Mari kita analisa secara singkat hadis di atas. Perhatikan keberadaan kata sandang penentu “al” pada kata “almuslimu”. Apa yang bisa kita gali dari sini adalah bahwa ada orang-orang mukmin ideal yang masuk ke dalam atmosfir keselamatan dan keamanan dan begitu menyatu di dalamnya sehingga mereka tidak merugikan orang lain baik dengan tangan maupun lidahnya. Karakteristik ini hanya merujuk kepada muslim sejati dan ideal yang meninggalkan jejak pada semua pemikiran mereka, dan bukan mereka yang sekedar muncul atau mengaku-aku beragama Islam, atau yang memiliki kartu identitas atau paspor “Islam”. Kita memahami hal ini dari kata sandang “al” yang digunakan dalam bahasa Arab, kata sandang ini menunjukkan sesuatu yang spesifik dan tertentu. Dalam struktur tata bahasa Arab, “ketika suatu kata dijelaskan dengan kata sandang penentu “al”, maka kata tersebut mengindikasikan makna kesejatian atau yang sebenarnya. Jadi, ketika kita mendengar kata “al-muslimu” (orang Islam itu), maka hal pertama yang terlintas dalam pikiran kita adalah makna “orang Islam yang sejati atau yang sebenarnya”, dan itulah yang dimaksud dalam hadis ini.
Selain itu, seseorang tidak bisa mempelajari sendiri hal-hal seperti aturan tata bahasa seperti ini, karena ini adalah topik yang dibahas pada pendidikan formal. Oleh karena pengalaman pendidikan formal semacam ini tidak mungkin bagi Rasulullah Shallallâhu ‘alaihiwasallam karena Beliau buta huruf. Jadi, Beliau tidak berbicara atas dasar pikirannya sendiri, melainkan Beliau menyampaikan apa yang telah diajarkan oleh Allah Subhânahuwata’âla kepadanya. Untuk alasan ini, ada banyak hal gramatikal yang amat halus terdapat dalam pernyataan-pernyataan Nabi Shallallâhu ‘alaihiwasallam, dan tidak ada kesalahan dalam penggunaan. Mari kita kembali ke hadis di atas: muslim sejati adalah orang yang bisa kita percayai, sehingga orang muslim lainnya dapat menoleh kepadanya tanpa berpikir panjang. Seseorang bisa mempercayakan anggota keluarganya kepada orang seperti ini tanpa rasa takut, orang ini tidak akan menyakiti orang lain dengan tangan atau lidahnya. Kalau seseorang berkumpul bersama seorang muslim sejati, dia bisa percaya sepenuhnya bahwa tidak akan ada orang yang menggosipkan orang lain, dan tidak akan mendengarkan gosip mengenai orang lain. Orang-orang muslim yang demikian ini menganggap martabat dan kehormatan orang lain sama seperti milik mereka sendiri. Mereka tidak memakan milik orang lain, tapi bahkan memberi makan kepada orang lain. Mereka tidak hidup untuk diri sendiri, tapi hidup untuk memungkinkan orang lain hidup. Mereka bahkan akan mengorbankan kesenangan spiritualnya untuk orang lain. Saya ambil semua makna ini dari fakta bahwa kata sandang tertentu “al” dalam bahasa Arab juga berarti pengendalian, pengabdian untuk tujuan tertentu.
Secara etimologis, kata muslim dan kata kerja sa-li-ma keduanya berasal dari akar kata silm. Ini berarti bahwa bagi umat Islam, setiap hal berjalan sesuai dengan silm (keamanan), salamah (keselamatan), dan kemusliman. Umat muslim dipengaruhi oleh daya tarik Ilahiah semacam itu sehingga semua tindakan mereka berada di sekitar pusat yang sangat kuat ini.
Mereka menyapa semua orang dengan salam, sehingga menempatkan cinta dalam hati semua orang.2 Mereka mengakhiri shalat dengan salam. Semua manusia, jin, malaikat, dan makhluk lainya yang punya kesadaran menerima salam mereka. Artinya, mereka bertukar salam dengan makhluk gaib juga. Hingga saat ini, tidak ada umat lain yang telah memperluas lingkaran salamnya hingga sejauh yang dilakukan oleh umat muslim. Islam mencakup pelaksanaan kewajiban pokok seperti itu dan juga puasa, memberikan zakat, melakukan haji, serta berjuang untuk menyatakan iman. Ini berarti bahwa mereka berlayar di laut keselamatan dan keamanan dengan mematuhi perintah, “Masuklah kamu ke dalam Islam sepenuhnya” (Q.S. al-Baqarah: 208). Mereka yang menceburkan diri ke lautan ini akan mampu memancarkan keselamatan dan Islamnya dalam setiap kondisi. Semua orang hanya melihat kebaikan dalam setiap perbuatan dan perilaku orang-orang seperti ini.
