Di sebuah Taman Kanak-kanak modern yang terdapat di bilangan perumahan ternama di Jakarta tampak kerumunan anak-anak kecil usia pra-sekolah sedang bermain-main. Kebanyakan di antara mereka membawa perangkat elektronik tabs yang terlihat sudah amat fasih mereka gunakan. Sebagian dari perangkat canggih itu bahkan dikalungkan di leher anak-anak tersebut karena tangan-tangan mungil mereka sejatinya masih belum mampu memegangnya secara mantap. Fenomena ini semakin menggejala di kota-kota besar di seluruh dunia sementara semakin sulit untuk menemukan anak-anak atau orang dewasa yang tetap memegang buku atau majalah dan memelihara kebiasaan membaca di tempat-tempat umum.
Tidak bisa dipungkiri smart phone, tablet dan komputer semakin memudahkan manusia untuk membaca berbagai jenis makalah ataupun buku dari layar monitor peralatan elektronik canggih tersebut. Namun sebenarnya bagaimana cara kita beradaptasi dan merubah kebiasaan lama kita? Apakah sejarah akan menunjukkan bahwa pada akhirnya kita akan meninggalkan kebiasaan berpuluh tahun membaca dari sumber-sumber cetakan dari atas kertas atau buku menuju pada model baru membaca dari bukubuku elektronik yang mampu bersuara dan penuh warna. Walaupun begitu banyaknya peminat pada penggunaan teknologi baru namun dari berbagai hasil penelitian yang dilakukan sejak tahun 1990 hingga saat ini tetap ditunjukkan bahwa manusia sejatinya masih lebih memilih membaca dari media kertas dibandingkan dari layar monitor perangkat elektronik. Sebenarnya, apa yang menyebabkan hal ini?
Untuk memahami perbedaan membaca dari kertas ataukah dari layar sebuah alat elektronik, pertama-tama kita harus memahami terlebih dahulu bagaimana otak manusia menganalisa sebuah tulisan. Walaupun huruf-huruf dan kata-kata merupakan simbol-simbol dari suara dan ide namun otak tetap menempatkan huruf dan kata sebagai sebuah objek fisik. Ketika seseorang belajar membaca dan menulis otaknya akan menambahkan makna fisik pada masing-masing huruf sehingga ia dapat mempelajarinya. Bagian otak yang bertanggung jawab pada fungsi mengenali benda akan menambahkan sebuah makna pada huruf-huruf yang dilihat oleh mata. Proses mempelajari huruf-huruf adalah juga sebuah proses yang meliputi penggunaan mata dan tangan serta sentuhan fisik. Pada sebuah penelitian di Universitas Indiana Bloomington ditunjukkan bahwa terlihat ada aktivitas denyutan yang lebih cepat pada rangkaian syaraf membaca di otak seorang anak ketika ia berlatih menulis huruf dengan tangan, tetapi hal tersebut tidak terjadi ketika ia sedang mengetik menggunakan komputer. Lebih menarik lagi, aktivitas denyutan di otak tersebut terlihat lebih baik lagi ketika aksara tulisan memiliki tingkat kesulitan yang lebih tinggi seperti aksara kanji pada bahasa Jepang. Aktivitas syaraf otak pada usia dini akan sangat mempengaruhi kecerdasan anak tersebut di masa dewasanya. Tentu saja penelitian ini mendorong kita untuk melihat adanya kecenderungan yang akan sangat baik jika seorang anak di masa awal usianya mempelajari penulisan huruf Arab dari ayat-ayat Al Quran yang telah diakui tingkat keindahan dan kesempurnaanya itu. Inilah juga sebenarnya jawaban mengapa anak-anak yang mempelajari tulisan Quran pada usia dini bahkan membaca ataupun menghafalkannya biasanya tumbuh menjadi anak anak yang cerdas.
