• Privacy & Policy
  • Kontak
  • Tentang Kami
    • Profil
    • Redaksi dan Manajemen
    • Dewan Penasihat
  • Mata Air di Dunia
    • Arabic
    • Deutsch
    • English
    • Spanish
    • Turkish
  • FAQ
  • Kirim Artikel
  • Karir
Friday, September 22, 2023
  • Login
Majalah Mata Air
Advertisement
  • Home
  • Rubrik
    • Sains
    • Budaya
    • Spiritualitas
  • Penulis
    • M. Fethullah Gülen
    • Dr. Ali Unsal
    • Astri Katrini Alafta S.S. M.Ed.
    • Abdullah Farid
  • Event
  • Tetes Mata Air
  • Arsip
  • Berlangganan
  • Produk Kami
    • Buku Digital
    • Majalah Digital
    • Mata Air dalam Genggaman
  • Semua Membacanya 2023
No Result
View All Result
  • Home
  • Rubrik
    • Sains
    • Budaya
    • Spiritualitas
  • Penulis
    • M. Fethullah Gülen
    • Dr. Ali Unsal
    • Astri Katrini Alafta S.S. M.Ed.
    • Abdullah Farid
  • Event
  • Tetes Mata Air
  • Arsip
  • Berlangganan
  • Produk Kami
    • Buku Digital
    • Majalah Digital
    • Mata Air dalam Genggaman
  • Semua Membacanya 2023
No Result
View All Result
Majalah Mata Air
No Result
View All Result
Home Spiritualitas Bukit-Bukit Zamrud Kalbu

Wara’

M. Fethullah Gulen

by M. Fethullah Gulen
6 years ago
in Bukit-Bukit Zamrud Kalbu
Reading Time: 4 mins read
Share on WhatsappShare on FacebookScan and read on your phone

Pada beberapa kamus disebutkan bahwa arti dari kata wara’ (al-wara’) adalah menghindari segala hal yang tidak pantas, tidak sesuai, dan tidak perlu, serta berhati-hati terhadap hal-hal yang diharamkan dan dilarang. Wara’ juga berarti menghindari segala bentuk syubhat karena takut terperosok pada yang haram. Hal ini sesuai dengan kaidah yang mengatakan, “Tinggalkanlah yang meragukanmu menuju yang tidak meragukanmu;”1 dan sesuai pula dengan sebuah hadis Rasulullah, “Yang halal sudah jelas, yang haram sudah jelas.”2 Sebagian sufi mendefinisikan bahwa wara’ adalah keyakinan yang benar, perilaku yang lurus, cita-cita yang luhur, dan keteguhan dalam berhubungan dengan Allah Subhânahu Wa Ta’âla.

Seorang ulama menyatakan bahwa wara’ adalah “tidak pernah lalai dari Allah meski hanya sekejap”. Sementara yang lain menyatakan bahwa wara’ adalah “menahan diri dari semua yang selain Allah di satu saat dalam kehidupan”. Sementara yang lain menyatakan bahwa wara’ adalah “tindakan seorang salik mengangkat dirinya dari dirinya sendiri dan dari segala entitas, tanpa pernah merendah atau pun turun ke dunia dan para penghuninya, baik dengan sikap maupun dengan ucapan”. Dua bait syair berikut menunjukkan pendapat ini:

Hindari meminta kepada makhluk 

Mintalah kepada Tuhan Pemurah 

RelatedArticles

Sakinah dan Thuma’ninah atau Ithmi’nan

Ihsan

Pemilik anugerah 

Tinggalkan gemerlap dunia seperti yang kau lihat 

Karena ia kelak pasti akan musnah 

Kita dapat mendefinisikan wara’ sebagai kehidupan dan perilaku yang sesuai dengan tujuan akhirat dan berujung padanya. Ia juga berarti bergerak sesuai dengan pemahaman hakikat hal-hal fana yang akan musnah. Ada sebuah hadis yang mengingatkan tentang kaidah ini, “Sesungguhnya di antara kebaikan ke-Islaman seseorang adalah sikapnya meninggalkan hal yang tidak bermanfaat.”3

