“Informasi bukan lagi hanya persoalan teknologi. Informasi telah menjadi persoalan transformasi sosial, sebuah proses perubahan sosial, di mana teknologi merupakan elemen tak terpisahkan dari tren sosial, ekonomi, politik, budaya, dan agama”
Manuel Castells [1]
Teknologi, budaya, dan agama adalah tiga entitas penting yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan manusia dewasa ini. Secara esensial, teknologi, budaya, dan agama adalah tiga entitas yang berbeda, tetapi pada perkembangannya saat ini, ketiga entitas tersebut menjadi berinterrelasi secara integral. Mengamati fenomena tersebut, maka timbul istilah khusus untuk menyebut keterhubungan antara teknologi, budaya, dan agama ini, yaitu “Tekno-Kultur-Religi”, akronim dari nama Technology, Culture, dan Religion. Istilah Tekno-Kultur-Religi semakin berkembang pada era “Revolusi Industri 4.0” seperti sekarang ini. Berkenaan dengan Revolusi Industri 4.0, Klaus Schwab dalam The Fourth Industrial Revolution (2019), secara historis menjelaskan perjalanan umat manusia dari revolusi industri pertama hingga keempat.
Martin Heideger menyatakan bahwa kata “technology” berasal dari kata “techne” yang berarti aplikasi pengetahuan penghubung manusia dengan intersubjektifitas dunia material dan supranatural. Heideger berpandangan, teknologi tidak hanya memengaruhi dunia di luar eksistensi manusia, tetapi juga masuk ke dalam dunia manusia dengan cara khas. Melalui teknologi, manusia kemudian mewujud secara berbeda. Teknologi telah membuka kemungkinan baru untuk being dan becoming sehingga memungkinkan manusia berhubungan dengan orang lain pada cara berbeda. Menurut Heideger, pada akhirnya teknologi bukan hanya material mekanistik yang berdiri pada relasi eksterior subjektifitas manusia.[2]
Revolusi Industri Keempat yang ditandai dengan kemunculan era teknologi informasi telah berdampak pada reorganisasi kehidupan sehari-hari. Salah satu yang terkena dampak dari menghegemoninya kemajuan teknologi, ialah kebudayaan manusia. Aktifitas dan produk budaya manusia dewasa ini, tidak bisa dilepaskan dari pengaruh teknologi. Fenomena tersebut, semakin diperkuat oleh pernyataan Ross dan Nightingale yang mengatakan bahwa manusia semakin mengintegrasikan teknologi ke dalam kehidupan mereka. Menurut mereka, ketika manusia bergantung pada teknologi, maka di saat yang sama teknologi juga akan semakin bergantung pada manusia.[3] Berkenaan dengan perubahan aktifitas dan produk budaya yang dipengaruhi oleh teknologi, menggunakan pendekatan sains dan teknologi David Bell mendefinisikan “budaya” dalam empat bagian atau pola pandang, (1) Budaya sebagai Produk; (2) Budaya sebagai Praktik; (3) Budaya sebagai Institusi; (4) Budaya sebagai Teori.[4] Budaya yang terpengaruh arus kemajuan teknologi, dapat disebut sebagai “budaya teknologi”. Dalam perspektif teknologi dan hegemoni media, Douglas Kellner mendefinisikan budaya teknologi sebagai bentuk budaya yang lahir, di mana citra, suara, dan lensa membantu menghasilkan rajutan kehidupan sehari-hari, mendominasi waktu luang, membentuk pandangan politik dan sikap sosial serta memberikan bahan yang digunakan orang-orang untuk membangun konsep pribadi atau komunitas.[5]
Entitas selanjutnya yang terkena dampak dinamika teknologi ialah agama. Aspek substantif umat manusia ini, tak luput dari hegemoni teknologi yang terus menggerus arus zaman dan perubahan. Pada dasarnya ‘produk budaya’ dan ‘aktifitas agama’ pada Era 4.0 ini sangat ditentukan oleh dinamika dan progresifitas teknologi. Kemajuan dan kecanggihan teknologi saat ini, menjadi pemicu terciptanya budaya-budaya baru yang lebih cepat dan aktivitas agama yang lebih praktis. Simpulannya, ada dua hal penting dalam uraian ini, pertama: teknologi memengaruhi budaya dan kedua: teknologi memengaruhi agama.
