Busana Terindah
Apa peran wudu agar kita dapat merasakan kedalaman ibadah salat? Pada pertimbangan-pertimbangan apa sajakah wudu yang diambil akan memengaruhi kalbu dan jiwa?
Wudu yang merupakan wasilah bagi persiapan ibadah secara makna dan rohani, serta darinya terdapat manfaat yang maksimal, khususnya dalam perjalanan salat, adalah perintah awal dan persiapan pertamanya. Wudu diwajibkan bagi beberapa ibadah, terutama salat, tetapi tidak diwajibkan bagi setiap amal dan ibadah. Kita harus berwudu sebelum menegakkan salat, melakukan sujud tilawah atau ketika hendak memegang kitab Al-Qur’anul Karim; wudu sebelum melakukan tawaf di Kakbah hukumnya wajib; sementara menjaga wudu ketika mengumandangkan azan, ikamat dan saat membaca-mengajarkan ilmu-ilmu agama hukumnya sunah atau mandup; yakni sebuah amal yang meskipun tidak diharuskan tetapi akan mendapatkan ganjaran pahala jika dilakukan. Terlebih lagi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa mementingkan untuk menjaga wudu-nya dan tak pernah melakukan kegiatan apapun tanpa berwudu terlebih dahulu. Dengan pertimbangan ini adalah sunah yang sebaiknya dilakukan, maka seorang muslim sebaiknya selalu menjaga wudu-nya pula.
Bersuci dari Hadas
Kata wudu yang dalam bahasa Arab mengandung makna keindahan dan kebersihan ini menyatakan bahwa seseorang yang telah mengambil niat untuk beribadah, telah menyelamatkan kalbunya dari semua pemikiran yang memalingkan dirinya dari Tuhan, lalu menggerakkannya dengan segenap perasaan rohani dan sebagaimana ia membersihkan anggota tubuh seperti tangan dan kakinya dengan sebersih-bersihnya, maka baik jiwa maupun badannya dibasuh, ditiriskan dari kotoran, lalu dipoles dengan keindahan hingga siap untuk menghadap pada hadirat Ilahi.
Seperti kita ketahui, salah satu syarat sahnya salat adalah “bersih dari hadas”, yakni seseorang yang dalam keadaan tidak memiliki wudu dan berada dalam keadaan yang dihukumi sebagai najis harus berwudu terlebih dahulu. Selain itu, seseorang yang dalam kondisi gusul juga harus melakukan mandi wajib (membersihkan seluruh bagian tubuh). Sebagaimana wudu dan gusul memiliki faedah zahir yang banyak seperti membuang kotoran-kotoran jasmani dan menjaga kesehatan badan, maka secara prinsip wudu adalah “ta’abbudi”; yakni sebuah pembersihan yang diniatkan hanya karena ingin memenuhi perintah Allah dan berdasarkan kandungan agama, pada niat untuk beribadah, serta terkait juga dengan hikmah-hikmah lain yang belum kita ketahui.
Dengan ayat, “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan salat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki…”1, maka Allah ta’âlâ memerintahkan kita untuk melakukan wudu. Selanjutnya pada ayat yang menyatakan bahwa wajib berwudu sebelum salat, yang merupakan syiar terpenting dari penghambaan pada Allah subhânahu wa ta’âla ini, memerintahkan pula pada kita untuk melakukan mandi gusul segera pada kesempatan pertama jika seseorang junub, yaitu mandi secara menyeluruh dan berwudu sepenuhnya, kemudian untuk melakukan tayamum dengan tanah jika kita tidak menemukan air, hingga hanya setelah itulah kita dinyatakan bisa menegakkan salat.
