Sabar1 berarti tabah menjalani penderitaan dan nestapa ketika menghadapi berbagai kejadian yang sulit untuk dihadapi dan sulit dihindari. Al-Qur`an telah memerintahkan kita secara jelas untuk bersabar melalui ayat-ayatnya: “Dan mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar…” (QS. al-Baqarah [2]: 45), dan “Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kalian, kuatkanlah kesabaran kalian, dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu)…” (QS. Ali Imran [3]: 200). Al-Qur`an melarang semua tindakan yang berlawanan dengan sabar, seperti firman Allah subhânahu wa ta’âla: “Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari rasul-rasul telah bersabar dan janganlah kamu meminta disegerakan (azab) bagi mereka.” (QS. al-Ahqaf [46]: 35), dan “…janganlah kamu membelakangi mereka (mundur).” (QS. al-Anfal [8]: 15).
Pada banyak ayatnya, Al-Qur`an memuji orang yang bersabar, seperti dalam firman Allah subhânahu wa ta’âla: “(yaitu) orang-orang yang sabar, yang benar, yang tetap taat...” (QS. Ali Imran [3]: 17). Al-Qur`an juga menyatakan bahwa Allah mencintai orang-orang yang sabar. Ia berfirman: “…dan Allah mencintai orang-orang yang sabar.” (QS. Ali Imran [3]: 146). Al-Qur`an mengangkat pula derajat orang-orang sabar dengan kedudukan kebersamaan dengan Allah: “Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.” (QS. al-Baqarah [2]: 153). Selain itu Al-Qur`an memberi tuntunan kepada manusia agar senatiasa bersabar. Allah subhânahu wa ta’âla berfirman: “… Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar.” (QS. al-Nahl [16]: 126).
Ada berita gembira yang disampaikan Al-Qur’an kepada mereka yang sabar berupa pahala dan ketinggian derajat di akhirat. Seperti yang termaktub dalam firman Allah subhânahu wa ta’âla: “Dan sesungguhnya Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. al-Nahl [16]: 96). Al-Qur`an bahkan mengingatkan kepada orang-orang yang sabar akan datangnya pertolongan dan bantuan Allah untuk mereka: “Ya (cukup), jika kamu bersabar dan bertakwa dan mereka datang menyerang kamu dengan seketika itu juga, niscaya Allah menolong kamu…” (QS. Ali Imran [3]: 125). Masih banyak lagi ayat-ayat al-Qur`an yang menyatakan bahwa sabar adalah sebuah tindakan hati yang mulia, sehingga Allah subhânahu wa ta’âla sering menarik perhatian kita untuk bersabar dengan berbagai pernyataan-Nya.
Jika kita melihat sabar dari perspektif lain, maka dapat kita ketahui bahwa syukur adalah setengah bagian dari iman, sementara setengah bagian lainnya adalah sabar.2 Salah satu pernyataan yang menegaskan hal ini adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sebuah hadis dengan makna mendalam berikut: “Sungguh menakjubkan urusan orang mukmin itu, karena sesungguhnya semua urusannya adalah baik, dan itu tidak dimiliki oleh siapapun selain hanya dimiliki orang mukmin. Jika ia mendapat kemudahan, ia bersyukur, maka itu adalah baik baginya. Dan jika ia tertimpa kesusahan, ia bersabar, maka itu juga adalah baik baginya.”3
Jika dilihat dari objeknya, kesabaran dapat dibagi menjadi beberapa macam:
- Sabar dalam melaksanakan ketaatan. Maksudnya: sabar dalam memikul kewajiban ibadah kepada Allah subhânahu wa ta’âla.
- Sabar dalam menghindari kemaksiatan. Maksudnya: sabar ketika menghadapi berbagai jalan menuju dosa yang sangat menarik bagi hawa nafsu.
- Sabar dalam menghadapi berbagai ujian baik dari bumi maupun dari langit. Kesabaran jenis ini menuntut sikap ridha terhadap qadha dan takdir Allah subhânahu wa ta’âla.
