Manusia era ini menjadi korban dari ketidak beradaan tujuan dan cita-cita yang jelas. Terkadang ia tidur dalam kehendaknya sehingga membusuk, terkadang atas nama kehendaknya pula ia justru anarkis dan menafikan segala sesuatu. Saat diam atau tak bergerak maka tanpa sadar dirinya akan keropos dan lambat laun rapuh. Sebaliknya saat bergerak ia menghancurkan berbagai nilai penting seperti nilai agama, spiritual, akhlak dan keadilan. Ya, saat orang seperti ini menyendiri maupun berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya, ia akan tetap bermasalah.
Makhluk yang selalu mengedepankan kepentingan jasmaninya saja maka perutnya aktif, otaknya pasif, perasaannya selalu bergejolak dan lengah dari keberadaan kalbunya. Selain bergunjing, dalam kesehariannya mereka tidak memiliki sama sekali rencana, sikap, pemikiran serta aspek kesungguhan yang dapat menghadirkan ketenangan bagi jiwa lainnya, serta mengantarkan jiwa-jiwa tersebut pada masa depan. Saat sedang lemah ia akan menghadapi segala sesuatu dengan diam. Ketika menjadi kuatpun maka ia akan berusaha mengekspresikan dirinya dengan cara-cara yang merusak. Terkadang hanyut dan terseret ke sana-ke mari seperti daun-daun kering yang terombang-ambing dalam pusaran angin. Kadang pula diinjak oleh lalu lalang manusia seperti sampah.
Sekian lama atmosfer yang suram ini seolah menjadi tabiat manusia saat ini. Ya, manusia seperti ini ketika merelakan dirinya terperangkap dalam lentera kaca, membiarkan perasaan, pemikiran dan cita-citanya menyempit maka ia hanya menenangkan dirinya dengan keminderan atau justru kegilaan. Dalam dua kondisi ini ia akan selalu memerangi karakter kebangsaannya. Sayangnya sekarangpun perang ini masih berlangsung dengan begitu cepatnya dalam dimensi yang berbeda. Coba kita bayangkan, dunia dengan pertimbangan era baru lari mengejar proyek demi proyek, sementara kita masih mengejang dalam lingkaran kesia-siaan. Pemikiran kita berantakan, perasaan kita rendah, sikap dan tindak-tanduk kita tidak kosisten, kalbu kita telah jauh dari kasih sayang, kerumunan manusia seolah menjadi mainan yang pasang dan surut dalam jaring tak bermakna. Setiap hari masyarakat mencari mihrabnya sedangkan para pembimbing berada dalam kelalaian. Jika kita tengok lembaga manapun kita akan menyaksikan kekacauan ini sehingga mampu membuat kita merinding. Ya, kita tidak dapat lagi menyaksikan kehidupan pemikiran, akhlak, budaya, seni, politik, ekonomi dan hukum tanpa merasakan kepedihan di dalam hati kita. Perselisihan, pertengkaran, keadaan dimana kekuatan menguasai kebenaran, dan kebiasaan meniru tanpa adanya kesadaran seolah telah menjadi takdir bagi dunia kita.
Jika elang saja kalah dalam perjuangan ini maka apa yang bisa kita harapkan dari burung-burung pipit. Untuk memperbaiki bahtera yang bocor dan terguncang dalam tendangan ombak dibutuhkan para ksatria pemberani yang selalu memelihara keyakinan, keteguhan dan harapannya; memiliki cita-cita tinggi; mampu menghirup nafas panjang; hidup untuk menghidupkan orang lain dan dapat berkorban untuk meraih inayat jasmani dan rohani guna mempersiapkan perahu bangsa menuju perjalanan yang masih panjang ini. Dibutuhkan ksatria yang ke hendaknya laksana baja untuk menghancurkan, atau setidaknya mengurangi tekanan-tekanan yang tampil dengan penampakan berbeda-beda dan desakan yang tingginya bagai ombak yang telah dijatuhkan ke atas dunia sejak beberapa abad ini.
