Pencapaian dan keunggulan umat Muslim di bidang ilmu kimia telah mengantarkan mereka menjadi para ilmuwan yang mampu menginovasi jenis racikan obat baru yang tak pernah ada sebelumnya. Mereka meracik obat-obatan itu dan mengelaborasinya dengan obat-obatan yang pernah dikenal sebelumnya dari khazanah obat-obatan India dan Yunani. Hal ini, menjadikan mereka ikut serta dalam inovasi ilmu farmasi dan memberikan andil besar di dalamnya.
Ilmu farmasi adalah ilmu kuno yang menyuguhkan pengetahuan herbal dan berbagai macam tumbuhan medik. Pada proses pencarian sumber makanan, manusia zaman dulu memulai pengetahuan mereka tentang herbal dan tumbuhan medik. Mereka meramu dan meracik berbagai macam bahan herbal dan tumbuhan medik, merasakan khasiat dan daya guna ramuan dan racikan itu sebagai awal mula pengetahuan dalam ilmu pengobatan.
Pengetahuan tentang obat-obatan dikembangkan oleh bangsa-bangsa kuno seperti Babilonia, Asyiria, Cina, India dan Mesir. Kemudian bangsa Yunani mengembangkan ilmu farmasi dengan baik dan mulai mengikis unsur kesakralannya, menjadi lebih logis dan ilmiah. Setelah Yunani, giliran kaum Muslimin yang tampil dalam pentas peradaban dunia.
Sumbangsih Ulama Muslim dalam Ilmu Farmasi
Para ilmuwan Muslim adalah pihak yang pertama kali menginovasi “Syrab”, yaitu minuman manis yang disarikan dari buah pohon Karnab dan dicampur gula. Inovasi ini kemudian diadopsi oleh bangsa Barat, yang hingga hari ini populer dengan istilah “Syrup”. Para ilmuwan Muslim juga terbilang sebagai pihak yang pertama kali membalut obat-obatan yang rasanya pahit dengan balutan dari bahan gula, agar si pasien dapat meminum obat dengan tanpa rasa pahit.
Para dokter muslim juga lihai dalam membuat serta merakit berbagai perban, obat bubuk, dan salep. Mereka telah sampai kepada pembuatan salep yang bisa mengering seperti salep-salep luka modern. Mereka menyimpan intisari ide serta hasil eksperimen mereka dalam buku khusus yang diberi nama “al-Aqrabadzin”, yang kemudian hari disebarluaskan dengan nama “Wasail Syafiha” (wasilah penyembuhan), yang sudah bisa dipakai dan dimanfaatkan semua orang.
Sejatinya, orang-orang muslim adalah pihak yang pertama kali membangun dasar ilmu farmasi. Mereka menambahkan racikan baru serta penemuan-penemuan ilmiah yang tidak ada sebelumnya. Mereka juga merupakan orang yang pertama kali menuliskan, serta membuat buku tentang kefarmasian. Salah satu sumbangan umat muslim terpenting dalam farmakologi adalah sistem kontrol obat-obatan (hisbah) yang dilakukan oleh seorang “muhtasib” (semacam badan pengawas obat-obatan). Hal ini karena sebagian ahli farmasi bukan seorang yang bisa dipercaya dan ikhlas bekerja, sehingga khalifah Abasiah Abdullah Al-Ma’mun (w. 218 H) memerintahkan agar diadakan uji amanah terhadap para farmakolog. Setelahnya, khalifah al-Mu’tashim (w. 221 H) juga memerintahkan agar memberikan izin bekerja hanya kepada ahli farmasi yang teruji keamanahannya. Sistem kontrol ini kemudian berpindah ke Eropa, dan sampai sekarang kata-kata “muhtasib” masih dipakai dalam bahasa Spanyol dengan tetap menjaga lafal arabnya. Pada masa khalifah al-Mamun sendiri, ada semacam sistem khusus yang dibuat untuk menguji para farmakolog untuk bisa mendapatkan izin bekerja, sebagaimana apotek-apotek waktu itu juga harus melalui pemeriksaan berkala. Sampai-sampai di setiap kota besar, terdapat Kepala Apotek yang dipanggil dengan nama “al-‘Attharin”, atau “al-‘Asyabin”.
