Gempuran virus Corona sejak pekan kedua Februari 2020 hingga medio 2021 merupakan sebuah bencana nasional sebagaimana yang terjadi di berbagai belahan lain dunia. Namun, pandemi Covid-19 yang melanda Indonesia sejak pertengahan Juni 2021 telah memasuki fase gelombang kedua yang lebih besar tapi lebih pendek waktunya dibandingkan puncak gelombang pertama pada Januari 2021. Jika puncak pada gelombang pertama terdapat kasus aktif sebesar 14.000 maka pada gelombang kedua telah berlipat ganda. Pemerintah pada akhir April 2021 mengatakan biaya penanganan covid-19 yang sebesar Rp 695,2 triliun setara dengan 4,2% dari Produk Domestik Bruto dan jika dihitung total kerugian negara hingga puncak pandemik di akhir Juni 2021 ini, hampir 2.000 triliun. Pada sisi lain, jumlah warga yang terjangkit telah melebih 2 juta orang dan yang meninggal dunia lebih dari 60.000 jiwa dan tersebar di 34 propinsi di tanah air. Tak sedikit pasien yang tidak tertampung di rumah sakit dan terpaksa dirawat di tenda-tenda darurat, bahkan di rumah masing-masing yang kondisinya jauh dari layak bagi pengobatan memadai. Kondisi ini menempatkan Indonesia sebagai negara terparah di Asia setelah India yang terpapar pandemi covid-19.
Jika mengkaji lebih saksama, ternyata di dalam tiga puluh tahun terakhir Indonesia telah mengalami lebih dari dua puluh kali bencana besar dengan korban jiwa lebih dari 10.000 jiwa — di luar Tsunami Aceh yang merenggut lebih dari 200.000 korban. Jumlah bencana alam yang terjadi di Indonesia setiap tahunnya sejak tahun 2010 hingga saat ini bisa dikatakan di atas 2.000 kejadian; dengan rincian sebanyak 2.238 pada tahun 2010 dan sejumlah 2.576 pada tahun 2018, meski sempat mengalami penurunan bencana pada tahun 2013, yakni sebanyak 1.733. Data dari Badan Penanggulangan Bencana Nasional (BNPB) memperlihatkan bahwa jenis bencana yang membawa dampak besar bagi kehidupan masyarakat Indonesia terdapat lebih dari sepuluh kategori.
Hal ini tentu saja memberikan peringatan bahwa bencana selayaknya menjadi salah satu hal penting dalam kehidupan, sebagaimana dinyatakan oleh Toya Hideki (2014) bahwa bencana alam dapat mendorong peningkatkan solidaritas dan kepedulian masyarakat. Kendati demikian, hingga saat ini kepedulian sosial dalam mitigasi bencana masih belum cukup terbangun. Sebagai contohnya adalah dua jenis bencana yang paling sering terjadi, yakni banjir dan tanah longsor yang secara kuantitatif lebih dari setengah jumlah bencana yang terjadi setiap tahunnya dan ketika ditelusuri ternyata terjadi diakibatkan kecerobohan warga.
Bencana dan Budaya
David Landes (2000) menyatakan bahwa budaya dan pembangunan memiliki keterkaitan yang erat, If we learn anything from history of economic development, it is that culture makes almost all the difference. Dalam hal ini, pengertian budaya meliputi berbagai pola pikir, sikap, dan perbuatan manusia yang secara langsung dan tidak langsung, terkait dengan bencana. Bagaimana hubungan antara bencana alam tersebut disebabkan oleh faktor manusia bisa kita saksikan dari beberapa kasus berikut ini.
