Usiaku sudah 5 tahun, aku adalah anak terkecil dari tiga bersaudara dengan seorang kakak perempuan, dan seorang kakak laki-lakiku. Kami juga memiliki seekor kucing lucu bernama si Manis. Sebagian besar waktuku kuhabiskan dengan bermain bersama si manis kucingku di bawah pohon-pohon di halaman rumah kami. Kami adalah keluarga yang berbahagia.
Ketika pagi datang, ayah berangkat bekerja, kakak laki-laki dan perempuanku berangkat ke sekolah, sedangkan aku tinggal di rumah bersama ibu. Setiap hari kutunggu datangnya malam dengan penuh harapan, saat keluargaku lengkap berkumpul lagi. Sebelum maghrib kakak-kakakku datang. Setelah menyelesaikan pelajaran mereka, kami melewati waktu yang sangat menyenangkan di taman.
Ketika magrib ayah pulang, kami pun menikmati hidangan makan malam, mengobrol, menonton televisi, kemudian berangkat tidur. Demikianlah waktu dan hari demi hari berlalu. Kira-kira 2 tahun sudah masa itu berlalu, suatu hari setelah ayah pulang, seperti biasanya kami bersama-sama menikmati makan malam. Seakan merasakan ada sesuatu yang berbeda dari sikap ayah, Ibu pun bertanya:
– Ada apa, kok sedari tadi diam saja?
– Ada sesuatu yang ingin ayah sampaikan, kira-kira apa pendapat kalian?
– Hari ini Ayah menerima sebuah tawaran pekerjaan, tapi Ayah belum memberi keputusan. Jika Ayah menerimanya, rumah kita akan dipindahkan. Dari segi materi pun keadaan kita akan semakin baik.
– Ayah, bagaimana dengan sekolah kita?
– Aku akan mengirimkan kalian ke sekolah yang kualitasnya lebih baik. Kakak-kakakku menjadi bersemangat karena akan pergi ke sekolah yang lebih bagus, mereka menerima keputusan itu dengan senang hati. Ayah pun menolehkan pandangannya pada Ibu dan menanyakan pendapatnya:
– Kalau menurut Ibu, bagaimana? Ibu terlihat sedikit ragu, meninggalkan rumah dan lingkungan yang sudah ditempati bertahun-tahun ini terlihat sebagai sebuah pilihan yang sulit. Ada kekhawatiran jika kami tidak bisa beradaptasi di daerah yang baru. Ayah menatapku:
– Mawar, kamu belum berkata apapun. Apa pendapatmu? Saat itu yang muncul di benakku adalah halaman rumah kami yang indah dan kucing kami yang lucu.
– Ayah, bisakah kita membawa kucing kita?
– Nak! Belum tentu rumah baru kita itu ada tamannya. Kalau kita tinggal di apartemen, sulit untuk memelihara hewan peliharaan. Oleh karenanya kita tak bisa membawanya. Kita bisa menitipkannya pada saudara kita di sini. Kalau kamu merindukannya, kita tinggal kunjungi mereka. Kamu pasti akan menyukai rumah barumu.
Setelah mendengar jawaban ayah, dadaku menjadi sesak. Aku menyadari kalau aku tak memiliki banyak hak untuk berbicara. Hatiku sedih karena akan berpisah dengan kucing dan taman tempat kami bermain, kampung, dan teman-teman sepermainan. Tetapi aku tak bisa mengungkapkannya kepada siapapun.
Setelah sebuah diskusi yang panjang akhirnya diputuskan bahwa kami akan pindah rumah. Hari-hari kulewati dengan bermain bersama Si Manis di taman. Si Manis, seakan tahu bahwa kami akan pergi meninggalkannya, ia menatap wajah kami dengan bola matanya yang hitam, ia tak mau berpisah dari sisiku. Dan akhirnya hari itu tiba. Segala persiapan untuk pindah telah siap. Saat truk yang dipanggil ayah tiba, aku sedang bersama si Manis. Si Manis terlihat tak banyak bergerak dan seperti kehilangan keriangannya. Seakan hatinya sedang menangis dan berkata: “Jangan pergi!” Tapi tak ada yang bisa kulakukan. Kami akan pergi setelah menitipkan si Manis ke tetangga kami, Bibi Halimah. Sambil menangis aku berlari ke arah truk yang telah menunggu kami. Aku tak menoleh lagi ke belakang.
