Malam pekat berselimut dingin. Tidak lagi banyak orang yang lalu lalang di jalan cadas beraspal itu. Tepatnya sepuluh menit menjelang tengah malam. Sekelompok pemuda sibuk berkerumun di sekitar mobil jagoannya masing-masing. Roni memantapkan posisi duduknya. Kakinya berganti ganti menjajal pedal rem dan gas memastikan keduanya akan berfungsi prima, baginya malam ini adalah penentuan sebelum ia akan dinobatkan sebagai jagoan balap maut tak terkalahkan. Puluhan kali lomba balap maut dilewatinya, namun sensasi tantangan yang dirasakannya masih sama. Tantangan menghadang maut di jalan raya saat sebagian orang lain terlelap sementara sebagian lain lagi mungkin tengah menderas dzikir mereka, Roni dan kumpulan geng mobilnya justru akan sibuk mencari jalanjalan raya yang bisa mereka pakai untuk menantang adrenalin. Lomba balap maut itu tidak hanya mendatangkan suara bising yang teramat sangat di heningnya malammalam mereka tapi juga sebagai permulaan dari pesta-pesta perayaan kemenangan yang akan dihiasi semua zat maut lainnya, seolah bagi mereka nyawa tak habis untuk dicoba. Suara mesin-mesin mobil meraung-raung dan kibaran bendera dinaikkan tanda agar semua mobil mulai menekan gasnya masing-masing. Roni berada di jalur paling kanan, sejak awal ia sudah memimpin dan tawa lebar menghias wajahnya, namun tepat saat ia tiba di sudut tikungan, tidak sesuai dengan perkiraannya. Laju mobil yang demikian cepat membuatnya tak mampu mengendalikan roda-roda yang biasanya terlalu remeh baginya. Berulang kali bemper mobil membentur keras dinding trotoar sebelum membuatnya terlempar, terpental jauh keluar badan jalan.
Pemuda belasan tahun itu tak ingat lagi apa yang terjadi setelahnya. Ia hanya sempat mendengar suara orang-orang berkerumun dan sirine ambulan yang membawanya ke Rumah Sakit, namun setelah itu semua gelap. Mulutnya seolah kaku dan terkunci, terkadang ia masih bisa mendengar lantunan ayat suci seperti yang biasa didengarnya mengalun dari kamar adik semata wayangnya. Dahulu seringkali ia menutup pintu kamarnya keras-keras agar suara lantunan ayat itu tak mengusiknya kala ia menikmati musik cadas kegemarannya. Namun entah mengapa saat ini, saat ia tak bisa memahami apa yang sedang terjadi justru suara lantunan ayat itulah yang terngiang-ngiang di telinganya.
Saat itu tiba-tiba Roni mendengar suara-suara lain yang ia tak bisa menangkap jelas sumbernya tapi tiba-tiba matanya mulai berbicara: “Kau mungkin tak peduli padaku. Tapi tahukah kau selama ini akulah yang membantumu melihat jelas jalanan yang ada di depanmu saat kau menyetir dengan kecepatan tinggi. Tapi semalam aku sudah letih, tahukah kau bahwa aku terdiri dari 40 unsur utama yang jika terjadi kekurangan pada salah satunya saja maka mustahil kau bisa melihat dengan jelas. Bersamamu setiap hari hanya kemaksiatan yang kulihat, tujuh bahkan delapan jam aku harus berada di depan televisi. Terkadang kau tonton berseriseri film tanpa henti di internet dan semua selsel kerucut, kornea, retina dan pupilku sudah tak mampu lagi mengangkat beban ini. Terkadang aku iri pada mata adikmu yang lebih sering memandang huruf hijaiyah yang merangkai Firman Ilahi Maha Tinggi. Jika kau pergi ke luar rumah maka tugasku hanya memandang wanita-wanita yang bukan mahrammu padahal tahukah kau setiap kali itu pula sarafku yang berhubungan dengan otak akan mengurangi kapasitas daya ingatmu di sana. Sadarlah bahwa semua pandangan yang bukan hakmu hanya akan mengurangi kepandaianmu maka tak heran jika saudaramu yang selalu menundukkan dan menjaga pandangannya itu jauh lebih cerdas darimu”.
Roni belum bisa menangkap situasinya tapi ia masih tidak habis fikir bagaimana tiba-tiba matanya berbicara. Belum selesai rasa kagetnya itu tiba-tiba telinganya mulai menceracau: ”Kau pasti kaget kan Roni karena biasanya aku hanya terdiam saat kau memutar volume maksimal dari musik heavymetal yang kau putar. Ya, memang selama ini aku hanya bisa terdiam mendengarkan itu semua, tapi tanpa kau sadari suara berdesibel tinggi yang masuk ke telingaku itu menyebabkan osilasi (goyangan) membrantimpani(gendang telinga) melebihi kemampuannya yang hanya bisa mendengar sampai pada batasan 120 dB saja. Kuberitahukan padamu bahwa saraf pendengaranlah yang mengirimkan sinyal ke otak sehingga aku bisa menafsirkan bunyi, namun aku hanya akan bisa menjaga fungsiku jika terkadang dapat juga kukirim sinyal bunyi kalam Ilahi. Jangan kau matikan atau kau ganti channel televisi yang kau tonton saat ia mengumandangkan adzan, karena saat itu semua bagian-bagianku bahkan tulangtulang kecil osikula sekalipun sedang menikmatinya”.
