“Pada masa awal kekaisaran, tarif pajak rendah dan pendapatan tinggi. Sementara di akhir kekaisaran, tarif pajak tinggi dan pendapatannya rendah.” Mantan Presiden AS Ronald Reagan dengan bangga merujuk kutipan Ibnu Khaldun di atas dalam sebuah artikel yang ditulisnya untuk International Herald Tribune pada 1993 yang berjudul, “Maaf Pak Clinton, saya pasti salah dengar” (Excuse me Mr. Clinton, I must have misheard you, 21 Februari 1993, hal.4). Ini bukan kali pertama Reagan mengutip Ibnu Khaldun karena di awal masa jabatannya di Gedung Putih, ia pernah pula menggunakannya sebagai bentuk dukungan bagi kebijakan politik ekonominya yang disebut Reaganomics. Meskipun beberapa sejarawan1 tidak melihat hubungan antara teori Reaganomics dan teori Ibnu Khaldun, namun Reagan berhasil menarik perhatian banyak orang karena Ia menggunakan kutipan dari cendekiawan besar yang namanya hampir terlupakan (setidaknya di Barat) ini. Nama Ibnu Khaldun terdengar asing bagi banyak telinga orang Barat maupun bagi banyak orang Amerika, dan saat itu mungkin pertama kalinya mereka mendengar tentang beliau.
Siapa sebenarnya Ibnu Khaldun? Apakah Beliau seorang ahli ekonomi? Menurut banyak sumber, beliau melahirkan banyak konsep ekonomi, 400 tahun sebelum Adam Smith. Ibnu Khaldun adalah inspirasi di balik konsep yang dikenal sebagai “Kurva Laffer” (Laffer Curve). Namun demikian, Beliau bukanlah hanya seorang ahli ekonomi.
Apakah Ibnu Khaldun seorang sejarawan? Sejarawan terkenal Arnold Toynbee pernah mengatakan bahwa buku Ibnu Khaldun yang berjudul Muqaddimah, adalah buku sejarah terhebat. Namun, masih banyak yang beranggapan bahwa Ibnu Khaldun adalah seorang filsuf dan ilmuwan politik.
Para ilmuwan beranggapan bahwa Ibnu Khaldun adalah semua hal yang telah disebutkan di atas, namun saat ini, beliau dikenal terutama sebagai pionir ilmu sosiologi. Pendapat ini didukung oleh sumber yang ditulis Ibnu Khaldun sendiri. Pada bukunya yang inovatif berjudul Muqaddimah, buku yang sering diterjemahkan sebagai “Prolegomenon”, beliau menyatakan bahwa ia telah menemukan sebuah ilmu baru. Beliau berkata: “Perlu diketahui bahwa pembahasan topik ini adalah sesuatu yang baru, luar biasa, dan sangat bermanfaat. Penelitian mendalam telah menunjukkan ke arah sana.” (Baali, 1988)
Artikel ini ditulis sebagai bentuk penghormatan kepada Ibnu Khaldun, cendekiawan Muslim hebat abad ke-14. Artikel ini secara singkat mengenalkan tentang kehidupan Ibnu Khaldun dan juga pada perspektif sosiologis, terutama idenya tentang kemewahan dan dampaknya terhadap melemahnya asabiyyah, atau solidaritas kelompok. Konsep inilah yang terpenting dibahas dalam tulisan-tulisannya dan dianggap sebagai benih teori tentang siklus bangkit dan jatuhnya sebuah bangsa.
Ibnu Khaldun
Abd al-rahman ibn Muhammad, yang juga dikenal sebagai Ibnu Khaldun (nama dari nenek moyangnya), lahir di Tunisia (Afrika Utara) pada tanggal 27 Mei 1332 dan berasal dari keluarga kelas atas. Pada tahun 1248 keluarganya melarikan diri dari Seville karena adanya penaklukan Kristen di Andalusia. Keluarganya menjadi saksi akan bangkit dan jatuhnya kekuasaan Muslim di Spanyol selatan.
Sebagai anak yang memiliki keistimewaan, Ibnu Khaldun tidak hanya mempelajari ilmu fisika dan filosofi Aristoteles, namun juga matematika, agama, geografi, dan puisi. Gurunya adalah ilmuwan terkemuka pada zaman itu. Pada abad ke-14, di era kerusuhan dan ketidakstabilan politik, Ibnu Khaldun memulai karirnya sebagai pembawa segel kekaisaran dan kemudian menjadi pejabat politik. Beliau bekerja sebagai negarawan, duta besar, dan ahli hukum di kota-kota dari Fez sampai Granada.
