Akankah kita baru akan sadar bahwa kita tidak dapat makan uang ketika pohon terakhir telah mati dan sungai terakhir telah diracuni dan ikan terakhir telah ditangkap” (Pepatah Indian Cree)
Meja yang berada di bawah laptop saya ketika sedang menulis artikel ini, bahan-bahan penyusun material laptop, casing telepon genggam saya, pena yang terletak di dekat telepon genggam saya, pembungkus surat yang saya terima, helai-helai partisi di buku catatan saya, mesin pengering rambut yang saya miliki untuk mengeringkan sampel-sampel penelitian sebelum dilakukan analisis spektroskopi infra-merah transformasi Fourier (FT-IR) pada sampel-sampel tersebut, dan alat spektroskopi infra-merah Transformasi Fourier tersebut seluruhnya terbuat dari plastik. Saya bisa terus melanjutkan menyebutkan contoh benda-benda dari plastik tersebut dari apa yang saya amati di sekitar diri saya. Tidaklah berlebihan jika saya katakan bahwa setelah Zaman Batu, Zaman Perunggu, dan Zaman Besi, kini kita hidup di “Zaman Plastik” karena faktanya produksi plastik telah meningkat dari 1,5 juta ton per tahun pada tahun 1950 menjadi 260 juta ton per tahun pada tahun 2007. Kebanyakan plastik yang kita gunakan setiap hari adalah jenis plastik berbasis minyak bumi. Artinya, bahan dasar dari plastik-plastik ini adalah zat kimia yang diturunkan dari minyak mentah. Ada sejumlah permasalahan utama terkait dengan plastik-plastik berbahan dasar minyak bumi ini, yakni Bumi suatu saat akan kehabisan minyak bumi, atau masalah sifat plastik yang awet sehingga sulit diuraikan oleh bakteri-bakteri pengurai di tanah secara biologis. Akhirnya muncullah masalah lingkungan, seperti dampak zat-zat beracun yang terkandung di dalam plastik, termasuk bahan-bahan pembentuk plastik seperti senyawa-senyawa adipat dan ftalat. Jika plastik-plastik tersebut kita bakar maka dapat melepaskan milyaran ton polutan beracun setiap tahun, terlebih lagi, sebagian besar reaksi pembuatan plastik dilakukan di dalam pelarut-pelarut beracun, sehingga pelepasan senyawa-senyawa pelarut tersebut ke dalam lingkungan dapat menimbulkan masalah. Berkaca dari masalah tersebut, selama ini kita sungguh sangat beruntung karena masih dapat hidup bersama seluruh polutan yang kita buat sendiri sampai kini. Namun, pertanyaannya adalah: sampai kapan kita akan terus hidup dengan kebiasaan buruk seperti itu?
Salah satu paragraf dalam novel Paulo Coelho yang berjudul “The Winner Stands Alone” menjelaskan dengan tepat pandangan dan keinginan saya untuk mewujudkan gaya hidup yang lebih sehat (go green). Hati saya berdegup kencang ketika membaca kalimat-kalimat yang sangat menyentuh perasaan ini:
Kini terlihat bahwa (selain perang, bencana kelaparan di Afrika, terorisme, pelanggaran HAM, dan perilaku arogan dari negara-negara maju saat ini) fokus utama kita adalah menyelamatkan planet Bumi dari ancaman-ancaman yang dibuat sendiri oleh manusia “Ekologi. Selamatkan Bumi. Betapa konyolnya.”