Amal yang Memperdalam Pertimbangan
Ya, wudu adalah rujukan awal dan persiapan pertama pada jalan salat. Namun, agar wudu bisa memberikan hasil seperti yang diinginkan akan sangat tergantung pada kedalaman pemikiran seseorang. Sebenarnya, manusia dapat membawa semua pekerjaan yang dilakukannya pada dimensi kedalaman tertentu dan memberikan hakikat yang sangat berbeda pada setiap kejadian yang dialaminya sesuai dengan ketulusan perasaan dan pemikirannya. Misalnya, ketika mau tidak mau kita harus menerima sebuah bencana yang menimpa. Jika kita terpaksa menanggung derita dari musibah itu seraya memandangnya hanya sebagai musibah biasa saja, maka kita akan terperangkap pada interpretasi sempit keliru ini ketika merasakan derita dan kesulitan-kesulitan yang harus dijalani saat itu. Kiranya kita hanya terikat pada penampakan luar bencana tersebut dan tak pernah memikirkan beberapa masalah terkait latar belakangnya, maka kita telah memampatkan kejadian ini hanya pada masa saat kita berada di dalamnya saja, sehingga dapat mempersempit hidup dan menderita atas seribu satu nestapa dengan sia-sia. Padahal sejak awal saat pertama kali kita berhadapan dengan musibah tersebut, sebenarnya sangat mungkin bagi kita untuk memanfaatkannya menjadi wasilah penyucian diri dan kesempatan untuk meraih pahala. Lebih dari itu, kiranya kita bisa melihat pada siapa yang memberikan musibah itu dan mampu berpikir bahwa tak ada satu kejadian pun di semesta ini yang kosong tanpa makna, maka suatu perasaan sabar berorbit keridaan-Nya akan hadir dalam diri kita. Segera setelahnya kita mengarahkan tawajuh pada Sang Haq dan masuk pada hubungan dengan Uluhiyah kebesaran-Nya. Kita akan pula mengucap “Bagiku yang datang dari-Mu indah segalanya, entah kafan atau pun sutra, entah duri maupun mawar bunga, ampunan-Mu baik begitu pula murka-Mu” dengan pertimbangan bahwa Ia mendengar sembari mengetahui segalanya dan terdapat ribuan hikmah pada setiap yang dijadikan-Nya.
Dengan demikian, meski saat musibah menimpa terasa bagai hantaman gada dan membuat kita tersungkur sekali pun, kita tetap bisa berkata: “Sepertinya untuk menapis semua kesalahan dan dosa, serta untuk mencapai sebuah kondisi keteguhan metafisik yang tinggi, aku harus mengalami semua rintangan ini, terlebih semua kekuranganku hanya bisa tergantikan dengan derita seperti ini. Ya Rabb aku rida atas semua musibah yang menimpaku, cukuplah kiranya Kau ampuni aku!”
Sepantasnya pula kita bersabar bukan karena terpaksa, tetapi karena yakin bahwa semua datang dari Sang Maha Kuasa. Dengan cara ini, musibah sebesar itu pun akan menjadi faedah baik dan dengan pertimbangan yang tinggi tersebut, kita akan mendapatkan kedalaman maknanya. Bahkan, jika perasaan ini tak kita perlihatkan secara terbuka dan tidak diungkapkan secara lisan, cukup dengan perangai halus kita tampakkan ketenangan dan kesabaran, maka sebuah embusan ketenangan akan menghasilkan pijakan pada hati kita, sehingga alih-alih menjadi musibah, kejadian berwajah buruk itu justru berubah menjadi wasilah sebuah magfirah.
Busana yang Paling Indah
Untuk bisa merasakan salat secara lebih mendalam, perlu ada pertimbangan-pertimbangan yang sama dari kalbu ketika kita mulai berwudu. Seraya mengucap: “Ya Allah, Engkau telah menunjukkan wudu padaku agar aku tampil di hadiratmu sebagai insan yang terbebas dari keduniawian; kulakukan wudu berdasarkan isyarat dan perintah-Mu. Sekiranya Kau perintahkan, ‘selami sungai sebanyak tujuh kali sebelum salat kau tegakkan’ sekalipun, maka aku akan tetap melakukannya”, kita menyadari bahwa wudu adalah sebuah kewajiban yang diperintahkan oleh-Nya dan memenuhi hal tersebut sebagai ketetapan dan perintah Allah subhânahu wa ta’âla berbentuk bagai sebuah adibusana bagi ibadah kita.
