Dikatakan bahwa di atas pintu kediaman Aristoteles tertulis sebuah kalimat yang berbunyi: “Orang yang tidak mengetahui matematika tidak diperkenankan masuk ke dalam.” Saya tidak tahu pasti apa maksud dipasangnya tulisan itu, apakah orang yang tidak mengetahui matematika tidak akan dapat memahami Aristoteles, atau mungkin itu hanyalah cara sederhana untuk meminta orang-orang mempelajari Matematika? Kita tidak mengetahui bahwa matematika memiliki peran sangat penting dalam pikiran dan kehidupan manusia sedari dulu kala. Teorema Phitagoras yang terkenal berkaitan dengan persegi pada sisi miring dan yang lainnya, hingga kini masih diajarkan di Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama. Masing-masing abad memiliki kontribusi khasnya sendiri bagi matematika, yang kini telah menjadi “bahasa” universal dan dipelajari di seluruh belahan dunia.
Terdapat dua teori utama tentang asal-muasal dan esensi matematika. Salah satu teori itu dikaitkan dengan Plato, dan satu lainnya dikaitkan dengan yang disebut sebagai Formalist School. Menurut Plato, matematika ada secara independen dan terbebas dari manusia. Yang dilakukan manusia hanyalah menemukan kenyataan objektifnya, sama seperti ‘hukum alam’ lainnya, cenderung kita sebut sebagai “hukum alam Tuhan” yang telah ditemukan. Berbeda dengan Plato, Formalist School justru menegaskan bahwa matematika adalah produk dari pemikiran manusia.
Untuk dapat memahami perbedaan antara kedua pandangan ini, kita mungkin dapat mengutip tentang bilangan prima (yakni angka seperti 7, 17, 41 yang hanya dapat dibagi persis dengan dirinya sendiri dan angka 1) sebagai contoh dari pandangan mereka. Para penganut teori Plato menyatakan bahwa bilangan prima ada secara independen dan terbebas dari kita. Sebelum kita menemukan keberadaannya, mereka telah ada dalam jumlah tak terbatas. Formalist School berpendapat bahwa bilangan prima ada karena kita mendefinisikan mereka demikian sehingga akan menjadi tak bermakna bila kita memikirkan apakah mereka terbatas atau tak terbatas.
Bahasa dari Angka-Angka
Formalist School menegaskan bahwa angka muncul eksistensinya saat manusia mulai berhitung. Cerita yang terkenal berkaitan dengan bagaimana hal ini terjadi adalah sebuah kisah tentang seorang penggembala yang biasa menaruh sebuah batu ke dalam tas untuk mewakili masing-masing dombanya. Dengan mencocokkan batu dan dombanya, maka dia akan mengetahui apakah dombanya ada yang hilang atau tidak. Selanjutnya, orang-orang mulai menyebut angka dengan nama-nama yang berbeda. Dan karena terdapat lima jari pada masing-masing tangan, maka mereka pun menemukan cara termudah untuk membuat hitungan dengan sistem desimal. Hal ini lalu diikuti dengan operasi penjumlahan dan pengurangan.
Menurut Formalist School, bahkan operasi matematika paling sederhana seperti empat operasi dasar1 sekalipun terdiri dari beberapa aturan logis yang didasarkan pada aksioma2 tertentu. Mereka mengatakan bahwa kita mengerjakan matematika dengan mengungkapkan aturan-aturan tertentu dengan simbol-simbol tertentu pula. Artinya, katakanlah kita mengambil angka 5 dan 7, sepasang tanda yang maknanya tidak kita ketahui di dunia fisik. Selanjutnya kita meletakkan tanda tambah (+) di antara keduanya, sebuah tanda ketiga yang maknanya juga tidak kita ketahui di dunia fisik, dan kemudian diikuti dengan tanda sama dengan (=). Dari sini kita tahu bahwa kita harus menulis angka 12 setelah tanda sama dengan (=) karena itu adalah kebutuhan dari aksioma dan aturan logis yang kita pergunakan. Inilah yang dilakukan oleh mesin penghitung, yakni menjalankan operasi yang diperlukan tanpa tahu apa yang dilakukannya.
