Berbicara tentang Fethullah Gülen memang tidak akan pernah selesai. Gülen tidak saja dikenal luas sebagai seorang ulama besar dan intelektual, tetapi juga sebagai aktivis perdamaian, penginspirasi yang visioner dan reformis. Satu lagi dan yang unik dari Gülen adalah bahwa ia juga seorang sastrawan dan penulis. Santos (2006) memuji kehebatan Gülen sebagai pemikir dan penulis kelas dunia yang langka karena pengaruhnya yang luar biasa dapat memotivasi orang lain dari berbagai belahan dunia untuk mengimplementasikan pemikirannya dalam kehidupan nyata.
Gülen adalah ulama intelektual, yang memadukan penguasaan agamanya dengan pengetahuannya tentang dunia. Gülen yang lebih dikenal masyarakat Turki sebagai Hocaefendi (baca: Hojaefendi yang berarti guru atau ulama yang dihormati) itu tidak saja berpengaruh besar dalam era kebangkitan Turki, tetapi juga mampu menginspirasi dunia dalam mewujudkan perdamaian melalui kerjasama dan dialog antar elemen masyarakat, lintas agama, dan lintas budaya.
Gülen menerima penghargaan dan pengakuan dunia internasional dari berbagai media prestisius bahkan ditetapkan sebagai salah satu dari 100 pemimpin yang paling berpengaruh di dunia. Visinya yang jelas dalam membentuk ‘Generasi Emas’ menunjukkan idealisme yang kuat. Sikapnya yang persuasif membuat berbagai kalangan dapat menerimanya. Sebagai pemikir besar abad 20 Fethullah Gülen berhasil menyandingkan tradisi dan modern secara harmonis dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat. Menurut Williams (2008), kombinasi antara keunikan, kemampuan dan kualifikasinyalah yang membedakannya dengan tokoh pembaharu lain. Lebih jauh Williams mengatakan, di antara konsep Gülen yang signifikan adalah mengoptimalkan potensi manusia melalui pendidikan dan dialog serta mengajak setiap individu menjadi insan kamil, manusia yang sempurna sebagai makhluk Tuhan. Pengaruh Gülen yang melintas batas samudera menempatkannya sebagai tokoh kharismatik yang merubah wajah dunia.
Pendidikan sebagai Perhatian Utama Gülen
Pencerahan Gülen melalui gerakan sosial dan pendidikannya mewujudkan insan kamil adalah perjalanan panjang yang sangat kompleks dan penuh tantangan. Dari berbagai literatur dapat dicermati bahwa Gülen memilih ranah pendidikan yang bersifat sukarela sebagai perhatian utamanya. Sukarela yang menjadi kata kunci bagi pencerahan Gülen merefleksikan adanya kesadaran, inisiatif, sekaligus partisipasi dari segala lapisan masyarakat untuk berjuang bersama, tanpa paksaan, dimana setiap individu dapat datang dan pergi. Pendekatan berbasis akar rumput dipilih Gülen untuk menghadirkan masyarakat yang madani, harmonis, dan demokratis melalui pendidikan inklusif yang menghilangkan sekat individualistis, menghargai hak asasi manusia, dan menegakkan supremasi hukum (Gülen, 2000). Salah satu cirinya adalah pemberdayaan yang humanis dan kebersamaan tanpa diwarnai ambisi pribadi, ambisi materi, ataupun ambisi politik (Williams, 2008).
Gülen berdakwah melalui nilai-nilai moral dan pendidikan untuk menghadapi tantangan masa depan. Keyakinan Gülen terhadap moralitas sebagai inti pengajaran Islam mempengaruhi pandangannya tentang urgensi pendidikan moral dan interaksi sosial dalam konteks budaya modern untuk bersikap baik kepada siapa pun dan kepada lingkungannya. Keunggulan Gülen mencermati dampak perkembangan era global dan pemahamannya yang mendalam tentang realita sosial juga menjadikan Gülen dan orang-orang yang terinspirasi dengannya mudah diterima berbagai lapisan masyarakat lintas bangsa. Nelson (2005: 1 dalam Robinson, 2008) mengungkapkan: ”Tak seorang pun dapat membantah bahwa dalam sistem pendidikan dan kemasyarakatan terdapat ruang hampa dari pengajaran praktis dan pengetahuan yang secara universal berterima, baik dari aspek kecakapan sosial, nilai, maupun etika moral.” Inilah yang sesungguhnya diperjuangkan Gülen bahwa keberagaman itu indah, saling menghormati, dan saling menguntungkan bila semua bangsa dan semua lapisan masyarakat berkomitmen untuk hidup berdampingan secara harmonis.
