Kita baru saja melalui hari-hari agung penuh anugerah. Di bulan suci penuh rahmat itu kita menahan diri dari makan dan minum, mengelola sikap dengan bersabar, serta mengisi malam-malamnya dengan berdoa dan membaca Al-Qur’an. Melalui bulan suci tersebut kita lalu belajar mengendalikan nafsu, membangun jiwa sosial, mencapai keridaan dengan menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya, serta meraih perbaikan kesehatan jasmani.
Puasa adalah ibadah yang telah dimulai sebelum Nabi Muhammad diutus sebagai rasul. Ini diisyaratkan dalam surat Al-Baqarah ayat 183.1 Bahkan dalam kitab Bahjatul Anwar terdapat penjelasan bahwa jumlah puasa Ramadan yang sejumlah sebulan penuh itu merujuk pada keberadaan buah terlarang yang terus berada di perut Nabi Adam hingga hari ke-30 sehingga beliau pun diperintah Allah berpuasa selama itu.
Dari catatan tersebut, dapat diketahui bahwa puasa telah jamak dilakukan manusia sejak zaman dahulu. Latar belakang dijalankannya puasa oleh manusia di antaranya adalah karena ketaatan kepada Tuhan, demi meraih kesehatan, dan karena keterbatasan makanan. Hippocrates misalnya, yang dikenal sebagai Bapak Kedokteran Modern juga seorang cendekiawan Yunani Kuno, menyarankan pasiennya yang memiliki gejala penyakit tertentu agar menahan diri dari makan dan minum. Pada Aphorism yang ditemukan dalam Korpus Hippokrates, ia menulis: “Ketika penyakit mencapai puncaknya, maka diet yang paling ringan harus dijalankan.” Lebih jauh lagi, ia menulis: “Lansia lebih mudah menjalankan puasa.” Hal itu berdasarkan pada lebih sedikitnya aktivitas yang mereka jalankan.2
Petunjuk-petunjuk ini lantas menjadi alasan bagi banyak peneliti mengeksplorasi manfaat puasa. Apalagi aktivitas puasa akhir-akhir ini semakin menarik perhatian. Banyak orang melakukan puasa di luar bulan Ramadan karena alasan-alasan lain seperti: praktik termudah untuk mengurangi berat badan, menyederhanakan kesibukan sehari-hari (agar tak sibuk mempersiapkan dan mengonsumsi makanan), serta menjadi lebih produktif. Apalagi dalam beberapa dekade terakhir, prevalensi obesitas global naik secara signifikan. Pada tahun 1975, angka prevalensinya kurang dari 1%, akan tetapi ia naik secara signifikan menjadi 6-8% atau naik 600% pada 2016. Obesitas mengakibatkan setidaknya 2,8 juta kematian tiap tahunnya dan menyebabkan 35,8 juta atau sekitar 2,3% dari total daily adjusted life years (DALYs) (tahun hidup yang disesuaikan dengan kecacatan) secara global.3
Sementara itu, beberapa riset meta-analisis melaporkan terjadinya pengurangan berat badan pada mereka yang menjalankan puasa Ramadan. Indeks massa tubuh (BMI) dilaporkan berhubungan positif dengan besaran bobot tubuh yang berkurang. Seiring dialaminya pengurangan berat badan, terdapat perbaikan pada komposisi tubuh yang ditandai dengan berkurangnya massa lemak dan lingkar pinggang. Pengurangan massa bebas lemak juga ditemukan, tetapi derajatnya lebih sedikit bila dibandingkan dengan pengurangan massa lemak. Studi lebih lanjut melaporkan bahwa tidak ada efek puasa Ramadan pada laju metabolik atau penggunaan energi. Meski begitu, terdapat peningkatan oksidasi lemak dan pengurangan oksidasi karbohidrat selama puasa Ramadan dijalani. Riset juga menunjukkan beberapa pengaruh puasa Ramadan pada kesehatan kardiometabolik. Puasa Ramadan ditemukan mampu menurunkan total kolesterol, trigliserida, penurunan dalam jumlah besar pada low density lipoprotein (LDL, kolesterol jahat), dan meningkatkan high density cholesterol (HDL, kolesterol baik). Sayangnya, hasil observasi menunjukkan bahwa tubuh kembali ke berat badan awal pada minggu ke-2 hingga sebulan setelah Ramadan berlalu.4