Anggap saja jika operasi penjumlahan hanya terdiri dari penerapan aksioma atau aturan logika tertentu dan sama sekali tidak memiliki hubungan penting dengan dunia fisik. Bila kita akan mengambil tanda angka kita dan mengaplikasikannya pada objek fisik seperti batu dan domba, maka kita akan terkejut bahkan takjub bahwa, dengan ajaib seolah-olah apabila 5 dan 7 batu atau domba tadi ditambahkan secara bersama-sama (berdasarkan aturan yang sama seperti 5 + 7), maka akan menjadikannya 12 batu atau 12 domba. Kita akan mengetahui bahwa abstrak, realitas konseptual dalam pikiran kita, sesuai dengan realitas fisik di dunia luar. Paul Davies, seorang ahli fisika terkenal mengatakan bahwa “Jika kita hidup di sebuah semesta yang di dalamnya berlaku berbagai macam realitas fisik, di sebuah ruang yang di dalamnya tidak ada benda yang dapat dihitung misalnya, maka kita tidak akan dapat melakukan sebagian besar perhitungan sebagaimana yang kita lakukan saat ini.” David Deutsch mengklaim bahwa menghitung muncul sebagai hasil dari pengalaman-pengalaman. Menurutnya, kita bisa melakukan aritmetika3 karena hukum fisika memungkinkan adanya model fisik yang cocok bagi aritmetika.
Richard Feynman, yang dianggap sebagai fisikawan terhebat setelah Einstein, berkata tentang matematika bahwa masalah dari eksistensi merupakan masalah yang sangat menarik dan sulit. Ketika kita mengambil pangkat tiga dari angka-angka tertentu lalu menjumlahkannya satu sama lain, maka akan kita dapatkan hasil yang mencengangkan. Misalnya, pangkat tiga dari 1 adalah 1, pangkat tiga dari 2 adalah 8, dan pangkat tiga dari 3 adalah 27. Penjumlahan pada angka-angka ini akan menghasilkan angka 36. Penjumlahan angka 1, 2, dan 3 adalah 6, dan pangkat dua dari 6 adalah juga 36. Ketika kita menambahkannya dengan pangkat tiga dari angka 4, yakni 64, maka hasilnya adalah 100. Penjumlahan angka 6 dan 4 adalah 10, dan pangkat dua dari 10 adalah juga 100. Jika ditambahkan padanya pangkat tiga dari angka 5, yakni 125, maka hasilnya adalah 225. Dan 225 adalah pangkat dua dari 10 tambah 5, yakni 15. Begitu seterusnya.
Menurut Feynman, kita mungkin belum pernah mengetahui ciri khas angka ini sebelumnya. Akan tetapi, ketika kita mulai mengetahui ciri dari angka-angka tersebut, maka kita pun merasa bahwa mereka telah ada secara independen dari kita dan bahwa mereka ada sebelum kita menemukan mereka. Meski demikian, kita tidak dapat menentukan ruang tertentu bagi keberadaan mereka dan kita hanya merasakan keberadaannya itu sebagai sebuah konsepsi semata.
Mari mengambil contoh lain. Ibrahim Haqqi dari Erzurum, seorang tokoh sufi Turki, ulama, dan ilmuwan abad ke-18, menemukan sebuah cara untuk memeriksa kebenaran operasi penjumlahan yang mungkin masih belum diketahui oleh ahli matematika modern. Untuk memeriksa atau membuktikan penjumlahan, maka kita dapat menjumlahkan digit dari masing-masing angka yang akan kita jumlahkan. Katakanlah kita akan menjumlahkan 154 dan 275, maka kita akan mendapat 429 sebagai jawabannya. Dan langkah selanjutnya adalah sebagai berikut ini:
Langkah pertama adalah dengan menambahkan digit dari masing-masing dua angka tersebut, maka kita akan mendapatkan 1 + 5 + 4 = 10 dan 2 + 7 + 5 = 14.