Hamid mengetahui, bahwa ternyata tidak ada manfaatnya menyadarkan banyak orang yang mengabaikan hal ini. Berbagai warna, aksesoris, bahan pakaian, hal-hal yang dikatakan sebagai kegiatan amal yang dihadiri oleh orang-orang super kaya, buku-buku yang diterbitkan, musik yang diputar di radio, film-film dokumenter yang dibuat oleh mantan-mantan politisi, film-film baru, bahan-bahan yang digunakan untuk membuat sepatu, bahan bakar biologis generasi baru, petisi-petisi yang diserahkan ke anggota parlemen dan kongres, surat-surat obligasi yang dijual oleh banyak sekali bank-bank di dunia, seluruhnya terlihat mengerucut pada satu hal: upaya menyelamatkan Bumi. Pengumpulan dana dilakukan sepanjang malam, banyak negara-negara yang memberi ruang yang lebih bebas kepada pers akibat sejumlah aksi yang sangat tidak relevan yang telah mereka lakukan; berbagai LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) dengan bebas memasang iklan di saluran-saluran televisi terkenal dan mendapatkan donasi ratusan juta dolar karena setiap orang terlihat seakan-akan sangat peduli dengan nasib Bumi. Setiap ia membaca artikel-artikel di surat kabar atau majalah yang ditulis oleh berbagai politisi dengan tema pemanasan global atau kerusakan lingkungan untuk kampanye pemilihan dirinya, Hamid berpikir:
“Mengapa kita bisa menjadi sangat arogan? Planet ini sejak dulu, sekarang, dan seterusnya akan selalu lebih kuat daripada kita sendiri. Kita tidak dapat merusaknya, jika kita bertindak melampaui batas maka Bumi akan dengan mudahnya menghapus kita semua dari permukaannya dan dirinya sendiri akan tetap eksis. Mengapa orang-orang tersebut tidak mulai berbicara tentang bagaimana agar planet ini tidak menghancurkan diri kita? Ini karena jargon ‘Menyelamatkan Bumi’ lebih memberi kesan yang positif, yakni kesan kekuatan, aksi, dan rasa kemuliaan bagi manusia. Sebaliknya, jargon ‘tidak membiarkan Bumi menghancurkan kita’ memberi kesan yang negatif, yakni kesan tentang keputusasaan dan ketidakmampuan, dan kenyataan bahwa betapa terbatasnya kemampuan manusia.”
Di atas catatan itu saya ingin membagikan sejumlah fakta yang luar biasa yang saya temukan ketika mencari artikel yang menuliskan tentang bakteri biopolimer, tetapi mula-mula saya akan memperkenalkan sejumlah definisi dari konsep-konsep yang akan saya tuliskan terlebih dahulu.
Plastik memiliki banyak definisi, tetapi biasanya, dalam percakapan sehari-hari plastik berarti “segala sesuatu yang dapat dicetak dan dibentuk.” Secara ilmiah, plastik adalah bagian dari senyawa polimer. Polimer berarti “lebih dari satu” dan berarti “anggota suatu senyawa khusus”. Pada dasarnya, polimer adalah senyawa kimia alami atau sintetis yang terbentuk dari rantai gugus sederhana (monomer) yang saling terikat dengan cara yang sama membentuk sebuah rantai karbon utama. Misalnya, PVC (Polyvinyl Chloride) adalah polimer sintetis yang paling dikenal, di mana monomemya (gugus rantainya) berulang beberapa kali. Salah satu polimer alami yang paling dikenal adalah selulosa.
Di sini penting untuk dicatat perbedaan antara polimer dan plastik. Semua plastik tergolong polimer, seperti pada contoh PVC. Sebaliknya, tidak semua polimer adalah plastik, seperti pada contoh selulosa. Kombinasi dari bahan-bahan kimia dan jenis ikatan kimianya menentukan sifat-sifat dan manfaat aplikasi dari polimer tersebut. Bobot molekul polimer tergantung pada seberapa banyak rantai gugus monomer yang berikatan. Bobot molekul polimer dapat ditentukan pada saat dibuat dengan teknik kimia tertentu. Satu perbedaan yang signifikan antara polimer alami dan buatan terletak pada distribusi bobot molekulnya. Ketika sebuah polimer dibuat sintesisnya di dalam laboratorium, hasil produk polimernya berupa kombinasi jumlah seluruh bobot ikatan molekul yang berbeda-beda. Dengan kata lain, ketika reaksi kimia polimerasi berlangsung terbentuklah rantai-rantai polimer yang sangat banyak dan satu rantai polimer tidak pernah sama panjang dan bobotnya dengan rantai polimer yang lain. Akibatnya, terdapat distribusi bobot molekul di mana kebanyakan rantai polimer di dalam larutan memiliki bobot molekul mendekati nila Mw.