Fariduddin Aththar yang menulis Pand Aththar menyampaikan sebuah pemikiran luar biasa mengenai hal ini:

Khauf kepada Allah muncul dari wara’ 

Orang yang tidak wara’ sengsara di hari Kiamat

Diam, berdiri, bergerak, dan tutup mulutnya seorang istiqamah 

Adalah dalam wara’nya hanya demi Sang Rabb 

Dustalah mereka yang mencinta dan mendamba perlindungan dari al-Haqq,

Jikalau ia tidak memiliki sifat wara’ 

Wara’ adalah amal umum untuk memenuhi hak ubudiyah kepada Allah dengan dimensi lahir dan batinnya. Seorang penempuh jalan wara’ yang mengembara di puncak-puncak spiritualitas yang ia capai melalui takwa, sebenarnya secara lahiriah sedang merajut hidupnya sebagai hamba Allah yang selalu tunduk di bawah perintah dan larangan. Ia selalu “beramal demi Allah, dan memulai sesuatu demi Allah;”4 tenang demi Allah, bergerak demi Allah, makan demi Allah, minum demi Allah, bergerak di dalam wilayah “demi Allah, dan demi mengharap Ridha Allah”.5

Dari sisi lain, orang yang wara’ menjadikan batinnya sebagai objek bagi pengaruh “bisikan suci”dan menyepi dengan “khazanah tersembunyi” yang ada di dalam hatinya, sehingga ia sama sekali tidak peduli kepada yang selain Allah. Berarti, seorang wara’ secara total menjauhkan diri dari segala pikiran yang tidak dapat membuatnya mencapai Allah Subhânahu Wa Ta’âla, meninggalkan segala penglihatan yang tidak mengingatkannya kepada Allah Subhânahu Wa Ta’âla, menutup telinganya dari segala bentuk penjelasan kalau itu berupa penjelasan- yang tidak membicarakan tentang Allah Subhânahu Wa Ta’âla, dan ia juga menjauhkan tangannya dari segala hal yang tidak memiliki arti di hadapan Allah Subhânahu Wa Ta’âla. Wara’ dengan pengertian seperti ini akan mengangkat seorang manusia langsung menuju Allah Subhânahu Wa Ta’âla.

Allah Subhânahu Wa Ta’âla telah berfirman kepada Musa ‘alaihis salâm: “Tidak pernah ada sesuatu pun yang dapat mendekatkan orang-orang yang mendekat kepada-Ku seperti wara’ dan zuhud.”6 Umat manusia sudah mengenal wara’ sejak masa awal Islam yang biasa dikenal dengan istilah “Khair al-Qurûn” (kurun terbaik). Bahkan pada masa tabi’in dan tabi’it tabi’in, wara’ menjadi dambaan tertinggi bagi setiap mukmin. Pada masa inilah saudara perempuan Bisyr al-Hafi mendatangi Imam Ahmad bin Hanbal lalu berkata, “Wahai Imam, sesungguhnya kami biasa menggulung wol di loteng rumah kami. Lalu lewatlah di dekat kami lentera yang dibawa para petugas negara sehingga cahayanya mengenai kami. Apakah kami boleh tetap menggulung wol dengan memanfaatkan cahaya lentera para petugas itu?” Imam Ahmad menjawab, “Siapakah gerangan engkau, wahai wanita afâkillâh? Wanita itu menjawab, “Aku adalah saudara perempuan dari Bisyr al-Hafi.” Maka seketika itu juga Imam Ahmad pun menangis lalu berkata, “Dari rumah kalianlah muncul sifat wara’ yang benar, jadi janganlah engkau menggulung benang menggunakan cahaya lentera para petugas itu.”7