Oleh karena, apa yang diungkapkan oleh aktivitas wudu, bagaimana ia menjadi wasilah bagi sebuah penyucian, dan identitas apa yang menyelubungi lalu memperindah kita pada alam perumpamaan pun, hanya Dia yang Maha Tahu dan Maha Melihat. Dengan izin-Nya, para penghuni langit dan para malaikat penjaga bisa melihatnya juga. Oleh karena itu adalah kewajiban bagi seorang mukmin untuk memenuhi bagaimana bentuk penyucian diri yang diinginkan-Nya, bagaimana caranya, dan bagaimana Dia ingin melihat kita sembari berkata, “inilah apa yang dipintakan”. Syarat pertama agar bisa mencapai keistimewaan dari apa yang diperintahkan pada wudu adalah menghargainya sebagai perintah Allah dan percaya pada pembersihan materi-rohani dengannya, serta melakukannya dalam kerangka prinsip-prinsip yang telah ditentukan oleh agama.
Melalui hadis berikut, Rasulullah shallalalhu ‘alaihi wasallam menegaskan bahwa wudu adalah sebuah pembersihan yang akan selalu mencuci dan membasuh kotoran serta noda-noda rohani: “Jika seorang mukmin berwudu, lalu ia membasuh wajahnya, niscaya dari wajahnya keluar setiap dosa yang pernah dia lihat bersamaan dengan tetesan air atau bersamaan dengan tetesan air yang terakhir. Apabila ia membasuh kedua tangannya, niscaya dari kedua tangannya keluar segala dosa yang pernah dikerjakan kedua tangannya bersama air, atau tetesan air yang terakhir. Apabila ia membasuh kedua kakinya, maka akan keluar setiap kesalahan yang pernah dijalankan oleh kedua kakinya bersamaan dengan air atau bersamaan dengan tetesan air yang terakhir, sehingga ia selesai dalam keadaan bersih dari dosa-dosa”.2
Hal ini berarti, seseorang yang membersihkan dirinya dari kotoran jasmani yang menempel dari kanan-kirinya, menjadi benar-benar terbebas dari noda-noda spiritual berkat wudu, ia diselubungi busana kiswah ibadah yang paling sesuai bagi ketenangan pikiran dan sepenuhnya siap menghadap pada hadirat tertinggi Sang Maha Pencipta.
Ya, wudu laksana busana yang paling sesuai untuk menghadap pada ketinggian hadirat-Nya. Sebentuk wudu yang diambil dengan memperhatikan adab sepenuhnya adalah seperti mengenakan adibusana tanpa kurang satu bagian apapun, tak ada cacatnya dan dikenakan dengan keanggunan tiada tara, dan itu berarti seorang hamba telah siap memasuki ruang penerimaan yang kita sebut sebagai ibadah salat.
Sekiranya kita bisa menyaksikan wudu dari satu bingkai ke bingkai lainnya di alam perumpamaan, ia akan terlihat berbeda sebagai busana yang akan ditampakkan, tercermin menurut keluasan atau kedangkalan pemikiran masing-masing individu; di satu sisi kita akan mengamati betapa indahnya jubah wudu seseorang yang memperlakukannya sebagai sukacita ibadah, tetapi mungkin pula di sisi lain, seseorang yang memandang wudunya hanya sebagai pembasuhan tangan-kaki biasa, meskipun dilakukan untuk tujuan ibadah, maka wudunya tersebut akan tampak menjadi pakaian dalam keadaan compang-camping.