Pada tahun 1375, Ibnu Khaldun yang merasa lelah akan dunia politik di negaranya, mengasingkan diri selama empat tahun ke Benteng Salama, dekat Konstatin. Dari tempat inilah, Beliau berhasil menulis sebuah kajian terhebat dalam sejarah dunia, magnum opus-nya, yang berjudul Muqaddimah: Pengantar Sejarah.
Berbekal pada pengalaman pribadinya dan pada sejarah regional di Afrika Utara, Ibnu Khaldun mengidentifikasi pola siklus bangkit dan jatuhnya peradaban, dan beliau kemudian menganalisis faktor-faktor yang berkontribusi pada pola semacam itu. Beliau mempelajari dinamika hubungan kelompok dan berpendapat bahwa asabiyyah, atau solidaritas kelompok, sangat penting bagi kekuatan politik dan perkembangan peradaban baru. Beliau menyatakan bahwa gaya hidup masyarakat urban memicu munculnya kebiasaan hidup mewah. Hal ini secara bertahap akan menyebabkan melemahnya asabiyyah dan menciptakan kondisi keruntuhan peradaban. Menurut Ibnu Khaldun, keruntuhan ini dapat diperlambat bila suatu bangsa memiliki pemimpin yang hebat. Namun, seiring waktu asabiyyah akan memudar di masyarakat – umumnya dalam lima generasi – karena peristiwa yang terjadi akan secara inheren mengikuti proses siklus. Setiap bangsa memiliki benih kehancuran peradabannya sendiri.
Kemampuan luar biasanya dalam mengkaji perilaku manusia dan kapasitasnya yang amat langka dalam mengorganisir observasinya tersebut menjadikan Ibnu Khaldun sosok yang sanggup mengubah sejarah hanya dengan mencatat setiap peristiwa dan menceritakannya sehingga dapat menjelaskan dan memprediksi kebiasaan manusia. Metodenya berkembang dari keyakinannya bahwa setiap penelitian ilmiah harus memiliki: (1) pengamatan akurat; (2) metode logis dan objektif; (3) pengumpulan data dari masa kini dan lampau; (4) pencatatan yang cermat; dan (5) penjabaran deskripsi dan laporan yang cermat (Faghirzadeh 1982). Berbeda dari penulis sebelumnya, Ibnu Khaldun menekankan bahwa faktor sosial, ekonomi, psikologi, dan lingkungan lah yang mengatur terjadinya peristiwa-peristiwa. Pendekatan revolusioner ini menjadi pondasi untuk sebuah ilmu baru: Ilm Umran (ilmu masyarakat), sebagaimana Ibn Khaldun menyebutnya di Muqaddimah. Beliau pun dianggap sebagai pionir ilmu sosiologi karena teorinya terkait faktor sosial muncul lima abad sebelum para ilmuwan sosiologi klasik abad ke-19 seperti Comte, Marx, Durkheim, dan Weber. Pengamatan dan pemikirannya terkait masyarakat di zamannya masih mengilhami penelitian sosiologi zaman kini.
Setelah menulis bukunya, Ibnu Khaldun jenuh dengan pengasingannya, Beliau pun pergi ke Kairo dan mengajar di Universitas Al-Azhar. Ternyata di Al-Azhar, reputasinya telah diketahui banyak orang: saat itu Universitas Al-Azhar penuh dengan siswa dan ilmuwan terkemuka yang datang untuk mendengarkan teorinya tentang fenomena sosial. Saat berada di Kairo, Beliau mengetahui kabar buruk bahwa kapal yang membawa keluarganya dari Tunisia telah tenggelam dan seluruh keluarganya hilang. Saat itu keluarganya bermaksud datang untuk tinggal bersamanya. Terkecuali perjalanan haji ke Mekah tahun 1387 dan kunjungan ke Damaskus, Ibnu Khaldun menetap di Kairo sampai akhir hidupnya. Di Kairo, Beliau dipercaya menjadi hakim utama. Beliau meninggal pada tahun 1406 pada usia tujuh puluh empat, tak lama setelah pencalonannya yang keenam kali untuk menjadi hakim.
Beliau terus menulis sampai akhir hayatnya. Selain Muqaddimah, karyanya yang lain tertuang dalam Kitab al-Ibar, buku tentang sejarah dunia yang membahas sejarah orang Arab, Persia, Eropa, Romawi, Yahudi, dan Yunani. Dalam buku terakhirnya, Beliau memprakarsai sebuah tradisi baru dengan menulis autobiografi analitis, yang dikenal sebagai Al-Tasrif.
Lebih dari kurun waktu dua periode setelah Muqadimmah diterjemahkan ke Bahasa Prancis oleh de Slane (1863), nama Ibnu Khaldun mulai dikenal oleh para ilmuwan di Barat dan dianggap sebagai salah satu pemikir terhebat dari kalangan Muslim. Namun, terjemahan berbahasa Inggris oleh Franz Rosenthal (1958) lah yang membuat Muqadimmah sangat diakui di Amerika Serikat dan negara lainnya.
