Bagaimana caranya agar para pegiat khidmah yang berdakwah di jalan Allah dapat menjaga keseimbangan antara cita-cita dan realita di tengah-tengah masyarakat yang mengalami pergolakan dahsyat antara berbagai kerusakan melawan nilai-nilai keluhuran dan apa saja karakteristik orang-orang yang mampu menjaga keseimbangan tersebut?
Merupakan sebuah fakta bahwa kita berada di dalam masyarakat yang pada nilai-nilai kehidupannya terdapat berbagai distorsi dan kerusakan. Tentu saja amat sulit menghadirkan keteraturan di tengah kekacauan yang demikian ini. Karena setiap kekacauan akan melahirkan kekacauan lain yang baru. Pada umumnya, demikianlah pemahaman-pemahaman ilmiah mengharuskan hal tersebut terjadi. Dapat juga dikatakan bahwa terdapat faktor determinisme1 dalam struktur fondasi masyarakat. Akan tetapi, determinisme yang ada di sini adalah determinisme bersyarat. Oleh karenanya menurut akidah kita, meski terbentuk dari satu jalur sekalipun, berbagai keseimbangan, keteraturan dan harmoni di dunia tempat kita berada ini senantiasa dirajut dalam bingkai iradah atau kehendak manusia.
Sekiranya kita mengungkapkan manusia dalam bingkai peristiwa alam yang terjadi dan pencapaiannya di tingkat tertentu, serta jika kita mempertimbangkannya hanya pada prinsip-prinsip fisika-astrofisika saja, maka itu berarti kita telah menurunkan derajat manusia hanya sebagai benda tak berjiwa maupun makhluk tak bernyawa saja. Padahal, salah satu dari sekian banyak anugerah Allah subhanahu wa ta’ala teristimewa dan yang paling penting bagi manusia adalah iradah atau kehendak yang dimilikinya. Dengan iradah, manusia terpisahkan dari semua makhluk lain yang tak ber-iradah. Dalam masalah ini, karena adanya iradah maka segala sesuatu yang berhubungan dengan pembangunan dan pembaharuan pada diri manusia, bisa jadi didahului oleh kekacauan. Pada periode semacam itu, sembari memutus lingkaran keburukan berbagai entropi (transformasi, perubahan, dan keruntuhan), manusia -berkat inayat dari Allah- kemudian mengganti lingkaran keburukan tersebut dengan lingkaran kesalehan, sehingga siklus mandulnya dapat dibangun menjadi siklus produktif (kebaikan yang akan berbuntut pada kebaikan lainnya).
Jika kita melihat hal ini dari sisi sejarah umat manusia, maka hal ini merupakan bagian dari siklus pengulangan berbagai peristiwa-peristiwa di masa lalu yang seringkali membuat kita terperangah. Misalnya saja sejarah tentang Bani Israil yang hanya mampu berputar-putar saja di Gurun Tih tanpa tujuan selama empat puluh tahun2. Beberapa orang di dalamnya memiliki tekad yang bulat untuk meraih tujuan yang tinggi. Pada akhirnya,….
Discussion about this post