Realisasi Tekno-Kultur-Religi
Ada dua pembahasan utama Tekno-Kultur-Religi, yang pertama adalah interrelasi teknologi dan budaya. Sangat menarik untuk diungkap, bahwasanya akhir-akhir ini banyak produk budaya yang berkembang secara cepat karena arus teknologi yang semakin masif. Misalnya, dinamika budaya “K-Pop” semakin menjamur di kalangan generasi muda. Hal ini tidak dapat dipungkiri karena K-Pop sebagai produk budaya dengan gampang dan mudah diakses oleh generasi muda di seluruh dunia karena dukungan teknologi canggih. Ada keprihatinan bahwa berkenaan dengan mudahnya ‘budaya luar’ masuk ke Indonesia, maka ‘budaya asli’ Indonesia sudah mulai dilupakan, dan bahkan banyak generasi muda yang tidak tahu budaya bangsanya sendiri. Problematika tersebut, sangat penting untuk dikaji secara teoretis dan praktis.
Berkenaan dengan masalah ini, untuk menguraikan secara jelas tentang keterhubungan dua entitas tersebut dirasa relevan untuk meminjam Cultural Norm Theory dari Melvin DeFleur sebagai landasan teori untuk menarasikan realitas interrelasi teknologi dan budaya. Teori Norma Budaya (Cultural Norm Theory) pada konsep Melvin DeFleur, secara praktis menggambarkan bahwa teknologi memengaruhi budaya dalam tiga aspek: teknologi memperkuat budaya, teknologi mengubah budaya, dan teknologi menciptakan budaya.[6] Berikut adalah beberapa contoh nyata dari hal ini:
– Teknologi Memperkuat Budaya. Kemungkinan pertama ialah dengan disampaikan dan disajikannya produk-produk kebudayaan melalui teknologi (secara lebih melalui media massa dan dunia maya) akan mendukung dan memperkuat identitas budaya suatu bangsa, termasuk di Indonesia. Misalnya saja, semakin berkurangnya program-program siaran yang berbasis kebudayaan di televisi akan berdampak juga pada berkurangnya pengetahuan masyarakat terhadap budaya dan kearifan lokal bangsa Indonesia.
– Teknologi Mengubah Budaya. Kemungkinan kedua ialah dengan mudah diaksesnya produk budaya dari luar negeri yang masuk ke Indonesia, lambat laun akan menggeser dan menggantikan budaya Indonesia. Generasi muda kekinian yang seluruh kehidupannya bergantung pada teknologi, secara tidak sadar akan mengikuti beberapa budaya yang terus disuguhkan. Realitas yang paling nyata dalam konteks ini ialah menjamurnya budaya K-Pop pada kalangan anak muda Indonesia. Sekali lagi, hal tersebut terjadi karena persinggungan antar teknologi dan budaya.
– Teknologi Menciptakan Budaya. Kemungkinan ketiga ialah dengan disajikannya produk budaya pada setiap lini teknologi, bisa jadi ini akan menciptakan budaya tersendiri yang sifatnya baru dan melawan budaya yang telah ada. Budaya baru yang terkonstruksi oleh teknologi tersebut oleh John Fiske dalam Cultural and Communation Studies disebut sebagai “Budaya Pop”[7] dengan tiga ciri utama mengacu pada Jan Van Dick yaitu: Digital Network, Timeless Time dan Space of Flows.[8]
Demikian tiga kemungkinan yang dapat muncul karena problematika persinggungan antara teknologi dan budaya. Diharapkan dengan ditemukannya tiga kemungkinan tersebut ada upaya untuk menghadapi budaya yang bersifat desktruktif dan menghapus identitas bangsa Indonesia.
Selanjutnya, yang kedua adalah interrelasi teknologi dan agama. Albert Borgmann (dalam Philip Brey) meyakini bahwa janji-janji teknologi modern telah dirumuskan sejak awal masa Renaisans oleh tokoh-tokoh penting, seperti Francis Bacon dan Rene Descartes. Rumusan ini menyatakan bahwa tekonologi akan mengantarkan umat manusia menuju kebebasannya dari belenggu perbudakan dan kesulitan hidup. Teknologi menjadi tumpuan harapan bagi manusia dalam memberikan kebebasan, otonomi, dan kebahagiaan. Janji-janji ini terus diulang-ulang di sepanjang zaman modern.