Jadi kita akan memiliki rantai polimer yang memiliki bobot-bobot molekul yang saling mendekati antara satu gugus polimer dengan gugus polimer yang lain, dan beberapa rantai polimer yang sangat pendek atau sangat panjang. Sangat tidak mungkin untuk mensintesis suatu larutan polimer di mana semua rantai polimernya memiliki panjang dan bobot yang sama; sehingga, ketika kita berbicara tentang polimer sintetis maka bobot yang dimaksud adalah bobot molekul rata-rata. Sebaliknya, ketika kita melihat semua polimer yang terbentuk secara alami di alam, kita mendapatkan bahwa panjang rantai polimer dan bobot molekulnya selalu sama setiap saat polimer tersebut dibuat. Jadi, polimer alami memiliki nilai bobot molekul yang tetap. lni penting diketahui karena semakin sempit distribusi bobot molekul yang terdapat pada polimer sintesis maka kualitasnya akan semakin baik.
Ketika membahas tentang bio plastik, ada perbedaan antara bio–derived plastics dan bio–based plastics. Berdasarkan penjelasan Dr. R. Narayan dalam diskusinya di Johnson County Community College Esl, bio–derived plastics adalah plastik yang diambil dari suatu organisme hidup, artinya organisme hidup tersebut melakukan reaksi polimerisasi di dalam dirinya dan selanjutnya Anda mengekstrak polimer yang sudah jadi dari tubuh organisme tersebut.
Di sisi lain, bio–based plastics adalah plastik yang dibuat dari bahan awal yang diturunkan dari organisme hidup, bukan dari bahan berbasis minyak bumi, tetapi dipolimerisasi menjadi plastik oleh manusia. Karena itu, tidak semua plastik berbasis bahan biologis (bio–based plastics) bersifat biodegradable (dapat diuraikan di alam dengan mekanisme dekomposisi oleh organisme hidup). Walaupun demikian, fakta bahwa plastik yang terbuat dari bahan utama berasal dari tumbuhan dapat teruraikan dalam beberapa tahun dibandingkan dengan plastik yang terbuat dari minyak bumi yang baru dapat teruraikan setelah beberapa juta tahun, mendorong keinginan kita untuk menggunakannya. Dalam hal ini, ada masalah etika yang mengganggu, yakni bahwa bio–based plastics biasanya dibuat dari sumber pangan manusia, seperti jagung. Namun, Dr. R.Narayan, ilmuwan yang ahli dalam bidang ini, beralasan bahwa jika kasus ini ditangani dengan tepat maka seharusnya tidak akan menjadi masalah. Ia beralasan bahwa satu keuntungan dari keadaan ini adalah dapat meningkatkan harga tanaman pangan pokok dan mencegah terjadinya migrasi massal penduduk dari desa ke kota-kota besar. Dalam hal ini terserah kepada Anda untuk memilih di sisi mana Anda mau berpihak.