Gülen dan Dunia Pendidikan
Gülen merupakan salah satu pemikir Islam kontemporer terbesar yang memiliki visi yang jelas tentang pendidikan. Dari tulisan-tulisannya yang sangat inspiratif, seperti ”Pendidikan dari ayunan sampai ke liang lahat” (Education from cradle to grave), visi Gülen tentang pendidikan sepanjang hayat mulai dari kelahiran manusia sampai akhir hidupnya yang harus diisi dengan pendidikan. Gülen (2002) menyatakan, pendidikan merupakan aktivitas manusia terpenting untuk menjadi seorang manusia seutuhnya dan untuk memecahkan berbagai masalah hidup. Sebagai makhluk yang berpikir, kita harus mengaktifkan pikiran, nurani, dan spirit untuk mempelajari jagat raya dengan segala isinya dan berbagai hal yang terkait dengan agama sebagai panduan mempelajari ilmu pengetahuan.
Gülen meyakini tiga unsur utama yang membangun manusia menjadi insan kamil, yaitu kemampuan berpikir, spiritualitas, dan kesehatan jasmani. Seseorang tidak hanya mengisi otaknya dengan intelektualitas, menjaga kebugaran fisiknya dengan pendidikan jasmani, tetapi juga harus mengisi jiwanya dengan spiritualitas keimanan yang tinggi. Gülen (2002) mengatakan: ”Kemanusiaan merupakan bagian penting dari kemurnian emosi seseorang. Bila ada manusia yang punya niat buruk dan jiwanya dipenuhi egoisme sesungguhnya ia bukan manusia yang seutuhnya.” Manusia menurut Gülen tidak hanya terdiri dari jasad dan pikiran, tetapi juga spirit yang membutuhkan kepuasan. Tanpa spirit manusia tidak akan merasakan kebahagiaan yang sesungguhnya. Kepuasaan spiritual, kata Gülen, hanya dapat dicapai seseorang melalui pengetahuannya tentang Tuhan dan keimanan terhadap-Nya. Negara yang mengabaikan pendidikan anak mudanya akan gagal, budayanya akan terancam dan tergerus budaya asing.
Dalam konteks pendidikan formal, Gülen berpandangan jauh ke depan tetapi tetap membumi dengan merujuk kepada eksistensi sekolah, pendidik, dan peserta didik. Menurut Gülen (2002) sistem pendidikan yang baik harus mampu memotivasi siswa belajar tentang hal-hal yang berhubungan dengan apa yang dipelajarinya dan mampu meningkatkan mutu siswa dengan segala kebutuhan dan perkembangannya. Sekolah merupakan laboratorium, tempat belajar tentang segala hal yang terkait dengan hidup, kehidupan dan lingkungannya. Sekolah yang baik akan memberikan semangat belajar kepada peserta didiknya bahkan ketika mereka telah pulang ke rumah. Dengan kata lain, sekolah harus mampu memfasilitasi dan memotivasi peserta didik untuk belajar bukan hanya di sekolah tetapi juga dari alam yang terbentang yang dalam kata bijak Minangkabau disebut sebagai ‘Alam takambang jadi guru.’
Seorang guru di mata Gülen adalah sosok yang bijaksana, tahu banyak hal, menguasai berbagai keterampilan, dan memahami peserta didiknya luar dalam. Memang tidak ada proses belajar mengajar tanpa guru sehingga banyak yang menganggap bahwa tugas guru adalah mengajar. Padahal tugas utamanya yang sesungguhnya adalah mendidik. Ini sejalan dengan pemikiran Gülen bahwa seorang guru adalah pendidik yang mampu memfasilitasi peserta didik untuk belajar, bukan mengajar dengan hanya mentransfer ilmu pengetahuan.
Sekolah-sekolah yang terinspirasi dengan visi Gülen tersebar di seluruh dunia, merepresentasikan keragaman latar belakang peserta didik dari aspek keyakinan dan ras serta kekayaan bahasa dan budaya. Ini menunjukkan betapa pendidikan yang ditawarkannya sangat universal dan diterima masyarakat dari berbagai latar belakang. Hal yang sangat menarik, sekolah-sekolah ini bukan didirikan oleh Gülen atau atas inisiatifnya, tetapi merupakan sekolah swasta yang didirikan oleh orang-orang yang terinspirasi pada pemikiran Gülen bersama masyarakat setempat, termasuk yang ada di Indonesia.