Assabiyyah dan Pola Siklus
Mari kita kaji lebih dalam tentang asabiyyah. Berasal dari akar bahasa Arab asab, konsep asabiyyah adalah salah satu konsep paling penting dalam tulisan Ibnu Khaldun. Meski beberapa orang menyarankan untuk tetap mempertahankan istilah bahasa Arab karena belum ada terjemahan yang memadai, namun terjemahan “solidaritas kelompok” dianggap paling mendekati istilah aslinya. Asabiyyah, menurut terminologi pengikut Khaldun, adalah kohesi ikatan sosial yang digunakan untuk mengukur stabilitas dan kekuatan kelompok sosial. Solidaritas di antara anggota kelompok terutama disebabkan oleh kerja sama dan saling ketergantungan antar anggota. Dalam hal ini, identitas individu digabungkan ke dalam kelompok di mana individu tersebut adalah anggotanya, dan dengan demikian mereka menjadi “satu dari yang lain” (Ibn Khaldun 1967, 277).
Menurut Ibn Khaldun, ikatan atau asabiyyah ini, adalah faktor terpenting dalam pengembangan masyarakat atau peradaban dari suku nomaden menjadi suatu bangsa. Beliau berpendapat bahwa asabiyyah paling kuat dalam fase nomaden, dan menurun seiring kemajuan peradaban. Konsep asabiyyah sesuai dengan skema umum proses siklus dan bangkit serta jatuhnya peradaban.
Menurutnya, tiap siklus memiliki 5 tahap: 1) invasi; 2) puncak; 3) toleransi; 4) tirani; dan 5) dekadensi (penurunan). Dengan kata lain, setiap masyarakat diciptakan, mendekati kesempurnaan, mengalami penurunan, dan akhirnya digantikan oleh masyarakat lain. Perasaan asabiyyah yang kuat akan mengarahkan pada penaklukan, kemudian pada kehidupan urban yang statis; sampai akhirnya kebutuhan akan kemewahan lah yang menyebabkan keruntuhan sosial. Para perantau/ nomaden, yang dulu pernah memiliki rasa solidaritas yang kuat di antara mereka dan dikenal karena keberanian dan kerja kerasnya akan menjadi penduduk kota yang kurang berani, kurang bekerja keras, dan jauh lebih individualistis di bawah pengaruh kebiasaan hidup mewah. Ibnu Khaldun meringkas keseluruhan proses tersebut dalam Muqaddimah: Akibatnya, ketangguhan kehidupan di gurun akan hilang. Solidaritas dan keberanian akan melemah. Anggota suku akan menikmati kesejahteraan yang Tuhan telah berikan kepada mereka. Keturunan mereka akan merasa sombong untuk menjaga diri mereka sendiri atau untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Mereka meremehkan semua hal lain yang penting dalam berkehidupan kelompok…. Rasa solidaritas dan keberanian akan hilang seiring generasi berikutnya. Akhirnya solidaritas kelompok akan hancur sama sekali. … dikuasai oleh bangsa lain. (Ibnu Khaldun 1967, 107)
Ibnu Khaldun menekankan pada kekuatan agama untuk menjaga asabiyyah yang kuat dalam suatu masyarakat. Menurutnya, agama bukan sekadar seperangkat hukum moral, tapi menentukan semua hubungan dalam masyarakat. Beliau menyatakan bahwa jika kesalehan digantikan oleh ambisi, dan jika ambisi mengambil alih perilaku manusia dalam masyarakat, maka hasrat untuk mendapatkan kekayaan akan meresap di hati orang-orang. Ini akan membuat masyarakat dan rakyatnya berubah-ubah, hingga terjadi korupsi dan pada akhirnya masyarakat menjadi turun. Sebagai contoh, Ibnu Khaldun merujuk kepada zaman Harun al-Rashid. Setelah wafatnya khalifah, korupsi dan kemewahan menghancurkan asabiyyah yang kuat dari peradaban Islam sebelumnya. Mereka telah meninggalkan jalan kesalehan.
Kemewahaan dan Proses Siklus
Kemewahan merupakan tema mendasar dalam teori sosiologi Ibnu Khaldun, karena baginya kemewahan merupakan faktor utama yang membedakan kehidupan kota dengan kehidupan nomaden. Beliau berpendapat bahwa kemewahan di kota mengikuti faktor ekonomi tertentu. Di kota, berlebihnya jumlah tenaga kerja akan menyebabkan kemewahan; maka, penduduk kota memiliki pendapatan lebih tinggi daripada penduduk desa, dan ini menyebabkan standar hidup yang lebih tinggi bagi perumahan, pakaian, dan lainnya.