Puasa Sunah
Agama kita menyarankan penganutnya untuk menjalankan puasa sunah 6 hari di bulan Syawal selepas ramadan. Ganjaran menjalankan puasa 6 hari di bulan Syawal sama halnya berpuasa selama setahun penuh. Melaksanakannya merupakan tanda bagi keberhasilan kita di bulan Ramadan. Ibnu Rajab berkata: “Tanda-tanda diterimanya ketaatan adalah dengan terus konsisten beribadah setelahnya. Dan tanda-tanda ditolaknya ketaatan adalah dengan melakukan kemaksiatan setelahnya.”5 Menjalankan puasa syawal merupakan kesempatan untuk menyeimbangkan pola diet yang sempat kembali ke “fitrah”.
Satu bulan setelah Syawal berlalu, datanglah bulan Zulhijah. Di bulan ini kita dapat menjalankan puasa di 9 hari pertama Zulhijah. Sayidah Hafsah radiyallahu ‘anha berkata, “Ada empat hal yang tidak pernah ditinggalkan Rasulullah yaitu, puasa Asyura, puasa sepuluh hari di bulan Zulhijah, puasa tiga hari setiap bulan, dan dua rakaat sebelum Subuh.”6 Di luar tersebut, masih ada puasa sunah lain seperti puasa Ayyamul Bidh, Senin Kamis, dan puasa Daud.
Ismail dkk. mengamati orang-orang yang mengerjakan praktik puasa sunah selepas ramadan dan mengikuti perkembangannya selama 12 minggu mendapatkan informasi perbaikan kesehatan yang signifikan. Penelitian mereka menunjukkan bahwa kelompok intervensi yang menjalankan puasa sunah menunjukkan perbaikan sederhana pada kesehatan kardiometaboliknya seperti penurunan tekanan darah diastolik juga peningkatan kolesterol baik (HDL).
Kristin K. Hodd membandingkan penelitian sebelumnya dengan mengamati para shoimun7 sunah dengan aturan agar mereka menikmati santap sahur dalam porsi kecil dan memakan makanan besar setelah berbuka yang secara akumulatif diminta mengurangi konsumsi kalorinya sebanyak 300-500 kkal/hari dan meningkatkan konsumsi makanan sehat. Penelitiannya menemukan adanya defisit energi sebesar 18%, penurunan berat badan sebesar 3%, dan pengurangan massa lemak sebesar 6-8%. Penelitian lebih lanjut pada sampel yang lebih besar pada skala yang lebih umum sepertinya bisa memberikan implikasi kesehatan pada masyarakat yang lebih luas8.
Sejarah Puasa Intermiten
Dalam sejarah perkembangan puasa sekuler, berpuasa tidaklah muncul secara tiba-tiba sebagai sebuah gagasan. Sebelum masyarakat agraris berdiri, manusia harus berburu dan meramu makanan. Terkadang usaha itu membuahkan hasil, tetapi terkadang juga tidak. Dengan kata lain, respons fisiologis puasa hanya merupakan respons tubuh terhadap rasa lapar.9
Pada pertengahan tahun 1800-an, E.H. Dewey menyatakan dalam bukunya “The True Science of Living” bahwa sebagian besar penyakit berasal dari diet10. Pernyataan ini memicu gerakan puasa yang berkelanjutan. Angus Barbieri, seseorang berkebangsaan Skotlandia (1939-1990) memegang rekor dunia karena menjalankan puasa selama 382 hari sejak Juni 1965 hingga Juli 1966. Dia berhasil menyusutkan bobotnya hingga 125 kg (dari 207 kg menjadi 82 kg). Puasa intermiten atau praktik pembatasan makan hanya pada jam tertentu saja dalam sehari mulai diteliti pada tikus laboratorium pada tahun 1945.
