Peradaban Indonesia klasik bukan saja dibangun di atas perkembangan perekonomian petani dan saudagar yang luar biasa produktifnya, akan tetapi pada peradaban itu terletak pula tradisi Hindu. Agama Islam ketika datang memasuki daerah sudah memiliki segi kebudayaan yang tinggi. Kecuali beberapa daerah di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi, Islam memasuki ranah politik, estetik, religius, dan sosial yang paling besar di Asia, yakni negara Jawa Hindu-Buddha, yang meskipun pada saat itu sudah mulai melemah, telah menancapkan akar-akarnya begitu dalam di masyarakat Indonesia (terutama di Jawa, meski tidak hanya di sana saja), sehingga pengaruhnya mampu bertahan bukan saja terhadap Islamisasi, melainkan juga terhadap imperialisme Belanda dan, setidak-tidaknya hingga kini, juga terhadap nasionalisme modern. Sastra yang bermuatan nilai-nilai agama merupakan pengungkapan jiwa dan sarana untuk melakukan ibadah pada Sang Pencipta. Sastra serta budaya Arab dan Persia yang datang ke Indonesia pada umumnya merupakan sastra yang bernuansa keagamaan. Untuk itu, sastra Islam merupakan sastra yang bersifat multi fungsi di mana bukan hanya merupakan pengungkapan jiwa semata, tetapi juga mengajarkan nilai-nilai transenden.
Beberapa karya sastra Indonesia yang dipengaruhi Persia, seperti kitab Menak yang ditulis dalam bahasa dan aksara Jawa, yang semula merupakan ceritera dari Persia. Dalam bahasa Melayu menjadi Hikayat Amir Hamzah. Kitab Menak pada dasarnya serupa dengan kitab Panji, perbedaannya terletak pada tokoh-tokoh pemerannya. Ceritera-ceritera Menak dalam arti Hikayat Amir Hamzah, biasanya ditampilkan pula dalam pertunjukan wayang golek yang konon dibuat oleh Sunan Kudus, wayang kulit disusun oleh Sunan Kalijaga, dan wayang gedog merupakan karya Sunan Giri.1
Masyarakat Jawa khususnya dan yang lainnya di Indonesia dapat menerima ajaran Islam seutuhnya melalui langkah-langkah dengan menggalakkan kembali bentuk upacara-upacara tradisional. Banyak pula ide sosial-politik yang merupakan penerapan kembali peraturan adat dalam kehidupan sehari-hari dan pendamaian antara adat dan prinsip-prinsip agama.2 Dengan demikian, seluruh ajaran Allah Subhanahu wa ta’ala dapat diterapkan melalui pranata budaya, sosial, politik, dan adat istiadat yang telah dilaksanakan secara turun-temurun.
Pada tahap pertama penyebarannya di Indonesia, Islam baru diperkenalkan dengan dasar-dasar Islam, yang terangkum dalam rukun iman dan rukun Islam. Pada tahap ini, didominasi dengan perkenalan ajaran Islam tentang hukuman dan balasan Tuhan terhadap perbuatan yang dilakukan manusia. Kiyai atau ulama dan Tuanku lebih intens memperkenalkan hukum ibadah terhadap pengikutnya. Oleh sebab itu pada tahap awal ini, tarikat berkembang dan menjadi trend eksklusif bagi penganutnya.3
Sementara itu, kajian terhadap yang lain dalam artian kajian-kajian penjabaran Islam sebagai ajaran yang holistik belum begitu menjadi perhatian, termasuk dalam pendidikan. Misalnya, dalam catatan Deliar Noer dikemukakan sebelum terjadinya pembaruan di Minangkabau, banyak ulama-ulama surau terfokus pada kajian-kajian klasik dan hafalan-hafalan, seperti menghafal sifat dua puluh dengan lantunan nyanyian sehingga enak didengar.4
Pada tahap ini pula, pergumulan pengamalan Islam dan adat kebiasaan pengikut Islam belum tegas dipisahkan, sehingga pada pengamalan masih dibayang-bayangi oleh sinkritisme. Kondisi ini, terjadi dimungkinkan karena Islam datang tidak dengan kekuatan militer, tetapi Islam datang dengan lunak dan damai. Di samping itu pada masa awal itu, literasi Islam lebih banyak dipergunakan untuk kepentingan magis, Islam seperti ini Menurut Gellner, lebih populer disebut sebagai folk Islam /low Islam atau Islam populer.
