Secara makna, kata ‘percaya’ bisa diartikan sebagai: perasaan terikat dan yakin atau percaya tanpa adanya rasa takut, ragu dan khawatir. Kata tersebut memiliki pula tingkatan makna seperti meyakini, ketulusan, kejujuran, kebajikan, reputasi (nama baik), fungsi karakter dan kompetensi, berkomitmen dan berusaha memenuhi komitmennya. Rasa percaya berkaitan langsung dengan kata i’tibar atau reputasi. I’tibar yang berasal dari bahasa Arab dimaknai sebagai keadaan dihormati, dihargai dan dipercaya, digunakan pula dalam makna kehormatan dan gengsi. Jika rasa percaya diri adalah tujuannya maka i’tibar (reputasi) adalah sarananya. Jika kita memiliki i’tibar atau reputasi maka kepercayaan akan berhasil kita dapatkan pula. Ada ungkapan umum yang sering kita dengar: “Orang yang sangat berkredibilitas!” Ungkapan ini setara dengan rasa percaya atau keyakinan yang berarti orang tersebut: “dapat diberi amanah uang, diajak berkerja sama, dipercayakan sebuah pekerjaan, atau dapat menghasilkan sebuah karya bersamanya”.
Sedangkan konsep rasa percaya diri secara makna sebenarnya merupakan sebuah pemahaman yang sekular dan merupakan sebuah konsep yang bersumber dari falsafah barat. Dalam bahasa Inggris diungkapkan sebagai “self-confident”, “self-reliant” dan “self-worth”. Makna-makna positif yang ingin ditanamkan kepada seorang anak melalui konsep percaya diri pada budaya sekuler, pada dunia keyakinan dan budaya kita diungkapkan dalam bentuk-bentuk yang berbeda. Misalnya seseorang yang menyadari bakat-bakat dan talenta yang dikaruniakan kepadanya, menjadikan Sang Pencipta sebagai titik sandaran dalam perjalanan hidupnya, agar tidak jatuh pada keputus asaan ketika menghadapi kesulitan-kesulitan dan musibah yang mungkin terjadi. Menunjukkan sikap tegap yang dihasilkan dari ketawakalan dan sikap penuh kepasrahan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas segala kejadian buruk yang menimpanya, tidak meninggalkan sikap penuh tekad dan ketekunan, serta menjaga kesabaran dan ketenangan dirinya.
Rasa Percaya Dilihat dari Aspek Perkembangan Positif
Fitrah Manusia Jika manusia diumpamakan seperti sebuah mobil maka ego yang ada dalam diri manusia adalah seperti udara yang ada pada ban mobil tersebut. Saat seorang anak dilahirkan keadaan egonya seperti ban mobil yang masih kempes, tidak ada udaranya. Seorang anak membangun rasa percaya pada tingkatan yang berbeda-beda sesuai dengan pengalaman keberhasilan dan kegagalan anak tersebut. Pada anak kelompok usia 0-9 tahun, rasa egonya harus dipompa dengan udara pada tingkatan yang cukup sambil tetap mempertimbangkan struktur watak yang ada pada dirinya agar anak tersebut dapat menggunakan talentanya secara maksimal dan bisa benar-benar memiliki ikhtiar pada masa dewasanya. Pada dirinya terdapat gaya hidup yang produktif, etos kerja dan usaha keras.
Pada masa puber dan setelahnya, takaran rasa memiliki dan keberhasilan yang ditanamkan pada ego seorang anak harus diawasi secara ketat agar anak tidak cenderung pada narsisme, jangan sampai ia mengira bahwa segala sesuatu itu datang dari dirinya sendiri dan anak tersebut harus menyadari bahwa semua keberhasilannya sesungguhnya bersumber dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Rasa percaya diri yang ditambahkan pada rasa ego kita dengan pengalaman-pengalaman yang dialami hanya pada usia 0-9 tahun adalah sebuah hasil dan membutuhkan sebuah proses pendidikan yang panjang. Hal ini bukanlah sebuah kekhususan yang dapat diraih hanya dengan beberapa sesi pendek berdurasi tiga-empat jam saja. Rasa percaya diri yang membentuk sebuah jaminan penting yang dapat membela hak-hak dan kebebasan individu pada usia dewasanya kelak memiliki kaitan dengan konsep-konsep harga diri, reputasi, keberanian yang matang dan martabat pada dunia keyakinan kita.