Dalam 20 tahun terakhir, perhatian terhadap puasa intermiten semakin meningkat seiring meluasnya penelitian saintifik, baik pada hewan coba maupun manusia, serta tumbuhnya perhatian media. Program film dokumenter yang diproduksi BBC Two pada 2012 berjudul “Eat, Fast, and Live Longer” yang dipandu oleh dr. Michael Mosley berhasil membuat bahasan tentang puasa intermiten yang menjadi pusat perhatian dunia.
Salah satu alasan utama mengapa puasa intermiten menarik banyak perhatian adalah kemudahan untuk melakukannya. Mereka yang mempraktikkannya tidak perlu menderita karena harus menahan lapar selama berhari-hari demi meraih manfaatnya, baik kesehatan mental maupun kesehatan jasmani. Efektivitas puasa intermiten juga mendapat banyak perhatian, khususnya setelah menjamurnya penggunaan sosial media.11
Kombinasi Puasa Sunah dan Puasa Intermiten Selepas Ramadan
Ada banyak kata-kata hikmah yang bisa menjadi motivasi kita menjalani hari-hari pascaramadan, di antaranya adalah: “Anggaplah setiap malam-malammu sebagai lailatulkadar”, “Carilah lailatulkadar selama 365 hari”, “Persiapkanlah 11 bulanmu demi meraih berkah utama di bulan Ramadan”
Makna yang bisa diresapi dari kata-kata hikmah ini adalah seyogianya 11 bulan di luar bulan Ramadan kita jadikan sebagai bulan persiapan untuk meraih berkah, rahmat, dan magfirah yang lebih besar lagi di bulan Ramadan mendatang. Demikian juga dengan kebiasaan berpuasa di bulan Ramadan, ia dapat kita lanjutkan dengan menjalankan puasa-puasa sunah.
Bagi mereka yang memiliki masalah berat badan berlebih, kesempatan ini juga bisa digunakan untuk menyeimbangkan berat tubuh dan menjaga kesehatan. Apalagi bagi mereka yang telah menginjak umur 40 tahun, maka semakin bertambahnya usia semakin berkurang pula kemampuan metabolisme. Semakin berkurang kemampuan metabolisme, maka semakin berkurang pula kalori yang dibakar. Itulah mengapa mereka yang berada pada rentang umur ini lebih mudah mengalami kegemukan. Padahal bisa jadi kita merasa pola makan yang dijalani tidak jauh berbeda saat usia masih muda. Jika dirasa puasa sunah seminggu dua kali masih saja kurang, tetapi ada perasaan khawatir bila melanjutkan dengan puasa sunah lainnya kita tidak bisa menjaga produktivitas ketika berada di jam kerja, maka puasa intermiten bisa menjadi sebuah alternatif. Pada puasa intermiten 16:8 misalnya, Anda bisa memilih jendela makan di jam kita beraktivitas, misalnya pukul 11.00-19.00. Seperti diketahui, aktivitas bekerja sering kali mendatangkan stres. Sementara itu, makan dianggap sebagai suatu mekanisme untuk mengendalikan stres dan lonjakan emosi, baik dengan asupan sedikit makanan maupun makan secara berlebih.12 Pilihan menu apa yang akan dimakan, besaran volumenya, dan kapan ia dimakan merupakan cara untuk mengatur stres dan asupan energi kita.13
Menikmati makanan bisa menjaga mood saat sedang berpikir dan bekerja.14 Jendela makan yang tersedia di jam produktif pada praktik puasa intermiten bisa membantu kita tetap produktif tanpa khawatir berat badan naik. Selain itu, jendela makan ini memiliki fleksibilitas yang berguna dalam mendukung kegiatan kita. Kesibukan ekstra yang membuat kita harus menikmati suguhan saat ada pertemuan bisnis di waktu lembur atau pun silaturahim malam ke kerabat terdekat di luar jendela makan dapat kita kompensasi dengan memundurkan jendela makan keesokan harinya pada rentang 12.00-20.00 misalnya. Setelah itu, kita bisa menghentikan makan karena dianjurkan perut tidak diisi kembali setidaknya 3 jam sebelum pergi tidur.15 Kita bisa memulai hari dengan menikmati air putih tanpa input kalori yang bisa membuat kita lebih produktif dan lebih fokus karena tidak harus pusing memikirkan menu sarapan apa yang hendak dinikmati. Pada pendekatan ini, jam makan siang yang juga menjadi awal periode makan akan menjadi waktu apresiasi atas usaha kita menahan diri dari konsumsi kalori di waktu pagi. Kita dapat memanfaatkan jendela makan ini dengan mengonsumsi makanan bergizi sehingga kebutuhan nutrisi tetap terpenuhi.