Gerakan Penerjemahan dan Penulisan
Farmakolog muslim juga menerjemahkan literatur pengobatan dari bahasa India dan Yunani. Buku medik terpenting yang pernah diterjemahkan ke dalam bahasa arab adalah buku “al-Mufradat al-Thibbiyah al-Nabatiyah” (De Materia Medica) milik Pedanius Dioscorides (w. 90 AD). Orang yang pertama kali menerjemahkannya ke dalam bahasa arab dari bahasa latin adalah Stephen ben Basil pada masa khalifah al-Mutawakkil ‘ala. Sebagaimana gerakan ilmiah bangkit di Timur, gerakan penerjemahan serta penulisan juga tidak kalah bersinar di Al-Andalus. Para pemimpin Andalus dari mulai khalifah, amir, ulama, konglomerat, serta orang-orang kayanya sangat menaruh perhatian besar terhadap gerakan penulisan serta transmisi pengetahuan ke dalam bahasa arab. Nantinya, Al-Andalus akan melahirkan ulama-ulama besar dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan medis, terkhusus ilmu tumbuh-tumbuhan (herbal/botani). Seorang doktor Qordoba bernama Ahmad bin Muhamad al-Ghafiqi (w. 560 H), dalam bukunya “Jami al-Mufradat”, telah mengumpulkan aneka macam tumbuhan yang berasal dari Spanyol dan Afrika, al-Ghafiqi juga memberikan nama masing-masing tumbuhan dengan memakai bahasa arab dan latin. Buku lainnya yang berjudul “al-Adawiyah al-Mufradah” memiliki pengaruh yang sangat besar, sampai-sampai sahabatnya, ibnu al-Baitar, yang dianggap sebagai kimiawan dan farmakolog tersohor pada masanya, banyak sekali menukil dari buku tersebut. Al-Baitar lalu memilah aneka tanaman obat dan rumput-rumputan serta mencari asal muasal tanaman tersebut tumbuh. Tanaman serta rumput-rumputan ini sampai sekarang masih digunakan dengan memakai bahasa arab, setelah sebelumnya dituliskan memakai bahasa latin.
Tidak kita lupakan, bahwa sejak masa al-Ma’mun berkuasa (abad ke-9 M), toko-toko obat atau apotek berada dalam kontrol negara. Tak ketinggalan, para apoteker atau farmakolog juga harus melalui uji kelayakan kerja, guna mengetahui kemampuan dan profesionalitas mereka secara detail sehingga mendorong banyaknya eksperimen dan penemuan resep-resep baru.
Ada benarnya seseorang yang mengatakan bahwa sepertiga karangan umat muslim dalam bidang medis telah sukses menjadi penghalang penyakit dan penjaga kesehatan. Perhatian akan hal ini bisa didapati dalam buku karangan Ali bin Abbas yang bernama “al-Shina’ah al-Thibbiyah”, yang mengkhususkan sebanyak 31 pasal untuk mengupas cara-cara menjaga kesehatan, memanajemennya dengan olahraga, mandi, pola makan, minum, tidur, hubungan suami istri, serta udara bersih. Ia juga menyinggung tata cara mengatur kesehatan bagi orang yang memiliki cacat pada anggota tubuhnya atau penderita lumpuh, sebagaimana mengupas tips dan trik menjaga tubuh dari wabah penyakit, dan pandemik menular. Ali bin Abbas bahkan menyinggung penyakit-penyakit jiwa di samping berbagai macam penyakit lainnya.
Kebanyakan pada buku-buku karya sarjana muslim tersebut sudah sejak lama menyerukan bahwa menjaga kesehatan itu lebih penting dan jauh lebih bermanfaat daripada pengobatan.
Hubungan Farmasi dan Farmakologi dengan Kedokteran
Kedokteran Islam pada abad pertengahan telah memiliki banyak cabang yang ditekuni oleh setiap kelompok dokter. Pada waktu itu dokter akan menyiapkan sendiri obat-obatan miliknya sesuai pengetahuan serta eksperimennya. Barulah setelah semakin banyaknya jenis obat-obatan ‘kedokteran farmakolog’ dan ‘farmakolog kedokteran’ mulai terpisah.