Pada bukunya yang berjudul Proust and the Squid: The Story and Science of the Reading Brain, Maryanne Wolf menjelaskan bahwa ketika kita membaca sebuah buku, kita memiliki waktu lebih banyak untuk berfikir. Secara unik, membaca buku memberikan kita kesempatan untuk menekan tombol ‘pause’ secara menyeluruh di semua bagian buku dan menyatu secara alami di dalam teks. Keuntungan dari aktivitas yang terus meningkat ini membuat kita selalu menajamkan ingatan dan membuat kapasitas belajar di otak kita lebih gesit dari sebelumnya. Selain adanya pemahaman oleh otak terhadap huruf dan kata sebagai masing-masing sebuah objek fisik ternyata otak manusia juga memandang sebuah teks sebagai keseluruhan dari sebuah tempat fisik atau layaknya suatu lanskap fisik. Ketika kita membaca kita melihat teks yang kita baca tersebut sebagai sebuah struktur atau sebuah perencanaan. Keadaan ini seolah-olah seperti terbentuknya sebuah tempat atau peta di otak kita. Kita memanfaatkan pemetaan ini saat ingin kembali menemukan sebuah paragraf atau kalimat dari teks yang baru kita baca tersebut. Kerja otak seperti inilah yang menyebabkan seorang penghafal Al Quran disarankan untuk memakai kitab yang sama dan tidak bergantiganti sepanjang proses hafizh Quran-nya. Kelak saat sang hafizh ingin mengingat lagi ayat yang akan dibacanya, di dalam benaknya akan tergambar pemetaan letak ayat tersebut di bagian mana dari Kitab Al Quran yang dipakainya saat menghafal dahulu.
Seringkali, lebih mudah untuk membentuk sebuah pemetaan di otak seperti ini saat kita membaca sebuah teks yang dicetak di atas kertas. Pada sebuah buku yang terbuka, terdapat delapan sudut dari dua halaman buku di sebelah kanan dan kiri. Manusia dapat tetap fokus membaca pada salah satu halaman buku tanpa kehilangan kesadaran akan keseluruhan bacaan. Bahkan kita dapat merasakan tebal-tipisnya halaman yang telah dibaca di tangan sebelah kiri dan merasakan sisa halaman yang belum dibaca pada sebelah tangan yang lain. Menyibak lembaran-lembaran buku seperti berjalan selangkah demi selangkah, sehingga seperti kita lebih memahami telah seberapa jauh perjalanan yang kita tempuh. Hal inilah yang menyebabkan membaca dari kertas lebih memudahkan otak untuk membentuk pencitraan peta di kepala kita daripada saat kita membaca dari perangkat elektronik.
Salah satu sebab lain mengapa membaca dari layar monitor lebih menyulitkan adalah karena perangkat elektronik tersebut lebih melelahkan otak kita jika dibandingkan dengan kertas. Perangkat-perangkat elektronik seperti komputer, smart phone, e-Book, Kindle, ataupun tablet adalah barang-barang yang memancarkan cahaya secara langsung. Cahaya sejenis ini membuat mata lebih cepat lelah dan mengurangi konsentrasi seseorang karena alat-alat tesebut memancarkan cahaya langsung ke wajah pembacanya. Pada sebuah percobaan ditunjukkan bahwa kelompok pembaca yang menggunakan alat elektronik sebagai media baca mendapatkan nilai pemahaman yang lebih rendah jika dibandingkan mereka yang membaca dari kertas, ketika sebuah teks yang sama diujikan. Selain itu peserta penelitian tersebut juga mengatakan bahwa mereka merasakan stres dan keletihan saat membaca menggunakan layar monitor. Ditunjukkan pula bahwa membaca dari layar LCD ataupun tabung monitor dalam jangka waktu lama menyebabkan sakit kepala dan keletihan pada mata. Salah satu sebab utama yang menyebabkan keletihan pada mata dan otak manusia saat mereka membaca menggunakan layar monitor adalah karena perangkat elektronik dapatmenggurangi fokus dan membuat konsentrasi seseorang sering terpecah. Alih-alih memperhatikan teks yang sedang dibacanya seringkali seorang pembaca malah lebih memperhatikan perangkatnya itu sendiri.