Berkat adanya cita-cita mulia dan tinggi, yang menggantung keselamatan dirinya untuk menyelamatkan orang lain, demi kebahagiaan orang lain masa depan dan harapannya sendiri akan ditaburkan seperti tanah di bawah kaki. Ia akan masuk ke dalam pembuluh darah setiap insan seperti udara; beredar di tiap tubuh selayaknya aliran darah; mengalir bagai air pada setiap kegersangan dan dahaga sambil menghembuskan nafas kehidupan di mana-mana. Kemudian semua gerakannya terikat pada sebuah pertanggungjawaban yang berada di kedalaman jiwanya; yang berusaha memenangkan kembali bagi diri kita ruh, jiwa dan makna yang telah hilang dengan sebuah iradat penuh belas kasih dan penuh tanggung jawab serta sebentuk kasih sayang yang begitu dalamnya sehingga mampu memeluk seluruh umat manusia. Ia akan berusaha dan kali terakhirnya mengingatkan pada kita kandungan kemanusiaan kita, maka saya yakin bahwa dengan kesemuanya ini wajah kemanusiaan akan tersenyum kembali dan derita para pen derita akan reda. Mungkin juga dunia akan didudukkan pada porosnya kembali, tentu saja hal ini, akan menjadi teladan pula bagi jiwa-jiwa yang hidup tanpa cita-cita mulia setelah sekian lama.
Justru, dalam nasib dan takdirnya, umat manusia berada dalam suatu program yang tidak memungkinkannya untuk tinggal ataupun hidup secara terpisah. Walaupun kita mencoba untuk menutup mata dan menyumbat telinga namun peristiwa-peristiwa telah memasukkan ke dalam otak kita pada banyak titik kebersamaan dengan berbagai jalan sembari menarik kita ke dalam sebuah atmosfer kepedihan dan kelezatan dari kebersamaan tersebut di atas, perasaan-perasaan individual yang kemudian akan membuat hati nurani kita ingat pada sisi sosial kita. Bahkan setiap gerak-gerik kita, baik secara langsung maupun tidak, akan berhubungan dengan semuanya, begitu pula sebuah peristiwa yang terjadi di ujung dunia sekalipun akan tetap berhubungan dengan kita. Secara singkat, semua ini bersumber dari takdir manusia yang diciptakan untuk hidup bersama dengan manusia lainnya dan memiliki perasaan berbagi. Sebenarnya jika manusia mampu menyadari rahasia dari adanya sebuah program di dalam fitrah kita yang memaksanya untuk hidup dalam kebersamaan sambil berdampingan dengan adanya hukum takdir tersebut, maka manusia akan mampu bergerak lebih cepat. Selain itu apabila manusia dengan niat dan iradahnya menghanyutkan dirinya ke dalam arus yang alami ini, sambil meraih sebuah kedalaman yang bersifat naluriah, masuk akal dan iradiyah, di satu sisi ketika mengetengahkan kekhasan sifat kemanusiaanya maka di sisi lain akan memperoleh pahala pula dari usahanya saat memohon dan meminta kepada-Nya serta akan menjadikan iradahnya itu sebuah kunci yang membuka cita-cita mulia demi keabadian dirinya kelak.
Untuk itulah semua yang memikirkan ‘keabadian’ haruslah bercita-cita menyelamatkan sembari memeluk sesamanya sehingga dalam perjalanan keabadiannya itu dapat direngkuh pula oleh semua yang telah diselamatkan dan dipeluknya. Sebaliknya jiwa-jiwa egois, ambisius, tak berbelas kasih yang membangun keselamatan dirinya hanya atas kehancuran orang lain tidak akan pernah benar-benar dicintai dan akan selalu dihina oleh semua kalangan. Tentunya kebaikan seseorang pertama-tama akan memberikan kebaikan bagi dirinya sendiri terlebih dahulu. Begitu pula dari sebuah keburukan seseorang akan pula pertama kali berdampak negatif bagi dirinya sendiri. Seorang insan yang memiliki potensi menjadi baik dalam tabiatnya, mampu mengungkapkan dirinya dengan bahasa kalbu sambil menampilkan karakter dan sifatnya, maka ia akan selalu bertahta bahkan di hati yang paling keras seperti granit sekalipun dan akan selalu menjadi buah bibir di lisan semua orang.
