Informasi tentang pengobatan herbal telah banyak kita ketahui, bahkan pada pengobatan Barat. Mungkin karena namanya, kebanyakan orang berpikir akan membayangkan herbal, sebagai pengobatan dengan tumbuhan. Namun, apabila kita melihat secara keseluruhan farmasi alam, yang telah dipenuhi berbagai macam obat bagi kebutuhan manusia, tidak hanya tumbuhan, tetapi ada juga peran dari hewan dan mineral. Hanya karena terlalu fokus pada tumbuhan, kita lalu lupa untuk mengapresiasi peran hewan.
Sejarah menunjukkan banyak contoh tentang benefit kesehatan manusia yang kita dapatkan dari sumbangan hewan inilah yang disebut zootherapy. Hippocrates, yang hidup selama abad ke-5 dan 4 SM, menggunakan susu sapi, telur ayam, tanduk mamalia, dan karang laut untuk pengobatan. Kita juga tahu, bahwa seribu tahun lalu, suku Maya menggunakan jentik lalat untuk mengobati luka ganggren. Di Meksiko, lebah, semut, ayam dan hewan lainnya digunakan untuk mengobati berbagai penyakit sejak zaman dahulu. Dalam pengobatan tradisional Cina, tercatat lebih dari 1500 tipe hewan yang digunakan untuk pengobatan.
Di zaman Mesir kuno, sumber-sumber sejarah menunjukkan adanya penggunaan susu sapi, darah kadal, organ-organ lembu, hati burung layang-layang, dan sayap kelelawar, sebagaimana juga bara dan minyak misk, untuk mengobati beberapa penyakit ringan dan kelainan yang ada. Sama halnya ditemukan bahwa di Mesopotamia selama masa Assyrian dan Babylonia, minyak ikan, lilin dan madu, darah luwak, cangkang penyu, kulit kambing, paru-paru domba, rusa dan burung dan juga lemak hewan digunakan sebagai obat atau balsem.
Di bagian timur Mediterania dan daerah laut Aegean, 99 zat yang berasal dari hewan telah digunakan sebagai obat sejak awal Abad Pertengahan hingga sekarang. Di dunia Islam juga, 52 bubuk dan pasta yang berasal dari hewan digunakan sejak abad ke-10 hingga berakhirnya masa kerajaan Utsmani. Tercatat pula bahwa 77 dari 99 produk hewani tersebut tetap digunakan hingga abad ke20 (Lev 2006, 2:1-11).
Sepanjang sejarah, ada tujuh produk hewan yang sering digunakan sebagai pengobatan: madu, lilin, bisa ular beracun, testis berang-berang, minyak wangian rusa, batu karang, dan ambar. Tiga dari yang pertama disebutkan adalah hal yang umum dan dapat dengan mudah ditemukan, tetapi empat lainnya telah langka dan mahal.
Dalam penelitian modern, lebih dari 230 spesies hewan telah digunakan untuk tujuan eksperimen. Meningkatnya golongan yang memperjuangkan hak hewan pada zaman modern telah membatasi beberapa penggunaan produk hewan. Tetapi baru-baru ini, sebuah penemuan pengobatan alternatif telah mengundang kembali minat pada obat tradisional.
Bahan-bahan berikut ini dipercayai berkhasiat untuk penyakit: susu kambing berkhasiat untuk batuk; telur burung puyuh untuk menyembuhkan penyakit paru-paru seperti asma, bronkitis dan sesak napas; bubuk yang terdapat pada bagian luar cangkang sotong untuk katarak; minyak unta untuk psoriasis, eksim, keseleo pada tungkai, dan ambeien; daging landak untuk epilepsi dan gonorhea; lintah medis bagi penyakit ginjal. Penggunaan yogurt dan minyak ikan juga telah diakui oleh pengobatan modern.
