adapun deisme meyakini keberadaan Tuhan dan Dia yang telah menciptakan alam semesta, tetapi menganggap jika Tuhan tak ubahnya pembuat jam (the clookmaker) yang tidak lagi campur tangan dalam proses pergerakan setelah jam itu selesai dibuat.1 Seorang deis tidak memandang kitab suci sebagai wahyu Tuhan. Mereka juga tidak ikut serta dalam ibadah yang kelompok atau individual karena tidak mau menyembah Tuhan yang tidak hadir. Mukjizat, wahyu, serta doa dalam deisme dianggap tidak perlu karena Tuhan telah memberikan akal kepada manusia sehingga dianggap mampu mengetahui apa yang baik dan buruk. Jadi, menurut pemahaman ini, manusia dan akalnya sudah cukup untuk mengurus kehidupan dunia.2
Tergesernya Ateisme (?)
Pergeseran sudut pandang ini memberikan pemahaman baru bahwa orang-orang yang dulunya tidak mengakui keberadaan Tuhan kini mulai menilik dan mengakui adanya nilai-nilai spiritual, termasuk Tuhan itu sendiri, yang ternyata memiliki kontribusi pada kehidupan mereka, yang terbukti dengan adanya aliran baru di dunia Barat bernama spiritualisme, juga deisme itu sendiri.3 Dengan kondisi ini, apakah kita bisa menyatakan bahwa paham ateisme sudah tidak lagi berlaku, atau mungkin mereka sedang mencari topeng yang baru?
Jika menilik kembali para pemikir Abad Pencerahan di abad ke-18, kita bisa melihat sudut pandang mereka yang menjadikan akal manusia sebagai standar untuk semua pengetahuan, termasuk moralitas. Menurut mereka, pikiran manusia menjadi penengah moral utama untuk bisa menggantikan Tuhan. Pada dekade terakhir abad tersebut, Nietzsche (1844-1900) menyatakan bahwa—setidaknya bagi manusia Barat—‘Tuhan telah mati’.4
Mungkinkah ini yang dijadikan dasar oleh para penganut deisme bahwa Tuhan kini tidak ikut campur lagi dengan apa yang telah diciptakan-Nya, serta keberlanjutan proses penciptaan diserahkan pada akal manusia? Tuhan mana dan Tuhannya siapa yang mereka maksud telah mati? Apakah Tuhan yang mereka pahami sama dengan yang diyakini oleh penganut agama samawi?
Landasan awal yang berbeda menjadikan para penganut deisme -atau sejenisnya- tak akan pernah bisa satu pemikiran dengan para penganut agama samawi. Tuhan bagi penganut agama samawi, khususnya Islam, berlandaskan pada paham monoteisme yang mengakui keberadaan Tuhan yang Esa dan Tuhan yang menciptakan alam serta berperan aktif dalam pengendaliannya; Tuhan yang menciptakan alam dari tidak ada menjadi ada; Tuhan yang Maha Kuasa dan berkehendak mutlak mampu mengubah segala ciptaan-Nya sesuai dengan kehendak mutlak-Nya.5 Sedangkan jika kita melihat lebih jauh pada para leluhur orang-orang deis, yaitu para pemikir filsafat Yunani Kuno, sebagian besar mereka berpegang pada aliran monisme yang bersandar pada asal yang satu. Contohnya adalah seperti Thales yang berpendapat bahwa asal segala sesuatu ialah air dan dari air muncul segala jenis kehidupan; Anaximenes yang mengatakan bahwa asal sesuatu ialah udara; sedangkan bagi Heraclitus, asal sesuatu adalah api.
