Pada masa dahulu di daerah Persia, di antara para ulama dan kumpulan orang-orang bijak, banyak dibentuk “Majelis Para Pendiam”. Majelis-majelis ini biasanya memiliki keanggotaan terbatas dan tertentu, sehingga tidak semua orang bisa bergabung dan hanya mereka yang memiliki kekhawasan1 serta keistimewaan tertentu yang bisa masuk, itu pun jumlahnya sangat dibatasi. Bagi yang tak paham, hal ini akan membingungkan siapa pun yang memperhatikannya, karena apa yang dilakukan majelis ini adalah sesuatu yang sangat tak lazim. Sekiranya pada umumnya manusia akan mengobrol, bercanda, bahkan tertawa ribut jika berada dalam kumpulan, maka apa yang dilakukan oleh orang-orang pilihan ini sungguh tak biasa. Pada saat-saat tertentu ketika berkumpul bersama, mereka hanya duduk diam membisu tanpa bersuara, berada dalam keheningan, sibuk bertafakur dan ber-tadzakur. Syarat utama untuk berada di perkumpulan ini adalah banyak berpikir, sedikit makan, dan sedikit berbicara atau yang terkenal dengan prinsip hidup para sufi sebagai tarbiyah tasawufnya, qillatu’l kalam, qillatut-tha’am wa qillatul manam. Tiga hal yang ditahan untuk tak berlebihan dilakukan ini, sesungguhnya adalah hal-hal yang sangat mendatangkan kesenangan dunia tetapi ternyata amat berbahaya bagi kesehatan mental dan jiwa manusia, tak banyak orang yang mampu memenuhi syarat-syarat yang tampak sederhana dan mudah ini.
Molla Jami, seorang penyair dan ulama besar pada masa itu adalah salah satu pemikir yang sangat ingin bergabung dengan salah satu majelis ini. Meski berbagai cara diupayakan, tapi tetap saja beliau masih belum berhasil masuk menjadi anggotanya. Salah satu sebabnya adalah karena jumlah keanggotaan yang dibatasi hanya tiga puluh orang sehingga tak ada cara untuk bergabung jika kuota jumlah sudah terpenuhi, walaupun sebenarnya Molla Jami adalah seorang yang sangat mashyur pada masa itu. Beliau yang memiliki nama lengkap Nureddin Abdurrahman Jâmî itu adalah seorang penyair yang tidak hanya diakui di Samarkand, Bukhara dan Khorasan, tetapi juga mendapatkan rasa hormat dari para sultan, cendekiawan, dan penyair di wilayah yang luas, mulai dari India hingga Balkan. Fatih Sultan Mehmed dari Kesultanan Ustmani pernah mengutus Hoja Ataullah Kirmani ke Aleppo dengan membawa hadiah 5.000 keping emas untuk mengundang Molla Jami agar berkenan datang ke Istanbul dalam perjalanannya pulang dari ibadah haji. Namun sayangnya undangan tersebut tidak terwujud, karena Molla Jami telah berangkat dari sana, tepat sebelum Hodja Kirmani tiba. Lalu Sultan Fatih mengirim utusan untuk kedua kalinya dengan berbagai hadiah berharga dan memintanya untuk menulis sebuah karya yang membandingkan pandangan kalam, filsafat dan sufi. Molla kemudian menulis karyanya yang berjudul Jâmi ad-Durratul al-Fakhirah yang di dalamnya terdapat puisi dengan gaya penulisan matsnawi, yang menggambarkan penaklukan Fatih Sultan Mehmed. Sayangnya karya ini belum sempat disampaikan pada sang sultan karena beliau telah wafat tepat sebelum karya tersebut sampai.2
Discussion about this post