Pada saat ini, kondisi yang diistilahkan sebagai rasa percaya diri atau mempercayai dirinya sendiri ini, pada hakikatnya adalah sebuah potensi untuk mengusahakan atau mengupayakan sesuatu. Agar seorang anak dapat menerapkan potensi ini secara utuh maka dibutuhkan sebuah pola asuh yang akan menghasilkan individu yang kokoh dan berkarakter. Mengalami atau merasakan ‘suatu perasaan berhasil atau sukses’ adalah sebuah pendorong pada rasa percaya diri. Apabila seorang anak dapat berkata: “Saya bisa melakukan ini”, maka hal itu berarti ia mencoba mengatakan “aku memiliki bakat ini” maka itu artinya rasa percaya diri telah berhasil didapatkannya. Untuk itu perlu diberikan peluang baginya. Agar rasa ke-‘aku’an dan karakter yang sehat dapat tumbuh pada seorang anak maka sangatlah penting untuk merasakan padanya rasa kesuksesan melalui kegiatan-kegiatan, pengembangan bakatnya melalui program-program tertentu dan mendengarkan keluhannya pada masa usia taman bermain, taman kanak-kanak dan sekolah dasar. Pada proses penanaman nilai-nilai, apresiasi dan pengembangan rasa percaya diri anak dilakukan adalah sangat penting bahwa kita harus memberikan kesempatan baginya untuk melakukan sesuatu, mendorongnya melakukan hal yang mampu dilakukannya dan tidak seketika membantu saat ia gagal, menunggu hingga ia berusaha sendiri, dan memberikan kesempatan padanya untuk mengusahakan kemampuan dirinya terlebih dahulu.
Jika seorang anak suka pada aktivitas-aktivitas kelompok dan berinteraksi dengan anak atau orang lain, nyaman pada lingkungan sosial, menunjukkan usaha untuk memecahkan permasalahannya, dapat mengungkapkan ketidaksenangan dan ketidakpuasannya tanpa meremehkan atau merendahkan anak lain maka semua hal ini adalah indikasi yang menunjukkan rasa keakuan dan karakter (rasa percaya diri yang tinggi) yang bervalensi tinggi. Anak-anak dengan tipe ini akan lebih memilih mengatakan ‘aku belum mengerti’ ketimbang mengatakan ‘aku bodoh’. Mereka sangat paham pada kelebihan dan kekurangannya. Mereka akan memandang kehidupan dengan harapan dan rasa percaya.
Sedangkan pada anak-anak yang rasa percaya dirinya rendah, mereka akan memandang kesulitan hidup sebagai sumber kekhawatiran dan keresahan, serta kesulitan dalam memecahkan permasalahannya. Seringkali mereka mengucapkan : “aku tidak bisa melakukan apapun dengan benar”, pada dirinya sendiri. Jika dimintai saran mereka akan bersikap pasif, tertutup dan ragu-ragu. Saat berhadapan dengan sebuah permasalahan yang sulit maka reaksi pertamanya adalah: “Aku tidak bisa, atau aku tidak mungkin berhasil.”
Jika seorang anak yang secara umum cukup berhasil namun memilliki kesulitan pada pelajaran matematika, lalu ia melakukan generalisasi yang salah dan fatal bagi dirinya sendiri dengan merasa: ”Aku tidak bisa dalam pelajaran matematika. Aku murid yang tidak baik. Aku bodoh”, maka guru dan orang tua harus segera melakukan pendekatan yang positif pada anak tersebut seraya mengatakan: “Kamu adalah seorang murid yang baik dan akan semakin berhasil. Akan tetapi khusus untuk matematika kamu harus sedikit lebih rajin dan menunjukkan usaha lebih giat. Untuk itu kita bisa belajar bersama-sama.” Seorang anak yang terus-menerus dikatakan “Kamu tidak bisa apaapa!”, maka walaupun anak tersebut adalah seorang anak yang sangat berbakat sekalipun maka lambat laun dia benar-benar akan bersikap seperti tidak memiliki kemampuan apapun.
Berdasarkan sebuah penelitian, ditunjukkan bahwa anak-anak dari pasangan yang selalu berkelahi, tidak merasa dalam rasa aman, selalu dipukul, disingkirkan, atau dijauhkan, maka anak-anak tersebut beresiko lebih tinggi untuk memiliki rasa percaya yang rendah. Jika dilihat dari perspektif ini maka kita harus benar-benar tulus ketika menunjukkan perhatian dan kasih sayang pada anak; sebisa mungkin untuk menjauhkan diri dari kasih sayang dan perhatian bersyarat. Daripada terus mengevaluasi perkembangan rasa percaya dan hasil kerja anak maka lebih baik memuji usaha dan keuletan yang ditunjukkan anak tersebut. Selain itu, anak-anak harus dikenalkan pada contoh-contoh sosok dan pahlawan dari jiwa dan akar budaya kita sendiri sambil mengajarkan mereka belajar bercermin dari lingkungannya.
