Rida adalah tidak terguncangnya hati seseorang ketika menghadapi musibah dan mampu menghadapi manifestasi takdir dengan hati yang tenang. Dengan ungkapan lain, rida adalah tetapnya organ hati dalam ketenangan dan ketenteraman ketika mengalami sesuatu hal yang bagi orang lain dapat membuat mereka merasa sakit hati. Berhubungan dengan ini, terdapat sebuah penjelasan lain, yaitu bahwa rida adalah ketenangan hati dan ketenteraman jiwa terhadap ketetapan dan takdir Allah subhânahu wa ta’âla, serta kemampuan menyikapinya dengan tabah, termasuk terhadap derita, nestapa, dan kesulitan yang muncul darinya yang dirasakan oleh jiwa kita.
Jalan menuju rida pada awalnya bersifat intensional (berdasarkan niat dan keinginan individu yang bersangkutan), tapi pada tahap selanjutnya ia merupakan hadiah Ilahiah yang berada di atas kehendak dan ikhtiar manusia, karena rasa rida merupakan anugerah dari Allah al-Haqq subhânahu wa ta’âla bagi orang yang dicintai-Nya. Itulah sebabnya, di dalam Al-Qur`an dan Sunnah Nabawiyah tidak ada perintah lain yang seperti perintah sabar. Bahkan sabar yang merupakan perwujudan rasa rida diingatkan Allah subhânahu wa ta’âla pada kita, layaknya sebuah wasiat teramat penting.1 Sebenarnya, pada makna hadis: “Siapapun yang tidak rida kepada ketetapan-Ku dan tidak mau sabar atas bala’-Ku, hendaklah ia mencari Tuhan selain Aku,”2 ternyata cacat jika diteliti menggunakan kaidah-kaidah hadis….
Discussion about this post