Meskipun para apoteker muslim pada permulaan studi dan eksperimen mereka bergantung terhadap buku-buku kuno, tapi pada masa selanjutnya mereka mampu menambahkan unsur-unsur medis penting, baik botani, hewani, maupun komponen yang berasal dari tambang. Dengan praktik inilah, mereka telah lebih dulu menciptakan “al-Aqrabazin” atau “farmakologi” hingga sampai pada bentuknya yang ada sekarang.
Hal terpenting yang bisa menunjukkan kemajuan umat muslim dalam farmakologi adalah cara mereka dalam menguji bagian mana dalam tanaman yang lebih bermanfaat dan lebih bagus. Mereka juga meneliti kedetailan waktu kapan seharusnya obatan-obatan dari herbal dikumpulkan, atau dipetik, mempelajari cara penyimpanan obat sehingga efek serta dosisnya selalu terjaga. Mereka juga mempelajari tanda-tanda kerusakan pada obat, sebagaimana memfilter tanaman paling berkualitas yang dipakai dalam meracik obat herbal. Banyak dokter dan farmakolog yang lahir dari bidang ini, seperti Ibnu Sina, al-Tabari, Dawud al-Anthioki, al-Razi, al-Biruni, dan Ibnu al-Baitar.
Ibnu al-Baitar bukan saja berjasa dalam pemisahan ilmu botani medis dan menjadikannya cabang ilmu independen dari kedokteran, melainkan juga berperan dalam penemuan metode teruji yang diikuti dalam studi herbal dan tata cara pembagian komponennya. Metode itulah yang tidak diketahui peradaban barat sampai sekarang, kecuali yang berkaitan dengan penggunaan alat dan prasarana modern seperti scanner dan mikroskop.
Metode Empiris Berdasarkan Pengamatan
Lewat komparasi antara metode Ibnu al-Baitar dengan cara yang diikuti oleh ilmuwan modern, kita akan menemukan adanya sisi yang sama antara Ibnu al-Baitar dengan ilmuwan yang berpegang kepada metode empiris berdasarkan pengamatan. Hal ini bisa diambil dari makna “al-mulahazoh” (mengamati) yang ada pada karangan-karangan Ibnu al-Baitar. Menurut Ibnu al-Baitar, pengamatan memiliki pengertian menggiring panca indera dan logika kepada salah satu fenomena, guna mengungkap kebenaran fenomena tersebut, serta mengetahui penyebab terjadinya, bukan dengan hanya berdiri di hadapannya tanpa melakukan analisa ilmiah terhadapnya. Beliau mengungkapkan istilah ini dengan kata-kata “al-Musyahadah”.
Ibnu al-Baitar juga memakai metode empirisme atau eksperimen, yang ia sebut dalam bukunya dengan nama “al-Ikhtibar” (uji coba). Ibnu al-Baitar telah menerapkan metode eksperimen ini ketika ia memilah rumput-rumputan dan tanaman, guna menemukan komponen medisnya yang bisa mengobati aneka penyakit. Menurut Ibnu al-Baitar, eksperimen sangat terkait dengan spekulasi yang dianggap sebagai bentuk pencapaian ilmiah terbaik. Hal itu dilakukan dengan cara mendatangkan syarat-syarat dan spekulasi berinovasi, yang mana syarat itu dapat mengungkap adanya kesamaan pada kasus yang berbeda, dan kesatuan pada keanekaragaman sampel. Metode ini dilakukan ilmuwan atau pelaku studi ketika mengikat berjalannya suatu fenomena pada satu garis berkesinambungan.