Mengutip penjelasan Brogman tentang “janji-janji teknologi di masa modern”, Philip Brey dalam New Media and The Quality of Quality menyatakan bahwa ada tiga implikasi keterhubungan antara teknologi dan agama, yaitu: (1) teknologi melayani agama; (2) teknologi menguasai agama; (3) teknologi mengaliansi agama.[9] Tiga implikasi yang dikemukan oleh Brey tersebut dijadikan dasar teori untuk mengurai problematika teknologi dan agama yang terjadi pada saat ini. Pada implikasi pertama yakni ketika teknologi melayani agama, maka teknologi menjadi alat untuk melakukan aktifitas keagamaan. Hal yang paling nyata misalnya dalam teknologi transportasi. Moda transportasi udara sebagai produk teknologi membantu umat Islam dari seluruh dunia untuk menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci Mekkah di Arab Saudi. Sebelum ada teknologi pesawat terbang, jemaah haji menggunakan moda transportasi lain yang membutuhan waktu lebih lama untuk sampai ke tempat tujuan ibadah. Kemudian pada implikasi kedua saat teknologi menguasai agama, teknologi memonopoli bahkan cenderung mengkomersialisasi aktifitas keagamaan. Fenomena komersialisasi entitas keagamaan dalam media massa sebagai salah satu bentuk teknologi disebut oleh Idi Subandi Ibrahim dengan istilah “Komodifikasi Agama dalam Media”.[10] Contoh nyata komodifikasi agama dalam media di Indonesia ialah banyaknya program-program dakwah Islam yang disiarkan oleh televisi, tetapi program tersebut bukan berorientasi pada nilai keislaman dan pesan keagamaan (value oriented) melainkan hanya berorientasi pada keuntungan dan rating semata (profit oriented).
Teknologi mengaliansi agama adalah Implikasi ketiga, dan rasanya ini yang paling mengkhawatirkan, dinyatakan bahwa teknologi dapat mengaliansi (memisahkan) antara manusia dengan dengan agama. Melalui berbagai gempuran teknologi yang memudahkan hidup manusia, lama kelamaan manusia cenderung dibuat lalai pada kehidupan sosial dan agama. Bahkan tak jarang, manusia sangat bergantung sekali pada teknologi. Manusia sekarang akan sangat gelisah jika dijauhkan dari akses-akses teknologi tetapi menjadi biasa ketika manusia justru jauh dari Tuhan. Inilah keberhasilan teknologi mengaliansi agama melalui berbagai produknya yang dapat membuai dan memanjakan manusia ketika hidup di dunia. Dalam konteks ajaran Islam, Al-Qur’an (6:32) sangat jelas menggambarkan fenomena tersebut dengan ungkapan, “Dan kehidupan di dunia tak lain hanyalah senda gurau belaka.”
Itulah tiga implikasi yang ditimbulkan teknologi pada agama. Setelah diketahui tiga implikasi tersebut, hendaknya keberadaan teknologi bisa dioptimalkan sebagai alat atau media untuk memudahkan aktifitas keagamaan. Jangan sampai manusia dibuat lalai dari Tuhan dengan beragam kemudahan hidup yang difasilitasi oleh teknologi.
Implikasi Tekno-Kultur-Religi
Dinamika budaya dan agama yang terpengaruh oleh teknologi menciptakan kontruksi sosial yang disebut Cyberculture. Christian Fuchs mendefinisikan Cyberculture sebagai sistem dialektis, di mana tindakan-tindakan dan struktur-struktur kultural menjadi online.[11] Menurut Fakhruroji, cyberculture dapat dipahami sebagai aktifitas kehidupan sehari-hari yang muncul di dalam dan melalui (media teknologi) internet atau media digital lainnya, sehingga berpeluang terciptanya ruang imajinatif, tapi memiliki dampak pada eksistensi manusia secara fisik. Secara praktis, cyberculture dapat didefinisikan dengan pelaksanaan sejumlah aktifitas kultural (seperti belajar, bertransaksi, berbelanja, menonton film, mendengarkan musik, mencari referensi, hingga praktik keagamaan) yang dilakukan secara online melalui teknologi internet.[12]
Generasi muda yang menggunakan media teknologi internet dalam berbagai aktifitas kehidupannya telah membuat mereka menjadi bagian dari cyberculture yang cukup masif di zaman milenial sekarang ini. Media digital ini secara teknis dapat membuat informasi semakin mudah dimanipulasi, bersifat jejaring, padat, dapat disingkat, dan tidak bersifat parsial.[13] Media digital juga, secara realistis dapat mengubah kehidupan manusia dari masyarakat sosial menjadi masyarakat digital. Entitas perubahan tersebut berdampak juga pada para generasi muda yang mayoritas menggunakan media digital (seperti smartphone, netbook, i-pad) dalam kehidupan kesehariannya.
