Apa sebab manusia merasa bahwa dirinyalah yang paling benar? Bagaimana caranya agar kita mampu merangkul setiap orang yang mengabdi di jalan kebenaran?
Allah SWT telah menciptakan manusia dengan fitrah agar ia dapat berkata pada dirinya inilah “aku” untuk menunjukkan eksistensinya. Di satu sisi Ia melengkapi manusia dengan kehendak, ke sadaran, jiwa, dan juga perasaan; namun pada sisi lain, Allah SWT juga melengkapi manusia dengan syahwat, dendam, kedengkian, kebencian dan sifatsifat lainnya. Oleh karena sifatsifat yang buruk ini berpotensi menyebabkan terjadinya berbagai kerugian, maka sifatsifat tersebut sesungguhnya tidak diinginkan ada pada seseorang dan juga rasakemanusiaan pada umumnya. Ironinya, sesungguhnya yang membuat manusia menjadi manusia adalah tatkala ia memiliki ciri atau sifat seperti ini atau yang sejenis ini.
Oleh karena itu, menurut hemat kami, sebelum mengenali hal-hal lain, mengenali sifatsifat ini merupakan hal yang sangat penting baik untuk lebih mengenali diri kita sendiri maupun untuk memahami, bahwasanya semua sifat tersebut bersumber dari Allah SWT.
Sebuah kalimat bijak mengatakan, “Barang siapa yang telah mengetahui diri (nafs) nya, maka sungguh ia mengetahui Tuhannya”.Ungkapan penuh makna tersebut dapat menjelaskan pokok pembahasan ini. Perkataan Socrates, “Kenalilah dirimu!,” juga pada hakikatnya menerangkan mengenai konsep diri ini. Dalam sebuah riwayat dinyatakan bahwa karena pentingnya perkataan tersebut bahkan sampai digantungkan pada pintu masuk sekolahnya. Para ahli tasawuf, dalam satu sisi menyatakan perang dengan ego, dan di sisi lain berfokus pada kajian mengenai caracara untuk menaklukkan ego agar dapat meletakkan konsep fana fillah secara kokoh, yang hasil kajiannya kini telah ditulis ke dalam sekian banyak buku.
Ya. Dengan adanya sifat seperti ini, manusia kadang berkata ‘aku’ dan hanya dapat melihat dirinya sendiri; hal ini mungkin karena memang sifat seperti ini ada berdasarkan tabiatnya.
Dengan kata lain, tanpa adanya sifat ini, maka sangat tidak mungkin baginya untuk dapat berpegang teguh pada ajaran dakwah yang ia yakini kebenaran-Nya dan sangat tidak mungkin pula baginya untuk setia pada akidah yang mengikatnya. Misalnya, setelah manusia melakukan pencarian dan setelah mendapat pengaruh dari kebudayaannya, dari sisi akal dan juga logikanya, maka ia seharusnya dapat lebih membenarkan dan menerima mazhab yang dianutnya. Dan memang, tanpa adanya penerimaan seperti itu, tidak mungkin bagi seseorang untuk dapat memahami dan mentaatinya. Keadaan yang sama dapat juga berlaku dalam pemilihan metode berdakwah di jalan Islam. Dalam hal ini seseorang harus berpegah teguh (istiqamah) sebagaimana yang telah diungkapkan oleh Ustad Bedi’uzzaman Sa’id Nursi: “Kita boleh mengatakan bahwa “Mazhab dan caraku adalah lebih baik, atau lebih sesuai.” Namun, kita tidak boleh bersikukuh dengan mengatakan, “Hanya carakulah yang benar atau yang sesuai hanyalah metodeku”.
Dalam permasalahan ini, kemampuan seseorang untuk dapat bersikap seimbang bergantung pada kemampuannya dalam merepresentasikan dirinya pada keistiqamahan-Nya. Rasulullah SAW bersabda: “Setiap manusia memiliki syaitannya masing-masing. Aku pun memilikinya. Hanya saja syaitan yang ada pada diriku telah tunduk kepadaku”. Dengan memperhatikan makna sebagaimana terkandung dalam hadis tersebut, dapat difahami bahwa nafsu beserta jiwa yang terjerat oleh di dalamnya setiap waktu sangat memungkinkan untuk diatur. Atau sebaliknya, bilamana nafsu dan jiwa semacam ini tidak dibina dan diistiqamahkan, maka jiwa yang tumbuh dari nafsu ini, dengan sangat mudah akan dapat dikendalikan oleh setan. Dengan demikian, ifrat (sikap berlebih-lebihan) dan tafrit (sikap meniadakan) yang setiap saat bisa tumbuh, dan dapat menimbulkan kerumpangan (kekosongan/ketidakharmonisan) dalam diri atau jiwa manusia serta dapat menjadikan-Nya terjerumus. –Allahu a’lam– inilah rumpang yang telah ditemukan oleh setan sebelum ruh ditiupkan ke dalam jasad Nabiyullah Adam AS.
Sebagai contoh, syahwat diberikan kepada manusia untuk kenyamanan dan keberlangsungan generasi manusia dengan cara yang dibenarkan oleh agama. Oleh karena itu haruslah didapatkan jalan tengah untuk menghindarinya baik dari sikap berlebih-lebihan (ifrat) seperti kecanduan kepadanya, maupun dari bersikap tafrit dengan menghilangkannya secara keseluruhan; yang mana hal ini hanyalah akan mungkin dengan mencukupkan diri bersenang-senang dalam area yang halal seraya bersikap tegas terhadap keinginan yang mengajak kepada area yang tidak halal. Sama halnya, sifat keras kepala diberikan agar manusia dapat bersiteguh dalam kebenaran; sementara ambisi juga diberikan agar manusia dapat membangun dunia. Bilamana manusia mampu menempatkan diri dalam penggunaannya, niscaya ia akan mampu mencapai derajat istiqamah tanpa terjerat oleh sikap berlebih-lebihan. Hal lain yang juga penting diperhatikan, bahwa pemahaman manusia terhadap adab dan tarbiyah dirinya, adalah sangat manusiawi sepanjang ia mampu menjauhkan dirinya dari segala hal yang remeh. Dan memang, ketika disebut tarbiyah atau penempaan diri, yang pertama kali terlintas dalam fikiran kita bukanlah pendidikan diri secara fisik, melainkan penempaan diri atas jiwa dan pemikirannya.
Akhir kata, setiap pribadi pasti memiliki nafsu; oleh karenanya seseorang akan cenderung lebih memperhatikan hal-hal yang memihak dirinya, dan merasa terusik dengan alternatif pemikiran orang lain. Dengan demikian, setiap kali terbesit perasaan seperti itu, manusia harus menyandarkan dirinya kepada ayat Alquran yang berbunyi:
“Yaitu orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya serta mau memaafkan (kesalahan) orang lain.” (Q.S. Ali Imran: 134) seraya berucap: “Oleh karena orang lain juga mengabdi untuk saudara kita; dan disisi lain, Tuhan yang kita sembah juga adalah satu, kitab kita satu, nabi kita sama, Ka’bah kita juga sama. Kita memiliki persamaan dalam ribuan kesatuan. Dan oleh karena di alam barzah, alam mahsyar, di dalam sirathal mustaqim dan –insyallah di dalam surga kita juga akan bersama-sama; maka bersikap dengki kepada mereka adalah tidak benar”.
Alhasil, manakala kita sudah memahami bahwa menjaga hubungan baik dengan semua orang yang mengabdi kepada agama adalah sama pentingnya dengan berjihad, maka akan mungkin bagi kita untuk membuka lebar hati kita kepada seluruh umat manusia.
***
Discussion about this post