Langkah kedua adalah dengan mengurangkan masing-masing penjumlahan dengan angka 9 sehingga hasilnya adalah 10 – 9 = 1 dan 14 – 9 = 5.
Langkah ketiga adalah dengan menjumlahkan kedua hasil tadi, yakni 1 + 5 = 6.
Dan langkah keempat, mari kita lakukan hal yang sama dengan digit jawaban yang ingin kita periksa, yakni dengan penjumlahan 429 lalu dikurangkan dengan 9, maka hasilnya adalah 4 + 2 + 9 = 15 dan 15 – 9 = 6.
Fakta bahwa kita berakhir dengan angka yang sama (yakni 6) bermakna bahwa penjumlahan kita adalah benar. Cara memeriksa penjumlahan ini ada secara independen dan terlepas dari kita. Kita tidak membuatnya, yang kita lakukan hanyalah menemukannya.
Sebagaimana halnya air yang memiliki kekuatan tekanan untuk mengangkat benda dengan berat tertentu sebelum Archimedes menemukannya, serta sebuah benda yang dilemparkan ke udara atau buah yang terlepas dari cabangnya lalu jatuh sebelum Newton menemukan hukum gravitasi, maka demikian pula bilangan-bilangan memiliki banyak ciri khas, yang hanya beberapa di antaranya saja telah ditemukan.
Seorang fisikawan bernama Heinrich Herzt mengatakan bahwa tak ada yang dapat kita lakukan kecuali merasakan bahwa formula matematika yang telah ditemukan sejauh ini telah ada di luar sana dan terlepas dari kita. Kita tahu bahwa formula-formula ini telah ada sebelum kita temukan, hanya saja kita belum dapat menentukan ruang bagi mereka. Rudy Rucker, seorang matematikawan, berpendapat bahwa selain ruang fisik, terdapat pula ruang pikiran yang disebutnya sebagai ‘mindspace’, dan itulah yang dipelajari oleh para matematikawan.
Sebagian besar matematikawan terkemuka mengikuti pandangan Plato, dan Kurt Godel merupakan salah satu dari mereka. Sebelum Godel, pandangan yang hampir diterima secara umum adalah bahwa matematika merupakan sebuah fungsi kerja otak manusia yang terdiri dari kumpulan aturan logis yang kita bangun di antara simbol-simbol dua himpunan. Godel secara persuasif berpendapat bahwa selalu ada ekspresi matematika yang benar meski ketepatannya tidak selalu dapat dibuktikan.
Matematikawan Platonis lainnya adalah Roger Penrose yang percaya bahwa di luar pemikiran ahli matematika terdapat kebenaran atau realitas yang mendalam pada konsepsi matematika. Pikiran manusia diarahkan untuk meluas dan berkembang menuju realitas abadi ini, dan mereka ada di sana untuk ditemukan sebagai fakta matematika oleh salah satu dari kita. Penrose menyebutkan bilangan kompleks4 sebagai contoh dari argumennya. Menurutnya, terdapat kebenaran mendalam dan tanpa batas waktu pada bilangan kompleks. Penrose juga mengutip Himpunan Mandelbrot5 sebagai contoh lain untuk membuktikan argumennya. Realitas yang diungkapkan oleh himpunan ini sebagai bukti bahwa bahkan sebuah garis, belokan, dan bentuk gunung juga awan telah atau tengah dibentuk berdasarkan rumus-rumus matematika tertentu.