– Banjir dan Pengelolaan Air
Pada umumnya, musibah banjir yang bermula dari tersumbatnya aliran sungai dan drainasse di berbagai daerah berawal dari banyaknya tumpukan sampah baik berupa plastik, rongsokan furniture ataupun limbah dari barang-barang bekas sehingga menyebabkan air melimpah keluar saluran dan memenuhi jalanan serta pemukiman sekitarnya. Demikian pula tatkala curah hujan yang tinggi, air yang tumpah ke daratan mengalami hambatan untuk dialirkan ke laut karena salurannya dipenuhi dan bahkan ditutupi oleh tumpukan sampah. Rosyidie (2013) menyatakan bahwa salah satu penyebab terjadinya banjir di beberapa wilayah Kabupaten Bandung dan Sumedang adalah penurunan alih fungsi lahan, yakni kondisi rentan terhadap perubahan volume dan debit air sungai. Misalnya, kondisi hutan lingkungan hidup di hulu DAS Citarum sangat memprihatinkan dikarenakan perambahan hutan atau penebangan liar. Demikian pula, banjir di luar Jawa dari tahun ke tahun juga meningkat dengan salah satu penyebab utamanya karena pembalakan liar. Bahkan banjir yang terjadi di area pantai seperti Semarang, Lei (2016) menyatakan bahwa faktor manusia merupakan penyebab utamanya, yaitu kelalaian dalam mempertahankan pohon bakau serta belum memadainya waduk-waduk penampungan air.
– Kebakaran Hutan
Kebakaran hutan yang terjadi di Sumatera dan Kalimantan (Pereira et.al., 1997) disebabkan oleh keteledoran manusia. Terdapat empat faktor utama sebagai penyebab kebakaran: membakar untuk membuka lahan baru, ketidaksengajaan memunculkan percikan api lalu ditinggal pergi, memanfaatkan api untuk menyelesaikan sengketa lahan, serta aktivitas membakar lahan dinilai sebagai cara termudah untuk mengolah area. Kebakaran lahan ini disebabkan oleh penduduk asli maupun pendatang atau pengusaha yang berencana mengolah area untuk dijadikan industri.
– Membuang Sampah Sembarangan
Perilaku membuang sampah pun merupakan suatu perilaku yang tidak jarang menyebabkan bencana alam khususnya banjir serta kerusakan lingkungan seperti banjir dan polusi lingkungan. Perilaku membuang sampah sembarangan bukan saja dilakukan oleh masyarakat kelas bawah tapi juga dilakukan oleh kelas menengah sebagaimana yang dilihat pada gambar di bawah ini:
Gambar 2 memperlihatkan bagaimana penumpukan sampah di lahan terbuka pada area yang sebenarnya bukan dimaksudkan untuk menampung sampah. Gambar 1 memperlihatkan perilaku seorang warga di kawasan pemukiman padat Jakarta Barat yang membuang sampah ke sungai. Perilaku bertindak seenaknya tanpa memikirkan dampak sampah yang dibuangnya tersebut akan bisa menyebabkan banjir bukan saja milik dari kelas menengah ke bawah, melainkan kelas menengah pun memiliki perilaku yang sama seperti pada gambar 3. Bahkan, perilaku tersebut terjadi ketika petugas sedang bertugas membersihkan kali di depan matanya. Hal tersebut bukan hanya memperlihatkan perilaku terhadap sampah, tapi mencerminkan pula ketidakpedulian orang yang bersangkutan terhadap upaya pihak lain yang membersihkan sampah di lingkungannya. Betapa menyedihkannya perilaku masyarakat dapat kita lihat pada dua gambar berikut ini:
Pada gambar 4, gambar 5 dan gambar 6 bisa merupakan bentuk sosialisasi agar tidak membuang sampah di tempat tersebut, tapi hal yang lebih tepat adalah sebuah ekspresi dari keresahan dan kemarahan sebagian warga atas ulah dari orang-orang yang berperilaku demikian. Kondisi yang memprihatinkan tersebut bukannya tidak diketahui oleh warga, mengingat larangan membuang sampah sembarangan telah diatur oleh berbagai peraturan daerah, peraturan di kantor, sosialisasi melalui poster, dan kampanye melalui media massa.