Generasi muda bertransformasi dari masyarakat sosial, menjadi masyarakat digital. Transformasi ini diakibatkan karena penggunaan media digital di kalangan generasi muda sudah semakin masif, tidak hanya untuk keperluan kuliahnya, tapi juga untuk memenuhi kebutuhan kesehariannya, termasuk dalam hal keagamaan. Berdasarkan kenyataan tersebut, dapat dikatakan bahwa generasi muda yang menggunakan teknologi media digital adalah representasi dari masyarakat digital. Apabila dianalisis dari perspektif sosiologi, terbentuknya masyarakat digital merupakan bukti empiris terjadinya perubahan sosial akibat kemajuan teknologi. Kemajuan teknologi, dalam kontek dinamika sosial, merupakan perubahan sosial yang bersifat progres di satu sisi, tapi regresi di sisi lainnya.
Dinamika sosial ini berimbas juga pada masyarakat digital yang direpresentasikan oleh generasi muda yang aktif dan produktif menggunakan media teknologi digital. Penggunaan teknologi tersebut, di satu sisi memudahkan generasi muda untuk mengakses berbagai ilmu pengetahuan, termasuk juga ilmu-ilmu agama Islam, tetapi di sisi lain membuka kemungkinan mereka menjadi enggan untuk mendatangi kajian keilmuan atau kajian keislaman dalam kehidupan nyata, karena akses informasi ilmu-ilmu agama dapat diakses kapan pun dan di mana pun, tanpa harus datang langsung ke majelis ilmu.
Aktifitas dakwah melalui media digital dapat lebih menjangkau publik yang lebih luas, karena pada zaman now ini hampir seluruh kehidupan manusia tidak bisa dilepaskan dari media digital, khususnya smartphone. Banyak fitur dan aplikasi Islami yang tersedia di platform smartphone. Aplikasi religi inilah yang kemudian banyak digunakan oleh masyarakat sekarang, termasuk juga para generasi muda sebagai representasi masyarakat digital. Generasi muda yang menggunakan aplikasi religi (Platform Smartphone Islami) banyak mendapatkan informasi dan ilmu agama Islam tanpa harus belajar langsung kepada ustadz atau mendatangi majelis kajian keislaman. Jika memerlukan sesuatu yang berkaitan dengan ilmu agama Islam, mereka tinggal mengakses aplikasi religi tersebut.
Berdasarkan hasil riset yang telah dilakukan, ditemukan bahwa pemikiran keagamaan generasi muda pengguna aplikasi religi pada smartphone tentang mitos, doktrin, dan teks, memiliki corak pemikiran keagamaan yang khas, yaitu: pertama, pemikiran keagamaan yang ilmiah. Karakteristik umum dari corak pemikiran keagamaan ilmiah ini terlihat dari pandangan informan remaja terhadap mitos dalam keyakinan beragama. Remaja pengguna aplikasi religi pada smartphone-nya, mempunyai pandangan bahwa mitos bukan lagi menjadi hal misteri, cukup diyakini saja, dan tidak dapat dijangkau oleh akal sehat, tetapi dewasa ini mitos-mitos yang ada bisa dikaji dan dipelajari dengan menggunakan pendekatan ilmiah berbasis ilmu pengetahuan dan sains. Para remaja pengguna aplikasi religi pada smartphone ini sangat rasional dan logis memandang suatu mitos.
Kedua, adalah pemikiran keagamaan yang literat. Literat dalam konteks ini ialah suatu sikap yang sangat menjunjung tinggi dan mengedepankan literatur yang dapat dipertanggungjawabkan. Karakteristik dasar dari corak pemikiran keagamaan ini ialah dinamisnya budaya literasi dalam hal pemikiran dan kehidupan keagamaan. Corak pemikiran ini terlihat jelas pada aspek ritual ibadah keagamaan. Generasi muda pengguna aplikasi religi smartphone menghindari doktrin dan dogma agama yang tidak jelas rujukan dalil dan sandaran hukumnya. Mereka menyandarkan rujukan dalil hukum suatu ibadah ritual pada literatur sumber hukum primer dalam Islam, yakni Al-Qur’an dan As–Sunnah. Jika di dalam literatur Al-Qur’an dan hadis tidak ada dalil hukum yang mewajibkan atau menyuruh suatu ibadah ritual, maka para remaja pengguna aplikasi religi smartphone ini cenderung untuk meninggalkan ibadah ritual tersebut. Generasi muda, pada praktiknya sangat literatural dan referensial dalam melakukan ibadah ritual.
