Aceh pada masa lampau merupakan satu wilayah kerajaan dan mencapai kemakmurannya pada abad ke-17 di bawah pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Namun jauh sebelumnya, sekitar abad ke-15 kerajaan Aceh mulai menampakkan geliatnya sebagai sebuah kerajaan Islam di Nusantara. Hal ini ditandai dari banyaknya pedagang asing yang berdatangan dan singgah ke Aceh. Kerajaan Aceh Darussalam yang dibina oleh Sultan Ali Mughayat Syah mulai menunjukkan kemajuannya pada masa pemerintahan Sultan Alauddin Ri’ayat Syah yang bergelar Al-Kahar, memerintah pada tahun 1537-1571.1 Pada masa pemerintahan Sultan Al-Kahar, kerajaan Aceh meliputi wilayah yang luas hingga ke Pariaman, Sumatera Barat. Selama memerintah, Sultan Al-Kahar memprioritaskan perdagangan dan jaminan keselamatan serta melancarkan serangan untuk menumpas Portugis yang menguasai Selat Malaka.
Keberadaan Portugis di Selat Malaka dipicu oleh faktor ekonomi. Selat Malaka yang terletak di ujung utara pulau Sumatera merupakan pintu gerbang yang menghubungkan Nusantara dengan dunia luar sehingga siapapun yang berhasil menguasai Selat Malaka artinya menguasai perdagangan. Komoditas perdagangan yang menjadi primadona para pedagang, terutama yang berasal dari Eropa saat itu adalah lada, kapur barus, kemenyan, dan emas yang memiliki nilai tinggi di pasar Eropa.
Kegiatan Portugis di Selat Malaka oleh Sultan Aceh dianggap sebagai sebuah ancaman. Hal ini memunculkan reaksi dari Sultan Aceh yang melancarkan serangan terhadap pihak Portugis, namun sayangnya serangan-serangan tersebut seringkali gagal. Hal ini mendorong Sultan Al-Kahar untuk mencari bala bantuan yang dapat membantunya mengusir Portugis dari Selat Malaka. Salah satu kesultanan yang dipilih oleh Sultan Al-Kahar untuk membantunya mengusir Portugis dari Selat Malaka adalah Kesultanan Turki Utsmani. Muncul satu pertanyaan menarik di sini, sebenarnya alasan apakah yang mendorong Sultan Al-Kahar meminta bantuan kepada Kesultanan Turki Utsmani dan bukan pada kerajaan lainnya?
Sebelum kedatangan bangsa Portugis, pedagangpedagang asing dari India, Persia, dan Arab sudah terlebih dulu mendatangai Selat Malaka untuk melakukan transaksi dagang. Malaka yang tumbuh di awal abad ke-15 berhasil menggantikan Pasai sebagai pusat perdagangan. Ketika Portugis merampas Malaka pada tahun 1511, para pedagang dari India, Cina, dan Arab akhirnya memindahkan pusat perdagangan ke wilayah lain, salah satunya adalah Aceh.2 Akibat dari pemindahan pusat perdagangan tersebut adalah semakin naiknya pamor lada sebagai komoditas penting. Kondisi ini mendorong Sultan Al-Kahar untuk mengusir Portugis dari Selat Malaka yang memonopoli perdagangan laut di kawasan tersebut.
Tindakan monopoli perdagangan laut yang dilakukan oleh Portugis dapat dikatakan sebagai tindakan penjajahan pertama di kawasan Nusantara, sehingga tidak mengherankan jika Sultan Al-Kahar berniat mengusir Portugis dari Selat Malaka. Langkah pertama yang dilakukan oleh Sultan Al-Kahar adalah menjalin kerjasama dengan kerajaan-kerajaan yang berada di sekitar kawasan Selat Malaka. Usaha ini gagal karena kebanyakan dari kerajaan sekitar tersebut telah menjalin kerjasama dengan Portugis sebelumnya. Tidak adanya dukungan dari dalamlah yang pada akhirnya menyebabkan Sultan Al-Kahar mencari dukungan dari luar untuk menyingkirkan Portugis. Sultan Al-Kahar memilih Kesultanan Turki Utsmani untuk menjadi sekutunya dalam mendukung rencananya mengusir Portugis. Permintaan Kesultanan Aceh disetujui oleh Kesultanan Turki Utsmani. Hubungan kerjasama Aceh-Turki Utsmani semakin erat pada masa pemerintahan Sultan Firmansyah yang menghubungi Sinan Paşa (dibaca Pasha, kedudukan setingkat jendral), wazir (menteri) dari Yavuz Sultan Selim I pada tahun 1516.