Hal yang Perlu Diperhatikan dari Praktik Puasa
Praktik puasa mampu membatasi banyak faktor risiko munculnya penyakit kardiovaskuler. Puasa intermiten misalnya, menggunakan asam lemak dan keton sebagai bahan bakar penghasil energi utama. Hal ini akan menurunkan massa tubuh dan memberi pengaruh positif pada parameter lemak seperti mengurangi konsentrasi kolesterol total, trigliserida, dan kolesterol LDL.
Penelitian juga menunjukkan bahwa praktik puasa intermiten mampu membatasi perkembangan plak aterosklerosis16 dengan jalan mengurangi konsentrasi penanda inflamasi seperti interleukin-6 (IL6)17, homosistein, dan C-reactive protein (CRP)18. Praktik puasa juga meningkatkan sekresi adiponektin dari adiposit. Peningkatan konsentrasi adiponektin sendiri berbanding lurus dengan penurunan berat badan.19
Meski demikian, perlu diperhatikan juga bahwasanya berpuasa tidak disarankan bagi orang yang memiliki ketidakseimbangan hormonal, wanita hamil dan menyusui, serta orang yang menderita diabetes. Demikian juga bagi mereka yang memiliki gangguan makan dan skala BMI-nya di bawah 18.5. Pasien DM tipe 1 dan 2 bisa menjalankan puasa selama berada di bawah supervisi fasilitas layanan kesehatan dengan monitoring glukosa personal yang tepat.20
Anak-anak sebenarnya juga bisa menjalankan puasa. Menariknya, mereka ternyata telah menjalani puasa secara alami. Mereka hanya makan ketika lapar. Jika tidak lapar, mereka tidak akan makan. Jika mereka tidak didorong untuk makan mengikuti jadwal artifisial, secara intuitif mereka hanya akan makan sesuai kebutuhan tubuh mereka.
Belakangan, praktik puasa semakin meluas, tak hanya sebagai pola makan untuk mengurangi berat badan, tetapi juga sebagai metode tindakan non-farmakologi efektif. Betapa beruntungnya umat muslim yang tak hanya menjadi sehat dengan berpuasa, tetapi juga menjalin hubungan lebih dekat dengan Sang Pencipta. Semoga kita beruntung menjadi insan yang produktif dan sehat serta berada di bawah naungan iman dan takwa dalam menjalankan peran sebagai khalifah-Nya di muka bumi.
Penulis adalah Aktivis pendidikan yang memiliki perhatian lebih terhadap kesehatan masyarakat.
Referensi :
- “Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”
- Dylan Landis, Sacred and Secular Affliction: Fasting in the History of the West and Western Christianity, Tesis di Baylor University, Texas, hlm. 4. 2020.
