Ada sebuah pertanyaan yang sering muncul di benak manusia yang menginginkan perbaikan dalam dirinya, terlebih pada mereka yang aktif dan menempatkan aktivitas dakwah pada prioritas utama hidupnya, yakni apakah jalan yang harus kita tempuh agar sifat-sifat baik menjadi bagian dari fitrah seseorang? Bagaimana caranya agar sifat-sifat tersebut tidak datang dan pergi dalam hidup kita, namun benar-benar menjadi bagian tak terpisahkan dari akhlak seorang muslim.
Menjadi manusia yang serius, berwibawa, penuh kehati-hatian, dan memiliki kedamaian hati, baik pada hal yang berhubungan dengan akhlak mulia maupun pada kehidupan ibadah, serta menjadikan semua hal tersebut sebuah dimensi dalam fitrah kita merupakan sebuah keharusan demi tercapainya integrasi antara seorang individu dengan jati dirinya sendiri. Meski begitu, sangat tidak mudah untuk dapat meraih dan sampai pada derajat tersebut, apalagi untuk mempertahankannya setelah berhasil dicapai akan lebih sulit lagi.
Dalam sebuah sabdanya, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memberikan sebuah jalan bagi kita agar karakter-karakter tersebut dapat menjadi suatu dimensi dari fitrah kita, “Sesungguhnya Al-Qur’an turun dengan kesedihan, maka bila kalian membacanya, maka menangislah. Jika kalian tidak dapat menangis, maka paksa diri kalian untuk menangis.” (HR. Ibnu Majah, Ikamah/176; Zuhud/19).
Dengan kata lain, bacalah Al-Qur’an dengan kalbu yang damai dan jiwa yang tenang. Berangkat dari kesimpulan ini, maka kita dapat mengambil langkah-langkah persiapan terlebih dahulu sebagai usaha untuk dapat mencapai sifat yang disebutkan di atas. Meski begitu, hal ini bisa saja dikritik oleh orang-orang yang tidak memiliki pemahaman mendalam terkait permasalahan ini. Namun bukankah kita adalah insan yang telah memilih jalan ini untuk dapat menuju pada-Nya, maka hal-hal semacam ini tak boleh menyurutkan kita.
Mari kita membuka pembahasan tentang topik ini dengan beberapa contoh terkait akhlak mulia yang sedang kita bahas secara lebih lanjut. Saya rasa, sikap tidak banyak berbicara merupakan sifat terdepan terkait prinsip-prinsip akhlak mulia. Berdasarkan sabda Rasulullah, semakin banyak seseorang berbicara, maka semakin banyak kekhilafan yang diperbuat olehnya. Kekhilafan-kekhilafan yang banyak itu lalu tanpa sadar akan mengantarkan seseorang ke neraka. Karenanya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan berbicara kecuali bila ditanya atau jika ada maslahat kebaikan di baliknya. Para Sahabat Rasulullah yang mengambil teladan dari Beliau pun senantiasa berperilaku dengan cara yang sama.
Misalnya sebagai contoh, menurut sebuah manqibah1, diceritakan bahwa sang pahlawan kesetiaan Sayidina Abu Bakar As–Shiddiq, seringkali meletakkan kerikil kecil ke dalam mulutnya agar tidak banyak berbicara hal-hal yang tidak penting. Jika akan berbicara sesuatu hal yang diperlukan, maka beliau baru akan mengeluarkan kerikil itu, dan saat selesai berbicara beliau akan kembali meletakkan batu tersebut ke mulutnya. Meski saya belum pernah menemukan riwayat ini dalam kitab-kitab sahih, tetapi saya tidak merasa aneh dengan adanya kisah periwayatan semacam ini, bahkan andai cerita ini tidak benar sekalipun. Ya, sosok penuh kehati-hatian semacam beliau sangat mungkin melakukan hal semacam ini untuk menempatkan dirinya dalam sebuah kondisi keseriusan dan kedisiplinan. Kita bisa juga menjadikan hadis lain sebagai sumber tambahan bagi riwayat ini yang menyatakan bahwa selepas hijrah, sepanjang beliau berada di sisi Baginda Nabi shallallahu alaihi wa sallam, jumlah kata yang pernah Sayidina Abu Bakar utarakan hanya lah berkisar beberapa ratus kata saja.
Seorang manusia akan berbincang berbagai hal sesuai dengan suasana kehidupan kalbu, spiritual, dan intelektualnya. Jika pembicaraannya itu mampu membuka cakrawala lawan bicaranya, maka itu artinya pembicaraannya memiliki manfaat. Jika tidak, maka semua kata-katanya masuk dalam kategori israful kalam atau perkataan yang berlebihan dan sia-sia belaka. Sebelumnya saya mohon maaf untuk mengutarakan pemikiran saya tentang bagaimana mungkin agama yang memerintahkan kita untuk tidak menyia-nyiakan air wudu meski ketika kita berwudu di sungai yang mengalir deras, bisa mengizinkan kita untuk menyia-nyiakan perkataan saat berbicara, sementara kita tahu bahwa perkataan bagaikan permata yang tentu saja jauh lebih berharga daripada air. Jika demikian, maka berbicara sesuatu yang tak bermakna dan sia-sia dapat kita pandang sebagai sebuah perbuatan yang perlu dihindari. Termasuk dalam perkataan yang kosong tak bermakna semisal, “Tadi kami naik taksi dari Bandung, lalu kami pergi ke Jakarta, dan dari sana kami pergi ke kota Bekasi. Ketika di Bekasi, ada sebuah truk lewat, truk itu begini dan begitu …dst”. Berbicara melantur seperti ini tanpa tujuan, tidak memiliki pesan dan kedalaman informasi semacam ini pastilah tidak disarankan. Jika demikian, sebagaimana kita harus penuh perhitungan atau berhemat dalam makanan, pakaian, dan penampilan, maka demikian pula kita juga harus penuh perhitungan dalam berbicara, memperhitungkan dengan berapa kata sebuah tema atau pembahasan kira-kira dapat dijelaskan. Seperti inilah seharusnya seseorang berbicara agar jangan sampai terjadi israf (kesia-siaan) dalam perkataan dan waktu yang sia-sia terbuang.