Beberapa tes dapat mengukur seberapa kemampuan seseorang dalam menghadapi dan mengatasi kesulitan hidup, mengetahui tingkat kemampuan untuk merasakan nilai-nilai kebahagiaan, tingkat perkembangan tanggung jawab individual dan rasa akuntabilitas ini bermanfaat pula untuk memahami apakah nilai-nilai yang hadir sebagai bagian dari karakter seperti izzatul nafs (harga diri pribadi), martabat dan i’tibar (reputasi) yang tinggi atau rendah, baik ataupun tidak. Dari sudut pandang ini, rasa percaya diri mengambil posisi penting sebagai nilai-nilai (rasa percaya diri, penghargaan pada diri sendiri, kepekaan sosial, kesabaran, toleransi, cinta kasih, rasa hormat, perdamaian, suka tolong menolong, kejujuran, memegang teguh kebenaran, keadilan, terbuka pada pembaharuan, cinta tanah air, mengembangkan dan melestarikan nilai-nilai budaya) yang harus dicapai pada program pelajaran ilmu-ilmu sosial di sekolah dasar.
Terdapat tiga busana kepercayaan (kepercayaan atau keyakinan pada Allah, pada dirinya sendiri dan pada orang-orang di sekitarnya) yang harus dikenakan oleh seorang anak ketika ia tengah berjuang menghadapi kesulitan hidup. Tiga busana kepercayaan yang harus dijahit dan dikenakan pada masa kanak-kanak ini, akan sangat penting untuk mengarungi perjalanan kehambaan secara sehat yang bersandar pada tauhid, rasa berserah diri, dan tawakal pada saat ia dewasa kelak. Bagi setiap anak, harus diberikan rasa percaya atau rasa aman dalam dosis yang tepat bagi struktur sifat dan perangainya karena ia hanya bisa menggunakan bakatnya secara proporsional dengan adanya rasa percaya tersebut. Jangan sampai seorang anak merasa bahwa dia memiliki bakat khusus, merupakan orang yang terpilih dan pilihan sehingga membuatnya terlampau menggelembungkan ego dan rasa percaya dirinya. Sebaliknya jangan pula ia memandang dirinya sebagai anak yang tak berharga, tidak punya kemampuan, tidak bisa apa-apa, tidak punya keberanian dan penakut. Bahwasanya perkembangan rasa percaya diri pada pendidikan anak seperti sebilah pedang yang memiliki dua ujung tajam sehingga harus dipantau dengan sangat hati-hati.
Rasa Percaya Diri pada Orang Dewasa
Rasa percaya diri pada orang dewasa mengungkapkan adanya rasa ego dan ke-akuan yang tinggi sehingga menjadi dasar bagi narsisme, kesombongan dan keangkuhan. Oleh karenanya hal ini memungkinkan semakin besarnya resiko adanya tabir penghalang antara seseorang dan kepercayaan serta keyakinannya pada Allah. Seseorang yang terlalu berani jika tidak dikontrol maka kemungkinan terbukanya pintu syirik yang terselubung akan lebih besar.
Nilai-nilai moral yang meninggalkan agama, akhlak dan budaya mencoba menutupi kekurangannya dengan pemompaan dan pemujaan egoisme, serta pemusatan ke-akuan. Ideologi-ideologi “perkembangan pribadi” yang merupakan praktek dari penemuan ego diri menyuguhkan sebuah spiritualitas palsu bagi manusia. Dengan demikian, di saat seseorang yang memikul sebuah rasa percaya diri yang penuh dengan kesyirikan dan keangkuhan akan mengira bahwa segala sesuatu ia raih karena kekuatan dan ilmu yang dimilikinya sendiri
Sebaliknya manusia ber-kalbu yang selalu melihat. segala sesuatu dengan keimanan hakiki akan memiliki rasa hormat pada Sang pencipta seraya berkata: “Semua ini berasal dari kebaikan dan karunia Rabbku, sedangkan kesalahan dan kekurangan adalah dari nafsuku”. Dengan berserah diri, bertawakal, berdoa dan munajat kepada Allah ia terus berjalan untuk mencapai derajat manusia sempurna atau insan kamil. Orang seperti ini akan selalu mengikuti sebab-sebab, tidak akan meninggalkan sikap antisipasi dan selalu semaksimalnya menggunakan kehendaknya pada segala hal yang harus dikerjakan dan kewajibannya dalam batasan seorang hamba.
Setelah semua ini dilakukan maka mereka akan menunjukkan penyerahan diri dan tawakal yang sepenuhnya kepada Allah, menjaga keyakinannya dengan pemahaman: “Segala sesuatu datang dari-Nya dan akan kembali pada-Nya.” Seseorang yang telah mendapatkan iman yang sejati akan berani menghadapi apapun yang ada dihadapannya. Karena sumber dari rasa percaya atau keyakinan adalah Allah yang kekuatannya tiada tanding dan Maha Berkehendak. Jika seorang manusia telah mengenal dan mengetahui pemilik dari segala sesuatu, melihat bahwa keberhasilan adalah pemberian-Nya, maka ia telah pula menemukan kunci Kesuksesan. Tanpa perlu berkata: “Akulah yang melakukan, akulah yang membuatnya”, justru sebaliknya menyadari siapa sebenarnya Dzat yang menyebabkan ia dapat melakukan atau membuat sesuatu, bersikap seimbang sehingga tidak membuat dirinya terperosok pada rasa percaya diri yang menjadi pintu dari lubang egonya sendiri.