Apa yang lebih menarik bagi saya adalah fakta bahwa polimer juga dibuat di alam. Seorang kandidat doktor kimia, Dr. Lon J. Mathias, menulis bahwa, “Kita manusia membuat nilon setiap hari berton-ton di dalam pabrik kimia yang sangat besar di mana molekul-molekul sederhana digabung bersama dalam jumlah besar untuk memberikan produk yang kita inginkan atau butuhkan. Alam bekerja lebih hati-hati dan lebih sempurna. Agar sebuah organisme hidup dapat membuat enzim maka dibutuhkan enzim lainnya atau harus ada keterlibatan makhluk hidup lain. Pembuatan sintesis alami ini selalu melibatkan sebuah model (template), atau perekaman (recording), tentang bagaimana masing-masing asam amino akan digabung bersama-sama untuk menghasilkan polimer akhir. Enzim tersebut masuk satu per satu ke dalam satu gugus asam amino seperti terlihat dalam mRNA. Ini adalah proses yang berjalan perlahan, lambat, dan membutuhkan waktu yang lama. Kadang-kadang enzimnya mengalami kejenuhan karena harus menunggu lama datangnya asam amino yang tepat di hadapannya dan mengusir asam amino yang tidak tepat. Sebagai kompensasi atas hal ini, enzim tersebut dibuat sewaktu-waktu sebagai cadangan untuk mengecek proses kerjanya. Jika enzim melakukan kesalahan dalam kerjanya maka enzim tersebut memiliki mekanisme untuk melepaskan ikatan asam amino yang salah dan menggantinya dengan yang benar. Kita manusia tidak pernah melakukan hal ini. Jika kita melakukan kesalahan dalam proses pembuatan ini maka dengan mudah dapat menghancurkan kemudian membuangnya.6
Dr. Mathias terus melanjutkan membandingkan kondisi pembuatan antara bentuk polimerisasi yang dilakukan alam dan buatan manusia. Ia mengatakan bahwa polipeptida di alam dibuat di dalam air, sedangkan kita membuat polipeptida di dalam pelarut organik beracun. “Ini memberi masalah bagi kita: apa yang kita lakukan terhadap pelarut organik tersebut ketika telah selesai membuatnya? Kadang-kadang kita membakarnya, tetapi yang lebih sering dilakukan adalah kita mencoba mendaur ulang bahan-bahan tersebut, yang tidak hanya lebih mahal ketika membeli di awal (dibandingkan dengan air yang lebih murah, yang tersedia atau hampir terdapat di mana-mana) tetapi juga harus bertanggung jawab dalam proses pendaurulangan, pemurnian, dan pembuangan akhirnya. Salah satu contoh tentang bagaimana alam menggunakan air dalam pembuatan polipeptida, dan satu hal yang masih belum kita ketahui adalah pembuatan serat sutra laba-laba. Laba-laba memilin jaring-jaring mereka dari larutan polipeptida di dalam air. Larutan ini dipompa dengan tekanan melalui lubang spineret laba-laba yang sangat kecil dan halus dan dengan cepat muncul dalam bentuk serat yang panjang untuk membentuk jaring laba-laba yang sering kita lihat dan kadang-kadang terjerat olehnya. Yang aneh dari fenomena ini adalah setelah jaring laba-laba terbentuk, jaring tersebut tidak lagi dapat larut dalam air (padahal sebelumnya diketahui bahwa ia dibuat di dalam air). Andai saja kita mampu mengetahui bagaimana laba-laba pertama kali membuat serat jaring-jaringnya di dalam air dan kemudian memilin jaring tersebut dari air maka seharusnya kita bisa membuat nilon dengan cara yang sama. Jika bisa demikian maka hal ini dapat mencegah kita terkena masalah terkait dengan pembuangan limbah hasil pembuatan polimer dan sekaligus menghemat biaya produksinya.”6
Proses pembuatan spektakuler lainnya di alam adalah polimer yang dibuat di dalam tubuh bakteri yang dapat digunakan sebagai plastik setelah dikeluarkan dari bakteri tersebut. Banyak jenis biopol’ yang dibuat di dalam tubuh bakteri digunakan untuk menjalankan berbagai fungsi biologis dan memiliki sifat-sifat bahan yang cocok untuk digunakan dalam aplikasi industri dan medis. Beberapa senyawa karbon dapat diubah menjadi berbagai jenis polimer dengan sifat-sifat kimia dan bahan yang berbeda. Lebih khusus lagi, empat jenis polimer utama dibuat oleh bakteri, yaitu polisakarida, poliester, poliamida, dan polianhidrat anorganik (misalnya polifosfat). Polimer-polimer ini