– Ceroboh dan Tidak Serius
Melalui riset yang dilakukan via Google-form, penulis telah menyebarkan beberapa pertanyaan yang direspon oleh 678 orang berusia 15 – 65 tahun yang 80 persen bermukim di Jabodetabek. Dari sejumlah 346 respons untuk pertanyaan “apakah Anda memikirkan dampak dari kegiatan/aktifitas organisasi yang dilakukan”, hanya seperempatnya saja yang mengatakan memikirkan dampak dari kegiatan tersebut. Data ini memberikan indikasi bahwa masyarakat cenderung bertindak hanya pada hal-hal yang memang terkait dengan urusannya saja. Dengan kata lain, kepedulian terhadap lingkungan sekitarnya relatif rendah. Bahkan, data di bawah ini memperlihatkan bahwa lebih dari sepertiga masyarakat tidak terlalu peduli dengan lingkungannya. Dengan kata lain, masyarakat cenderung hanya memperhatikan dan peduli terhadap apa yang dikerjakan pada saat ini dan kurang memperhatikan dampak.
Dengan jawaban di atas, hanya 25 % saja dari responden yang terlibat dalam suatu kegiatan yang memikirkan adanya dampak secara detail dan sebanyak 40 % yang mengaku cukup detail. Dengan kata lain, data di atas bisa diinterpretasikan bahwa ternyata cukup besar masyarakat yang bersikap gegabah dan bahkan bisa dikatakan mengangap enteng terhadap suatu dampak. Sikap gegabah tersebut juga dapat tercermin dari perilaku dari pertanyaan, “Apakah Anda terlibat dalam laporan tertulis kegiatan yang diikutinya?
Dari sejumlah 573 respon, hanya 60 persen saja yang membuat laporan tertulis. Artinya hampir setengah masyarakat tidak memikirkan ataupun menyelesaikan pekerjaan secara tuntas. Hal ini bisa saja disebabkan adanya anggapan bahwa laporan bukanlah sesuatu yang penting. Ada pula yang menyatakan bahwa yang dimaksudkan dengan selesainya pekerjaan adalah selesainya suatu kegiatan, padahal mata rantai sebuah kegiatan adalah pelaporan – yang dalam banyak hal kurang mendapatkan perhatian.
Perilaku yang tidak tuntas tersebut mencerminkan cara berpikir yang tidak komprehensif dan kurang memikirkan dampak jangka panjang. Hal tersebut tercermin pula dari fenomena yang sering kita temui, misalnya kondisi kabel listrik yang tertutup oleh dedaunan yang dengan mudah bisa menimbulkan bencana besar (kebakaran) sebagaimana pada gambar berikut ini;
Gambar 7 dan gambar 8 memperlihatkan bahwa bukan saja pemilik lahan dan pohon, lembaga sosial baik RT dan RW maupun dinas terkait terlihat lupa untuk memotong pohon di jalanan yang membahayakan keselamatan publik. Gambar di atas memperlihatkan masih rendahnya pola pikir atau cognitive frame (Beckert, 2015) dari segenap pihak terhadap ancaman bencana yang bakal ditimbulkan oleh batang dan daun pohon yang bisa memutus kabel listrik hingga bisa memicu terjadinya kebakaran. Budaya ceroboh yang tidak memperhatikan dampak ini pun bisa dilihat dari banyaknya kebakaran hutan yang terjadi disebabkan oleh kelalaian warga dalam membuang puntung rokok, tidak mematikan api setelah membuka lahan baru (Dennis, Rona et.al, 2015)
Pelembagaan dan Kepedulian
Secara jujur kita menyaksikan bahwa sebagian besar bencana ditimbulkan oleh kecerobohan-kecerobohan yang dilakukan oleh manusia secara pribadi, secara bersama-sama ataupun secara kelembagaan. Oleh karenanya apa yang telah diperingatkan Sang Maha Pencipta di dalam surat Ar Rum selayaknya menjadi pembelajaran bagi kita semua. Bencana wabah Covid-19 tentunya harus segera diatasi, yakni membangun kesadaran dan kepedulian kita semua pada upaya-upaya penghentian pandemi Covid-19 yakni, mengikuti arahan ahli di bidangnya dan tidak lagi mementingkan ego pribadi ataupun kenyamanan diri sendiri. Sebagaimana hadis Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari agar kita memercayakan urusan mengatasi pandemi ini kepada ahlinya sehingga kita bisa kembali hidup normal, jika tidak maka kita semua akan menanggung akibatnya.