Akhirnya kami tiba di rumah baru itu. Sebuah kompleks apartemen besar berlantai 10 dan kami akan menempati salah satu apartemen di lantai 5.
Hari demi hari pun berlalu. Kami mulai terbiasa dengan rumah dan lingkungan baru kami. Ayah seperti biasa pergi bekerja, tapi kali ini semakin keras ia bekerja, hingga sering pulang terlambat. Karena kelelahan setelah makan malam ia langsung pergi tidur. Kami semakin jarang berbincang bersama ayah.
Ibuku sering mengeluh karena ayah jarang memperhatikan kami karena selalu pulang kelelahan. Kakak-kakakku sering pergi keluar. Mereka berteman dengan banyak teman baru. Terkadang mereka datang ke rumah bersama teman-teman barunya. Aku tidak terlalu menyukai teman-teman baru mereka. Semuanya terlihat egois, dan sombong. Ibu sering memperingatkan mereka, Ibu ingin mereka berteman dengan anak-anak yang berakhlak baik, yang hormat pada sesama, anak-anak yang mendapat tarbiyah dalam keluarganya. Akan tetapi sayangnya ibu gagal membuat mereka mendengarkan kata-katanya.
Hari-hari kami di rumah baru mengalir deras seperti air. Waktu bersekolah pun tiba. Aku pun akan bersekolah untuk pertama kalinya. Aku sangat bersemangat. Pena, penghapus, buku tulis, dan tas baru telah dibeli. Ibu mengantarkan ke sekolah dan menitipkanku kepada Ibu guru. Aku sangat menyukai sekolah dan teman-temanku. Guru-guru pun sangat menyukaiku.
Tak terasa masa satu semester sekolah berakhir. Hari itu kami akan menerima rapor. Di awal pagi seperti biasa aku akan berangkat ke sekolah. Aku sempat melirik kakak perempuanku, Nuraini seperti kehilangan keriangannya. Ibu pun merasakan hal itu dan bertanya: “apakah kamu baik-baik saja putriku?” Ayah yang sedang sarapan pun kaget mendengar pertanyaan ibuku tadi. Kak Nuraini menjawab dengan sedikit ragu:
– Tidak ada apa-apa kok. Aku baik-baik saja. Melihat sepertinya tidak ada apa-apa ayah tidak berkata-kata lagi. Hari itu kami mengambil rapor dan ini adalah rapor pertamaku. Aku amat senang karena nilaiku di semua pelajaran amat bagus.
Sesampainya di rumah segera kutunjukkan raporku kepada ibu. Ibu terlihat sangat senang. Sembari menciumku, beliau mendoakanku agar kesuksesan ini bisa berlanjut.
Sore hari kakak laki-lakiku datang. Satu nilainya kurang bagus. Oleh karenanya ia terlihat sedih. Ibuku menghiburnya agar tidak terlalu sedih sambil memotivasi agar memperbaiki nilainya itu di semester berikutnya.
Malam telah beranjak gelap saat terdengar suara bel. Kak Nuraini datang, kepalanya terlihat tertunduk. Rapor yang ada di tangannya diletakkan di atas meja tanpa berkata apapun ia masuk ke kamarnya.
Ibu menyadari kesedihan kakak setelah melihat nilai-nilai di rapornya yang amat buruk. Beberapa saat kemudian ayah pulang. Ibu menjelaskan semuanya dan Ayah terlihat sangat terkejut karena sebelumnya Kak Nuraini adalah seorang siswi berprestasi. Dengan nada sedikit keras Ayah memanggil Kakak:
– Nuraini, cepat kemari! Kakak baru datang setelah ayah memanggilnya beberapa kali. Sambil marah ayah bertanya?