Selain itu, di masa itu pula ada seseorang yang memohon pertolongan seraya meratap, “dosaku, dosaku!” di sepanjang hidupnya, hanya gara-gara ia pernah satu kali melihat sesuatu yang diharamkan Allah. Di masa itulah pernah ada seseorang yang berusaha mengeluarkan sepotong makanan haram dari perutnya yang telah ia makan tanpa sengaja, lalu ia mencucurkan air mata berhari-hari disebabkan perbuatannya itu.8 Diriwayatkan bahwa salah seorang tokoh besar yang adalah seorang muhaddis, ahli fikih, dan sekaligus zahid terkenal yang bernama Ibnu Mubarak, pernah kembali dari Marwah ke Syam hanya untuk mengembalikan satu buah pena yang ia pinjam dan belum sempat ia kembalikan kepada pemiliknya.9

Orangorang pada masa itu memang tidak jarang berusaha untuk membaktikan dirinya bagi seseorang yang mereka yakini memiliki hak atas mereka. Seorang zahid terkenal yang bernama Fudhail bin Iyadh merupakan salah seorang tokoh dalam hal ini, dan betapa banyak pahlawan selain beliau di masa yang cemerlang ini, hingga kisahnya memenuhi kitab-kitab para auliya, thabaqât, dan manâqib, dengan kehidupan yang laksana permata karena hidup mereka berjalan sebagaimana hidupnya para orang-orang suci (ar-rûhâniyyûn). Sungguh sebenarnya beberapa lembar halaman tulisan yang sederhana ini tidak lain adalah untuk mengikatkan kita semua kembali kepada mereka.

Wahai Allah, jadikanlah kami mencintai iman dan buatlah ia indah di dalam hati kami. Jadikanlah kami benci kepada kekufuran, kefasikan, kemaksiatan, dan jadikan kami termasuk orang-orang yang benar jalannya. Limpahkanlah salawat dan salam kepada Rasulullah Muhammad dan segenap keluarga serta Para Sahabat Beliau.

 

Referensi 

  1. At-Tirmidzi, Shifat al-Qiyâmah 60; an-Nasa`i, al-Asyribah 50; alMusnad, Imam Ahmad 3/153.
  2. Al-Bukhari, al-Îmân 39; Muslim, al-Masâqâh 107, 108.
  3. At-Tirmidzi, az-Zuhd 11; Ibnu Majah, al-Fitan 12.
  4. Kata-kata pertama ini dinukil dari ucapan Badi’ az-Zaman Sa’id Nursi.
  5. Lih. al-Lam’ât, al-Lam’ah ats-Tsâlitsah, an-Nuktah ats-Tsâlitsah, Sa’id Nursi.
  6. Al-Wara’, Ibnu Abi ad-Dunya 47; ar-Risâlah, al-Qusyairi 197.
  7. Hilyah al-Auliyâ`, Abu Nu’aim 8/353; al-Qusyairi, ar-Risâlah al-Qusyairiyyah 196; Shifah ash-Shafwah, Ibnu aj-Jauzi 2/525-526.
  8. Al-Wara’, Imam Ahmad 84-85; Kitab az-Zuhd, Ibnu Abi Ashim 109, 111; Syi’b al-Îmân, al-Baihaqi 5/56.
  9. Ar-Risâlah, al-Qusyairi 198.
Tags: Islamkeraguanmukminsifatsikap
Previous Post

Nasihat Batu yang Bertasbih

Next Post

Merajut Persatuan Meski Berbeda

M. Fethullah Gulen

M. Fethullah Gulen

Related Posts

Ketenagan Jiwa
Bukit-Bukit Zamrud Kalbu

Sakinah dan Thuma’ninah atau Ithmi’nan

1 week ago
Ihsan
Bukit-Bukit Zamrud Kalbu

Ihsan

8 months ago
Load More

Discussion about this post

POPULAR POST

  • Taubah, Inabah, dan Aubah

    Taubah, Inabah, dan Aubah

    883 shares
    Share 353 Tweet 221
  • Hewan-hewan yang Menantang Suhu Dingin

    776 shares
    Share 311 Tweet 194
  • Shuffah, Pusat Bagi Para Jenius

    738 shares
    Share 295 Tweet 185
  • Syair Rindu Sang Musafir

    693 shares
    Share 278 Tweet 173
  • Buku atau Gadget

    640 shares
    Share 257 Tweet 160

Majalah Mata Air menyuguhkan bahan bacaan untuk mengembangkan cakrawala pemikiran.