Turki Utsmani pada masa lalu merupakan Kesultanan Islam yang mampu bertahan hingga abad ke-20 sebelum akhirnya berubah bentuk menjadi Republik.
Kesultanan Turki Utsmani pada abad ke-15 memegang peranan penting dalam bidang perdagangan, perekonomian, pendidikan, politik dan sosial budaya dunia. Sehingga tidak mengherankan jika pengaruh dan kekuasaan Turki saat itu meliputi wilayah yang luas hingga ke luar wilayahnya sendiri. Pada saat itu pengaruh Turki meliputi Yunani, Serbia, Bulgaria, Bosnia dan Herzegovina, Pulau Mora, Laut Hitam yang akhirnya dirubah menjadi Danau Turki dan Kekhanan Krimea. Pada masa pemerintahan Yavuz Sultan Selim I (1512-1520), kekuasaan Kesultanan Turki meliputi Mesopotamia, Mesir, Suriah, dan Arabia. Kondisi ini terus berlanjut hingga masa pemerintahan Kanunî Sultan Süleyman (Pembuat Undang-undang Sultan Sulaiman Agung), putra Sultan Selim I, di mana wilayah kekuasaannya membentang hingga Teluk Persia, dari Ukraina hingga Mesir.
Luasnya pengaruh kekuasaan Turki Utsmani ini menjadi daya tarik tersendiri bagi Sultan Al-Kahar untuk menjalin kerjasama. Guna mewujudkan niatnya tersebut, Sultan Aceh mengirim utusan ke Turki untuk meminta perlindungan politik dan dukungan untuk mengusir Portugis dari Selat Malaka. Utusan Kesultanan Aceh berangkat ke pusat pemerintahan Turki Utsmani, yang sebelumnya dikenal dengan sebutan negeri Rum, membawa berbagai hadiah dan salah satu di antara hadiah tersebut adalah lada yang me-reka bawa sebagai bingkisan dari Aceh. Namun di perjalanan banyak halangan dan rintangan yang harus dihadapi sehingga utusan Kesultanan Aceh kehabisan lada yang dibawanya sebagai hadiah bagi Sultan Turki dan hanya menyisakan lada yang terdapat pada sicupak3 yang mampu dipersembahkan bagi Sang Sultan. Utusan Aceh yang sampai di istana Kesultanan Turki Utsmani, disambut dengan baik dan Sultan Sulaiman bersedia membantu Kesultanan Aceh serta menghadiahi Sultan Aceh dengan sebuah meriam yang diberi nama meriam sicupak. Pemberian nama ini tidak terlepas dari jumlah lada sebagai bingkisan yang tertinggal di sicupak.