bekerja melakukan berbagai fungsi biologis, misalnya sebagai material cadangan atau sebagai bagian dari struktur pelindung, dan dapat memberikan keuntungan substansial bagi bakteri dalam kondisi lingkungan yang khusus.7 Beberapa biopolimer-biopolimer ini dapat diambil dari tubuh bakteri dan dapat digunakan sebagai plastik. Biopolimer (menurut definisinya) bersifat biodegradable, sehingga pemanfaatan bahan tersebut sebagai produk komoditas menjadi sangat menarik dalam kacamata keinginan untuk menghindarkan diri dari penggunaan polimer berbasis minyak yang akan terus menumpuk di lingkungan.7 Biodegradable berarti bahwa ketika polimer ini diberikan kepada mikroba tumbuhan di dalam lingkungan khusus (misalnya di dalam tanah atau air) maka akan terurai seluruhnya menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana dan berakhir sebagai senyawa karbondioksida (CO2) dan air (H20).5 Alasan mengapa biopolimer 100% biodegradable adalah ketika senyawa ini dibuat di dalam tubuh bakteri sebagai bahan simpanan, biopolimer memiliki tempat-tempat di mana enzim-enzim dari bakteri dapat memotong dan menghancurkan ikatannya ketika bakteri-bakteri tersebut mencari makanan. Namun, pada polimer lainnya (bahkan bagi polimer yang terbuat dari bahan biologis) tidak akan memiliki tempat-tempat yang dapat hancur oleh enzim bakteri, sehingga senyawa-senyawa tersebut tidak selalu bersifat biodegradable.
Jenis polimer yang paling terkenal yang diproduksi oleh bakteri yang dapat digunakan sebagai plastik adalah polihidroksialkanoat (PHA). PHA adalah jenis polimer yang dibuat di alam dengan cara fermentasi gula atau lemak di dalam tubuh bakteri. Senyawa ini dibuat oleh bakteri untuk menyimpan karbon dan energi ketika terjadi kekurangan makanan di lingkungan. Ada banyak jenis bakteri yang dapat membuat PHA, seperti bakteri yang hidup di tanah dan banyak bakteri di kotoran, permukaan laut, atau lingkungan ekstrim lainnya. Ketika kita menyimpan lemak di tubuh, bakteri di dalam tubuh menyiman PHA. Di dalam lingkungan yang mengandung semua jenis zat-zat makanan, bakteri tumbuh dan bereproduksi dengan kata lain mereka menghasilkan biomassa. Namun, ketika diberikan zat yang dapat menghancurkan zat-zat makanan (yakni seperti nitrogen atau fosfor) dan sumber karbon yang sangat banyak, bakteri mulai menyimpan granul-granul (butiran-butiran) PHA.
Ketika zat makanan yang hilang tadi dimasukkan kembali ke lingkungan, bakteri mulai mengurangi jumlah granul-granul PHA dan melanjutkan menyimpan biomassa. Jadi, dengan memanipulasi sumber zat makanan di dalam lingkungan dan menyediakan kondisi hidup bakteri yang optimal maka bakteri dapat dipaksa untuk memproduksi PHA. [9]
Di dalam tubuh bakteri terdapat jalur-jalur metabolisme yang melibatkan berbagai enzim untuk mengubah sumber-sumber senyawa karbon menjadi berbagai jenis polimer. Para ilmuwan telah mencoba mengutak-atik bakteri secara genetika untuk mendapatkan peningkatan produksi dari polimer-polimer ini. Pada beberapa kasus ada kemungkinan untuk mempercepat pembuatan enzim-enzim kunci di dalam lintasan metabolisme bakteri untuk mendapatkan produksi PHA yang meningkat. Namun, riset seperti ini membutuhkan waktu yang lama dan usaha yang banyak karena mengubah aktivitas biologis adalah proses yang rumit dan pada kebanyakan kasus, sel-sel justru memberikan tanggapan yang tidak dapat diprediksi atas perubahan ini. Dengan memberikan makanan berupa sumber-sumber karbon yang berbeda kepada bakteri pada kondisi yang berbeda maka memungkinkan untuk mengubah komposisi dari polimer-polimer yang dihasilkan. Lebih dari itu, gugus bakteri yang berbeda akan menghasilkan tipe polimer yang berbeda pula, sehingga jangkauan (range) riset biopolimer ini menjadi sangat lebar. Dengan lebih dari 150 monomer (gugus polimer yang berulang) PHA yang berbeda yang telah tercatat maka PHA dengan sifat-sifat termal dan mekanis yang fleksibel telah dikembangkan.7 Banyaknya keragaman ini telah mendorong pengembangan untuk aplikasi-aplikasi yang beragam.