Produk hewan yang kaya akan struktur
Jaringan dan cairan tubuh hewan mengandung banyak senyawa yang disintesis melalui proses yang jauh lebih rumit, setidaknya jika dibandingkan dengan tumbuh-tumbuhan. Selama kurang lebih setengah abad, ilmuwan telah meneliti tentang agen biologis yang berasal dari hewan dengan efek anti-tumor. Dari 252 bahan kimia penting dipilih WHO untuk penelitian, 11% berasal dari tumbuhan dan 8.7% berasal dari hewan (Marques 1997, 1:4). Tercatat 27 dari 150 resep obat yang digunakan di AS berasal dari hewan (World Resource Institute, 2000, 389). Terdapat 15-20% dari bahan yang digunakan oleh pengobatan Ayurvedic di India berasal dari produk hewani. Di kota Bahia, Brazil tercatat lebih dari 180 hewan digunakan sebagai obat (Alves 2011, 7-9).
Minum racun?
Sejak zaman kuno, racun telah dikenal karena manfaat medisnya. Racun mengandung berbagai senyawa protein, enzim, peptide dan sedikit hasil sekresi non-protein. Campuran rumit ini disimpan dalam sel, jaringan atau kelenjar racun khusus pada tubuh hewan beracun.
Karena zat-zat aktif yang terkandung dalam racun sangat efektif, bahkan dalam jumlah yang sangat sedikit, racun sangatlah bernilai bagi penelitian biomedis. Zat ini memberikan harapan bagi para peneliti untuk mencari pengobatan penyakit-penyakit hematologi, autoimun, infeksi, kardiovaskular, kanker, neuromuscular dan psikotik.
Mari kita ambil satu contoh. Semua kulit katak kurang-lebih beracun. Pada zaman dahulu, satu-satunya hal yang diketahui manusia tentang kulit katak adalah kita tidak boleh menyentuhnya. Penelitian yang dilakukan terhadap katak mengungkapkan bahwa senyawa beracun yang ditemukan beberapa kulit katak mengandung zat yang berbeda, dan beberapa darinya mengandung efek antibiotik dan anti-kanker. Yang mengejutkan adalah, alkaloid Epibatidine, yang berasal dari kulit katak Epipedobatus tricolor, terbukti 200 kali lebih efektif menghilangkan rasa sakit daripada morfin. Beberapa zat yang berasal dari kulit katak malam (Bufo viridis) dapat meningkatkan ritme detak jantung. Sama halnya dengan racun lain yang didapat dari kulit katak India (Bufo melanostictus) dapat memperlambat reproduksi kultur sel kanker.
Musuh terbesar manusia?
Menurut Injil, setan mengelabui Adam dan Hawa dengan berpura-pura sebagai ular. Sama halnya dengan tradisi Islam dalam hal menafsirkan mimpi, melihat seekor ular ditafsirkan sama seperti bertemu musuh. Bagaimanapun, ini merupakan fakta yang konkrit bahwa musuh bebuyutan kita dapat menjadi sebuah sumber penyembuh apabila ditangani dengan bijak. Penelitian modern terus membuat kemungkinan-kemungkinan obat baru dari zat berbahan dasar ular. Berbagai macam bisa ular telah terbukti secara efektif sebagai agen anti-tumor. Enzim-enzim berbeda yang ditemukan dalam bisa ular bekerja langsung sebagai antitumor atau mengaktifkan kembali peran sistem imun dalam tubuh kita.
Zat salmosin, yang terdapat dalam ular Korea Agkistrodan halys brevicaudus, dapat mencegah meningkatnya sel tumor dan menghentikan pembentukan pembuluh darah yang memberi makan tumor-tumor ini. Contorstrostatin, sebuah zat yang berasal dari ular berkepala tembaga dari selatan (Agkistrodan contortix contotrix), dapat menjadi penyembuh menjanjikan bagi kanker paru-paru; zat ini mencegah perkembangan sel tumor pada tikus percobaan yang mengidap kanker, membantu mereka bertahan hidup lebih lama. Protein tahan panas yang diambil dari ular berbisa (Daboia russelli russelli) dapat menyebabkan penurunan yang signifikan pada sel leukemia.