Belum selesai kekagetan yang dialaminya lalu perut mulai mengungkapkan keberatannya: ”Aku sudah berada di ambang batas kemampuanku karena bagaimanapun juga tidak bisakah sedikitpun kau bersikap sopan ketika makan. Mungkin kau pikir makan sambil duduk hanyalah masalah kesopanan maka seenaknya saja kau langgar ketika kau makan dan minum sambil berdiri bahkan berjalan di semua standingparty yang kau lewati setiap malamnya. Semua makanan dan minuman yang kau masukkan sambil berdiri akan jatuh secara keras membentur dasar usus bukan perlahan-lahan seperti jika kau duduk. Saat itu selain ususku menjadi melar, hal itu juga akan berdampak pada refleksi saraf yang dilakukan oleh reaksi saraf kelana yang banyak tersebar pada lapisan endotel yang melapisi ususku. Tanpa sadar kaulah yang menyebabkan luka pada lambungmu sendiri. Inilah yang menyebabkan manusia termulia Rasulullah Muhammad SAW meminta kita duduk saat makan dan minum karena dalam hikmahnya Beliau (SAW) seolah ingin menyampaikan bahwa sfinter yang ada pada tubuh kita yang merupakan penyaring air berbentuk seperti otot itu hanya akan terbuka jika kita minum dalam keadaan duduk. Lalu seperti belum cukup semua derita yang kualami, di antara makanan cepat saji penuh lemak dan tidak pernah kau hiraukan kehalalannya itu masih pula kau tambahi dengan tegukan alkohol saat kau merayakan kemenanganmu dalam balapan maut setiap akhir pekan itu. setiap tetes alkohol yang kau minum itu telah mengiritasi lapisan luar dinding lambungku dan itu berarti membuatnya rentan terhadap asam lambung. Padahal lambung hanya dapat bekerja secara normal untuk mencerna semua makanan yang kau makan dengan bantuan asam lambung itu.
Saat itu Roni mulai gelisah namun badan dan mulutnya tetap kaku ia tak bisa berkata-kata apalagi menjawab saat tangan dan kakinya pun mulai berbicara: “Kami selalu membantumu mengerjakan semua keperluanmu. Kami mengantarkan ke tempat yang ingin kau tuju serta mengangkat semua beban dan pekerjaan yang akan memudahkan hidupmu. Namun mengapa tak sekalipun kau berikan hak kami. Tahukah kau sesekali kami ingin dibasuh dengan kucuran air wudhu yang akan menyegarkan seluruh sel-sel dan otot-otot kami. Gerakan shalat yang selalu kau tertawakan itu, sejatinya memberikan banyak manfaat pada kesehatanmu. Maka jika kau sadar nanti biarkanlah semua saraf penting yang ada di telapak kami merasakan hangatnya hamparan sajadah yang akan mengantarkanmu pada perjalanan rohani penuh berkah. Lebih dari 100 reseptor sentuhan yang ada di setiap ujung jari membutuhkan sapuan air wudhu yang kau abaikan itu. Satu hal yang paling menyedihkan adalah saat kau tusuk pergelangan tanganmu dengan jarum-jarum berisi zat haram yang kau pikir akan menyelesaikan semua permasalahanmu. Ketahuilah bahwa itu sama sekali tidak, bahkan terlebih itu sangat membahayakan tubuhmu, modal yang diberikan Sang Maha Pengasih agar kau bisa hidup di dunia ini. Kami hanya sarana bagimu dan nantinya akan menjadi saksi atas semua yang kau lakukan. Lalu pikirkan bagaimana rasanya jika selama di dunia kami adalah sahabat sejatimu yang membantumu memenuhi semua kebutuhanmu di dunia lalu nanti-Nya harus menjadi saksi yang justru akan memberatkanmu di akhirat nanti”.
Kepala Roni masih berputar-putar namun perlahan-lahan rasa hangat terasa menjalar. Walaupun terasa sangat berat ia mencoba membuka kelopak matanya. Bayangan adiknya yang awalnya terburat samar lama kelamaan menjadi jelas. Adik dengan balutan jilbab takwa itu tertidur di sebelahnya. Telah lewat satu bulan sejak kakaknya terbaring tak sadarkan diri, ia selalu setia menemani. Sayup-sayup dari ipad yang diletakkan di antara deretan mesin-mesin pemantau detak jantung yang terdapat di sebelah ranjang putih ruang rawat inap itu terdengar lirik puisi Buya Taufik Ismail yang dilantunkan dengan merdu oleh Chrisye: Akan datang hari… mulut dikunci, kata tak ada lagi. Akan tiba masa, tak ada suara dari mulut kita. Berkata tangan kita, tentang apa yang dilakukannya. Berkata kaki kita, kemana saja dia melangkahnya. Tidak tahu kita, bila tiba harinya, tanggung jawab kita…..’
Tak terasa air mata meleleh meluncur begitu deras di pipi Roni. Bait indah dari lagu itulah yang mengantarkannya pada hidayah, mengantarkannya pada perasaan yang sama yang juga dirasakan oleh almarhum penyanyi lagu itu saat pertama kali menerima bait-bait pusisi yang disadur dengan begitu indah dari Alquran Surah Yasin ayat 65 itu.
Referensi
- http://www.bausch.com
- http://faculty.washington.edu/chudler/facts.html
- Chrisye, Sebuah Memoar Musikal,hal. 308309, Alberthiene Endah, 2007
Penulis : A. Alafta
Discussion about this post