Aktivitas membaca buku tidak hanya memberikan kenyamanan bagi kerja otak namun juga bagi organ-organ tubuh kita yang lain. Stres atau depresi yang telah mewabah pada kehidupan masyarakat modern ternyata dapat diredakan dengan membaca buku secara konvensional. Pada bulan Maret 2009, Koran The Telegraph melangsir sebuah penelitian yang dilakukan di Mindlab International, Universitas Sussex-Inggris, tentang cara terbaik untuk mengurangi stres. Dikatakan bahwa membaca buku adalah cara terbaik untuk relaksasi bahkan hanya dalam waktu enam menit saja mampu mengurangi kadar stres. Aktivitas membaca buku dinyatakan dapat menurunkan tingkat stress hingga 68%, jauh lebih baik jika dibandingkan dengan mendengarkan musik, berjalan santai atau sekedar minum teh dan kopi. Membaca buku dalam suasana tenang akan memperlambat detak jantung yang terlalu tinggi, serta mengurangi ketegangan pada otot. Walaupun penelitian ini tidak membandingkan langsung tentang membaca buku menggunakan kertas dan piranti elektronik namun ditunjukkan pula bahwa kegiatan bermain game menggunakan komputer hanya berhasil mengurangi 21% dari tingkat stress seseorang namun justru menaikkan detak jantung lebih tinggi dari kondisi awalnya. Dr. Lewis yang memimpin penelitian ini menyatakan bahwa: “Asyik membaca sebuah buku adalah sebuah proses relaksasi yang paling baik”.
Selain melelahkan, membaca dari media elektronik juga menyebabkan kesulitan baru saat si pembaca mencoba mengingat kembali apa yang sudah dibacanya. Kelemahan yang paling menonjol dari cara membaca ini adalah lebih pendeknya daya ingat yang dihasilkan tentang data-data atau isi dari teks yang kita baca. Sebenarnya membaca menggunakan layar monitor membuat data-data yang terdapat pada teks dapat lebih cepat diingat namun sayangnya ingatan yang dihasilkan lebih lemah jika dibandingkan ingatan ketika kita membaca secara konvensional melalui media buku biasa. Bahkan ketika studi-studi menemukan sedikit perbedaan dalam uji membaca dengan pemahaman dari layar monitor dan kertas, terungkap bahwa pembaca dari teks yang ada di layar monitor tidak mampu mengingat suatu bacaan secara akurat ketika membaca dalam waktu yang panjang. Pada studi yang dilakukan oleh Kate Garland tahun 2003, di Universitas Leicester, Inggris, timnya menugaskan 50 mahasiswa untuk membaca dokumen dari kuliah pendahuluan ekonomi menggunakan media baca monitor komputer atau buklet bersumbu spiral. Setelah membaca selama 20 menit, Garland dan beberapa koleganya menguji pemahaman bacaan para mahasiswa tersebut. Ternyata seluruh peserta mendapatkan nilai bagus yang seimbang tanpa mempedulikan media baca apa yang mereka gunakan sebelumnya, tetapi menunjukkan hasil berbeda dalam hal keakuratan dan cara mengingat informasi yang telah dibaca.
Para psikolog membedakan antara ‘mengingat sesuatu’ dan ‘mengetahui sesuatu’. Ketika melakukan pengujian, para sukarelawan Garland menandai jawaban mereka dengan apakah mereka hanya “ingat” atau benar-benar “tahu” jawabannya. Mahasiswa yang membaca bahan pelajaran dari layar monitor lebih banyak menjawab “ingat” dibandingkan “tahu”, sedangkan yang membaca di kertas menandai secara seimbang pada kedua bentuk memori tersebut. Garland dan koleganya berpikir bahwa mahasiswa yang membaca di kertas memahami keseluruhan materi lebih cepat; mereka tidak menghabiskan waktu lama untuk mencari informasi teks bacaan di dalam otaknya, yang berarti mereka benar-benar tahu jawabannya.