Siapa saja yang bertindak atas nama rasa egois, ambisi, dendam, tak berbelas kasih dan demi keberadaannya sendiri selalu mengincar tempat-tempat yang hancur seperti kelelawar, akan selalu terjepit di dalam dunia sempit dan individualnya itu sendiri dan tidak akan pernah mampu peka untuk merasakan keluasan dunia kebersamaan, bahkan mereka sama sekali tidak mendapatkan ketentraman di dalam dunianya yang sempit tersebut. Manusia-manusia seperti ini yang senantiasa kalah dalam urusan kalbu dan nuraninya, di atas segalanya akan menggersangkan nilai-nilai yang menjadikannya manusia di dalam dirinya sendiri bahkan mematikan kalbunya.
Ya, orang-orang yang hanya memikirkan dirinya sendiri dan hidup tertutup dari orang di sekitarnya adalah masing-masing contoh dari sebuah kelesuan atau kemalasan dan bagaikan sebuah jenazah hidup yang berada di antara ambang hidup-mati hingga mereka tidak mampu merasakan, baik hangatnya kehidupan maupun dahaganya menghidupkan.
Kehidupan yang sebenarnya adalah kehidupan yang direncanakan untuk memikirkan manusia pada hari ini dan esok serta dicita-citakan dengan tujuan untuk hidup bagi mereka. Nah, suatu kesadaran, pemahaman dan perasaan seperti ini yang berkuasa pada setiap tahapan kehidupan dari awal hingga akhirnya ini adalah potret dan bingkai yang paling tepat dari karakter untuk menjadi manusia yang hakiki. Sebuah potret yang begitu hebatnya sehingga siapapun yang melihatnya dengan menggunakan mata hati akan dapat dengan mudahnya melihat bahwa di balik gambar tersebut tersimpan sebuah hubungan yang dalam dan hangat antara ia dengan seluruh entitas yang ada. Pada lukisan ini manusia akan selalu bisa melihat baik dirinya sendiri maupun orang lain dengan mata hati nya dan juga mampu mengevaluasi dengan penuh kesyukuran atas apa yang dilihatnya tadi. Begitulah manusia berkat sudut pandang seperti ini sebagaimana ia dapat lebih mudah menapaki dunia dalam dirinya, dengan sudut pandang yang sama akan mendapatkan sebuah kesempatan untuk juga mampu melihat dan mengenal lingkungannya pula dan ia akan mendapati semua orang dan segala sesuatu sebagai hal yang lebih lembut, lebih santun dan hangat.
Namun tentu saja kedalaman seperti ini tidak akan bisa diperoleh dalam sekejap. Ia adalah sebuah penampakan kasih sayang yang timbul setelah masa peragian yang cukup lama di kedalaman hati nurani kita dan sebuah seruan manusiawi dari bahasa kalbu. Seruan ini, akan mengalir dari nurani manusia berkalbu, mewarnai ke segala penjuru dan bersamaan dengan berjalannya waktu, lambat laun semua akan diajaknya berbicara dengan lisan yang sama. Karena ia bangkit dari dalam hatinya maka ia tidak akan pernah terpengaruh dari hal-hal buruk di luar.