Ibnu Sina sendiri menulis satu kitab (bahasan besar), khusus dalam bukunya “al-Qanun fi al-Thib” yang berkaitan dengan studi botani. Pada bagian Pertama, Ibnu Sina membaginya ke dalam 6 bahasan yang khusus mengupas dan memperkenalkan campuran obat-obatan sederhana dengan eksperimen dan analogi. Sementara bagian kedua dibagi ke dalam beberapa kaidah. Pada setiap pasal atau bagian, Ibnu Sina menuturkan tentang tanaman apa saja yang bisa menghasilkan obat. Ia memilih metode khusus dalam penyebutan tanaman-tanaman tersebut. Pertama, beliau akan menyebutkan esensi, baru kemudian mengupas komponen tanaman tersebut secara detail dengan komparasi tanaman sejenis, selain menyebutkan unsur-unsur serta sifat dasar setiap tanaman. Ibnu Sina tidak lupa untuk mengutip data-data yang telah dipaparkan ilmuan terdahulu semisal Dioscorides, Galen dan lainnya. Setelah itu, dibahas tentang uji coba, serta tabiat dan karakteristik setiap tanaman.
Dalam bukunya, Ibnu Sina menghimpun aneka macam tanaman yang sudah diketahui waktu itu. Tak lupa, Ia menyebutkan juga tabiat berbeda dari setiap tanaman baik berupa pepohonan, rerumputan, dan bunga-bunga dari satu ordo. Selain itu, disinggung pula macam tanaman serupa dan tidak serupa, sebagaimana menuturkan habitat asal tanaman, serta jenis tanah di mana tanaman tersebut tumbuh.
Dalam bukunya yang bernama “Ajaib al-Makhluqat”, al-Qazwani menyebut berbagai macam kriteria dan komponen setiap tanaman, sayuran, serta buah-buahan, sebagaimana ia membahas perihal pertumbuhan harian pada bunga. Botani medis merupakan ranah yang paling banyak diperhatikan oleh al-Qazwani. Sementara itu, Ibnu Sidah, dalam bukunya “al-Mukhashash”, menyebut karakteristik setiap macam rumput, pohon, truffle (sejenis jamur) dan sejenisnya, buah hanzal (colocynth, sejenis melon atau semangka), kapas, kurma, dan anggur. Ilmuwan botani lain seperti al-Idrisi, melakukan penyempurnaan atas apa yang tidak disebutkan oleh Dioscorides seperti terminalia kuning, ketapang, haritaki (terminalia Chebula), trengguli (kayu Raja), buah asam, alpinia, kapulaga, pala, salvia putih, salvia merah, kemukus, cengkeh, biji mulia (cyperus esculentus), mirtus (jambu-jambuan), grossulariaceae (kismis), mahalab (prunus mahaleb, St. Lucie cherry) dan lain-lain. Menurut al-Idrisi, Dioscorides tidak menyebutkan tanaman-tanaman tersebut bisa jadi karena Dioscorides tidak sampai mengetahuinya, atau tidak pernah mendengarnya.
Al-Idrisi juga tidak segan untuk menyebutkan referensi dan rujukan yang ia ambil, seperti buku-nya Galen, Hunain bin Ishaq, Ibnu Jaljal, atau al-Zahrawi. Selain itu, al-Idrisi memberi nama pada setiap tanaman dengan berbagai bahasa sesuai alfabet. Dalam buku al-Idrisi, nama tanaman dituliskan dengan memakai bahasa Suryani, Yunani, Persi, India, Latin, dan Berber. Tidak sampai di situ, al-Idrisi juga memberikan penjelasan dari setiap nama dan menjelaskan maksud yang dikandungnya.
Hal serupa dilakukan oleh ilmuwan lain semisal al-Dawudi, al-Dinawari, al-Gafiqi, al-Qurthubi, dan ibnu al-Mushowiri. Mereka menjelaskan ratusan macam tanaman seperti pohon siwak (arak), cordia (alsahl), ara (ficus), myrtus, orta (calligonum), bunga seruni, waluh, artemisia judaica, bunga hyacinth, umbi lapis, gaharu, dan lain-lain.
Para ahli herbal seperti ibnu al-Baitar, dan Dawud al-Anthioki, juga menaruh perhatian terhadap pendataan berbagai macam hewan yang bisa menghasilkan sesuatu untuk terapi.
Penulis : Prof. Dr. Barakat Muhammad Murad
(Kepala jurusan Filsafat dan Ilmu sosial, Fakultas Pendidikan Universitas Ain Shams, Mesir)
Discussion about this post