- Sabar dalam menempuh jalan istiqamah dan menjaganya tanpa mengubah atau mencari alternatif lain ketika menghadapi berbagai bentuk fitnah dunia.
- Sabar melewati hidup yang membutuhkan waktu.
- Sabar menghadapi kerinduan pada perjumpaan dengan Allah ketika perintah-Nya: “kembalilah” (QS. al-Fajr: 28) terjadi.
- Sebagian dari hal ini berhubungan dengan kehendak seorang hamba (maksudnya: bersifat kasbiyah), tapi ada sebagian lagi yang sama sekali tidak ada peran manusia di dalamnya.
- Jika ditilik dari bentuk dan perwujudannya sabar terbagi menjadi enam, yaitu:
- Sabar lillâh. Maksudnya: sabar demi Allah ta’ala. Ini adalah sabar tingkat pertama.
- Sabar billâh. Maksudnya: mengetahui bahwa Allah adalah Dzat yang membuat manusia mampu bersabar. Jenis kesabaran ini satu tingkat di atas sabar jenis pertama.
- Sabar ‘alallâh. Maksudnya: tidak terburu-buru ketika menghadapi berbagai bentuk tajalliyat (manifestasi) keindahan dan keagungan Allah dengan berkata: “Demi Allah dalam segala sesuatu terdapat rahasia dan hikmah.”
- Sabar fillâh. Maksudnya: keselarasan antara “keperkasaan” dan “kelembutan” di jalan menuju Allah (maksudnya: tidak membeda-bedakan antara nikmat dan musibah). Kesabaran jenis ini memiliki keistimewaan tertentu sehingga ia mengungguli jenis-jenis kesabaran yang lain.
- Sabar ma’allâh. Maksudnya: tetap bersama Allah sembari menjaga semua rahasia maqam yang ia diami, yaitu maqam al-ma’iyyah (kebersamaan dengan Allah) dan al-qurb (kedekatan dengan Allah).
- Sabar ‘anillâh. Maksudnya: kesabaran para perindu hakikat, yaitu mereka yang selalu tabah menanggung nikmatnya hubungan dengan Allah, karena harus tetap berada di tengah makhluk.
Selain yang telah disampaikan di atas, ada pula yang menyatakan bahwa sabar adalah sebagai berikut:
- Tabah menghadapi petaka dengan sikap yang baik.
- Tidak membeda-bedakan antara nikmat dan musibah.
- Tetap menjalani hidup meski seperti apapun kondisi hidup dan pribadinya.
- Menyikapi kekerasan dan kelembutan secara sama.
- Menjadikan isi al-Kitab dan Sunnah sebagai kartu undangan ke surga.
- Siap mengorbankan segala yang berharga di jalan sang Kekasih.
Tiap-tiap pendapat tersebut di atas memiliki pengertian dan pemahaman masing-masing. Berdasarkan hal ini, maka orang-orang yang bersikap tabah dalam menghadapi masalah apapun dapat disebut dengan julukan al-shâbir. Mereka yang telah menjadikan sabar sebagai karakter pribadinya dapat disebut dengan julukan al-mushthabir, sementara orang-orang yang mampu bersabar dengan sempurna karena memiliki ketenangan dan ketenteraman hati disebut al-mutashabbir. Orang-orang yang terbiasa bersabar dan mampu menguasainya dengan baik disebut dengan julukan al-shabûr dan orang-orang yang mampu menaklukkan kesabaran yang di luar batas kebiasaan disebut dengan julukan al-shabbâr.
Tapi kita dapati banyak mufasir yang menjelaskan sabar dengan mengaitkan antara beberapa ayat al-Qur`an. Misalnya menyatakan bahwa firman Allah yang berbunyi: “Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kalian (ishbirû), kuatkanlah kesabaran kalian (shâbirû), dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) (râbithû)…” (QS. Ali Imran [3]: 200). Maksudnya:
- ishbirû: Bersabarlah dengan jiwa kalian untuk taat kepada Allah ta’ala.
- shâbirû: Bersabarlah dengan hati kalian dalam menghadapi ujian dari Allah.