Seiring perkembangan zaman, Spinoza, seorang ahli filsafat, telah menciptakan monisme radikal. Ia mendefinisikan “benda” sebagai sesuatu yang terkandung dalam dirinya dan melalui dirinya sendiri, serta tidak membutuhkan benda lain. Selain itu, ia juga merupakan sesuatu yang tidak dapat dibagi, juga abadi. Singkatnya, benda memiliki sinonim yang sebanding dengan Tuhan, dan di waktu yang sama, ia juga sinonim dengan alam semesta. Alhasil, menurutnya, Tuhan adalah akal, juga adalah benda6. Pertanyaannya adalah, apa mungkin Tuhan berupa benda yang merupakan objek yang tidak memiliki kehendak dan kuasa? Jika demikian, apa bedanya dengan berhalanya orang-orang terdahulu?
Semua Ingin Kembali ke Fitrahnya
Dalam hal ini, dunia Barat telah menawarkan berbagai alternatif hanya untuk memuaskan keinginan mereka dalam mengisi kekurangan dan kekosongan fitrahnya, khususnya di bidang pemikiran dan ideologi sebagai jalan hidup untuk menilai Tuhan, alam semesta, dan manusia. Terbukti dengan adanya ratusan ideologi berbau “isme” yang mewarnai kehidupan mereka, termasuk ateisme dan deisme itu sendiri. Namun apakah semua itu sudah mampu memuaskan hati mereka? Mengapa perlu ada ratusan “isme” yang muncul? Sampai kapan mereka akan dapat menemukan jawaban sempurna dari sesuatu yang mereka cari?
Manusia diciptakan untuk hidup abadi. Oleh karenanya, manusia tidak akan pernah puas dengan yang fana. Tempat keabadian bukanlah dunia, melainkan akhirat. Diperlukan landasan yang kekal dan bersumber pada nilai-nilai hakiki sehingga hal tersebut dapat mengisi kekosongan dan memuaskan hati yang membutuhkan sandaran. Untuk itulah agama dibutuhkan. Namun agama yang seperti apa?
Jawabannya adalah agama yang memiliki pedoman menyeluruh yang mencakup nilai-nilai keyakinan, ritual-ritual ibadah dan akhlak mulia, yang berasal dari Dzat Luhur yang memiliki kuasa penuh dan kehendak mutlak, bukan agama buatan manusia; bukan pula agama yang diambil secara setengah-setengah sesuai keinginan beberapa pihak semata dengan mengambil yang disukai dan membuang yang menurutnya tidak diinginkan; agama yang memiliki peraturan dan tolok ukur dengan kitab suci yang diturunkan kepada para utusan-Nya, perihal apa saja yang patut untuk dituruti dan mana saja yang layak untuk dijauhi agar dipertanggungjawabkan nanti. Yang lebih penting dari itu semua, agama yang dapat dijalankan secara tulus melalui para utusan dan pengikutnya demi menggapai rida Sang Pencipta.
Tampilan Luar yang Kehilangan Makna
Bagaimana manusia bisa mengenal dirinya dan apa yang ada di sekitarnya bergantung pada sudut pandang yang mereka miliki. Hal tersebut juga nantinya akan memengaruhi gaya hidupnya secara umum, termasuk bagaimana ia berperilaku dan memperlakukan orang lain. Salah satu hal dasar yang melandasi semua itu adalah agama atau keyakinan yang dianut oleh masing-masing orang sebagai jalan hidupnya. Saat landasan yang dipijak tidak memiliki fondasi yang kokoh, akan sangat mudah untuk tergelincir. Seberapa pun indah tampilan yang dimiliki, tetapi jika bagian terdalam mudah rapuh, hal tersebut hanya akan bertahan sementara saja.
Agama dengan segala pedoman yang ada hadir dalam rangka memenuhi kebutuhan-kebutuhan guna mengisi berbagai dimensi yang dimiliki manusia agar tidak rapuh. Agama yang dimaksud adalah agama yang murni berasal dari Sang Pencipta yang memiliki kekuasaan dan kehendak mutlak, bukan agama atau ideologi buatan manusia yang terbatas pada akalnya semata dan yang tak mampu menjawab segala tantangan yang ada di luarnya.
