Pada beberapa kamus disebutkan bahwa arti dari kata wara’ (al-wara’) adalah menghindari segala hal yang tidak pantas, tidak sesuai, dan tidak perlu, serta berhati-hati terhadap hal-hal yang diharamkan dan dilarang. Wara’ juga berarti menghindari segala bentuk syubhat karena takut terperosok pada yang haram. Hal ini sesuai dengan kaidah yang mengatakan, “Tinggalkanlah yang meragukanmu menuju yang tidak meragukanmu;”1 dan sesuai pula dengan sebuah hadis Rasulullah, “Yang halal sudah jelas, yang haram sudah jelas.”2 Sebagian sufi mendefinisikan bahwa wara’ adalah keyakinan yang benar, perilaku yang lurus, cita-cita yang luhur, dan keteguhan dalam berhubungan dengan Allah Subhânahu Wa Ta’âla.
Seorang ulama menyatakan bahwa wara’ adalah “tidak pernah lalai dari Allah meski hanya sekejap”. Sementara yang lain menyatakan bahwa wara’ adalah “menahan diri dari semua yang selain Allah di satu saat dalam kehidupan”. Sementara yang lain menyatakan bahwa wara’ adalah “tindakan seorang salik mengangkat dirinya dari dirinya sendiri dan dari segala entitas, tanpa pernah merendah atau pun turun ke dunia dan para penghuninya, baik dengan sikap maupun dengan ucapan”. Dua bait syair berikut menunjukkan pendapat ini:
Hindari meminta kepada makhluk
Mintalah kepada Tuhan Pemurah
Pemilik anugerah
Tinggalkan gemerlap dunia seperti yang kau lihat
Karena ia kelak pasti akan musnah
Kita dapat mendefinisikan wara’ sebagai kehidupan dan perilaku yang sesuai dengan tujuan akhirat dan berujung padanya. Ia juga berarti bergerak sesuai dengan pemahaman hakikat hal-hal fana yang akan musnah. Ada sebuah hadis yang mengingatkan tentang kaidah ini, “Sesungguhnya di antara kebaikan ke-Islaman seseorang adalah sikapnya meninggalkan hal yang tidak bermanfaat.”3
Fariduddin Aththar yang menulis Pand Aththar menyampaikan sebuah pemikiran luar biasa mengenai hal ini:
Khauf kepada Allah muncul dari wara’
Orang yang tidak wara’ sengsara di hari Kiamat
Diam, berdiri, bergerak, dan tutup mulutnya seorang istiqamah
Adalah dalam wara’nya hanya demi Sang Rabb
Dustalah mereka yang mencinta dan mendamba perlindungan dari al-Haqq,
Jikalau ia tidak memiliki sifat wara’
Wara’ adalah amal umum untuk memenuhi hak ubudiyah kepada Allah dengan dimensi lahir dan batinnya. Seorang penempuh jalan wara’ yang mengembara di puncak-puncak spiritualitas yang ia capai melalui takwa, sebenarnya secara lahiriah sedang merajut hidupnya sebagai hamba Allah yang selalu tunduk di bawah perintah dan larangan. Ia selalu “beramal demi Allah, dan memulai sesuatu demi Allah;”4 tenang demi Allah, bergerak demi Allah, makan demi Allah, minum demi Allah, bergerak di dalam wilayah “demi Allah, dan demi mengharap Ridha Allah”.5
Dari sisi lain, orang yang wara’ menjadikan batinnya sebagai objek bagi pengaruh “bisikan suci”dan menyepi dengan “khazanah tersembunyi” yang ada di dalam hatinya, sehingga ia sama sekali tidak peduli kepada yang selain Allah. Berarti, seorang wara’ secara total menjauhkan diri dari segala pikiran yang tidak dapat membuatnya mencapai Allah Subhânahu Wa Ta’âla, meninggalkan segala penglihatan yang tidak mengingatkannya kepada Allah Subhânahu Wa Ta’âla, menutup telinganya dari segala bentuk penjelasan kalau itu berupa penjelasan- yang tidak membicarakan tentang Allah Subhânahu Wa Ta’âla, dan ia juga menjauhkan tangannya dari segala hal yang tidak memiliki arti di hadapan Allah Subhânahu Wa Ta’âla. Wara’ dengan pengertian seperti ini akan mengangkat seorang manusia langsung menuju Allah Subhânahu Wa Ta’âla.