Bukankah para Waliullah menjadikan qillatul kalam (sedikit bicara), qillatut tha’am (sedikit makan), dan qillatul manam (sedikit tidur) sebagai prinsip penting bagi kehidupan dunia dan akhirat mereka.
Demikianlah, berbicara dengan menimbang, menyaring, dan mempertimbangkan setiap kalimat yang akan keluar dari lisan merupakan bagian dari sebuah akhlak. Untuk dapat menggapai akhlak seperti ini dan menjadikannya sebagai bagian dari fitrah kita tentu membutuhkan waktu dan usaha yang cukup.
Sebagaimana halnya dengan akhlak di atas, hidup zuhud yang berarti meninggalkan kelezatan duniawi dan menentang kecenderungan jasmani adalah juga merupakan akhlak yang amat penting. Zuhud yang memiliki posisi sangat penting dalam tasawuf, jauh sebelum dianggap sebagai sebuah cabang penting darinya, telah diperkenalkan oleh Baginda Nabi sebagai sebuah ruh dan makna kehidupan. Jika kita tambahkan pendekatan Ustaz Badiuzzaman Said Nursi tentang hal ini, maka zuhud menurut beliau adalah “Dünyayı kesben değil, kalben terk etme” yang bermakna “Meninggalkan dunia bukan secara daya upaya, namun tinggalkan secara kalbu.” Pernyataan tersebut bermakna bahwa zuhud adalah tidak memberikan perhatian atau penantian apapun kepada dunia beserta segala isinya dan berusaha untuk dapat berhijrah menuju akhirat tanpa meninggalkan apapun di belakangnya dan tanpa mengharap pamrih apa pun jua. Ini merupakan karakter yang harus dimiliki oleh setiap mukmin, khususnya para ksatria khidmah (pengabdian) yang menginfakkan jiwa raganya bagi dakwah suci.
Pada awalnya, bersikap menjauhi harta benda, pangkat, jabatan, ketenaran, dan segala hal duniawi lainnya bisa jadi sangatlah sulit. Akan tetapi, ketika ia dimulai secara perlahan dari hal yang paling sederhana, lalu berlanjut terus hingga pada akhirnya sikap ini menjadi sebuah keharusan tak terpisahkan dari diri seseorang. Yakni seseorang harus berfikir bahwa, “Hari ini aku punya satu setel pakaian, aku tidak perlu memiliki satu setel lainnya”. Jika tidak, esoknya nafsu akan meminta pada yang ketiga, lalu yang keempat dan hingga akhirnya pemikiran ini akan melilit kehidupan kita. Dengan demikian, selangkah demi selangkah pada akhirnya kita akan mampu mempraktikkan zuhud yang merupakan akhlak Sang Nabi dan menjadikannya sebagai bagian dari hidup kita.
Selain dua contoh akhlak mulia di atas, masih terdapat banyak sifat lain seperti sikap bersungguh-sungguh atau serius, menjaga pandangan dari hal-hal yang diharamkan, tidak bersikap sombong, serta sifat-sifat serupa lainnya.
Adapun ketika sampai pada permasalahan ibadah, maka menjalankan salat tepat waktu, mendirikannya dengan penuh penghayatan, dan menunaikannya dengan penuh penjiwaan juga merupakan hal yang membutuhkan latihan dan pembiasaan. Dengan kata lain, bukan menunaikan salat dengan pikiran untuk sekadar melepaskan beban di pundak dan dikerjakan tanpa gairah, sebaliknya menegakkannya seakan-akan kita sedang mengetuk pintu ijabah Ilahi dengan penuh rasa cinta dan semangat. Tentunya hal ini bukanlah sebuah puncak yang dapat diraih dengan mudah begitu saja. Meski begitu, seorang manusia dapat meraihnya dengan melakukannya selangkah demi selangkah, agar kemudian menjadi bagian dari fitrah dalam dirinya, atau lebih tepatnya, ia harus benar-benar mengusahakannya.
Kesimpulannya, meski dalam keseluruhan hidup kita sebagai manusia memiliki nafsu dan syahwat, tetapi kita harus hidup dengan memenuhi hak iradat kita. Untuk itu, kita harus menjadikan sifat atau karakter yang dapat meneguhkan diri kita sebagai sebenar-benarnya manusia sebagai bagian dari fitrah kita di bawah bimbingan Al-Qur’an dan sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, serta mempraktikkannya dalam kehidupan nyata.
Penulis adalah seorang ulama dan cendekiawan muslim yang dinobatkan sebagai 100 orang paling berpengaruh versi Majalah Foreign Policy, aktif menulis buku dan artikel di berbagai media internasional. Hingga kini tercatat lebih dari 70 buku telah beliau tulis dan diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa.
Keterangan:
- Sebuah cerita tentang kehidupan dan perilaku yang luar biasa dari para pemuka agama atau orang yang terkenal lainnya yang diriwayatkan secara turun temurun dalam sejarah
Discussion about this post