- râbithû: Bersabarlah dengan selalu mencintai dan merindukan Allah ta’ala.
Atau, secara berturut-turut, ketiga kata ini bermakna: Bersabarlah kalian fillâh, bersabarlah kalian billâh, dan bersabarlah kalian ma’allâh. Jadi, menurut mereka, maksud dari kata “ishbirû” adalah meluruskan perasaan dan pikiran ketika menghadapi nikmat Allah, maksud dari kata “shâbirû” adalah bertekad untuk tabah menghadapi kesulitan dan musibah, sedangkan maksud dari kata “râbithû” adalah selalu menjalin hubungan (al-râbithah) dengan Allah dalam kondisi seperti apapun.
Pengertian lain dari sabar menurut para ahli hakikat adalah: Mengetahui bahwa segala sesuatu berasal dari Allah ta’ala, baik yang baik maupun yang buruk. Jika akal merespon sesuatu sebagai kebaikan, maka sang hamba akan bersyukur. Tapi jika akal merespon sesuatu sebagai keburukan, maka sang hamba akan bersikap rida. Perlu Anda ketahui bahwa bukanlah dianggap sebagai keluhan jika ada seseorang yang mengadukan keadaannya kepada Allah ta’ala di saat menghadapi musibah yang tidak dapat ditolak, ketika melakukan taklif yang berat, atau sewaktu merasa takut melakukan dosa yang banyak dilakukan orang lain. Semua ini merupakan bentuk ketundukan, tawakal, dan sikap berserah diri, sesuai dengan niat masing-masing orang.
Berikut ini adalah beberapa contoh di antaranya:
Sayidina Ayyub ‘alaihi salam mengadu kepada Allah subhânahu wa ta’âla dengan ucapan: “Sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang.” (QS. al-Anbiyâ` [21]: 83).
Sayidina Ya’qub ‘alaihi salam saat beliau mengaduh: “Sesungguhnya hanyalah kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku…” (QS. Yusuf [12]: 86).
Semua hal itu merupakan bentuk doa dan ketundukan yang mengandung permohonan kasih sayang kepada Allah. Itulah sebabnya Allah memuji Sayidina Ayyub ‘alaihi salam dengan firman-Nya: “Sesungguhnya Kami dapati dia (Ayyub) seorang yang sabar. Dialah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya dia amat taat (kepada Tuhannya).” (QS. Shad [38]: 44). Jadi, bukankah firman Allah ini menunjukkan bahwa Dia berkenan menerima ratapan Nabi Ayyub ‘alaihi salam yang mengandung sikap tawakal dan penyerahan diri sebagai bentuk syukur yang berpadu dengan kesabaran.
Inilah salah satu sifat istimewa yang tidak dimiliki manusia biasa, namun dimiliki para rasul agung, nabi-nabi, orang-orang suci, dan para waliyullah. Itu dapat terjadi karena mereka telah menghidupkan kesabaran dan mengimplementasikannya dengan berbagai bentuk. Mereka juga telah hidup di tengah umat manusia dengan bersabar demi Allah meski mereka memiliki hubungan sangat erat dengan Allah. Berkenaan dengan hal ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam suatu kali ditanya: “Manusia manakah yang paling berat musibahnya?” Rasulullah menjawab: “Para nabi, kemudian orang-orang yang seperti mereka, kemudian orang-orang yang seperti mereka.”4
Ya, sabar memang sudah menjadi hâl bagi mereka yang berada di puncak ketaatan, dan sabar menjadi sumber kekuatan orang-orang yang sedang menempuh jalan menuju puncak. Mereka yang sudah mencapai puncak dan meraih maqam ini telah merepresentasikan berbagai macam bentuk kesabaran dalam bentuk terbaik untuk mencapai puncak tersebut. Adapun bagi mereka yang ditakdirkan untuk mencapai puncak, mereka sebenarnya berhasil mencapai semua itu dengan keteguhan dan menghidupkan “motor” kesabaran yang tidak dapat dicapai oleh manusia lain meski dengan seribu macam ibadah. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadis: “Sesungguhnya seseorang memiliki kedudukan dari Allah tapi ia tidak mencapainya dengan amalnya. Maka Allah terus memberinya cobaan yang tidak disukainya, sampai akhirnya ia berhasil mencapainya.”5
Oleh sebab itu kita boleh mengatakan bahwa sebagaimana halnya setiap ujian adalah rahmat yang tersembunyi di dalam beratnya tanggung jawab dan berbagai konsekuensinya serta tekanan yang muncul dari maksiat, maka sikap yang perlu diambil ketika menghadapi masalah seperti ini adalah dengan menarik kandungan dari rahmat ini. Adapun inti dan dasar dari kandungan ini adalah jangan sampai ada seorang pun yang mengetahui beratnya beban yang dipikul dengan bersikap sabar.