Perkembangan sastra Islam di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari dunia tasawuf yang berasal dari Arab dan Persia. Sastra profetik juga berkembang dengan banyak memuji kemuliaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Puncak perkembangan puisi yang bercorak al-mada’ih alnabawiyah atau disebut al-na’tiyah dalam sastra tampak dalam karya Jalaluddin Rumi (1207-1273). Dalam puisi na’tiyah yang awal, yang ditonjolkan pada umumnya ialah mukjizat, kesalehan, akhlak dan ketakwaan Nabi Muhammad. Maulana Jalaluddin Rumi al-Balkhi adalah seorang arif besar. Beliau merupakan sastrawan besar di abad ketujuh Hijriah. Salah satu karya masterpiece-nya adalah al-Matsnawi ditulis dalam bahasa Persia, yang isinya membahas tentang tanda keagungan dan kekuaasaan Allah, hakikat manusia dan banyak hal lainnya dan merupakan samudera filsafat dan kebijaksanaan, yang sarat dan penuh dengan berbagai hal pelik yang bersifat spiritual, sosial, dan irfan.”
Sejalan dengan berkembangnya sastra profetik, tradisi pelantunan al-mada’ih al-nabawiyah mengiringi kegiatan ritual keagamaan umat Islam Indonesia, terutama Jawa, dalam bentuk upacara slametan dengan berbagai macamnya. Fenomena ini sulit untuk dipungkiri bahkan kalau boleh dipaksakan, disimpulkan sastra profetik mengiringi peningkatan spiritualitas keagamaan umat Islam dalam era global yang penuh tantangan ini.5 Lebih jauh lagi dapat disimpulkan tradisi sastra profetik merupakan benteng terakhir kehangatan spiritual umat Islam di era global ini.
Selanjutnya puisi al-mada’ih baru mencapai puncak kematangannya pada abad ke-12 dan 13 bersamaan memuncaknya perkembangan tasawuf dan sastra sufi. Munculnya karya al-Busairi, Fariduddin ‘Attar, dan Majduddin Sana’i dalam bahasa Persia, al-mada’ih atau na’tiyah mencapai babakan baru, yaitu babakan sufistik, karena mendapatkan nafas tasawuf. Lahirnya karya mereka inilah yang membuat puisi al-mada’ih berkembang pesat dalam kesusastraan Islam. Khususnya karya al-Busairi, selain sangat populer, besar pengaruhnya terhadap munculnya berbagai bentuk kesenian rakyat Islam. Karya al-Busairi juga memberikan pengaruh yang tidak sedikit dalam metode dakwah Islam, pendidikan ilmu dan retorika (‘ilm al-badi’).
Karya al-Busairi (w.1296) menarik oleh karena gayanya lembut dan elegan, berisi panduan ringkas mengenai Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam. Disusun dengan gaya prosa berirama (sajak). Kasidah al-Burdah selain berakar pada tradisi sastra Arab lama, juga dekat dengan gaya Al Quran. Penyair Arab lain yang terkenal sebagai penulis sajak na’tiyah ialah Syekh al-Barzanji, seorang sastrawan abad ke-17. Karyanya al-Qasidah al-Barzanji (Kasidah Barzanji), di negeri-negeri Islam bagian Timur seperti India, Pakistan, Indonesia dan Malaysia, hampir menyamai popularitas al-Qasidah al-Burdah.
Sastra profetik ini berkembang dan memasyarakat dalam suasana yang demikian, tradisi slametan berkembang di Indonesia bersamaan dengan berkembangnya tradisi shalawat. Biasanya shalawat yang dibaca adalah diba’, berzanji dan Burdah. Demikian juga dalam slametan khitanan, perkawinan, mauludan, pindah rumah dan seterusnya.