Akar dari segala keburukan terletak pada berpalingnya manusia dari Tuhan. Ketika Tuhan tidak lagi menjadi pusat pengabdian manusia, maka dengan ego yang dimilikinya, manusia menjadikan dirinya sendiri sebagai satu-satunya hal yang paling berharga. Dengan kata lain, manusia dan akalnya sendirilah yang akhirnya dipertuhankan. Dari sini, bisa disimpulkan bahwa terlepas itu penganut ateisme maupun deisme, bersama dengan ego mereka, keduanya adalah intrik yang dibumbui ilmu pengetahuan untuk menghindarkan diri dari nilai-nilai agama yang seyogianya menjadi pedoman bagi kehidupan dunia maupun akhirat.
Meski begitu, kita tidak dapat menyalahkan mereka sepenuhnya. Sebagai manusia beragama, kita perlu juga untuk bermuhasabah bagaimana jika ternyata penyebab dari keadaan tidak adanya pengakuan pada Tuhan oleh orang-orang itu dipicu dari kita sendiri yang tidak mempraktikkan agama dengan semestinya, misalnya. Berikut ini beberapa hal yang menjadi alasan kemunculan deisme:
Berkurangnya Otoritas dan Kewibawaan Agama
Otoritas keagamaan yang semakin berkurang dan minimnya teladan menjadi faktor menurunnya antusias beragama. Meskipun agama adalah hak individu untuk berkomunikasi dan tunduk pada Tuhan, tetapi dalam kenyataan sosial, perkembangan agama membutuhkan pribadi mulia yang mampu dijadikan sebagai contoh dalam masyarakat. Otoritas agama dipandang mempunyai kredibilitas untuk berbicara dan menyampaikan pesan-pesan agama sehingga estafet bisa disalurkan.7 Namun begitu, hal ini sebenarnya juga bisa menjadi bumerang saat orang-orang itu sendiri tidak menjalankan pesan-pesan yang mereka sampaikan atau belum matang untuk menjadi tokoh panutan masyarakat.
Abad Egoisme
Kebangkitan liberalisme pada abad ke-18 dan ke-19 menempatkan kebebasan individu dan otonomi pribadi berada di atas hal-hal seperti komunitas dan keluarga. Dengan kondisi ini, manusia modern seolah-olah terlahir ke dunia dengan tuntutan kebebasan penuh dari semua batasan eksternal, baik itu batasan moral, agama, budaya, keluarga, maupun batasan-batasan lainnya. Setiap batasan dianggap sebagai penghalang baru yang harus dipatahkan demi mewujudkan perjalanan menuju aktualisasi diri. Mereka menjadikan akal yang mendorong ego untuk memiliki kuasa dibandingkan yang lain, tetapi lupa jika tidak ada kebebasan yang benar-benar bebas.
Politik yang Menjual Agama
Manusia dengan mudah menjual agama yang suci hanya demi kepentingan pribadi. Mereka tidak sadar bahwa apa yang dilakukan berdampak besar bagi generasi yang melihat dualitas tingkah laku mereka. Banyak generasi muda yang pada akhirnya menyimpulkan bahwa agama adalah seperti yang dipraktikkan oleh pemungut kepentingan pribadi itu, yang sejatinya hal itu jauh dari nilai-nilai agama yang sesungguhnya.8 Pada akhirnya, mereka pun memandang agama sebagai tampilan luar yang kehilangan makna.
