Manusia diciptakan sebagai makhluk yang cenderung untuk melakukan kebaikan. Saat ia mampu mengembangkan esensi kecenderungannya itu kepada kebaikan, maka bakat-bakat keburukan yang dimilkinya akan kian melebur dan melemah, hingga suatu saat akan berubah menjadi kebaikan.
Terkhusus bagi manusia beriman, setiap detik dari kehidupannya tanpa kenal lelah dan bosan akan senantiasa berlari di dalam jalan kebaikan, akan senantiasa membuntuti kebaikan, dalam duduk dan berdirinya mengembuskan napas kebaikan. Takkan ia beda-bedakan antara yang besar dan yang kecil saat melakukan hal ini. Karena tidak menyepelekan bahkan sekecil-kecilnya kebaikan adalah perintah yang disampaikan oleh Baginda Nabi Agung Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ya, orang-orang beruntung yang menyatukan imannya dalam keteguhan akan senantiasa mengatakan tentang kebaikan tanpa pernah bosan, terus sepanjang hidupnya, bangkit dan mengatakan lagi dan lagi tentang kebaikan, berlari dan menyuarakan pengorbanan, merintih dan menyebutkan tentang keutamaan, berteriak dan bercerita tentang keksatriaan, menitikkan air mata dan menyapaikan tentang persahabatan. Dan yang menuntunnya untuk melakukan itu semua adalah rida Ilahi.
Ada sebuah kenyataan bahwa setiap tujuan duniawi, apapun itu, saat telah dicapai tidak akan lagi bisa menyemangati pengejarnya untuk melanjutkannya dengan semangat seperti sebelumnya, atau paling tidak, untuk mempertahankannya. Karena segala hal yang fana tidak akan pernah mampu memuaskan manusia, sang makhluk calon penghuni alam baka. Namun berbeda dengan rida Allah, ia tidaklah seperti itu. Al-Qur’an mengungkap hal ini dalam satu ayatnya, ‘’Dan rida Allah adalah yang paling agung’’. Yakni, bagian terpenting dan titik puncak yang harus digapai dan dicapai berada di sana.
Pertanyaan terkait ‘’Apakah rida itu sudah dicapai atau belum?’’ tidak bisa dipastikan jawabannya, kecuali pada para nabi. Tak seorang pun mengetahui dengan sepenuhnya makna rida Allah di setiap amalnya, apapun itu. Ia akan senantiasa mencari dan berlari mengejarnya. Ia seperti sebuah kotak yang penuh dengan banyak pintu tertutup. Di dalam salah satu pintunya terdapat sebuah hadiah yang teramat berharga, namun tidak diketahui di pintu mana hadiah itu
berada. Tepat seperti perumpamaan ini, kita tidak dapat mengetahui di dalam amal baik kecil atau pun besar di mana rida Allah tersebut berada. Apakah ada pada amal baik menyingkirkan kerikil di tengah jalan yang mengganggu pelintasnya kah? Di dalam kesibukan beribadah semalaman di jalan-Nya hingga pagi menjelang kah? Di dalam kesibukan berkhidmah dan mencari ilmu kah? Di dalam amal mengasuh anak yatim piatu kah? Di dalam amal menginfakkan segala harta yang diberikan-Nya dalam kebajikan kah? Atau bahkan mungkin di dalam amal membebaskan burung malang dari sangkarnya sebagaimana yang dilakukan oleh Sayidina Umar adalah pintu bagi rida-Nya? Entahlah.
Biarlah nyawa kita menjadi tebusan bagi segala hal yang dikehendaki-Nya. Karena pada setiap pekerjaan-Nya tersimpan rapi hikmah-hikmah yang indah. Allah tak akan melakukan sesuatu yang sia-sia. Namun dalam hal terjadinya perkara ini ada titik dan hikmah yang terkandung. Dalam rida Ilahi tersimpan penuh kerahasiaan yang akan menjadikan manusia melihat segala rentetan kehidupannya sebagai sebuah pohon kesempatan, yang menjadikannya menganggap semua orang yang datang kepadanya sebagai Nabi Khidir dan setiap malam yang berlalu sebagai malam Lailatulkadar. Ia akan menjalani kehidupannya seperti itu, dan hal itu pun akan mengubahnya menjadi kebaikan secara keseluruhan. Pada akhirnya masyarakat yang terbentuk dari individu-individu semacam ini akan dapat memindahkan kehidupan indah Surga di dunia dan menjalani kehidupan layaknya kehidupan para Sahabat di ‘Masa Kebahagiaan’ dahulu, pada masa ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan Para Sahabat hidup.
Dalam kitab Ihya’ Ulumuddinnya, Imam Al- Ghazzali menceritakan sebuah hikayah sarat makna tentang topik ini. Seorang saudagar kaya di Baghdad hidup bersama istri dan anak gadisnya. Lelaki itu bekerja sebagai seorang juragan penggilingan gandum. Ia termasuk salah seorang terkaya di kota itu, namun di saat yang sama juga seorang yang amat kikir tak terkira. Suatu ketika ada seorang fakir lusuh yang berada dalam kesusahan. Ia ketuk satu pintu, dua pintu namun tak dihiraukan hingga akhirnya sampai pada sebuah pintu rumah yang besar dan amat megah. Itu adalah rumah saudagar kikir tadi. Seorang gadis muda membukakan pintunya, sang kepala rumah tangga sedang tak berada di tempat. Orang miskin itu memohon sesuatu yang bisa ia makan. Dengan suara keras, ibunya berseru dari dalam, “Siapa yang mengetuk pintu, Nak?’’.
Gadis itu pun menjawab, ‘’Ada seseorang yang meminta makan karena kelaparan, Bu!’’.