Dalam konteks dunia Melayu-Indonesia, tarekat sejak awal telah memainkan peran penting, terutama karena Islam yang masuk ke wilayah ini pada periode awal adalah yang bercorak tasawuf, sehingga karenanya tarekat sebagai organisasi dalam dunia tasawuf senantiasa dijumpai di wilayah manapun di Melayu Indonesia ini. Tarekat Syattariyah merupakan salah satu jenis tarekat terpenting dalam proses Islamisasi di dunia Melayu-Indonesia, sejauh ini diketahui bahwa persebarannya berpusat pada satu tokoh utama, yakni Abdur Rauf al-Sinkili di Aceh. Melalui sejumlah muridnya, ajaran Tarekat Syattariyah kemudian tersebar ke berbagai wilayah di dunia Melayu-Indonesia. Di antara murid-murid al-Sinkili adalah Syaikh Burhanudin dari Ulakan, Pariaman, Sumatera Barat dan Syeikh Abdul Muhyi dari Pamijahan, Tasikmalaya, Jawa Barat. Keduanya berhasil mengembangkan Tarekat Syattariyah di wilayahnya masing-masing. Di antara karakteristik yang menonjol adalah ajaran Neosufisme yang menegaskan adanya pendekatan antara ajaran syariah dan ajaran tawasuf. Dalam konteks tradisi intelektual Islam di dunia Melayu-Indonesia, ajaran tawasuf dengan corak ini telah menjadi wacana dominan sejak awal abad ke-17, sehingga mempengaruhi hampir semua karya-karya ke-Islaman yang muncul, khususnya di bidang tasawuf.
Di Nusantara Syeh Abdurrauf menjadi guru utama tarekat ini, dan ia masuk dalam silsilah tarekat yang dibacakan penganut tarekat Syattariyah sampai saat ini. Syeh Abdurrauf yang menulis karya berjudul Umdatu l-Muhtajin ila Suluk Maslaki l-Mufradin memiliki pengaruh besar dalam penyebaran Islam di Nusantara. Ia memiliki murid dari berbagai daerah. Di Sumatera Barat ajaran-ajaran tasawuf al-Sinkili dibawa oleh muridnya Syaikh Burhanuddin Ulakan. Berkat muridnya ini Tarekat Syattariyah menjadi tarekat yang sangat berpengaruh di sekitar daerah Pariaman. Sementara di Sulawesi ajaran-ajaran tasawuf al-Sinkili dibawa oleh Syaikh Yusuf Tajul Khalwati Makassar. Di kepulauan Jawa Syattariyah disebarkan oleh muridnya Syaikh Abdul Muhyi. Ia belajar kepada alSinkili pada saat singgah di Aceh dalam pejalanannya ke Makkah utuk menunaikan ibadah haji. Tarekat ini juga berkembang hingga ke Tanah Melayu yang dibawa oleh muridnya, Abdul Malik bin Abdullah.6
Namun sebelum Abdul Rauf Singkil, telah ada seorang toko sufi yang dinyatakan bertanggung jawab terhadap ajaran Syatariyah yang berkembang di Nusantara lewat bukunya Tuhfat Al-Mursalat Ila Ar-Ruh An-Nabi, sebuah karya yang relatif pendek tentang Wahdat al-Wujud. Ia adalah Muhammad bin Fadlullah al-Burhanpuri, yang juga salah seorang murid Wajihuddin.
Abdul Rauf sendiri yang kemudian turut mewarnai sejarah mistik Islam di Indonesia pada abad ke-17 ini, menggunakan kesempatan untuk menuntut ilmu, terutama tasawuf ketika melaksanakan haji pada tahun 1643. Ia menetap di Arab Saudi selama 19 tahun dan berguru kepada berbagai tokoh agama dan ahli tarekat ternama. Sesudah Ahmad Qusyasyi meninggal, ia kembali ke Aceh dan mengembangkan tarekatnya. Kemasyhurannya dengan cepat merambah ke luar wilayah Aceh, melalui murid-muridnya yang menyebarkan tarekat yang dibawanya.
Syekh Yusuf Al-Makasari (lahir 1036 H) mengungkapkan paradigma sufistiknya bertolak dari asumsi dasar bahwa ajaran Islam meliputi dua aspek, yaitu aspek lahir (syari’at) dan aspek batin (hakikat).
Sejarah juga mencatat perjalanan spiritual Syekh Abdul Muhyi yang telah mengalami puncaknya. Hal ini bisa dipahami karena seperti yang diungkapkan oleh Martin Van Bruinessen, bahwa para tokoh sejarah Islam di Nusantara khususnya, biasa melakukan pendekatan supranatural dalam rangka meningkatkan kharisma mereka. Gua besar di Pamijahan (Tasikmalaya Selatan) sebagai tempat Syech Abdul Muhyi melakukan ‘riyadhah spiritual’, dan salah satu pusat penyebaran tarekat Syathariyah di Pulau Jawa adalah contoh dari hal tersebut.