Apa yang Diungkap oleh Bunga
Hampir semua orang pernah mendengar tentang deret Fibonacci. Deret ini dinamai demikian setelah seorang ahli matematika terkenal, Leonardo Fibonacci, mengembangkan deret angka 1,1,2,3,5,8,13,21,34,55,89,144, dan seterusnya, yang hasilnya didapatkan dari penjumlahan dua angka sebelumnya: yakni 1 dan 1 menjadi 2; 1 dan 2 menjadi 3; 2 dan 3 menjadi 5; 3 dan 5 menjadi 8; begitu seterusnya. Ini merupakan deret yang ditemukan di alam. Misalnya saja ketika kita menghitung spiral yang terbentuk pada biji bunga matahari, maka akan kita temukan bahwa spiral yang tersusun searah jarum jam adalah 55 sedangkan yang tersusun berlawanan arah jarum jam adalah 89. Kedua angka ini berada di antara deret Fibonacci secara berturut-turut. Angka-angka ini bisa jadi bervariasi berdasarkan ukuran bunga matahari. Kita mungkin akan menemukan angka 34 dan 55 pada bunga matahari yang relatif kecil, angka 55 dan 89 pada bunga berukuran normal. Namun yang pasti, susunannya akan selalu dalam bentuk angka berurutan dalam deret Fibonacci. Spiral yang tersusun dalam kerucut pinus adalah 5 hingga 8. Pola yang sama juga dapat kita jumpai pada susunan daun tembakau. Ciri lain yang amat menarik juga dapat ditemukan pada jumlah kelopak bunga: bunga bakung/lili memiliki 3 kelopak, bunga buttercup memiliki 5 kelopak, bunga velvet memiliki 13 kelopak, bunga dahlia memiliki 21 kelopak, dan bunga aster memiliki 34, 55, atau 89 kelopak, bervariasi menurut familinya.
Sangat mustahil jika kita menghubungkan pengaturan yang sangat menakjubkan ini dengan konsep kebetulan atau ketidaktahuan. Bila DNA bunga matahari atau kerucut pinus menunjukkan angka yang acak pada kelopak dan spiralnya, lantas bagaimana kita bisa menjelaskan kesesuaian mereka dengan deret Fibonacci? Rasio antara runtutan dalam deret Fibonacci sangat erat kaitannya dengan apa yang kita sebut sebagai “Golden Ratio” (rasio emas) yang dalam seni klasik dikenal sebagai rasio yang paling enak dilihat oleh mata manusia. Untuk dapat menjelaskan asal-usul dari realitas yang menakjubkan ini, maka hal pertama yang harus kita lakukan adalah menerima bahwa bunga memiliki pengetahuan atas apa yang paling menyenangkan bagi mata manusia, atau bahwa “Tangan” Sang Maha Esa lagi Maha Mengetahui dan Maha Indah bekerja di alam ini.
Singkatnya, apa yang dilakukan oleh Fibonacci telah mengungkap karakteristik ini pada alam. Ini berarti bahwa alam semesta memiliki sebuah tatanan matematika, atau matematika adalah sebuah cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari tatanan penuh mukjizat dari alam semesta, sebuah tatanan yang telah dibangun oleh Sang Maha Pengatur dan Maha Mutlak, yang menentukan ukuran tertentu dari segala sesuatu, dan keberadaan-Nya.
Keterangan :
- Penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian.
- Pernyataan yang dapat diterima sebagai kebenaran tanpa pembuktian.
- Dikenal juga sebagai ilmu hitung. Sebuah pengkajian bilangan bulat positif melalui penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian, serta pemakaian hasilnya dalam kehidupan sehari-hari.
- Bilangan yang dinotasikan oleh a + bi, di mana a dan b adalah bilangan riil dan i adalah bilangan di mana i2 = -1. Bilangan riil a disebut juga bagian riil dari bilangan kompleks, dan bilangan riil b disebut bagian imajiner.
- Himpunan dari bilangan kompleks c yang digunakan sebagai fungsi fc(z) = z2 + c tidak menyimpang ketika iterasi dari z = 0, yaitu urutan dari fc(0), fc(fc(0)), dan lain-lain tetap dibatasi dalam nilai absolut.
Discussion about this post