Di dalam ceramahnya di acara “2nd International Plastice Conference Trends in Bioplastics” di Slovenia, Dr. Martin Koller menjelaskan bahwa ada dua jenis PHA yang diproduksi oleh sebuah mikroorganisme. Jenis pertama adalah PHA berantai pendek (memiliki rangkaian utama terdiri atas 3-5 atom karbon) dan jenis yang kedua adalah PHA berantai medium (memiliki rangkaian utama terdiri atas 6-12 atom karbon). Jenis PHA berantai medium dapat digunakan untuk produksi biodisel sedangkan jenis PHA berantai pendek dapat digunakan untuk bahan termoplastik (yakni plastik yang dapat meleleh jika terkena panas dan selanjutnya dapat diproses dengan bantuan panas). Termoplastik ini dapat diambil dari organisme yang membuatnya menggunakan ekstraksi pelarut, pemecahan mekanis, atau menggunakan medium hipotonis (yakni medium yang memiliki tekanan osmosis yang lebih rendah dibandingkan dengan dua cairan) untuk sel-sel yang memiliki tekanan osmosis intraseluler yang tinggi.9 Di kasus yang terakhir (yakni pengambilan termoplastik menggunakan medium hipotonis) sel-sel akan meledak akibat perbedaan tekanan dan melepaskan PHA; air yang telah dihilangkan kandungan ion-ionnya (deionized water) dapat digunakan sebagai medium hipotonis. Namun, hanya rantai polimer tertentu yang dapat diterapkan dengan metode ini. Ketika metode ini dijalankan, teknik paling umum yang sering digunakan untuk ekstraksi adalah ekstraksi pelarut. Pelarut-pelarut ini (seperti kloroform dan diklorometan) pada umumnya bersifat racun, sehingga menciptakan kontradiksi dengan tujuan membuat biopolimer sebelumnya.
Meskipun bukan yang utama, sejumlah plastik yang dibuat dari bakteri ini dibuat pula di dalam industri.8 Aplikasi yang paling sederhana dan paling banyak digunakan orang dari plastik yang berasal dari bakteri ini adalah untuk tujuan pembungkusan (packaging). Plastik-plastik tersebut juga dapat digunakan untuk aplikasi terapi (pengobatan), karena mereka sangat biokompatibel. Obat-obatan dapat digabungkan dengan biopolimer ini, sehingga ketika terurai di dalam tubuh, biopolimer melepaskan obat dalam selang waktu yang terkontrol.9 Misalnya, Dr. Martin Koller dan grup penelitinya telah menyelesaikan sebuah proyek yang disebut BRIC – Bio Resorbable Implants for Children (lmplan-implan yang Dapat Diserap secara Biologis untuk Anak-anak), yang didanai oleh Badan Promosi Riset Austria (FFG).10 Tujuan mereka adalah untuk mengambil sebuah polimer biokompatibel yang dihasilkan dari bakteri yang dapat, degradasi (terurai) dan dikeluarkan dari tubuh dalam kurun waktu tertentu. Tujuan dari proyek ini adalah berdasarkan fakta bahwa berlawanan dengan implan-implan tradisional sebelumnya yang harus dibuang dari tubuh setelah digunakan selama waktu tertentu, seperti pelat, spiral, atau batang logam (pin), implan yang baru saja dikembangkan dapat terurai dan dibuang dari tubuh secara alami tanpa membutuhkan operasi untuk mengeluarkannya. Ini merupakan terobosan baru yang menguntungkan, khususnya. bagi anak-anak, yang akan menderita lebih banyak akibat operasi-operasi tambahan.