Ketiga, pemikiran keagamaan yang kontekstual. Berkelanjutan dengan corak pemikiran keagamaan yang bersifat ilmiah dan literat, generasi muda pengguna aplikasi religi smartphone memiliki corak pemikiran keagamaan yang kontekstual. Walaupun mereka menempatkan teks suci (sacred writing), dalam hal ini Al-Qur’an sebagai sesuatu yang sangat sakral dalam semua bentuk dan kondisi, tapi mereka sangat terbuka dalam hal penafsirannya (kontekstual). Karakteristik utama corak pemikiran kontekstual ini sangat jelas terlihat dalam aspek penafsiran dan pemaknaan terhadap teks suci dalam agama. Secara praktis, corak pemikiran kontekstual ini ialah menyesuaikan makna penafsiran Al-Qur’an dan As–Sunnah dengan kondisi zaman saat ini. Para remaja ini cenderung lebih memilih penafsiran Al-Qur’an dan hadis yang menggunakan pendekatan ilmiah sesuai dengan konteks kekinian tanpa mengabaikan penafsiran mu’tabarah ulama terdahulu.
Menutup uraian dan beberapa temuan yang terkait dengan fenomena, dinamika, dan problematika Tekno-Kultur-Religi, maka ada beberapa konklusi penting, bahwa produk budaya dan aktifitas agama dewasa ini sangat ditentukan oleh perkembangan teknologi. Selain itu teknologi berperan penting dalam arus dinamika kebudayaan dan keagamaan, serta akses terhadap informasi keagamaan melalui teknologi akan turut membentuk corak berpikir keagamaan seseorang. Semoga tulisan ini dapat menambah wawasan pengetahuan dan khazanah keilmuan di era yang dituntut serba cepat seperti sekarang ini. Semoga uraian ini menjadi alternatif dalam menyeleksi teknologi, melestarikan kebudayaan, dan menjalankan keagamaan yang lebih efektif dan efisien yang sesuai dengan tuntunan ajaran Islam.
Ditulis oleh Qoriah A. Siregar, seorang dosen di FSRD ITB dan tergabung dalam KKIK (Kelompok Keahlian Ilmu-Ilmu Kemanusiaan) ITB.
Diterbitkan dalam Majalah Mata Air Edisi 29
Referensi:
- Manuel Castells, The Information Age: Economy, Society, and Culture, (West Sussex: Blackwell Publishing, 1996), 5.
- Elihu Katz, The Use of Mass Communication, (Beverly Hill: Sage Publishing, 1974), 130.
- Karen Ross and Virginia Nightingale, Media and Audience: New Perspective, (London: Open University Press, 2003), 1.
- David Bell, An Introduction to Cyberculture and Culture Studies, (London: Roulette, 2005), 3.
- Douglas Kellner, Media Culture: Cultural Studies, Identity, and Politics Between the Modern and the Postmodern, (London: Routledge, 2010), 1.
- Melvin L. DeFleur, Mass Communication Theories: Explaining Origins, Processes, and Effects, (London: Rouletge, 2010), 258.
- John Fiske, Cultural and Communication Studies, (USA: Sage Publishing, 1990), 10.
- Jan Van Dick, Network Society, (London: Sage Publsihing, 2003), 20.
- Philip Bery, New Media and The Quality of Life, (Journal of Society for Philosophy of Technology, Vol. 3, No. 1), 9-10.
- Idi Subandi Ibrahim, Komunikasi & Komodifikasi: Mengkaji Media dan Budaya dalam Dinamika Globalisasi, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor, 2014), x.
- Christian Fuchs, Internet and Society: Social Theory in The Information Age, (London: Roultege, 2008), 300.
- Moch. Fakhruroji, Dakwah di Era Media Baru: Teori dan Aktivisme Dakwah di Internet, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2017), 96.
- Gane and Beer, New Media: The Key Concept, (New York: Berg, 2008), 7.
Discussion about this post