Agar Ibadah Mendatangkan Ketenangan Kalbu
Di sisi lain, sebagaimana seseorang yang bersiap salat harus terlebih dahulu mengenakan busana wudunya, maka kita harus juga membebaskan diri dari segala kesibukan yang dapat mengalihkan hati dari semangat beribadah. Itulah kenapa orang yang salat dengan terburu-buru akan tampak buruk. Sebelum salat, manusia harus bisa membuang apa yang seharusnya dibuang, pintu ibadah hanya bisa dimasuki dengan perasaan untuk beribadah dan terbebas dari semua pengaruh buruk yang menyita perhatian pada hal lain, begitulah seharusnya manusia menegakkan salatnya. Bahkan ketika permasalahan ini dibahas pada buku-buku fikih, hukum dari keadaan ini berhubungan dengan ketenangan kalbu dan adalah makruh hukumnya jika kita berniat menegakkan salat tetapi hati tidak fokus karena ada kebutuhan ingin buang hajat misalnya. Oleh karena ketika kalbu dan pikiran sibuk dengan sesuatu, ia takkan bisa berkonsentrasi pada kegiatan lain. Seseorang yang pikirannya dipenuhi suatu kebutuhan tertentu, akan sulit untuk bisa maksimal pada apa yang dilakukannya, bahkan bisa dikatakan tak mungkin. Oleh karena itu mustahil seseorang bisa menegakkan salatnya dengan khusyuk, dengan sebenar-benarnya merasakan kedalaman ibadah, ketika ada keinginan atau kebutuhan mendesak lain seperti ini. Bahkan, seseorang yang memaksakan tetap salat meski sedang dalam keadaan seperti ini adalah seperti menghina ibadah salat itu sendiri, karena salat bukanlah sebuah pekerjaan sederhana yang bisa diremehkan dan dikerjakan asal saja. Salat bukan kegiatan yang bisa dipenuhi terburu-buru di antara semua kesibukan, sebaliknya salat ada untuk menyinari kepingan waktu tersebut dan menerangi seluruh kehidupan. Karena semua kekhususan inilah, beberapa ahli fikih seperti Syekh Wahbah Zuhaili menganggap bahwa niat bahkan sudah harus ditetapkan saat kita beranjak akan keluar mengambil wudu. Dikarenakan berkat niat yang seperti inilah semua yang dikategorikan sebagai persiapan awal agar dapat salat dengan kalbu tenang telah dilakukan, sehingga setiap detik yang dimulai sejak persiapan sebelum wudu hingga saat kita mulai menegakkan salat akan mendatangkan pahala.
Wudu juga penting sebagai persiapan agar bisa berkonsentrasi saat salat dan menyelubunginya dengan atmosfer ibadah. Kondisi udara dingin atau panas tak boleh menghalangi seseorang untuk berwudu dengan sempurna. Apapun kondisinya, selalu ada jalan untuk melakukannya guna membersihkan jiwa-raga bagi sebuah perjalanan yang akan meninggi pada mikrajnya. Sejak tangan mengenai air, seorang hamba telah mulai masuk pada atmosfer ibadah dan meninggalkan semua perkataan sia-sia duniawi, berada di bawah naungan mahabah dan rasa segan pada Sang Rabb. Kemudian ia akan menjadi semakin dekat saat membasuh setiap bagian tubuhnya, merasakan seberkas sinar berbeda dan merasuk pada sebuah kegairahan yang tak sama… mengetahui doa-doa yang harus dibaca saat wudu dan meresapi makna yang terkandung dalam pikiran saat merapalkan seraya mengarahkan segenap perasaan mulia itu pada Sang Pencipta, maka pada saat itu segenap diri akan mencapai ketinggian maknawiyahnya dan masuk pada sebuah tegangan metafisik yang mengagumkan.
Peringatan tentang Akhirat dalam Doa Wudu
Membaca doa saat berwudu adalah termasuk adab wudu. Dalam istilah fikih, adab berarti suatu amal (tindakan) yang jika dilaksanakan berpahala dan diterima sebagai tuntunan agama, tetapi tidak dianggap sebagai pengabaian jika tidak dilakukan. Yakni, amal yang jika dilakukan akan mendatangkan pahala, tetapi tidak dianggap sebagai dosa jika tidak dilakukan. Sebenarnya, doa-doa yang dibaca saat sedang berwudu tidak diriwayatkan langsung oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tetapi secara intinya diambil berdasarkan perkataan-perkataan mulia Beliau. Doa-doa tersebut sebagiannya ditambahkan oleh salafusshalih, sebagiannya dipendekkan, terkadang juga adalah doa-doa yang mereka ucapkan dengan kalimatnya sendiri. Akan tetapi, sudah pasti bahwa doa-doa tulus yang diucapkan dari lisan insan mulia yang dekat dengan Sang Haq dan merupakan suara hati dari pemikiran mereka yang luas akan menarik siapa saja yang membacanya pada iklim istimewa yang sangat berbeda, memenuhi hati dengan perasaan paling tulus dan menggerakannya menuju semangat kecintaan akan ibadah.