Bioplastik-bioplastik yang terbuat dari bakteri tersebut memiliki banyak aplikasi lainnya, tetapi masalah terbesar dari pemanfaatan bahan tersebut adalah mahalnya biaya produksi untuk membuatnya. Di dalam pidatonya, Dr. Keller menyatakan biaya produksi bioplastik dari bakteri adalah sekitar lima kali lebih mahal dibandingkan plastik-plastik yang dibuat dari bahan dasar minyak bumi. Biaya yang terbanyak digunakan untuk membuat bioreaktor yang dibutuhkan untuk menumbuhkan bakteri dan cairan pelarutnya yang digunakan untuk mengekstrak biopolimer yang dihasilkan. Para ilmuwan sedang berharap untuk dapat mengembangkan teknik baru untuk mengurangi biaya pembuatan biopolimer tersebut.
Penemuan ini sangat mengejutkan karena makhluk-makhluk yang kita tidak dapat melihatnya dengan mata telanjang ini telah membuat polimer seperti halnya kita membuat polimer, dengan kualitas yang lebih baik dan lebih awal daripada kita. Polimer-polimer yang dibuat oleh bakteri tersebut sangat biodegradable, memiliki bobot molekul yang tetap, dan tidak membutuhkan bahan kimia berbahaya untuk membuatnya, tidak seperti polimer sintetis yang kita buat di laboratorium. Biopolimer-biopolimer tersebut tidak merusak lingkungan seperti halnya polimer yang kita buat. Dan penemuan ini sangat besar manfaatnya bagi kehidupan manusia.
Daftar Pustaka
- 2013. Plastics from Renewable Raw Materials: Body Automatically Breaks Down Implants. Graz University of Technology, Austria.
- Bernd H.A. Rehm. 2010. Bacterial Polymers: Biosynthesis, Modifications and Applications. Nature Reviews Microbiology. Massey University, New Zealand.
- Guo-Qiang Chen. 2010. Plastics Completely Synthesized by Bacteria: Polyhydroxyalkanoates. Plastics from Bacteria: Natural Functions and Applications, Microbiology Monographs. Springer. Tsinghua University, China.
- http://dictionary.reference.com/
- Lon J Mathias. 2005. Natural Polymers. Polymer Science Learning Center. The University of Southern Mississippi, USA.
- Martin Koller. 2012. Polyhydroxyalkanoates: Biodegradable Polymeric Materials from Renewable Resources. Plastice Project Video. 2nd International PLASTICE Conference Trends in Bioplastics, Slovenia. Paulo Coelho. 2008. The Winner Stands Alone. halaman: 139.
- Pei Lei, Schmidt Markus, dan Wei Wei. 2011. Conversion of Biomass into Bioplastics and Their Potential Environmental Impacts, Biotechnology of Biopolymers. In Tech .
- Ramani Narayan. 2013. Bioplastics and Reducing Carbon Footprint. JCCC Video. Johnson County Community College, USA.
- Stephen Ritter. 2005. Green Success. Science and Technology. halaman: 40-43.
- Tristan Simon. 2007. Experience Curves in the World Polymer Industry. Utrecht University, Netherlands.
- Waters Co. 2013. GPC-Gel Permeation Chromatography. Web.
- Yoshiharu Nishiyama, Paul Langan, Henri Chanzy.2002. Crystal Structure and Hydrogen-Bonding System in Cellulose I from Synchrotron X Ray and Neutron Fiber Diffraction. J. Am. Chem. The University of Tokyo, Japan.
Discussion about this post