Bisa ular juga ternyata menjanjikan sebagai anti-depresan, obat penenang, penghilang rasa sakit dan stimulan jantung yang sangat baik. Sebuah penghilang rasa sakit bernama Hannalgesin terbentuk dari bisa ular king kobra (Ophiophagus hannah), salah satu ular yang paling ditakuti. Tetapi tidak hanya ular yang dapat membantu manusia: hewan berbisa lainnya juga mungkin saja menyimpan rahasia. PIM1 dan PIM2 yang berasal dari kalajengking kaisar (Pandinus imperator) memiliki efek anti-bakteri yang kuat terhadap bakteri jenis B. subtilus dan E.coli (Kuhn-Nentwig 2003:60:2651- 2668). Dan secara ironis seperti perputaran nasib, ilmuwan kini mulai “menghisap” zat yang sangat berguna dari lintah obat, dan menggunakannya untuk mengobati penggumpalan darah.
Harta karun yang terdapat di laut Harta terpendam yang ada di bawah laut bukanlah emas atau perhiasan, tetapi harta karun berupa zat-zat yang ditemukan pada berbagai makhluk laut yang berpotensi sebagai pengobatan, termasuk siput laut, lumut, bunga karang, dan bahkan hiu.
Kitin, zat yang berasal dari kerang, memiliki banyak manfaat medis. Penelitian telah mencatat efek anti-bakteri, anti-inflamasi, antioksidan, anti-kanker, dan anti-ulcerous pada zat kitin ini. Penelitian terbaru menunjukan kemungkinan lain terhadap pemanfaatan kitin sebagai pengobatan pada permasalahan ginjal (Sato et al, 2008, hal. 405-417).
Tulisan ini dapat saja diperpanjang. Karena kita sedang membahas harta karun laut, saya ingin mengakhirinya dengan sebuah cerita klasik Jules Vernes, “Pulau Misteri.” Dalam cerita tersebut, sekelompok orang yang terdampar tersesat di sebuah pulau. Tetapi di luar dugaan, semua yang mereka butuhkan untuk bertahan hidup muncul dengan ajaib. Persediaan tersebut diberikan oleh seseorang yang tak bisa mereka lihat, tapi keberadaannya mereka ketahui dengan adanya bantuan-bantuannya itu. Ketika seorang pemuda menderita malaria, temannya mendapati seseorang telah meletakkan kina, obat untuk menyembuhkan malaria di atas meja.
Situasi yang kita hadapi di dunia tak ada bedanya dengan situasi di pulau tersebut. Perbedaan terbesar hanyalah bahwa obat-obat tak diletakkan di atas meja, tetapi di tempat yang berbeda-beda di seluruh dunia.
Referensi:
1 Alves, R.R.N., Alves, N.H. (2011): The faunal drugstore: Animal-based remedies used in traditional medicines in Latin America. Journal of Ethnobiology and Ethnomedicine, 7: 9.
2 Barrow, C., Shahidi, F. (eds). CRC Press, Taylor & Francis Group.
3 Hunt, B., Vincent, A.C.J. (2006): Scale and sustainability of marine bioprospecting for pharmaceuticals. Ambio 35 (2): 57-64.
4 Kuhn-Nentwig, L. (2003): Antimicrobial and cytolitic peptides of venomous arthropods. Cell. Mol. Life Sci. 60: 2651-2668.
5 Lev, E. (2006): Healing with animals in the Levant from the 10th to the 18th century. Journal of Ethnobiology and Ethnomedicine, 2: 1-11.
6 Marques, JGW. 1997. Fauna medicinal: recurso do ambiente ou ameaça à biodiversidade? Mutum 1: 4.
7 Rasmussen, R. S., Morrissey, M. T. (2008): Chitin and chitosan. In: Marine nutraceuticals and functional foods. p. 155-182. Barrow, C., Shahidi, F. (eds). CRC Press, Taylor & Francis Group.
8 Sato, K., Kitahashi, T., Itho, C., Tsutsumi, M. (2008): Shark cartilage: potential for therapeutic application for cancer-review article. In: Marine nutraceuticals and functional foods.
9 World Resources Institute. 2000. World Resources Report 2000-2001. People and ecosystems: the fraying web of life. Washington D.C.: World Resources Institute.
Discussion about this post