Dari beberapa penelitian diketahui bahwa setelah berusia 20 tahun, setiap harinya ada sekitar lima ribu sel syaraf otak yang mati. Jika keadaan ini bertambah maka hal inilah yang menyebabkan kepikunan pada seseorang. Orang yang tidak terbiasa membaca akan lebih cepat menjadi pikun sementara mereka yang suka membaca, jika tidak ada sebab lain, akan dapat lebih lama mempertahankan ingatan dan kemampuan otaknya. Oleh karenanya dapat dikatakan membaca dengan cara yang benar dapat menjaga sel-sel syaraf otak. Jika digabungkan dengan hasil-hasil penelitian yang membandingkan fungsi otak saat membaca dari media kertas ataukah dari layar monitor tentu saja dapat ditarik kesimpulan bahwa membaca dari media buku atau kertaslah yang mampu menjaga fungsi otak, memberikan relaksasi dan justru mengasah kemampuan otak menjadi lebih baik. Selain itu tidak dapat dipungkiri pula bahwa membaca dan mencari ilmu adalah kebiasaan yang telah dicontohkan dengan baik oleh para pendahulu kita.
Seorang Ulama dari Al-Andalus yaitu Ibnu Rusyd sangat cinta membaca buku. Sepanjang hidupnya hanya ada dua malam yang dilewati beliau tanpa membaca buku yaitu malam saat beliau menikah dan malam saat ayah beliau meninggal. Sultan Yavuz Selim selalu membawa buku kemanapun beliau pergi. Semasa menjadi seorang Sultan, pada perjalanannya ke negeri Mesir beliau akan membawa buku sebanyak tiga muatan keledai untuk menemaninya selama perjalanan. Sebelum menjadi sultan atau pada masa masih menjadi pangeran beliau hanya tidur tiga jam dalam sehari semalam, sementara delapan jam waktunya dipakai untuk membaca buku. Imam Hanafi mengeluarkan lima ratus ribu hukum-hukum yang bersumber dari Al Quran dan Hadis-hadis serta mengeluarkan empat ribu fatwa selama hidup beliau. Tentu saja pekerjaan sebesar ini hanya akan dihasilkan dengan banyak membaca dan mempelajari bacaan tersebut dengan ketekunan tinggi. Contoh-contoh ini memberikan teladan luar biasa bahwa membaca yang benar dengan cara yang benar akan menghasilkan ilmu bahkan warisan pengetahuan pada generasi sesudahnya. Jika saat ini kemajuan teknologi dengan segala kemudahannya justru membuat kita banyak membaca namun justru melupakan esensi pentingnya memilih bacaan yang benar maka dikhawatirkan kita termasuk yang merugikan diri kita sendiri. Saat ini kita memang banyak membaca karena begitu mudahnya mengakses semua informasi dan berita namun sayangnya kita tidak lagi memperdulikan kebenaran berita yang kita baca bahkan sumbernya. Informasi yang tidak terlalu penting kita baca dan sebarkan sementara ilmu-ilmu yang berharga kita abaikan dan tidak kita pelajari.
Bagi manusia dewasa di era ini, membaca secara modern dengan piranti canggih sesungguhnya adalah sebuah kebiasaan baru, karena memang di sebagian besar belahan bumi dampak dari kemajuan teknologi ini baru benar-benar terasa beberapa tahun belakangan ini dan menjadi trend di mana-mana. Mungkinkah hal inilah yang menyebabkan generasi yang lebih tua akan lebih memilih membaca dari media kertas? Lalu bagaimana dengan generasi yang lebih muda atau anak-anak yang lahir pada masa ini? Apakah mereka juga akan lebih memilih kertas atau justru sebaliknya akan merasa asing dengannya? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan serupa ini mulailah dilakukan serangkaian penelitian yang melihat korelasi antara usia dan kecenderungan pemilihan media baca. Adalah sangat menarik ketika ternyata ditunjukkan pula bahwa anak-anak yang lahir di era ini juga secara fitrah tetap akan lebih memilih kertas sebagai media cetak dari teks yang akan dibacanya. Penelitian dilakukan terhadap 32 pasangan yang memiliki anak-anak berusia 3-6 tahun. Sebagian pasangan orang tua dipilih secara acak untuk membacakan dongeng bersama anak-anaknya menggunakan sebuah buku. Kelompok pasangan orang tua yang lain asyik membaca dongeng menggunakan media e-Book yang sebenarnya jauh lebih atraktif. Buku elektronik itu tidak hanya mampu membacakan dongeng dengan indah bahkan dilengkapi pula dengan ilustrasi gambar menarik yang tampak hidup dan latar suara musik serta lonceng yang bervariasi. Setelah anak-anak selesai mendengarkan dan membaca dongeng tersebut bersama orang tua masing-masing setiap anak diberi beberapa pertanyaan yang berkaitan dengan dongeng yang baru saja dibaca tersebut. Anak-anak yang membaca dari media buku mampu menjawab pertanyaan dengan lebih bersemangat, mereka bahkan mengingat detail cerita dengan lebih teliti dibandingkan anak-anak yang membaca atau dibacakan dongeng melalui e-Book. Pada angket yang diisi oleh para orang tua setelah percobaan tersebut juga ditunjukkan bahwa sebagian besar orang tua lebih cenderung memilih buku biasa sebagai media untuk membacakan dongeng bagi anak-anaknya. Penelitian-penelitian lain yang serupa juga telah memperlihatkan bahwa otak manusia pada era dan usia yang berbeda sekalipun tetap menunjukkan kecenderungan untuk membaca dari media kertas biasa.