Puisi al-madaih yang paling monumental adalah karya penyair Mesir al-Busairi (w.1296) berjudul AlBurdah. Al-Maliki menyebut al-Busairi sebagai Qa`id Rabithah al-Madihin (Pemuka Himpunan Pemadah), sedangkan Zaki Mubarak mengemukakan tiga alasan mengapa karya al-Bushiri al-Burdah dinilai monumental. Pertama, karena al-Burdah adalah puisi yang bagus ditinjau dari kaidah penulisan puisi, baik segi isi maupun bentuknya. Kedua, karena al-Burdah adalah puisi yang paling populer dalam jenisnya. Ketiga, karena al-Burdah adalah sumber inspirasi dari sekian banyak al-madaih yang ditulis orang sesudahnya.7
Di Indonesia, Al-Burdah diajarkan di pondok pesantren dan telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa Nusantara, antara lain Indonesia, Jawa, dan Sunda. Melalui para alumni pondok pesantren inilah al-Burdah menyebar ke masyarakat luas. Di samping Al-Burdah terdapat banyak al-madaih yang sangat populer di Indonesia, meskipun dari segi kualitas kesasteraannya jauh di bawah al-Burdah, antara lain karya al-Barzanji dan al-Dibai. Terdapat pula bait-bait puisi al-madaih yang tersebar dalam tradisi lisan, yang penulisnya tidak dikenal, dan sebagian teksnya tidak lagi utuh, sehingga tidak dapat dipahami maknanya. Setelah era al-Busairi, tidak banyak penyair besar yang menulis al-madaih al-Nabawiyah. Namun, tidak berarti bahwa penulisan al-madaih telah berhenti. Al Madaih al-Nabawiyah yang banyak diamalkan umat Islam karena identik dengan shalawat. Ada yang berbentuk puisi (syi’r), prosa (natsr) dan ada yang berbentuk doa atau dikenal dengan shalawat. Tiga unsur ini kemudian semuanya dikenal dengan tradisi shalawat.
Bentuk pujian yang diungkapkan oleh para penyair dalam genre al-Madaih al-Nabawiyah memang menggunakan bahasa yang penuh dengan ungkapan metaphorik dan simbolik agar kesempurnaan pribadi Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bisa terungkapkan dengan jelas. Hal seperti ini tentunya bisa dimaklumi karena Al Quran sendiri ketika menyebut nama Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam seringkali diiringi dengan berbagai ungkapan pujian yang elok, agar pesan Nabi sebagai manusia pilihan yang harus diteladani bisa tergambarkan.
Tradisi shalawat yang terungkap dalam lantunan sastra profetik baik yang berupa puisi (syi’r) maupun rawi (natsr) memiliki dimensi-dimensi yang sangat kuat dalam pengembangan dan peningkatan spiritual keagamaan umat. Di antara dimensi-dimensi tersebut adalah sebagai berikut:
Pertama, Nasihat dan Petunjuk. Al-Madaih banyak didominasi oleh nasehat petunjuk dan hikmah kenabian. Sehingga banyak diminati oleh orang-orang yang mencari kebenaran dan hikmah kehidupan. Apalagi hadis-hadis Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memang sarat dengan nasihat dan petunjuk sehingga ketika tradisi al-mada’ih al-nabawiyah hadir dengan corak yang sama, mendapat perhatian dan motivasi yang kuat yang diterima umat Islam.
Kedua, I’tiqad atau kepercayaan akan faedah almadaih, shalawat dan syafa’at. Di kalangan masyarakat berkembang keyakinan akan syafa’at dan tawasul kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, juga berkembang keyakinan akan faedah besar dari mimpi bertemu Nabi. Masyarakat memiliki keyakinan kuat akan kekeramatan mimpi bertemu Nabi. Syair-syair Madaih identik dengan mimpi bertemu Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, syafaat dan tawasul. Kepercayaan ini tercermin pada madah burdah karya al-Busairi yang diyakini dapat menyembuhkan berbagai penyakit. Para penyair madaih yakin bahwa penyusun sastra madaih akan mengalami ketenangan hidup mendapat barakah dan syafa’at dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, mendapat penghormatan dari kaum Muslimin dan pahala dari Allah Subhanahu wa ta’ala.