Allah Subhânahu Wa Ta’âla telah berfirman kepada Musa ‘alaihis salâm: “Tidak pernah ada sesuatu pun yang dapat mendekatkan orang-orang yang mendekat kepada-Ku seperti wara’ dan zuhud.”6 Umat manusia sudah mengenal wara’ sejak masa awal Islam yang biasa dikenal dengan istilah “Khair al-Qurûn” (kurun terbaik). Bahkan pada masa tabi’in dan tabi’it tabi’in, wara’ menjadi dambaan tertinggi bagi setiap mukmin. Pada masa inilah saudara perempuan Bisyr al-Hafi mendatangi Imam Ahmad bin Hanbal lalu berkata, “Wahai Imam, sesungguhnya kami biasa menggulung wol di loteng rumah kami. Lalu lewatlah di dekat kami lentera yang dibawa para petugas negara sehingga cahayanya mengenai kami. Apakah kami boleh tetap menggulung wol dengan memanfaatkan cahaya lentera para petugas itu?” Imam Ahmad menjawab, “Siapakah gerangan engkau, wahai wanita afâkillâh? Wanita itu menjawab, “Aku adalah saudara perempuan dari Bisyr al-Hafi.” Maka seketika itu juga Imam Ahmad pun menangis lalu berkata, “Dari rumah kalianlah muncul sifat wara’ yang benar, jadi janganlah engkau menggulung benang menggunakan cahaya lentera para petugas itu.”7
Selain itu, di masa itu pula ada seseorang yang memohon pertolongan seraya meratap, “dosaku, dosaku!” di sepanjang hidupnya, hanya gara-gara ia pernah satu kali melihat sesuatu yang diharamkan Allah. Di masa itulah pernah ada seseorang yang berusaha mengeluarkan sepotong makanan haram dari perutnya yang telah ia makan tanpa sengaja, lalu ia mencucurkan air mata berhari-hari disebabkan perbuatannya itu.8 Diriwayatkan bahwa salah seorang tokoh besar yang adalah seorang muhaddis, ahli fikih, dan sekaligus zahid terkenal yang bernama Ibnu Mubarak, pernah kembali dari Marwah ke Syam hanya untuk mengembalikan satu buah pena yang ia pinjam dan belum sempat ia kembalikan kepada pemiliknya.9
Orangorang pada masa itu memang tidak jarang berusaha untuk membaktikan dirinya bagi seseorang yang mereka yakini memiliki hak atas mereka. Seorang zahid terkenal yang bernama Fudhail bin Iyadh merupakan salah seorang tokoh dalam hal ini, dan betapa banyak pahlawan selain beliau di masa yang cemerlang ini, hingga kisahnya memenuhi kitab-kitab para auliya, thabaqât, dan manâqib, dengan kehidupan yang laksana permata karena hidup mereka berjalan sebagaimana hidupnya para orang-orang suci (ar-rûhâniyyûn). Sungguh sebenarnya beberapa lembar halaman tulisan yang sederhana ini tidak lain adalah untuk mengikatkan kita semua kembali kepada mereka.
Wahai Allah, jadikanlah kami mencintai iman dan buatlah ia indah di dalam hati kami. Jadikanlah kami benci kepada kekufuran, kefasikan, kemaksiatan, dan jadikan kami termasuk orang-orang yang benar jalannya. Limpahkanlah salawat dan salam kepada Rasulullah Muhammad dan segenap keluarga serta Para Sahabat Beliau.
Referensi
- At-Tirmidzi, Shifat al-Qiyâmah 60; an-Nasa`i, al-Asyribah 50; alMusnad, Imam Ahmad 3/153.
- Al-Bukhari, al-Îmân 39; Muslim, al-Masâqâh 107, 108.
- At-Tirmidzi, az-Zuhd 11; Ibnu Majah, al-Fitan 12.
- Kata-kata pertama ini dinukil dari ucapan Badi’ az-Zaman Sa’id Nursi.
- Lih. al-Lam’ât, al-Lam’ah ats-Tsâlitsah, an-Nuktah ats-Tsâlitsah, Sa’id Nursi.
- Al-Wara’, Ibnu Abi ad-Dunya 47; ar-Risâlah, al-Qusyairi 197.
- Hilyah al-Auliyâ`, Abu Nu’aim 8/353; al-Qusyairi, ar-Risâlah al-Qusyairiyyah 196; Shifah ash-Shafwah, Ibnu aj-Jauzi 2/525-526.
- Al-Wara’, Imam Ahmad 84-85; Kitab az-Zuhd, Ibnu Abi Ashim 109, 111; Syi’b al-Îmân, al-Baihaqi 5/56.
- Ar-Risâlah, al-Qusyairi 198.
Discussion about this post