Pada sekolah-sekolah yang terinspirasi Gülen yang jumlahnya ribuan di seantero dunia ini terjadi proses internasionalisasi. Mengapa internasionalisasi, bukan globalisasi pendidikan? Pondasi pendidikan adalah kepentingan nasional yang berakar dari budaya dan kearifan lokal. Budaya lokal harus dijaga dan dihargai. Sementara itu, globalisasi cenderung mengabaikan kearifan lokal karena tidak sesuai dengan standar yang berlaku secara global yang melihat pendidikan sebagai transaksi jasa dan bisnis. Sementara itu, lembaga pendidikan dengan visi internasional mengintegrasikan kepentingan nasional dan standar internasional ke dalam kurikulum pembelajaran dengan pemahaman lintas budaya dan menjunjung tinggi kesamaan derajat. Maka dalam konteks internasionalisasi pendidikan, menurut Englert (2006), mutu menjadi kata kunci, yang memenuhi kriteria berbagi pengetahuan, pengalaman, jaringan yang interaktif, mobilitas pendidik dan peserta didik, kerjasama lintas lembaga dan lintas negara, dengan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai budaya dan kearifan lokal.
Banyak peneliti yang melihat bahwa keberhasilan sekolah-sekolah yang terinspirasi Gülen terletak pada konsep pendidikannya yang berbasis pada moral dan karakter, keunggulan siswanya pada sains dan berkomunikasi dalam bahasa Inggris sebagai bahasa dunia. Selain itu juga secara konsisten berpartisipasi dalam promosi dan upaya pelestarian budaya lokal, meningkatkan jiwa nasionalisme, serta menumbuhkembangkan semangat berkompetisi dan mental juara di kalangan siswanya.
Filosofi Gülen tentang pendidikan yang bermakna juga menginspirasi Santos (2006), seorang Profesor dan Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan pada salah satu perguruan tinggi di Amerika Serikat, untuk mengusulkan reformasi pendidikan di AS. Dia mengamati masa kritis di AS di mana kehebatan akademik dan hasil belajar siswa tidak diiringi dengan kepedulian dan kehidupan yang harmonis antar-masyarakat lintas budaya dan lintas agama. Santos mengkritisi sistem desentralisasi pendidikan di negaranya yang sangat menentukan peluang kerja dan standar hidup seseorang, mengutamakan ketuntasan pendidikan tinggi, tetapi mengabaikan upaya pencapaian konsensus tentang apa dan bagaimana setiap anak harus belajar untuk mencapai hasil yang optimal.
Gülen berhasil menyandingkan kegiatan akademik dan pembangunan karakter dengan keteladanan sebagai perekatnya. Robinson (2008) mengakui, meskipun sulit memahami dengan akal sehat, formula Gülen untuk mengedepankan pendidikan karakter dan moral, nilai-nilai akademik dan intelektual ternyata dapat dirasakan pengaruhnya yang secara transenden masuk ke dalam karakter guru sebagai persona, lalu diteladani siswa secara konsisten dalam proses belajar mengajar. Di sini, konsistensi dan keteladanan guru menjadi kunci keberhasilan transformasi nilai moral dan karakter pemimpin masa depan.
Pernyataan Gülen sebagaimana dikutip pada awal tulisan di atas “Didiklah anak-anakmu bila ingin menyelamatkan masa depan” (Gülen, 2002: 37) menggambarkan pentingnya pendidikan sebagai investasi masa depan. Menurut Santos (2006), setidaknya ada lima hal yang menarik dari pendidikan Gülen. Pertama, pendidikan tidak hanya menjadi tanggungjawab sekolah, tetapi juga merupakan tanggungjawab berbagai pemangku kepentingan, mulai dari keluarga dan semua elemen masyarakat. Oleh karena itu, menurutnya sangat diperlukan pendidikan keluarga dan penguatan peran orangtua melalui berbagai kegiatan persatuan orangtua seperti dialog orangtua-guru, peringatan hari orangtua-guru, sampai kepada dialog antaragama dan gerakan perdamaian. Kedua, pendidikan moral dan karakter menjadi keniscayaan yang direpresentasikan dengan keteladanan orangtua, para guru, dan pemangku kepentingan. Pendidikan karakter membekali peserta didik menjadi warganegara yang baik dan menjadi teladan di tengah masyarakat. Penguatan pada pendidikan karakter dapat membantu pemerintah mengatasi berbagai kenakalan remaja yang marak terjadi terutama di kota-kota besar. Ketiga, keterlibatan orangtua dalam pendidikan anak dan dalam meningkatkan pendidikannya sendiri. Selain mendidik anak, orangtua juga bertanggung jawab terhadap keberlanjutan pendidikannya sendiri, baik melalui jalur pendidikan formal, maupun informal dan nonformal, agar ia mampu mendidik anaknya sesuai kebutuhan anak dan perkembangan zaman. Keempat, integrasi sains, teknologi, dan spiritualitas dapat menjadi penyeimbang kemampuan intelektual siswa, kesantunan perilaku, kematangan sikap mental, dan kesantunan religius. Kemampuan intelektual siswa memberi ruang untuk berdialog, mengembangkan pemahaman lintas budaya, lintas agama, saling menghormati, dan hidup harmonis. Kelima, dialog antaragama yang selama ini jarang dilakukan kecuali pada acara khusus dan formal, perlu dilakukan secara rutin dan terprogram untuk meningkatkan pemahaman, keserasian hidup berdampingan, dan saling menghargai.