Meski gaya hidup mewah awalnya menyebabkan kemakmuran di kota dan menambah kekuatan peradaban, Ibnu Khaldun berpendapat bahwa kebiasaan gaya hidup mewah tersebut akhirnya justru menjadi kelemahan bagi suatu peradaban. Gaya hidup mewah menuntut banyak hal dan memaksa individu untuk memenuhi kebutuhannya hingga individu tersebut selalu merasa kekurangan uang. Terlebih lagi adanya pajak yang dikenakan pada barang-barang itu semakin membuat harga berbagai barang menjadi naik, hal ini berdampak pada bertambahnya biaya hidup dan berkurangnya masyarakat miskin yang tinggal di kota. Ibnu Khaldun beranggapan, kemewahan yang menyebabkan pengeluaran masyarakat dan negara bertambah adalah penyebab kebangkrutan negara.
Beliau juga menambahkan bahwa kemewahan tidak hanya melemahkan bangsa secara ekonomi, tapi juga menyebabkan kerugian fisik, moral, sosial dan politik. Secara fisik, kemewahan membuat orang menjadi lemah dan kurang kebal terhadap penyakit, terutama “saat masa kekeringan atau kelaparan menimpa mereka” (Ibn Khaldun 1967, 177- 182). Secara moral, kemewahan bersifat merusak dalam arti orang akan menghargai kenyamanan material dan lebih memikirkan kepentingan pribadinya dibanding kepentingan orang lain. Praktik gaya hidup mewah menjadi sangat penting. Ambisi untuk memenuhi kebutuhan gaya hidup mewah membuat degradasi jiwa dan melahirkan perilaku ketidakjujuran dan perilaku tidak bermoral lainnya.
Selain itu, kemewahan juga menghancurkan asabiyyah dalam kelompok karena usaha untuk mendapatkan kenyamanan material menjadi tujuan utama kebanyakan individu. Akibat dari disintegrasinya solidaritas kelompok, maka kelompok akan mudah ditaklukkan oleh penakluk berikutnya. Pemimpin bangsa menjadi semakin lemah dan kurang disiplin, mereka lebih peduli dengan kekuasaan dan gaya hidup mereka. Hubungan mereka dengan kelompok periferal menjadi tidak erat dan asabiyyah berubah menjadi individualisme dan factionalisme (kelompok kecil yang berbeda kepentingan dengan kelompok besar) sehingga kekuatan politik mereka akan melemah. Dengan kondisi seperti ini, mereka rentan terhadap disintegrasi politik, terutama oleh kelompok-kelompok di pinggiran. Sehingga, kondisi ini memudahkan bagi penaklukkan baru dan siklusnya akan mulai kembali pada yang baru. Melalui model pusat-periferal ini, Ibnu Khaldun menjelaskan bagaimana setiap peradaban memiliki benih atas kejatuhannya sendiri.
Sebagian orang mungkin menganggap pendekatan Ibnu Khaldun ini terlalu menarik perspektif sejarah yang sangat deterministik, dan sebagian lagi menganggap bahwa invasi nomaden tidak lagi selaras dengan zaman kini. Dapat dipahami bahwa pemikiran beliau ini adalah sebuah teori dan bahwa setiap zaman dan masyarakat memiliki dinamika sosial yang berbeda. Apa yang sejarah coba ajarkan pada kita adalah bahwa tidak ada peradaban yang abadi; dan bahwa beberapa aspek tertentu seperti solidaritas kelompok, agama, obsesi pada kesenangan dan kemewahan berperan pada pasang surutnya suatu bangsa. Bagaimanapun juga, dinamika dan aspek-aspek tersebut telah terwujud dalam berbagai cara di berbagai zaman dan budaya. Saat ini, bangsa dan budaya berinteraksi dengan cara yang berbeda: melalui perjalanan, internet, imigrasi, dan lain-lain. Teori Ibnu Khaldun memberi kita sebuah perspektif tentang bagaimana kita dapat mengamati, berkontribusi, dan menyiapkan diri menghadapi dinamika yang selalu berubah ini.
Penulis : Alice Bolton
Referensi
Baali, Fuad. 1988. Society, State and Urbanism: Ibn Khaldun’s Sociological Thought. State University of New York Press, Albany.
Faghirzadeh, Saleh. 1982. Sociology of Sociology: In Search of Ibn Khaldun’s Sociology Then and Now. The Soroush Press, Tehran.
Ibn Khaldun, The Muqaddimah: An Introduction to History. Translation by Franz Rosenthal. 1967. Princeton University Press. Vol I
Discussion about this post