Manusia yang mengambil kekuatan seperti ini di belakangnya tidak akan pernah menemui kesulitan yang tidak bisa dipecahkan, tidak akan ada pintu yang tertutup untuknya, dan tidak ada halangan yang akan menyurutkan langkahnya. Selain itu manusia yang berfikir dan bersikap dalam arah seperti ini ketika berhasil mendapatkan tujuannya akan bersyukur. Ia akan ingat siapakah Dzat yang telah membantunya mencapai tujuannya tersebut. Rasa syukur ini akan pula mengantarkannya pada nikmat-nikmat lain yang tidak disangkanya.
Jika semua usaha terbaik telah dilakukan namun hasil yang inginkan belum tercapai maka hal inilah yang disebut sebagai ‘takdir’ dan kemudian kita seharusnya berlindung di balik hakikat dari perkataan:
“Marilah kita lihat apa yang Allah takdirkan pada kita karena apapun yang ditakdirkan-Nya pastilah indah”, lalu kembali bangkit. Mencari tau apa saja kesalahan kita, mengambil pelajaran berharga darinya dan tidak mengkritik takdir. Kembali menfokuskan diri pada tujuan dan mulai kembali bekerja. Jangan pernah bersikap pesimis, terjatuh dalam sikap gentar atau kehilangan semangat, bahkan jangan sampai putus asa dengan kehidupan. Ketahuilah, bahwa pastilah ada kebaikan atas segala sesuatu yang menimpa kita. Jika dilihat dari aspek ini maka kita tidak boleh terlalu bersenang-senang atas keberhasilan dan kesuksesan kita sebaliknya justru mengingat kelemahan dan ketidak berdayaan diri sembari berlindung pada pintu Rahmat-Nya yang tak terhingga dan masuk di bawah lindungan ke-Mahaan-Nya.
Apa yang saat ini disebut-sebut sebagai rasa percaya diri, yang pada dunia keyakinan dan moralitas kita dikaitkan dengan konsep-konsep seperti kematangan, kompetensi, rasa ego yang positif, berkarakter, luwes, berjiwa wira usaha, agresifitas, tekun, bisa mengambil keputusan, dan keberanian, sebenarnya berkaitan dengan sebuah budaya positivisme dan sekulerisme. Konsep yang ditanamakan agar rasa rendah diri dan ketidak puasan tidak berkembang sejak dari masa kanak-kanak ini, sebenarnya bisa digunakan pada masa usia tersebut dalam batasan sebagai hubungannya dengan keimanan dan rasa tawakal kepada Allah. Akan tetapi pada usia dewasa, dengan adanya karakter yang telah terbentuk, kematangan dan pengalaman hidup maka tidak lagi kompatibel untuk terlalu sering menyebutkan kata percaya diri pada masa usia ini. Tanpa kita sadari, ketika kita berusaha menumbuhkan rasa percaya diri pada anak kita ternyata yang kita gelembungkan justru rasa ke-akuan atau rasa ego pada dirinya. Jika kita benar-benar ingin menjadikan mereka anak-anak yang berjiwa berani, berharga diri, memiliki kemauan dan berpikiran sehat maka baik orang tua maupun guru harus menunjukkan usaha keras untuk sering bertemu dan bertukar pikiran serta memberikan pendidikan yang dibutuhkan bagi anak pada dasar konsep yang disepakati bersama.
Pada akhirnya, ternyata baru kita pahami bahwa kita harus berpikir sekali lagi ketika sedang menulis atau berbicara tentang konsep rasa percaya diri. Rasa percaya diri yang dapat mengantarkan manusia pada keberhasilan ternyata jika berlebihan dapat pula mengantarkannya pada egoisme. Untuk dapat menjaga keseimbangannya, haruslah terlebih dahulu melewati pemahaman tentang hikmah mengapa rasa ‘ego’ itu sendiri diciptakan. Oleh karena itu, sebelum memberikan kesempatan pada ego yang akan membukakan pada kita pintu kemalasan, kita harus memiliki tujuan agar dapat meraih keadaan ke-akuan yang menghasilkan, meraih yang bersyukur, yang bertafakur, memancarkan rasa cinta dan kasih sayang pada sekelilingnya, serta selaras dengan hikmah penciptaan.
Penulis: C. Hamza Aydin
Discussion about this post