Ketiga, Pengembangan dan Kecintaan kepada sastra dan bahasa Arab. Shalawat dan al-Madaih yang dilantunkan dalam bahasa dan sastra Arab mengantar umat Islam yang non Arab seperti di Indonesia, Malaysia dan lain-lain agar berusaha mengerti dan mencintai bahasa dan satra Arab yang indah dan penuh barakah.
Keempat, Teladan kepada Nabi. Dimensi terpenting dari al-madaih adalah menghidupkan bentuk penteladanan kepada Rasulullah. Semua umat menyadari betapa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah tauladan tertinggi bagi umat manusia, menyamai atau melebihi Rasulullah adalah tidak mungkin. Tetapi, seseorang berusaha untuk mengikuti dan meneladani Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam membuatnya akan hidup dengan lurus, bahagia, tolong- menolong dengan saudaranya, damai, dan sentosa.
Kelima, Wawasan dan Pengetahuan. Dengan menggunakan al-madaih para sastrawan dapat menyampaikan dan menjelaskan ajaran-ajaran agama dan mengajak manusia untuk mengikuti dan menjalaninya. Kalau pun mereka tidak setuju minimal mereka tahu. Dalam madahnya misalnya al-Sharshari menjelaskan perjalanan manasiknya dari Irak, serta menjelaskan syarat-syarat dan rukunnya dan masyair haramnya. Puisi ini yang jelas ingin menjelaskan kepada mereka yang belum mendalami manasik haji dari Irak, agar mereka mengetahuinya dan memudahkan pelaksanaan hajinya kelak.8
Secara teoritik, sastra sufistik mulai dibincangkan kembali sejak akhir 1970-an. Hal ini karena Abdul Hadi Widji Muthari bersama Sutardji Calzoum Bahri, Danarto, serta sejumlah sastrawan lain menyuarakan semangat “Kembali ke Akar, Kembali ke Sumber”. Gerakan ini menjadi ilham bagi para sastrawan dalam bersastra. Meskipun identik dengan Islam, Abdul Hadi menekankan bahwa sufisme tidak bisa dipandang sebagai dogma agama saja. Setiap orang juga harus melihat sastra sufisme ini sebagai kebudayaan universal dari segi peradaban, kebudayaan, dan estetika.9 Dari sini jelas bahwa sastra al-madaih terus berlanjut dengan berkembangnya tarekat modern di masa kini.
Penulis : Prof. Dr. Amany Lubis
Referensi :
- http://bahasa.kompasiana.com/2011/09/19/sastra-Islam-nusantaradari-klasik-sampai-modern-396742.html 6/2/13
- AM. Hadisiswaya, Filosofi Wahyu Keraton: Rahasia di Balik Cerita, Simbolis,dan Lambang Keraton Jawa, (Klaten: CV. Sahabat, 2009).
- Lihat Taufik Abdullah , Islam di Asia Tenggara, Perspektif Sejarah.Jakarta: LP3ES, 1989, 194.
- Deliar Noer, Gerakan Modernisasi Islam di Indonesia 1900-1942. padapembahasan Asal Usul dan Pertumbuhan Gerakan Modern Islam, Gerakan Pendidikan dan Sosial.
- Wildana Wargadinata, ”Tradisi Sastra Profetik dan PeningkatanTradisi Keagamaan”, http://www.jurnallingua.com/edisi-2008/8-vol-1-no-1/57-tradisi-sastra-prophetik-dan-peningkatan-tradisi-keagamaan. html 6/2/13
- Rian Hidayat Abi El-Bantany, “Melacak Tarekat Syattariyah”. http://ensiklopebanten.wordpress.com/
- Zaki Mubarak, Al-Madaih al-Nabawiyah. Beirut: Dar al-Jil, 1992, 171-172.
- http://www.jurnallingua.com/edisi-2008/8-vol-1-no-1/57-tradisi-sastraprophetik-dan-peningkatan-tradisi-keagamaan.html 6/2/13
- http://entertainment.kompas.com/read/2008/06/10/1412352/abdul.hadi.wm.dalam.sastra.sufistik 6/2/13
Discussion about this post