Pandangan Gülen tentang Sains
Gülen (2002) memandang sains sebagai energi dan vitalitas untuk mengkaji hubungan manusia dan ilmu, bukan sebagai properti perorangan tetapi warisan umat manusia di dunia. Menurutnya, meski Barat cenderung mengingkari, sains berasal dan berkembang dari Timur dan merasuki seluruh kehidupan umat manusia di semua belahan dunia. Oleh karena itu, pengenalan sains harus dimulai dari masa anak usia dini, di semua negara.
Gülen (2004 dalam Fontenot dan Fontenot, 2008) menuliskan hubungan sains dan cinta dengan sangat indah: ”Adalah kecintaan manusia terhadap kebenaran yang memberi arah pada pengembangan sains. Ketika seseorang menjadikan sains sebagai senjata tanpa dilandasi dengan cinta akan kebenaran dan ketika ia terkontaminasi dengan keinginan tertentu, materi, fanatisme, dan kecurigaan ideologis, sesungguhnya ia sudah membunuh umat manusia.” Pandangan Gülen ini sangat relevan, tidak hanya untuk menggugah tetapi juga menekankan pada para ilmuwan dan pemimpin dunia agar menggunakan kecanggihan hasil penemuan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni bagi kemaslahatan umat dalam arti yang sesungguhnya.
Gülen dan Keteladanan Seorang Pendidik
Di antara sekian banyak pandangan Gülen yang menarik tentang pendidikan adalah prinsip keteladanan sebagai kunci utama keberhasilan pendidikan. Fethullah Gülen menjelaskan pentingnya pendidikan dan keteladanan perilaku moral sebagai alat untuk mencegah perpecahan, mendorong tradisi dialog lintas agama, dan membangun generasi emas di tengah dunia yang semakin sekuler ini (Agai, 2002 dalam Vaughan, 2006).
Gülen memuliakan karir pendidik melalui pesannya untuk guru dan calon guru: ”Melayani masyarakatmu dan kemanusiaan melalui pendidikan merupakan tugas setiap manusia.” Meski terkesan sederhana tetapi ternyata mampu ‘mendongkrak’ profesi guru menjadi pilihan meski dengan gaji rendah dan kurang mendapat pengakuan dibandingkan karir lain yang lebih menjanjikan masa depan cerah. Menurut Aslando & Cetin (2006 dalam Fontenot dan Fontenot, 2008), pesan ini terbukti mampu melahirkan tokoh kunci pembangun masa depan bangsa. Dalam bukunya Gülen (2004) menulis:
”Bila kita menginginkan anak-anak kita menjadi pemberani, kita tidak boleh menakut-nakutinya dengan cerita vampir, hantu, raksasa, dan sejenisnya. Kita harus membesarkannya melalui keteladanan agar ia menjadi individu yang kuat imannya dan kuat jiwanya agar ia mampu menghadapi berbagai tantangan. Rumah kita harus merefleksikan atmosfer religi dan pendidikan secara simultan sehingga dapat mengisi jiwa, hati, dan fisik anak kita dengan spiritualitas dan cita-cita.”
Gülen tentang Pemahaman Lintas Budaya Seperti dua sisi mata uang, pendidikan dan kebudayaan merupakan dua entitas yang berlandaskan pada satu konsep pembangunan manusia seutuhnya. Pendidikan menganut prinsip nirlaba karena pendidikan merupakan proses pemanusiaan manusia. Sementara itu, kebudayaan akan menunjukkan jati diri suatu bangsa.