Mengapa Lidah dan Tangan?
Seperti dalam setiap pernyataan baginda Rasulullah Shallallâhu ‘alaihiwasallam, setiap kata dalam hadis yang disebutkan di atas dipilih dengan hati-hati. Mengapa Beliau memilih membicarakan tangan dan lidah? Tentu saja ada hal-hal yang berhubungan dengan pilihan ini. Seseorang dapat membahayakan orang lain dalam dua cara: baik secara langsung maupun tidak langsung. Tangan mewakili kehadiran fisik (secara langsung), dan lidah mewakili kehadiran non-fisik (secara tidak langsung). Seseorang menyerang orang lain secara langsung pada fisiknya, maupun secara tidak langsung, melalui gosip dan cemoohan. Muslim sejati tidak pernah terlibat dalam perbuatan-perbuatan tersebut, karena mereka harus selalu bertindak adil dan murah hati, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Nabi Shallallâhu ‘alaihiwasallam menyebutkan lidah sebelum tangan karena dalam Islam seseorang dapat membalas atas apa yang telah dilakukan dengan tangan. Namun, hal yang sama tidak selalu berlaku untuk kerusakan yang dilakukan secara tidak langsung melalui gosip atau fitnah. Dengan demikian, tindakan tersebut dapat dengan mudah menyebabkan konflik antar individu, masyarakat, dan bahkan bangsa. Berurusan dengan jenis bahaya ini relatif lebih sulit daripada berurusan dengan kerugian yang disebabkan oleh tangan, dan ini adalah alasan mengapa Nabi Shallallâhu ‘alaihiwasallam menyebutkan lidah sebelum tangan. Di sisi lain, nilai seorang muslim di sisi Allah telah ditunjukkan di atas. Menjadi seorang muslim memiliki nilai yang besar di hadapan Allah sehingga dia harus mengendalikan tangan dan lidahnya dalam setiap tindakan.
Dimensi moral lain dalam Islam yang penting adalah bahwa umat Islam harus menjauhi hal-hal yang akan merugikan orang lain, baik fisik maupun spiritual, dan mereka harus melakukan yang terbaik untuk tidak merugikan orang lain. Selain tidak menyebabkan kerusakan, setiap segmen masyarakat muslim juga harus menunjukkan keselamatan dan keamanan. Seseorang dapat menjadi muslim yang sejati apabila dalam dirinya terdapat perasaan aman dan jantungnya berdetak dengan penuh kepercayaan. Di manapun mereka berada atau di mana pun mereka tinggal perasaan yang berasal dari al-salaam selalu terpancar. Mereka memohon keselamatan pada saat memulai sholat, menghiasinya dengan salam, dan mengirim salam untuk orang-orang beriman lainnya ketika mereka mengakhiri sholat. Dalam semua kemungkinan, tak dapat dibayangkan orang yang menjalani seluruh hidupnya dalam orbit salam seperti itu akan menempuh jalan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar keselamatan, kepercayaan, kesehatan, dan keamanan duniawiah dan non-duniawiah lainnya, sehingga bisa merugikan diri sendiri atau orang lain.
Akan sangat berguna untuk memeriksa hakikat masalah ini: seorang muslim sejati adalah representasi perdamaian universal yang paling terpercaya. Mereka melakukan perjalanan ke mana-mana dengan perasaan agung ini, penuh gizi di dalam jiwa mereka. Jangankan melakukan penyiksaan atau menimbulkan penderitaan, sebaliknya, mereka dikenang di mana-mana sebagai simbol keselamatan dan keamanan. Di mata mereka, tidak ada perbedaan antara pelanggaran hak asasi secara fisik (langsung) atau verbal (tidak langsung). Bahkan, dalam beberapa kasus yang disebut terakhir ini dianggap sebagai kejahatan yang lebih besar dari yang pertama.
Referensi:
1 Bukhari, Iman, 4.
2 Bukhari, Iman, 20, Muslim, Iman, 63.
Discussion about this post