Kita bersyukur bahwa telah banyak upaya mitigasi bencana. Misalnya, hasil penelitian Rozy (2017) di Sumatera Barat yang memperlihatkan upaya-upaya mitigasi bencana didasarkan atas kearifan lokal. Hal tersebut tertuang di dalam Peraturan Gubernur Sumatera Barat No. 32 pada 2002 tentang Petunjuk Operasional Baku mengenai pengelolaan bencana dan pengungsi serta Peraturan Daerah Sumatera Barat no.5 tahun 2007 tentang Pengelolaan Bencana. Demikian pula dengan pembentukan Pusat Studi Tsunami dan Mitigasi Bencana di Universitas Syiah Kuala tahun 2006 sebagai bentuk antisipasi bencana dan pelembagaan norma-norma sosial dalam rangka mitigasi bencana. Tentunya kita juga yakin bahwa telah banyak kearifan lokal yang terbangun dalam upaya mitigasi bencana. Semoga gelombang kedua pandemi Covid-19 menyadarkan kita semua bahwa bencana ini bisa diatasi jika kita semua peduli dan sungguh-sungguh bergerak bersama untuk menanggulanginya. Bismillah…
Penulis adalah pengajar di jurusan Sosiologi Universitas Indonesia dan anggota tim pakar Satgas Covid-19 bidang Perubahan Perilaku. Artikel ini merupakan pengembangan tulisan dari makalah “Bencana, Kelembagaan dan Masyarakat” yang dipresentasikan pada Konferensi Nasional Sosiologi VIII dengan tema “Manajemen Bencana dan Kebencanaan di Negeri Cincin Api – Perspektif dan Kontribusi Sosiologi”, di Universitas Sumatera Utara, Medan 1-2 April 2019.
Referensi:
- Adnan, Ricardi. (2006). Potret Suram Bangsaku – Gugatan dan Alternatif Disain Pembangunan. Depok: FISIP UI Press.
- Azanella, Luthfia Ayu “Masuki Musim Hujan, Waspada dan Kenali Penyebab Tanah Longsor” Kompas.com dengan judul, https://sains.kompas.com/read/2019/01/02/152849423/masuki-musim-hujan-waspada-dan-kenali-penyebab-tanah-longsor?page=all.
- Baioni, D. (2011). “Natural Earth System Sciences Human activity and damaging landslides and floods on Madeira Island. Copernicus Publications on behalf of the European Geosciences Union. 15 November 2011
- Beckert, Jens. (2015). How Do Fields Change? The Interrelations of Institutions, Networks, and Cognition in the Dynamics of Markets.
- Dearborn, Carly and Sam Meister (2017)” Failure as process: Interrogating disaster, loss, and recovery in digital preservation”. The Journal of National and International Library and Information Issues 2017, Vol. 27(2) 83–93.
- Dennis, Rona A. (2005) “Fire, People and Pixels: Linking Social Science and Remote Sensing to Understand Underlying Causes and Impacts of Fires in Indonesia” dalam Human Ecology, Vol. 33, No. 4, August 2005. P 465 – 504.
- Furlong, Kathryn and Michelle Kooy (2017)— Wordling Water Supply: Thinking Beyond the Network in Jakarta, International journal of Urban and Regional Research Published by John Wiley & Sons ltd
- Ley, Lucas. (2016). “Dry feet for all: Flood Management and Chronic time in Semarang, Indonesia”. ASEAS – Austrian Journal of South-East Asian Studies, 9(1), 107-126.
- Lubis, Mochtar. (1978). Manusia Indonesia. Jakarta: Yayasan Idayu.
- Rozi, Syafwan. (2017). “Local Wisdom and Natural Disaster In West Sumatra”. El Harakah Vol.19 No.1.
- Rosyidie, Arief (2013). “Banjir: Fakta dan Dampaknya, Serta Pengaruh dari Perubahan Guna Lahan”. Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota, Vol. 24 No. 3, Desember 2013, hlm.241 -249.
Discussion about this post