Seruan yang berasaskan iman dan memiliki kedalaman ihsan ini disambut dengan terbuka baik di langit maupun di bumi, suatu hari nanti pastilah semua jiwa akan mengarah kepadanya dengan rasa hormat, pintu-pintu langit akan terkuak dan akan mencurahkan sanjungan dan apresiasi terhadapnya. Yakni pada saat itulah semua kalbu akan berdebar dengan cinta, akan berfikir dengan cinta, akan berbicara dengan cinta, berperilaku dengan cinta dan merangkul seluruh mahluk dengan cinta pula dan saya rasa pada hari dimana seluruh permukaan bumi berubah menjadi kilau cermin cinta dengan kadar ini, kitapun akan mencintai kehidupan lebih dalam sehingga membuat orang lain mencintainya pula dan saat menunjukkan jalan keabadian kepada orang lain, sambil menjauhkan diri dari seluruh hal-hal buruk yang ada pada nafsu, kita akan bisa mencapai sudut pandang berbeda dengan cakrawala pengamatan hati nurani baik bagi diri kita sendiri maupun bagi orang lain.
Pencapaian ini tidak hanya akan terpuaskan dengan pemikiran kebaikan dan keindahan yang bisa kita lakukan saja namun akan pula berusaha menjangkau kebaikan dan keindahan yang seolah kita tak sanggup meraihnya pula, dan dalam hal ini kita akan senantiasa duduk-berdiri bersama dengan mimpi puncak yang begitu tinggi. Saat sesuatu yang tidak mungkin tersebut pada akhirnya bisa tercapai maka ia akan menggemuruhkan ‘suara-suara kesyukuran’. Saat dihadapkan pada cita-cita mulia yang melampaui batas kesanggupan sambil mengepakkan sayap iman, tarikan nafas kita akan selalu memberikan harapan sehingga kita akan berada pada kondisi menunggu secara aktif.
Tingkat ruhani seperti ini, yang selalu memaksakan kemampuannya hingga batas tertinggi dengan semangat kebaikan, haruslah menjadi aspek terdalam dari manusia dan terluas dalam aspek terpentingnya. Ia akan meraih nilai-nilai di atas nilai, baik di hadapan Allah Subhanahu Wa Ta’ala maupun di hadapan masyarakat dengan menggunakan aspek dan sisi ini, agar tingkatan anugerah ‘Ahsan-i Takwim’ dapat diraih dengan kedalamannya ini. Pada takaran ini, sebuah hubungan yang dirasakan terhadap semua orang seperti ini merupakan hasil dari hubungan baiknya dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebuah citacita luhur pada tingkat individual; pemikiran yang di-suarakan oleh perkataan “gugurkan aku sebagai syuhada, muliakanlah bangsa dan negaraku” adalah sebuah cita-cita nasional luhur yang tinggi. Kepahlawanan yang diungkapkan dengan pernyataan “Jika aku melihat terselamatkannya iman bangsaku maka aku rela terbakar dalam api neraka” adalah sebuah cita-cita mulia yang melampaui banyak hal. Sedangkan cinta dan kasih sayang universal tertinggi milik Rasulullah SAW tercinta yang terungkap dengan kata-kata “Ya Allah ampunilah umatku, karena mereka tidak mengerti” yang diucapkan oleh Beliau pada orang-orang yang coba merenggut nyawanya adalah sebuah cita-cita luhur yang berporoskan pada tanggung jawab mulia dan mencakup kedalaman belas kasih sayangnya.
Menurut saya, dewasa ini masyarakat kita bukannya membutuhkan hal ini atau itu seperti yang diributkan saat ini, namun kita membutuhkan para pahlawan bercita-cita mulia pada takaran ini. Para pahlawan yang tentu saja pertama-tama akan mengulurkan tangannya dengan penuh cinta pada bangsanya sendiri lalu kemudian pada seluruh umat manusia dan mereka yang setiap tangannya terangkat untuk bermunajat pada Rabbnya ia akan memohonkan bagi kebaikan orang lain, maka mulailah dengan menyuarakannya dalam diri kita sendiri dahulu karena jika tidak siapa lagi yang akan memulainya.
Discussion about this post