Pada sebuah artikel yang ditulis oleh Matt Richtel di harian The New York Times dengan judul “A Silicon Valley School That Doesn’t Compute” dituliskan tentang bagaimana para petinggi dan staf ahli di raksasa industri informatika seperti Apple, Google, Yahoo dan Hewlett-Packard justru menyekolahkan anak-anak mereka di sekolah yang tidak mengenalkan perangkat teknologi terlalu awal. Anak-anak yang tinggal di pusat gadget seperti Silicon Valley ini justru lebih suka membaca buku secara klasik dan menulis menggunakan kertas dan pena. Rumah dan sekolah mereka justru dipenuhi dengan buku-buku, peralatan merajut, krayon dan majalah konvensional. Alan Eagle yang merupakan ahli sains komputer dari Dartmouth dan bekerja sebagai jajaran eksekutif komunikasi di Google mengatakan bahwa ia tidak mengajarkan anaknya yang bernama William untuk menggunakan Google saat ia berada di kelas lima SD, anaknya itu baru diperkenalkan pada piranti mesin pencari ini pada saat telah duduk di kelas 8. Saat ditanya apa alasan dari kebijakan keluarganya itu ia justru menjawab dengan sebuah pertanyaan: “Jika seandainya saya adalah seorang sutradara bagi film untuk orang dewasa, apakah saya harus tetap memaksakan anak-anak saya yang berada di bawah umur untuk menontonnya?”
Pada banyak keadaan dan kebutuhan kita tetap tidak bisa mengingkari besarnya kemudahan yang disuguhkan oleh perangkat elektronik canggih dalam kehidupan kita. Jika dahulu seorang peneliti harus menempuh jarak beratus kilometer untuk mencari dan menemukan sumber atau referensi bagi tulisannya, maka dengan teknologi yang ada sekarang berbagai kitab ataupun buku sumber ilmu bisa kita temukan dengan hitungan waktu yang lebih singkat. Perangkat search pada piranti elektronik amat mempermudah kita mengakses ratusan data.
Namun seiring dengan semua perkembangan teknologi itu kebanyakan dari kita masih tetap merasa lebih nyaman dengan menuliskan poin-poin penting yang ingin benar-benar kita ingat pada secarik kertas. Kertas yang sederhana dengan sensasi tekstur yang bisa kita rasakan pada ujung jari kita, aromanya yang amat khas serta bunyi gemerisik setiap lembar yang kita buka atau lipat di telinga kita memberikan sebuah pengalaman eksotis yang sederhana dan simpel namun amat melekat di otak bahkan pada semua indra kita. Sesungguhnya kesederhanaan kertaslah yang justru mampu memenangkan hati kita. Maka mampukah kita kembali memilah kapan saatnya kita harus membaca dari piranti canggih dan kapan kita harus kembali membaca secara alami dengan media kertas. Sesungguhnya kebijaksanaan seperti inilah yang membuat masyarakat modern tetap bisa lebih menyeimbangkan hidupnya.
Penulis : A. K. Alafta
Discussion about this post