Berita mengenai pengiriman utusan Kesultanan Aceh ke Turki juga didapati dari kitab Bustanus Salatin yang dianggap sebagai kitab sejarah karena di dalamnya selain berisi puji-pujian bagi Sultan Iskandar Muda dan Sultan Iskandar Thani, juga berisi mengenai riwayat raja-raja yang pernah memerintah di Aceh. Dari kitab Bustanus Salatin diketahui bahwa pada masa pemerintahan Sultan ‘Alauddin Ri’ayat Syah ibn Sultan Ali Mughayat Syah, yang mengadatkan segala adat istiadat kerajaan Aceh Darussalam dan mengirim utusan ke Turki. Maka Sultan Turki Utsmani mengirim pandai besi yang mengerti cara membuat bedil. Sehingga pada masa itu dibuatlah meriam-meriam yang berukuran besar. Sultan ‘Alauddin Ri’ayat Syah pula yang membuat kota di negeri Aceh Darussalam dan ia pula yang pertama kali anti dengan segala orang kafir sehingga berniat menyerang Malaka.4
Utusan Kesultanan Aceh yang dikirim ke Turki menempuh perjalanan laut hingga mencapai waktu 2 tahun. Sebuah surat yang berasal dari Sultan Selim II bertanggal 16 Rabiulawal 975H (20 September 1567) berisi penyambutan positif Sultan Turki Utsmani terhadap utusan Aceh yang bernama Husin. Informasi yang diperoleh dari pinto (relief bersejarah) diketahui bahwa bantuan Turki Utsmani sampai di Aceh pada tahun 1567, pada masa kepemimpinan Sultan Firmansyah. Dari pertemuan Sultan Selim II dengan Husin diketahui bahwa kaum Kesultanan Aceh memiliki tekad kuat untuk mengusir Portugis dari Selat Malaka yang merupakan kaum imperialis.5
Hubungan kerjasama Aceh dan Kesultanan Turki Utsmani pada masa lalu lebih kepada hubungan kerjasama dalam bidang militer. Sultan Aceh yang meminta bantuan kepada Sultan Turki untuk mengusir Portugis dari Selat Malaka disanggupi dengan pemberian bantuan meriam dalam jumlah yang cukup banyak. Pinto menyebutkan bahwa alat-alat perang yang dikirim bagi Sultan Aceh tersebut dilengkapi Bersama 300 tenaga ahli dari Turki. Dukungan militer dari Turki yang saat itu merupakan sebuah kekuatan besar, terutama dalam hal strategi perang dan perlengkapan militer, menjadi faktor dominan yang mempercepat kemajuan militer Aceh. Sehingga tidak mengherankan jika strategi militer pasukan Aceh saat itu banyak dipengaruhi oleh Turki. Dengan adanya dukungan militer dari Turki, gempuran pasukan Aceh terhadap Portugis semakin intensif terutama pada tahun-tahun 1548, 1568, 1577, dan 1737.6
Bukti lain tentang jalinan kerjasama dan persahabatan antara Aceh dan Turki adalah adanya makam seorang ulama Turki yang datang ke Aceh pada masa pemerintahan Sultan Al-Kahar. Makam ulama Turki tersebut berada di kampung Bitai dan rusak parah akibat bencana gempa bumi dan tsunami Aceh pada tahun 2004.
Di Turki sendiri sicupak lada yang dibawa sebagai hadiah bagi Kesultanan Utsmani tersebut memiliki kesan persahabatan yang teramat dalam. Karena lada merupakan salah satu rempah-rempah yang amat berarti bagi kehidupan sehari hari masyarakat Turki.
Referensi
- Mohammad Said, Aceh Sepanjang Abad, Jilid. I, Cet. Kedua, (Medan: Penerbit Waspada, 1981), hlm.174.
- Mohammad Said, Aceh… hlm. 179.
- Ahmad Mansur Surya Negara, Api Sejarah, Cet. I, (Bandung: Salamadani Pustaka Semesta, 2009), hlm. 144.
- Sicupak adalah takaran yang digunakan oleh masyarakat Aceh. Terbuat dari tempurung kelapa yang berukuran besar dan digunakan untuk menakar biji-bijian seperti lada, beras, dan kacang-kacangan.
- Nuruddin Ar-Raniry, Bustanus Salatin, (penj) T. Iskandar, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1966), hlm. 32. Mohammad Said, Aceh… hlm. 199.
- Amirul Hadi, Aceh, Budaya,dan Tradisi, edisi pertama, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2010), hlm. 22.
Penulis: Laila Abdul Jalil, SS, MA
Discussion about this post