Diperlukan usaha yang besar untuk dapat mengembalikan kepercayaan masyarakat, khususnya kawula muda, terhadap agama yang telah mulai terkikis akibat perilaku-perilaku menyimpang dari agama seperti pada tiga poin di atas. Berikut ini beberapa hal yang mungkin dapat dilakukan:
Menilik dan Menjalankan Ajaran Kenabian
Agama sebagai pedoman tentu memiliki tata cara dan jalan agar bisa diamalkan penganutnya. Selain diperlukannya buku panduan dalam menjalankan tata cara tersebut, Sang Pencipta mengirimkan utusan-Nya untuk merepresentasikan dan memberikan contoh ideal agar dapat dengan mudah dan nyata diaplikasikan. Untuk itulah diperlukan adanya sosok nabi, sosok pilihan yang telah diberikan keistimewaan berupa wahyu. Dengan keistimewaan itu, mereka diberitahu jalan pintas mana yang layak untuk ditempuh. Mereka akan selalu siap membantu menjawab teka-teki kehidupan terkait eksistensi manusia di dunia ini dan ganjarannya di akhirat nanti. Para nabi adalah sosok yang sigap mengulurkan tangannya demi mengisi kekosongan nilai-nilai yang dibutuhkan manusia yang tengah mencari Tuhan dan jati dirinya. Mereka adalah jiwa-jiwa yang melengkapi kebutuhan manusia agar bisa hidup di dunia secara seimbang sesuai jalan takdir masing-masing. Mereka adalah pribadi-pribadi yang rela mengorbankan diri untuk menyelamatkan umatnya menuju kebahagiaan abadi. Dalam hal ini, sudahkah kita mengenal mereka dan sudahkah kita menjadikan mereka sebagai panutan untuk memperkuat landasan hidup sehingga generasi muda tak lagi buta arah? Kita perlu menjadikan ajaran mereka sebagai landasan berperilaku dalam kehidupan sehari-hari: bagaimana Nabi berinteraksi, bagaimana Beliau memperlakukan alam semesta, dan bagaimana cara Beliau menjalani kehidupan penuh damai dan cinta.
Mengokohkan Representasi Islam
Ada dua hal yang perlu dijadikan sebagai bahan evaluasi. Yang pertama, menguatkan representasi nilai-nilai Islam yang dibutuhkan oleh semua kalangan dihiasi ketulusan dan pencarian rida Ilahi tanpa terkecuali. Saat ini, telinga manusia telah kenyang dengan ribuan nasihat, tetapi mata mereka lapar akan sosok teladan nyata. Yang kedua, menyadarkan mereka yang menggunakan agama untuk kepentingan pribadi bahwa hal itu tidak benar, dimurkai, dan berdampak negatif bagi cara pandang generasi masa depan dalam melihat agama, memberikan pemahaman bahwa jalan untuk meraih kebahagiaan abadi bukanlah dengan memperkaya atau mempertontonkan diri, melainkan dengan menafikan diri dari segala pamrih dan mengharap hanya rida Allah semata.
Referensi
- Dewi, N. R. S. (2021). Konsep Ketuhanan Dalam Kajian Filsafat. Abrahamic Religions: Jurnal Studi Agama-Agama, 1(2), 146-158. https://jurnal.ar-raniry.ac.id/index.php/abrahamic.
- Baharudin, M. M. (2014). Konsepsi Ketuhanan Sepanjang Sejarah Manusia. Al-Adyan: Jurnal Studi Lintas Agama, 9(1), 35-58. http://ejournal.radenintan.ac.id/index.php/alAdyan/article/view/1406
- Peters, M. A. (2022). New Age Spiritualism, Mysticism, and Far-right Conspiracy. Educational Philosophy and Theory, 0(0), 1-9. https://doi.org/10.1080/00131857.2022.2061948.
- Misnal, M. (2016). Pengaruh Filsafat Nietzsche terhadap Perkembangan Filsafat Barat Kontemporer. Jurnal Filsafat, 21(2), 134-146.
- cit. Baharudin, 2014.
- Jumat, M. H. (2020). The Doctrine of Wahdatul Wujud: The Issue of Contamination of the Study of Islamic Sufism with Greek Philosophy. Journal of Social Transformation and Regional Development, 2(3), 214-221. https://doi.org/10.30880/jstard.2021.02.03.026
- Sinaga, I. N., & Muslim, A. (2022). Degradation of the Religious Enthusiasm of the Bahung Sibatu-Batu Community. Jurnal Sosiologi Nusantara, 08(1), 1-20. https://ejournal.unib.ac.id/index.php/jsn
- Girit, S. (2018). Pengakuan Kaum Muda Turki yang Meninggalkan Islam dan Menjadi Ateis. BBC News Indonesia.
Discussion about this post