- Zang et al. 2022. ‘Intermittent Fasting: Potential Bridge of Obesity and Diabetes to Health,’ Nutrients 2022, 14, 981. https://doi.org/10.3390/nu14050981
- Suriani et al. Ramadan Fasting and Voluntary Fasting – Potential Weight Loss and Weight Maintenance Opportunity for Overweight and Obese Muslims. International Journal of Public Health and Clinical Sciences vol. 1, no. 2, hal. 32. 2014.
- Imam Ibnu Rajab al-Hanbali dalam kitab Lathaiful Ma’arif fima li Mawasimil ‘Am minal Wazhaif hal. 68.
- HR. Imam Ahmad dan Imam Nasai.
- Orang yang gemar berpuasa.
- Hoddy KK, Marlatt KL, Çetinkaya H, Ravussin E., Intermittent Fasting and Metabolic Health: From Religious Fast to Time-Restricted Feeding. Obesity (Silver Spring). 2020 Jul;28 Suppl 1(Suppl 1):S29-S37.
- Dylan Landis, 2020, Sacred and Secular Affliction: Fasting in the History of the West and Western Christianity, Tesis di Baylor University, Texas, hal. 3.
- Diet pada dasarnya adalah pola makan yang cara dan jenis makanannya diatur. Tujuannya adalah untuk menjaga kesehatan tubuh secara keseluruhan.
- Kinnu, Intermittent Fasting: Historic and Scientific Aspects.
- Ozier AD, Kendrick OW, Leeper JD, Knol LL, Perko M, Burnham J. Overweight and obesity are associated with emotion- and stress-related eating as measured by the eating and appraisal due to emotions and stress questionnaire. J Am Diet Assoc. 2008 Jan;108(1):49-56.
- Liu C, Xie B, Chou CP, Koprowski C, Zhou D, Palmer P, Sun P, Guo Q, Duan L, Sun X, Anderson Johnson C. Perceived stress, depression and food consumption frequency in the college students of China Seven Cities. Physiol Behav. 2007 Nov 23;92(4):748-54.
- Malinowski et. al. 2019. Intermittent Fasting in Cardiovascular Disorders-An Overview. Nutrients 2019, 11, 673; hal. 12.
- Watanabe et.al. Skipping Breakfast is Correlated with Obesity, J Rural Med 2014; 9(2): 51–58, hal. 51.
- Aterosklerosis merupakan penyempitan pembuluh darah yang diakibatkan oleh penumpukan plak kolesterol pada dinding pembuluh darah tersebut. Tumpukan plak tersebut dapat mengeras, menyebabkan pembuluh darah menjadi lebih sempit, dan mengganggu aliran darah di dalamnya.
- Interleukin-6 adalah sitokina yang disekresi dari jaringan tubuh ke dalam plasma darah, terutama pada fase infeksi akut atau kronis. Ia adalah salah satu jenis sitokin yang merupakan pertanda dini badai sitokin. Pemeriksaan ini dapat digunakan untuk memprediksi derajat keparahan penyakit yang disebabkan oleh peradangan, autoimun, dan/atau infeksi (virus, bakteri, atau patogen lain, termasuk COVID-19).
- Protein C-reaktif adalah suatu protein yang dihasilkan oleh hati, terutama saat terjadi infeksi atau inflamasi di dalam tubuh. Namun berhubung protein ini tidak bersifat spesifik, maka lokasi atau letak organ yang mengalami infeksi atau inflamasi tidak dapat diketahui.
- Malinowski et. al. 2019. Intermitten Fasting in Cardiovascular Disorders-An Overview.Nutrients 2019, 11, 673.
- Grajower MM, Horne BD. Clinical Management of Intermittent Fasting in Patients with Diabetes Mellitus. Nutrients. 2019; 11(4):873.
- Mattson et al. 2017. Impact of intermittent fasting on health and disease processes. Ageing Res. Rev. Oktober 2017; 39: hal. 58.
Discussion about this post