Betapa indahnya syair gubahan Fuzuli yang berbicara mengenai hal ini:
Janganlah kau keluhkan musibah yang menimpa seorang perindu, meski kau sendiri seorang perindu
Jangan pula kau ingatkan orang lain tentang apapun musibah yang kau alami
Ya, seseorang harus mampu “terbakar” diam-diam seperti perapian yang tenang di tempatnya tanpa menampakkan kegundahannya kepada orang lain. Hendaklah ia tetap di tempatnya, diam kokoh di bawah beban laksana gunung, tanpa menyebarluaskan kesedihannya kepada orang lain.
Maulana Jalaluddin Rumi meringkas tentang sabar dalam Matsnawi yang ditulisnya dalam sebuah analogis berikut: “Agar sebutir benih gandum dapat menjadi makanan, sumber energi, obat atas penyakit, cahaya penglihatan, dan sumber penghidupan bagi manusia, haruslah terlebih dulu dikubur di dalam tanah lalu diolah sedemikian rupa agar dapat berubah bentuk dan kemudian tumbuh tegak. Setelah itu, ia harus dipanen, digiling di alat penggiling gandum agat terpisah dari kulit luarnya, lalu ditumbuk dalam penumbuk sampai halus, diaduk menjadi adonan, dan kemudian dibakar agar dapat berubah menjadi roti yang layak dimakan. Setelah itu, roti itu masih harus dikunyah menggunakan gigi manusia sampai halus sebelum ditelan masuk ke dalam lambung.”
Demikian pula seseorang agar dapat berguna bagi umat manusia, ia harus melewati berbagai proses dan dibersihkan dari kotoran. Sebab kalau semua itu tidak dilakukan, seorang manusia akan tetap bergentayangan di jalan yang tidak jelas, tanpa pernah dapat sampai pada potensi kemanusiaan yang telah disiapkan untuknya.
Hamba sejati adalah yang memikul banyak musibah
Kayu yang bagus adalah yang terbakar dengan baik6
Sabar, dalam berbagai macam jenisnya adalah puncak dalam ubudiyah. Sementara puncak dari berbagai puncak ini adalah sikap rida. Menurut hemat saya, di sisi Allah tidak ada martabat yang melebihi rida.
Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu keridaan setelah ditetapkannya qadha, sejuknya kehidupan setelah mati, nikmatnya penglihatan pada Wajah-Mu dan kerinduan kepada pertemuan dengan-Mu. Limpahkanlah salawat dan salam kepada Sayidina Muhammad al-Radhi al-Mardhi, dan kepada segenap keluarga serta para sahabat Beliau.
Referensi:
- Lihat: Syi’b al-Îmân, al-Baihaqi 4/109
- Syi’b al-Îmân, al-Baihaqi 4/109
- Muslim, al-Zuhd 64.
- Al-Tirmidzi al-Zuhd 56; Ibnu Majah, al-Fitan 23; al-Riqâq, al-Darami 67.
- Al-Shahih, Ibnu Hibban 7/169; al-Mustadrak, al-Hakim 1/495; Majma’ al-Zawâid, al-Haitsami 2/292; Syi’b al-Îmân, al-Baihaqi 7/164.
- Diwan Syams Tabriz, Maulana Jalaluddin Rumi 362, gazal nomor 994, hlm. 1284.
Discussion about this post