Ikuti Kami

Categories

Bulan Terbit

Kebakaran Hutan

Kesehatan – Ilmu Pengetahuan – Teknologi (Edisi 39)

September 18, 2023
Siang dan Malam dalam Al-Qur’an

Siang dan Malam dalam Al-Qur’an

September 18, 2023
Ketenagan Jiwa

Sakinah dan Thuma’ninah atau Ithmi’nan

September 12, 2023
  • Tentang
  • Ketentuan
  • Kirim Tulisan

© 2021 Majalah Mata Air - Membaca Kehidupan.

No Result
View All Result
  • Arsip
  • Berlangganan
  • Berlangganan Majalah
  • Blog
  • Buku Digital
  • Cart
  • Checkout
  • Checkout
    • Purchase Confirmation
    • Purchase History
    • Transaction Failed
  • Dashboard
  • Dewan Penasihat
  • Event
  • FAQ
  • FAQ Tetas Mata Air
  • Form Berlangganan
  • Form Kirim Artikel Semua Membacanya 2022
  • Gallery
  • Hubungi Mata Air
  • Instructor Registration
  • Jenis Pendaftaran
  • Karir
  • Kirim Artikel
  • Kirim Artikel Semua Membacanya 2022
  • Kirim Tulisan
  • Kuis Majalah Mata Air
  • langganan
  • Langganan Individu
  • Langganan Kelompok
  • LCCL Mata Air 2023
  • Liputan
  • Lomba Menulis Artikel
  • Majalah Digital
  • Majalah Mata Air Edisi 1
  • Majalah Mata Air Edisi 2
  • Majalah Tergantung
  • Mata Air dalam Genggaman
  • Mata Air On Air
  • My account
  • Paket Majalah
  • Pembahasan Try Out Cahaya Abadi
  • Pembahasan Try Out Sirah Nabawiyah
  • Pembahasan Ujian Cahaya Abadi
  • Pemenang SM21
  • Penulis
  • Penulis
  • Polling Cover Buku “Hening Sejenak”
  • Privacy Policy
  • Produk Kami
  • Produk Mata Air di Playbook
  • Profil
  • Proposal Landing Page
  • Quotes
  • Redaksi dan Manajemen
  • Relawan
  • Rubrik
  • Rubrik
  • Seminar 1
  • Seminar 2
  • Seminar 3
  • Semua Membaca Kehidupan Rasulullah
    • Kuis 1 Lomba Semua Membaca Kehidupan Rasulullah
    • Kuis 2 Lomba Semua Membaca Kehidupan Rasulullah
    • Kuis 3 Lomba Semua Membaca Kehidupan Rasulullah
  • Semua Membacanya
  • Semua Membacanya 2022
  • Semua Membacanya 2023
  • Semua Membacanya 2023
  • Shop
  • Soal dan Kunci Jawaban Fikih Sirah
  • Soal dan Kunci Jawaban Cahaya Abadi 2
  • Soal dan Kunci Jawaban Khulasoh Nurul Yaqin
  • Soal dan Kunci Jawaban Mentari Kasih Sayang
  • Soal dan Kunci Jawaban Sirah Nabawi
  • Student Registration
  • Tentang
  • Terima Kasih
  • Try Out
  • Ujian Final
  • Workshop

© 2021 Majalah Mata Air - Membaca Kehidupan.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist