Digenggamnya erat tangan itu, tangan mungil bayi yang baru lahir tujuh hari lalu. Telah sepuluh tahun berlalu sejak penantian panjang menjadi sosok ayah yang ia tunggu-tunggu. Ia seorang pejuang dua garis biru yang tiada henti-hentinya berusaha dan bertawakal selalu. Penantian panjang menengadahkan tangan kepada Sang Maha Kuasa selama bertahun-tahun itu pun kini berakhir manis. Kini dia telah menjadi seorang ayah.
Tak bosan-bosannya dia pandangi bayi kecil itu. Dia masih tidak percaya, merasa bahwa seakan-akan ini adalah mimpi yang tidak akan pernah bisa terwujudkan. Sepuluh tahun lalu dia divonis tidak akan bisa memiliki anak karena kelainan hiperprolaktinemia yang dideritanya. Dia sudah mendapatkan semuanya dalam kehidupan: karir yang mapan, hidup berkecukupan, punya istri perhatian, dan lingkungan teman yang menenteramkan. Hanya saja, masih ada sebuah ruang kosong dalam sudut hatinya, keinginan untuk memiliki keturunan yang akan menjadi cahaya mata dan mengisi setiap hari-hari dalam hidupnya. Allah kini menunjukkan kuasa-Nya dengan menganugerahinya seorang anak, putri cantik yang akan memenuhi setiap sudut rumahnya dengan canda, tawa, tangis, rengekan, celoteh, keceriaan, dan sesimpul kebahagiaan.
Dia amat sadar, kehidupannya tidak akan lagi sama seperti dulu. Rumahnya yang sering kali bersih tak berdebu, mungkin akan berantakan penuh mainan karena ulah si kecil itu. Pengeluarannya mungkin akan semakin banyak dan membengkak untuk membeli mainan, baju bayi, popok, susu, serta pengeluaran-pengeluaran lain yang akan terus berlanjut di sepanjang kehidupannya kelak. Namun apalah arti semua itu dibandingkan dengan kebahagiaan menjadi sosok ayah yang dia idam-idamkan, yang kini tengah dirasakannya.
Permata Berharga bagi Cahaya Mata
Hari itu masih pagi, Matahari juga masih enggan menampakkan diri, tetapi sepasang ibu dan ayah itu telah bangun dan sibuk berada di dapur sedari tadi. Mereka bersiap-siap untuk pergi kerja. Sang ibu menyiapkan makanan MPASI bagi putri mereka yang kini telah beranjak 1 tahun. Mereka senantiasa berusaha mendampingi setiap tumbuh-kembangnya, saat mulai tengkurap, merangkak, duduk, berdiri, dan sekarang sudah mulai belajar berjalan. Sesekali mereka tidak tega melihat sang anak jatuh-bangun belajar berjalan, tetapi rasa sayang bukanlah dengan menghalangi anaknya belajar mandiri, tetapi dengan mendukungnya menghadapi semua rintangan yang menanti. Kurun satu tahun yang tidak mudah bagi mereka untuk dilalui. Mereka tinggal jauh dari orangtua sehingga harus mandiri menjadi orangtua baru. Pada awal-awal setelah kelahiran terkadang emosi kekesalan disebabkan baby blues tiba-tiba datang menghampiri karena permasalahan kecil yang sebenarnya tidaklah terlalu berarti. Syukurnya mereka dapat mengatasinya dengan kembali mengingat bahwa semua itu hanya sementara sehingga dapat dilalui dengan baik-baik saja.
Bagi beberapa orang, memiliki anak bisa jadi bukanlah sebuah kebahagiaan karena tidak semua orang menantikan anugerah ini. Bahkan banyak yang menolak anugerah ini dengan cara menelantarkannya sebagaimana sering kita lihat di berbagai media masa yang membuat kita miris menyaksikannya. Ada pula beberapa orang yang justru mengampanyekan aksi “tidak memiliki anak”. Alasan dari beberapa orang mungkin masih cukup diterima seperti mereka yang belum benar-benar siap secara mental dan finansial, lebih memilih membantu anak-anak yang kurang beruntung di luar sana, atau menunda karena memfokuskan diri pada aktivitas positif kemanusiaan.
Namun bagi pasangan ini, menjadi orangtua adalah sebuah kepuasan dan kebahagiaan, yang darinya muncul rasa cinta, sayang, dan rasa memiliki karena anak adalah bagian dari darah dagingnya sehingga orangtua akan rela mengorbankan apapun demi kebahagiaan dan kehidupan anaknya. Memiliki anak tidaklah mudah. Banyak biaya yang perlu dikeluarkan dan pengorbanan dilakukan. Pada beberapa bulan pertama misalnya, orangtua perlu begadang malam-malam untuk mengganti popok atau membuatkan susu. Di siang hari, mereka masih perlu beradaptasi dengan anak yang menangis karena meminta sesuatu yang tidak mereka pahami. Namun begitu, menjadi orangtua sama seperti mendapatkan perasaan tak terungkapkan karena anak laksana anugerah yang tercipta dari bagian diri kita. Mengasihinya adalah juga mengasihi diri kita, melihatnya terluka adalah merasakan luka itu pula. Anak adalah cahaya mata yang membuat kita berbinar saat melihatnya, permata berharga yang teramat sayang untuk disia-siakan.
Mereka adalah Cerminan Kita
Siap menjadi orangtua berarti siap dengan segala konsekuensinya. Mendidik anak adalah salah satu darinya. Salah satu cara mendidik anak adalah dengan mempraktikkan apa yang ingin kita sampaikan, karena sebagaimana pepatah mengatakan, “Anak adalah peniru terbaik di dunia”. Anak memfotokopi perilaku dan kepribadian orangtua mereka. Otak anak masih belum sempurna di masa balita dan logika mereka masih belum berjalan sebagaimana mestinya sehingga apa yang mereka lakukan dan jalankan tak lebih dari meniru apa yang ada di sekitarnya, dalam hal ini adalah ayah dan ibunya.
Inilah tantangan terbesar dari menjadi orangtua. Ia bukan sekadar melahirkan anak lalu membiarkannya begitu saja. Ibarat menanam pohon, perlu ada serangkaian aktivitas agar tunas kecil yang ditanam tumbuh menjadi pohon yang sehat dan bermanfaat, menjadi rindang dan menghasilkan buah manis bagi mereka yang berlalu-lalang. Anak memerlukan bimbingan dari orangtuanya agar tumbuh menjadi pribadi yang baik dan bermanfaat bagi lingkungan sekitar. Mendidik bukan sekadar berbicara, tetapi mendidik adalah dengan mempraktikkan apa yang ingin disampaikan karena anak akan lebih mudah menirukan apa yang mereka lihat. Pada umur 0-2 tahun pertama kehidupan pascalahir, semua indra bayi berkembang sangat pesat. Tahapan sensori-motorik mereka sedang bagus-bagusnya untuk distimulasi. Oleh karenanya, orangtua perlu mencontohkan hal-hal baik agar dapat diteladani oleh anak-anaknya. “Orangtua yang menginginkan kata-kata mereka berpengaruh pada anak-anak harus terlebih dulu mencerminkan prinsip-prinsip dan praktik-praktik yang ingin mereka tanamkan kepada anak-anak dengan kesensitifan terbaik dalam kehidupan mereka sendiri sepenuhnya. Hanya setelah itulah mereka bisa berharap anak-anak mereka akan melakukan hal yang sama.”1
Membersamai adalah Tugas Bersama
Anak yang mendapatkan perhatian dari kedua orangtuanya akan memiliki kebahagiaan yang lebih baik. Oleh karenanya, membersamai anak dalam setiap aktivitasnya merupakan hal yang harus dilakukan, tidak hanya oleh ibu, tetapi juga oleh sang ayah. Anak yang banyak menghabiskan waktu dengan ayah akan lebih bahagia dan memiliki kognisi yang baik bila dibandingkan dengan mereka yang tidak2. Ini karena memori anak bekerja saat ia menemukan hal-hal yang baru dan yang menarik perhatiannya. Dan bagi anak, ayah adalah salah satu hal baru tersebut. Ini karena di awal kelahiran, sosok ‘ibu’ bagi anak bukanlah orang lain, melainkan ‘seperti’ kesatuan dirinya. Dia menganggap ibu itu seperti dirinya. Jadi, dengan kehadiran ayah di sisinya, maka akan mengesankan adanya sosok baru yang datang di hidupnya. Ayah cenderung memiliki banyak ide dan tidak sungkan mengajak anak melakukan banyak aktivitas menantang dan hal-hal menyenangkan yang tidak dilakukannya bersama ibu.3 Selain merasa bahagia, anak juga akan merasa aman dan nyaman karena mendapatkan perlindungan.
Anak yang melakukan banyak kegiatan dengan ayah akan mempunyai kemampuan kognitif lebih baik di usia 6 bulan dan terus berkembang hingga memiliki kemampuan pemecahan masalah yang baik di usia 1 tahun4, dan memiliki nilai IQ yang lebih tinggi di usia 3 tahun.5 Peran serta ayah dalam pengasuhan anak akan membentuk ikatan batin antara ayah dengan anak. Dalam jangka waktu yang lama, seorang anak yang dibesarkan dengan ayah yang terlibat di dalamnya akan memiliki prestasi akademik, ekonomi yang baik, kesuksesan dalam karir, pencapaian pendidikan terbaik, dan kesejahteraan psikologis.6
Setiap orangtua memiliki peran yang sesuai dengan porsinya, ayah sebagai nahkoda rumah tangga bertugas menjaga agar keluarganya baik-baik saja, yang darinya anak akan belajar tentang ketegasan, keberanian, tanggung jawab, kepercayaan diri, kedisiplinan, dan kesungguh-sungguhan.7 Ibu memiliki peran sebagai ibu rumah tangga menjadi sekolah pertama bagi sang buah hati, yang darinya anak akan belajar tentang akhlak, keteguhan, kasih sayang, kelemahlembutan, dan kemandirian. Tidak ada yang dapat menggantikan peran masing-masing dari keduanya karena tumbuh-kembang anak ada di tangan mereka.
Peran orangtua tidak hanya tentang selalu berada di samping anak atau memenuhi segala keinginannya, tetapi yang lebih penting adalah membekali anak dengan segala sesuatu yang dibutuhkannya, mulai dari pendidikan, perhatian, juga pembinaan akhlak. Terdapat beberapa ayah yang abai dengan tumbuh-kembang anaknya sehingga ada yang tidak pernah meluangkan waktu untuk bermain bersama, mencium kening anaknya, atau bahkan menanyakan kabar mereka. Banyak dari para ayah yang merasa bahwa tugas mereka hanyalah mencari uang, sementara memberi kasih sayang hanyalah tugas ibu semata.
Anak memang tidak dapat memilih dari rahim siapa mereka dilahirkan, tetapi orangtua memiliki kesempatan untuk membuat anak-anak memilih hidup bahagia dengan kita sebagai orangtuanya. Setiap waktu dengan anak merupakan sebuah kesempatan yang tidak akan pernah dapat tergantikan. Suatu saat nanti, ketika anak telah dewasa, orangtua akan rindu dengan aroma bayi pada anaknya, rindu dengan celotehan mereka, rindu dengan pertanyaan-pertanyaan polos yang mereka ajukan, dan rindu dengan setiap momen yang dilalui bersama. Dan jika saat itu tiba, yang kita dapat lakukan hanyalah kembali membuka lembaran-lembaran album foto penuh kenangan atau memutar rekaman-rekaman video nostalgia penuh kesan.
Makhluk Mungil Itu Kini Telah Dewasa dan Menemukan Takdirnya
Berapa pun umur anak, bagi orangtua mereka tetaplah anak-anak. Bagaimana pun juga, orangtua perlu memahami bahwa mereka takkan senantiasa bersama. Anak merupakan titipan yang suatu saat nanti akan pergi menjalani dan menjemput takdir kehidupannya sendiri. Hal ini penting untuk disadari karena banyak dari para orangtua yang tidak mau menerimanya.
Salah satu hal terindah dari menjadi orangtua adalah saat kita bisa senantiasa hadir di tiap momen tumbuh-kembang anak-anak kita. Waktu tidak akan bisa terulang. Kelucuan dan celoteh mereka di saat bayi, suka-duka merawat bayi yang tidak mudah, mengganti popok dan menggendong saat mereka menangis, semua itu akan berlalu. Dan pada saatnya nanti, kita akan merindukan saat-saat kebersamaan dengannya itu. Oleh karenanya, memanfaatkan setiap momen bersama merupakan hal penting dalam rangka merajut kedekatan anak dengan orangtua. Jangan sampai penyesalan datang di kemudian hari karena kita yang tidak menyadari tiba-tiba anak telah beranjak dewasa, tidak melihat bagaimana dia belajar berjalan pada awalnya, tidak mengetahui apa kata-kata pertama yang diucapkannya, dan kapan dia masuk sekolah untuk pertama kalinya.