– Apa maksud dari nilai rapor ini? Kakakku menjawab dengan gaya yang tak pernah terbayang olehku sebelumnya:
– Akan kuperbaiki semester depan Ayah, tidak usah terlalu diributkan!
– Yakin kamu bisa memperbaikinya?
– Ya, tenang saja! Ayah tak terlalu memaksakan munculnya pertanyaan susulan. Malam itu makan malam berlalu dengan sunyi. Semua anggota keluargaku tampak muram.
Setelah malam itu, dari hari ke hari Kak Nuraini semakin berubah. Banyak waktu dihabiskannya di luar. Sikapnya kepada kami pun berubah. Jika ditanya kemana ia pergi, ia akan menjawab sekenanya. Terkadang ia menggunakan kata-kata kasar yang tak aku pahami maknanya. Ibu sering menggingatkannya namun ia malah menertawakan sambil meremehkan kami. Sikapnya ini membuat hati ibuku hancur.
Suatu saat ketika Ibu memperingatkannya, kakak menimpalinya dengan kasar. Ia mengumpat Ibu:
– Aku adalah orang modern.
Aku akan melakukan apapun yang kusuka. Mengapa kalian menggangguku, apa yang kalian pahami? Dasar kalian ketinggalan zaman!
– Putriku, itu bukan modern namanya, tapi sebuah kekeliruan. Sebelum kamu mempelajari hal yang lain, pahami dulu bagaimana cara menghormati orang yang lebih tua. Baru setelah itu ajari ibu apa itu artinya modern!
Ibu sangat terpukul mendengar kata-kata tadi. Kakak masuk ke kamarnya sambil membanting pintu. Ini bukanlah pertengkarannya dengan ibu yang pertama kali. Ibu, segera menceritakan kejadian-kejadian itu kepada ayah. Demi mendengar penjelasan Ibu, ayah pun jadi marah besar.
Ibu kembali menunjukkan jiwa besarnya. Beliau meminta ayah agar bersabar dan tidak memojokkan putrinya itu. Kali itu Ayah mau mendengar nasihat Ibu. Beliau pun berusaha untuk menasihati putrinya itu dengan lebih lembut:
– Nak, apa yang engkau katakan pada ibumu bukanlah sikap yang tepat. Tidak ada hak bagimu untuk berkata seperti itu pada ibumu. Beliau telah mengandung dan melahirkanmu. Kepadanya kamu tidak boleh menggunakan kata-kata kasar.
– Kenapa aku tidak punya hak? Aku orang bebas dan merdeka. Tidak ada satu orang pun yang berhak mencampuri urusanku. Aku bebas melakukan apa saja yang kuinginkan.
Ayah sangat terkejut mendengar jawaban itu. Dengan kemarahannya dia menampar wajah putrinya itu. Hukuman larangan keluar rumah selama seminggu pun ditetapkan bagi kakak.
Dua hari kemudian ada telepon berdering ketika ibu tidak ada di rumah. Aku yang mengangkat teleponnya. Si penelepon ingin berbicara dengan seseorang bernama Nia. Belum sempat aku mengatakan bahwa tidak ada orang yang bernama Nia di rumahku tiba-tiba kakak datang dan merebut gagang telepon dari tanganku. Dengan dialog yang pendek mereka membuat janji untuk bertemu. Aku berkata kepada kakak:
– Apakah namamu Nia? Tanyaku. Sambil marah ia menjawab:
– Ya, Nuraini nama orang kuno. Aku tidak suka nama Nuraini. Jadi kuganti saja.
Ia bersiap untuk pergi keluar. Aku terkejut karena setahuku ayah melarangnya keluar rumah. Saat kutanya kemana ia akan pergi, Ia tak berkata apapun. Kemudian ia mengambil sesuatu dari tas Ibu. Sambil mengatakan: “Aku keluar sebentar. Nanti kembali lagi” tukasnya lalu keluar dari rumah .
Aku menceritakan kejadian tersebut setibanya Ibu di rumah. Ibu segera melihat tasnya. Dilihatnya uang dan beberapa perhiasan emas sudah tak ditempatnya lagi. Setelah ditelepon ayah segera pulang ke rumah.
