Kita refleksikan kembali tentang definisi rida pada edisi sebelumnya, yakni: tidak terguncangnya hati seseorang ketika menghadapi musibah dan mampu menghadapi manifestasi takdir dengan hati yang tenang. Dengan kalimat lain, rida adalah tetapnya organ hati dalam ketenangan dan ketenteraman ketika mengalami sesuatu yang akan membuat orang lain kesakitan. Berhubungan dengan ini, terdapat sebuah penjelasan lain, yaitu bahwa rida adalah ketenangan hati dan ketenteraman jiwa terhadap ketetapan dan takdir Allah subhânahu wa ta’âla, serta kemampuan menyikapinya dengan tabah, termasuk terhadap derita, nestapa, dan kesulitan yang muncul darinya yang dirasakan oleh jiwa kita.
Berikut ini kami akan menyampaikan beberapa poin yang dapat kita tarik dari penjelasan mengenai rida pada bagian sebelumnya, bahwa rida adalah:
Tidak gelisah terhadap ketetapan atau takdir apapun yang berasal dari ke-uluhiyah-an dan ke-rububiyah-an Allah subhânahu wa ta’âla.
Menyikapi segala hal yang berasal dari Allah dengan lapang dada dan senang hati.
Sigap mengikuti arah angin qadar, kemana pun ia berembus.
Cakap menjaga stabilitas dan keseimbangan hati, termasuk ketika menghadapi kondisi paling sulit.
Tidak menderita ketika tertimpa musibah, sembari tetap merenungi takdir Allah yang telah tertulis di Lauh al-Mahfûzh.
Demikianlah yang kami sampaikan, meski sebenarnya kita dapat melanjutkan pembahasan tentang beberapa hal lain yang menjadi dasar sekunder dari sifat rida. Hanya saja kami cukupkan pembahasan ini sampai di sini, agar tulisan ini tidak terlalu panjang.
Rida bagi kaum awam adalah: Sikap tidak menolak takdir Ilahi yang…
Discussion about this post