Selain perdamaian, misi orang-orang yang terinspirasi Gülen adalah pencapaian cita-cita pendidikan yang berorientasi pada pemahaman lintas budaya melalui perilaku individu yang saling menghargai dan melepas sekat dan perbedaan bangsa, bahasa, dan keyakinan. Mereka memberdayakan manusia melalui pendidikan dan aktivitas interkultural untuk menjembatani gap antar manusia dan memperkuat hubungan demi perdamaian. Unal dan Williams (2000, 305-331) menulis, Gülen menyatakan perang terhadap tiga musuh besar masyarakat yaitu kebodohan atau ketidakpedulian, kemiskinan, dan perselisihan yang mengesampingkan pengetahuan, upaya dan persatuan. Kebodohan adalah masalah terbesar yang harus diperangi melalui pendidikan, kemiskinan harus diperangi dengan kerja dan kepemilikan modal, sementara perselisihan diperangi dengan berjuang melalui kesabaran, toleransi dan dialog.
Meski menganut moralitas dan sistem nilai Islam, aktivitas Gülen dan para relawannya berskala global, merambah lintas negara dan lintas agama. Agai (2002) mengatakan, nilai-nilai Islam bahkan bisa diterima di negara sekuler dan berbagai lingkungan agama seperti Katolik, Protestan, Hindu, Budha, dan lain-lain. Penerimaan pemikiran Gülen di berbagai lingkungan, menurut Vaughan (2006), juga didorong oleh filosofi Gülen yang pro-perdamaian, tindakan pengajaran yang kolektif, dan penguatan peran generasi muda dalam pengabdiannya sebagai seorang Muslim.
Belajar dari Gülen
Setidaknya ada empat hal yang dapat ditarik dari pemikiran dan pencerahan Gülen dalam konteks pendidikan. Pertama, pendidikan berlangsung sepanjang hayat, sehingga diperlukan suasana yang kondusif bagi semua lapisan masyarakat untuk terus belajar. Kedua, pendidikan berorientasi pada mutu: keunggulan intelektual, kesehatan yang prima, dan spiritualitas yang tinggi, agar masyarakat mampu menghadapi berbagai tantangan global. Ketiga, pemahaman lintas budaya sangat diperlukan agar hidup lebih bermakna di era global seperti sekarang ini. Keempat, pondasi pendidikan terletak pada penguatan karakter yang diwujudkan melalui keteladanan, komitmen, dan konsistensi semua elemen masyarakat dalam menjalankan kehidupan menuju masyarakat madani.
Masyarakat madani adalah masyarakat yang ideal, yang dicita-citakan setiap bangsa dimana setiap individu memiliki hak dan tanggung jawab serta berkontribusi sesuai dengan bidang keahlian dan pengalamannya, hidup dalam keselarasan, saling menghargai, bebas dari bentuk dominasi apapun. Masyarakat madani identik dengan sekumpulan orang yang memiliki kemampuan intelektual dan keharmonisan hidup di lingkungan yang heterogen. Masyarakat madani harus bebas dari berbagai penyakit, tidak hanya dari korupsi, narkoba, atau tindak amoral, tetapi juga harus bebas dari hipokrasi (kemunafikan) dan kleptokrasi (menjadikan jabatan dan kekuasaan sebagai milik pribadi) serta penyalahgunaan lainnya. Ketergantungan kita kepada bangsa lain dalam mengolah sumber daya alam dan hasil bumi serta pada penyediaan obat-obatan, haruslah diatasi dengan mendidik sumber daya insani melalui perguruan tinggi.
Lalu muncul pertanyaan, “Siapa yang bertanggungjawab mewujudkan masyarakat madani?” Jawabannya sederhana: tentu pemerintah dan semua elemen masyarakat. Tetapi masyarakat perguruan tinggi yang beruntung memiliki keistimewaan menjadi orang-orang terdidik dituntut untuk lebih bertanggung jawab karena ’keterdidikan’ merupakan prasyarat terwujudnya masyarakat madani.
Belajar dari Gülen Movement yang lebih dikenal sebagai Hizmet (Khidmat), perguruan tinggi Indonesia sebagai pusat gerakan moral juga harus mampu menghasilkan intelektual yang secara ikhlas mau me-‘wakaf’-kan diri dan kehidupannya untuk kemajuan lingkungannya dan menjadi motor perubahan menuju masyarakat madani. Inilah masyarakat ideal yang dicita-citakan semua bangsa, yang diupayakan oleh Gülen. Meskipun jalan masih panjang, masalah masih menumpuk, tantangan semakin berat, optimisme kita semua untuk menghadirkan masyarakat madani bagi bangsa yang kita cintai ini tentu tetap kita pelihara dengan doa dan kerja keras.
Penulis : Prof. Dr. Ilza Mayuni
Discussion about this post