Ketika bersiap-siap mengambil wudu, seorang hamba yang tulus berlindung pada Allah dari godaan setan yang diusir dari hadirat Ilahi dan selamanya berada di luar Rahmat-Nya; sebagaimana yang kita lakukan setiap saat, pada saat berwudu pun dimulai dengan menyebut asma’ Rahmân dan Rahîm, satu-satunya Sang pemilik Rahmat yang Maha Luas dan yang Maha Pengasih. Lalu ketika mulai menyentuh air, kita dibawa pada kesyukuran kepada Allah dengan memikirkan kebesaran nikmat Islam, betapa ia menjadi sebuah sumber cahaya serta wasilah untuk selamat dari noda-noda maknawi, dan air telah menjadi wahana yang menyucikan diri kita dari kotoran jasmani.
Saat madmadah (berkumur ketika berwudu) kita berkata, “Ya Allah, kumohon bantuan-Mu untuk melafalkan Al-Qur’an yang mulia, mengingat-Mu dalam lubuk hati setiap saat, memuji-Mu dengan sepatutnya dan menjadi hamba-Mu dengan cara terbaik. Ya Allah, nasibkanlah aku untuk mereguk segarnya air dari telaga Rasulullah kelak sepuas-puasnya, meminumnya hingga takkan pernah lagi merasakan dahaga selamanya”, dengan penuh harap agar kelak bisa merasakan limpahan kesegaran air dari telaga Kautsar. Ketika ber-istinsyaq (menghirup air dalam-dalam di hidung) kita berdoa agar dimampukan menghirup aroma akhirat bahkan sejak masih berada di dunia sekali pun, mencium wangi surga dan dianugerahi rezeki untuk mendapatkan kenikmatannya. Sembari membasuh wajah, kita menyebutkan harap, “Ya Allah, pada hari ketika Engkau mencerahkan wajah para Sahabat-Mu dan memberikan nur atasnya, sementara wajah musuh-musuh-Mu menjadi kelam, maka berikanlah pula nur pada wajahku”, hingga sekali lagi mengarahkan pandangan kita menapaki lereng-lereng keberkahan Jumat.
Lalu bersamaan dengan dibasuhnya anggota tubuh lainnya, munajatkan pinta, mengharapkan agar dimudahkan pada perhitungan di Hari Penghisaban, menerima catatan amal dari sebelah kanan, terjaga rambut dan kulit dari panasnya api neraka, mendapatkan perlindungan Sang Maha Kuasa di Padang Mahsyar kelak ketika tak ada perlindungan selain himayah Arasy-Nya, menjadi hamba yang mendengarkan perkataan baik dan mengikutinya dengan cara terbaik pula sepanjang hidup, terbebas dari azab api neraka, tak tergelincir ketika menapaki jembatan sirat saat banyak manusia terperosok jatuh darinya dan tak tersesat di jalan menuju surga.
Ketika selesai berwudu, katakanlah: “Ya Allah, anugerahilah usahaku dengan limpahan ihsan, maafkan semua kesalahanku, ampuni dosa-dosaku, terimalah segala amal perbuatanku, berikanlah padaku sebuah perdagangan yang menguntungkan dan tiada menimbulkan kerugian apa pun.” Senantiasa hadirkan keinginan menjadi hamba yang terus-menerus bertobat dan menjadikan kebersihan sebagai bagian dari tabiat hingga menyucikan dirinya dari dosa-dosa… dan dengan demikian, menjadi insan yang selalu berada dalam pertimbangan-pertimbangan ini pada setiap tahapan wudunya, berjalan selangkah demi selangkah menuju sebuah konsentrasi sepenuhnya. (bersambung)
Referensi :
QS. Al-Maidah ayat 6
H.R. Muslim, Thaharah hadis no. 32
Discussion about this post