Jika kita sedang dalam fase membesarkan anak, maka kuncinya adalah menikmati setiap proses. Lantai yang pada awalnya bersih bisa saja seketika kotor karena anak menumpahkan tepung, dinding yang kinclong bisa saja seketika kotor karena anak bermain mewarnai, atau baju yang baru saja diganti menjadi kotor lagi karena menumpahkan makanan yang dimakannya. Itu semua merupakan proses yang akan semua orangtua lalui. Jika saatnya telah lewat nanti dan anak telah tumbuh menjadi dewasa, maka itu semualah yang akan dirindukan untuk kembali terjadi lagi.
Menghadirkan Kebahagiaan dari Hal-Hal Kecil di Sekitar Kita
Terkadang kita terlalu fokus mencari dan mengejar kebahagiaan di luar sana, padahal sebenarnya kita dapat menghadirkannya di dalam diri kita. Kebahagiaan tidaklah dicari, tetapi dihadirkan. Kita dapat membuat kebahagiaan dari hal-hal kecil di sekitar kita. Menjalani waktu bersama-sama dengan bermain, membaca buku, berlarian di atas rumput, melakukan hal-hal menyenangkan akan menghadirkan kebahagiaan itu. Anak kecil belum mengenal materi dan uang, mereka dapat tertawa terlalu terkekeh-kekeh saat digelitiki atau saat kita melakukan hal-hal sederhana seperti menyobek kertas atau membuat mimik muka yang tidak biasa. Kita terlalu fokus pada kebahagiaan-kebahagiaan besar sehingga lupa bahwa hal-hal kecil seperti melihat anak kita tertawa dan sehat saja adalah suatu kebahagiaan tiada terkira yang patut disyukuri. Mari menghadirkan kebahagiaan-kebahagiaan kecil itu dan mengumpulkannya agar dari serpihan-serpihan kecil kebahagiaan itu tercipta kebahagiaan-kebahagiaan besar yang bisa dinikmati bersama.
Kebanyakan orangtua akan rela tidak makan selama melihat anaknya kenyang. Orangtua akan lebih bahagia saat melihat anaknya sukses dan lebih memilih tidak menjadi rintangan bagi kesuksesan anaknya. Perasaan ini hampir ada pada setiap orangtua seiring dengan kesadaran bahwa anak adalah darah dan daging mereka sehingga kebahagiaan anak adalah kebahagiaan mereka juga.
Terlebih dari semua yang disampaikan, anak merupakan sebuah harapan saat kelak tiada lagi harta maupun keluarga yang dapat menjadi sandaran. Doa anak saleh akan menjadi lentera yang mengiringi kepergian kita menuju alam selanjutnya. Banyak dari orangtua yang mungkin lupa bahwa inilah sisi terpenting dari mendidik anak-anaknya. Setiap doa yang terpanjat dari bibir mereka, setiap pengaplikasian dari nilai-nilai kebaikan yang kita ajarkan, setiap mereka menyedekahkan harta yang kita tinggalkan kepada mereka, maka pahalanya akan senantiasa mengalir kepada kita. Maka betapa bahagianya menjadi orangtua yang semacam ini, dapat merasakan hadirnya kebahagiaan dalam setiap tawa dan doa anak-anaknya.
Referensi :
- Gülen M. Fethullah. Dari Benih ke Pohon Cedar, Jakarta Selatan, Republika, 2018, hal. 76-77.
- Flouri, E. (2005). Fathering and child outcomes. West Sussex, England: John Wiley & Sons Ltd.
- Hart, J. (2002). The Importance of Fathers in Children’s Asset Development.
- (Goldberg,1984),
- Yogman, M.W. Kindlon, D.& Earls, F. (1995). Father involvement and cognitive/behavioral outcomes of preterm infants. Journal of the American Academy of Child and Adolescent Psychiatry, 34, 58-66.
- Flouri, E. (2005). Fathering and child outcomes. West Sussex, England: John Wiley & Sons Ltd.
- McAdoo, J.L. (1993). Understanding Fathers: Human Services Perspectibes in Theory and Practice. http://npin.org/library/2001/n00598/n00598.htm/.
Discussion about this post