‘’Berikan kepadanya roti yang baru saja matang tadi!’’ Tukas ibunya lagi.
Gadis itu pun memberikan roti itu kepadanya, dan si fakir pergi dengan penuh suka cita lalu memakannya di teras masjid tak jauh dari sana. Tak berselang lama saudagar kikir berjalan melewatinya dan melihat roti yang ada di tangannya. Seketika ia arahkan tangannya merampas roti itu dari si fakir yang malang dan berkata,
‘’Di kota ini tak ada yang memanggang roti gandum putih selain rumahku. Dari mana kau ambil ini?’’
Ia rampas roti itu dan kembali menghardik, ‘’Tunjukkan padaku, dari mana kau ambil roti ini!’’.
Saudagar kikir lagi keras hati itu menyeret si fakir malang dengan tangannya. Setelah berselang lama, mereka sampai di depan rumah megah itu dan si fakir menunjuk tangan ke arahnya. Dengan penuh amarah, saudagar kikir masuk ke rumah dan mulai berteriak-teriak, ‘’Siapa yang memberikan roti ini kepada orang fakir ini. Apakah kalian pikir mudah untuk bisa mendapatkannya?’’
Saat mengetahui sang suami datang penuh amarah yang meluap-luap, istri saudagar kikir itu mengelak dan berkata, ‘’Aku tidak tahu lelaki itu, anak gadismu yang memberikannya’’.
Amarahnya semakin menjadi-jadi dan meluapkan kekesalannya kepada sang putri, ‘’Bisa-bisanya kamu memberikan rotiku kepada orang lain. Bilang, dengan tangan mana kamu memberikannya?’’.
Gadis malang itu tak punya pilihan dan menunjukkan tangan kanannya. Lelaki berhati keras itu pun lalu memukul putrinya hingga meninggalkan cacat permanen di tangannya tersebut.
Waktu pun berlalu dan datang suatu masa ketika bisnis saudagar kikir itu menjadi lesu. Ia kehilangan pekerjaan dan tempat kerjanya. Rumah megahnya bahkan tidak lagi bisa ia urusi. Ia lalu berkata kepada istrinya, ‘’Jika mau, kamu bisa balik ke rumah ayahmu!’’ dan kepada putrinya, ‘’Nak, kamu masih muda. Pergi dan carilah jodohmu!’’.
Anak gadis itu lalu pergi meninggalkan orangtuanya. Berhari-hari berjalan sesuap makanan, hingga ia sampai di sebuah toko yang ternyata adalah toko milik ayahnya dahulu yang telah berganti pemilik lain. Ia lihat di sana seseorang sedang bekerja menggiling gandum. Gadis itu meminta makan kepadanya. Lelaki yang merasa iba dengan keadaannya pun memberinya makanan dan bertanya anak siapa ia. Gadis itu menjawab bahwa ia tak memiliki orang yang bisa mengurusinya. Lelaki itu pun lalu berniat mengurus gadis berparas indah itu dan bertanya apakah berkenan jika ia berniat untuk menikahinya. Gadis itu sangat bahagia menerima tawarannya, namun ada satu kegelisahan yang hinggap di hatinya.
Pernikahan mereka akhirnya digelar. Di malam pertama gadis itu sangat gemetar dan seringkali menyembunyikan tangannya di bawah kain penutup. Ia takut jika lelaki berhati baik itu mengetahui bahwa tangannya cacat, maka akan membatalkan pernikahan mereka. Lelaki itu datang kepadanya dan melihat kegelisahan yang dirasakannya. Gadis itu tak berkata sepatah kata pun, dan ia pun semakin menyembunyikan tangannya. Lelaki itu mulai merasa curiga dan memintanya untuk menunjukkan tangannya. Gadis malang itu tak punya pilihan selain menunjukkan tangannya dengan penuh kesedihan. Namun seketika mulutnya serasa terkunci, ia tak percaya dan tak dapat berkata apapun saat melihat tangannya sehat tanpa cacat. Allah telah mengembalikan tangan cacat itu sehat seperti sedia kala.
Melihat keterkejutan gadis itu, lelaki itu pun penasaran dan ingin mengetahui kisah sebenarnya. Gadis itu pun mengisahkan apa yang terjadi mulai dari awal cerita. Setelah usai, lelaki yang mendengarkan sedari awal tanpa bersuara itu pun lalu berkata,
‘’Tahukah kamu, orang yang diusir oleh ayahmu dan kau berbaik kepadanya itu adalah aku? Allah telah membukakan pintu-pintu kebaikan kepadaku. Aku pun menjadi orang yang kaya raya. Saat tahu bahwa ayahmu akan menjual tempat ini, aku langsung membelinya. Allah membalas kebaikan hatimu dan kemurahan hatimu dengan ini semua.’’
Tuhan semesta alam berfirman dalam Al-Qur’an Al-Karim bahwa sekecil apapun kebaikan yang ditunaikan di dunia ini tidak akan luput melainkan akan mendapatkan balasan atau ganjarannya. Suatu ketika, entah di dunia ini atau di Akhirat kelak, pasti akan dibalas-Nya.
Semoga Rabb kita membersihkan dan menyinari hati kita. Semoga Ia menjadikan kita menyukai kebaikan dan orang-orang yang baik. Semoga Ia menjadikan kita hamba bagi kebaikan dan senantiasa menjadikan kita teman bagi orang-orang yang baik. Semoga Ia menjadikan kita sebagai hamba-Nya yang mengajak kepada kebaikan dan menghindarkan diri dan orang lain dari keburukan, serta mengumpulkan kita bersama orang-orang baik di Akhirat kelak. Aamiin.
Discussion about this post