Hari telah larut malam namun kakak belum juga pulang. Kami menelepon semua orang yang kami kenal untuk menanyakan apakah ada yang tahu kakak dimana. Tapi hasilnya nihil. Seakan bumi terbelah dan kakakku tertelan ke dalamnya. Walaupun kami sudah melapor pada polisi tetapi hasil yang diinginkan belum juga kami dapatkan.
Keesokan harinya kakak belum juga pulang. Harapan kami semakin menipis. Tiga hari kemudian datang telepon dari kepolisan. Setelah pembicaraan singkat di telpon dengan polisi itu Ayah terlihat muram, hatinya hancur.
Dengan penuh rasa penasaran Ibu bertanya kepada ayah apa yang sebenarnya terjadi. Mata ayah tiba-tiba menjadi nanar, air mata itu mengalir tak tertahankan. Karena ibu terus memaksa akhirnya ayah mulai berkata-kata:
– Mereka menemukan jasad seorang gadis yang tewas karena over dosis akibat narkoba. Mereka ingin aku datang melihat dan mengidentifikasinya. Aku akan berangkat sebentar lagi. Ayah tergopoh-gopoh mempersiapkan segala sesuatu sebelum pergi. Sedangkan ibu terus menangis terisak-isak.
Setelah ayah pergi, kakak laki-lakiku berusaha menghibur ibu. Sedangkan aku yang baru pertama kali mendengar kata narkoba hanya termangu tanpa paham apa yang sedang terjadi. Satu jam kemudian ayah pulang. Ia hanya membisu tak berkata apapun. Sepertinya jasad itu adalah jenazah Kak Nuraini. Ibu tak mampu bertanya kepada ayah hanya air mata yang tak berhenti mengalir di kedua pelupuk matanya.
Ya, Kak Nuraini telah meninggal. Ia telah tiada. Tidak akan pernah pulang lagi ke rumah. Perasaan seluruh anggota rumah diliputi rasa sedih dan duka yang mendalam. Kak Nuraini harus membayar harga yang amat mahal dari keputusannya yang salah dalam memilih teman dengan nyawanya sendiri. Ia harus meninggalkan dunia ini di usianya yang masih amat muda.
Aku mengutuk mereka para pembuat dan penjual narkoba. Juga mereka yang telah tega menyeret orang-orang tak berdosa di sekitarnya ke jurang yang sama. Narkoba adalah racun. Mereka menggunakan narkoba hanya untuk mendapatkan kenikmatan sesaat tanpa memikirkan akibatnya. Kehidupan mereka pun berakhir dengan tragis. Sekarang aku telah berusia 18 tahun, tepat seperti usia Kak Nuraini dulu saat ia meninggal. Kejadian buruk itu tak pernah bisa kulupakan, dan tak akan pernah kulupakan. Kak Nuraini telah menjadi korban dari narkoba dan pertemanan yang buruk. Sekarang aku lebih memahami peristiwa naas itu. Aku ingin agar para pemuda dan pemudi bisa menghormati kedua orang tuanya, tidak merendahkan mereka, dan memperhatikan nasihat-nasihatnya.
Andai saja Kak Nuraini memperhatikan nasihat ibu, andai saja ayah sedikit lebih memperhatikan kami, barangkali dia masih ada di tengah-tengah kami. Aku sadar bahwa dunia ini adalah sebuah perjalanan kehidupan… di sepanjang perjalanannya terpampang sejumlah masalah, rintangan, parit dan lubang yang menganga, serta bukit-bukit terjal. Demikianlah, saat ujian yang satu hilang, yang lain akan datang. Sepanjang kehidupan senantiasa membutuhkan perjuangan.
Salah satu diantara rintangan itu adalah narkoba, salah satu bencana terbesar bagi kemanusiaan yang dasarnya amat dalam, dan lebarnya tak berhingga. Aku berharap seluruh umat manusia bisa terselamatkan dari bencana besar akibat narkoba ini…
Penulis: Dr. Ali Ünsal
Discussion about this post