Dalam tradisi kesusastraan Arab sebelum Islam, salah satu fungsi sastra adalah untuk melestarikan kebesaran suku, mencatat keturunan dan peristiwa-peristiwa penting, serta digunakan sebagai media untuk mengobarkan semangat kepahlawanan. Seorang penyair mempunyai peran penting sebagai perwakilan suku dalam memperjuangkan dan mempertahankan keagungan sukunya. Dalam tradisi Arab setelah Islam pun, penyair dan puisi mempunyai arti penting secara sosial dan politik. Sejak zaman Dinasti Umayyah sekitar akhir abad ke-7 M, sastra digunakan sebagai sarana mencapai jabatan politik atau untuk memperkuat posisi satu kelompok politik. Puisi politik atau yang disebut Syi’ir As-Siyasi, berkembang sejalan dengan munculnya berbagai macam aliran politik pada masa itu.
Ketika Napoleon Bonaparte masuk ke Mesir pada 1798, ia membawa serta 167 ilmuwan dan mesin percetakan, selain bala tentara dan persenjataan. Selain dikenal sebagai masa kebangkitan ilmu, zaman itu juga dicatat sebagai tonggak kebangkitan kesusastraan Arab modern. Pada masa pendudukan Napoleon (1798 – 1801), di Mesir didirikan sebuah lembaga ilmiah bernama Institute d’Egypte yang terbagi dalam beberapa bidang, termasuk ilmu sastra dan seni. Lembaga ini mengelola penerbitan Le Decade Egyptienne yang menerbitkan majalah, surat kabar, dan buku-buku termasuk karya sastra. Buku-buku yang diterbitkan oleh lembaga tersebut selain membawa kemajuan di bidang ilmu pengetahuan juga memperkenalkan ideologi baru mengenai tata negara yang berasal dari ide-ide dalam Revolusi Prancis yang dikenal dengan semboyan Liberté, Égalité,ve Fraternité (Kebebasan, Keadilan, dan Persaudaraan) yang mendorong bangkitnya kesusastraan Arab modern yang akhirnya memicu lahirnya revolusi kebudayaan di Mesir dan dunia Arab pada umumnya.1
Sastra sebagai Media Diplomasi dalam Upaya Memperoleh Pengakuan Kemerdekaan di Dunia Arab
Pada masa pra-Islam maupun Dinasti Umayyah hingga Abbasiyah, kesusastraan menjadi alat komunikasi dan penyampaian ide politik, kemudian pada masa modern sastra digunakan untuk membangkitkan semangat juang dalam perlawanan terhadap kesewenang-wenangan dan memupuk rasa nasionalisme serta upaya mendefinisikan tanah air. Sastra juga digunakan sebagai media diplomasi dalam perjuangan untuk memperoleh pengakuan kemerdekaan. Dalam sejarah perjuangan kemerdekaan bangsa Palestina dikenal tokoh-tokoh pejuang yang menyampaikan ide-ide perjuangannya melalui karya sastra, di antaranya ada nama-nama: Mahmoud Darwish, Fadwa Tuqan, dan Nizar Qabbani.
Mahmoud Darwish yang lahir di……
Discussion about this post