Sebuah kata bijak berkata “yang muda banyak berbuat khilaf, yang tua banyak memberi maaf.” Memang benar, memberi maaf merupakan suatu sikap besar yang memerlukan keberanian yang luar biasa, memaafkan juga merupakan pilihan yang cukup sulit, apalagi jika telah menorehkan Iuka hati yang cukup mendalam. Sifat pemaaf juga merupakan bentuk representasi dan manifestasi dari nama Allah Yang Maha Pemaaf. Betapa Allah sendiri berfirman dalam Al-Qur’an: “Jika kamu melahirkan sesuatu kebaikan, menyembunyikan atau memaafkan sesuatu kesalahan, sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Kuasa.” (Q.S. Annisa [4]:149)
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam adalah figur manusia yang sangat pemaaf. Dalam sebuah peristiwa di perang Uhud, paman Beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yang bemama Hamzah bin Abdul Muthalib ra. gugur sebagai syahid. Pada saat itu pula, Beliau melihat jasad pamannya dikoyak dan dirobek dengan penuh dendam oleh tangan musuh. Namun, dengan segala kepedihan yang Beliau rasakan, di saat musuh terus menyerang untuk menghabisi nyawanya, Beliau tidak pemah melontarkan sumpah serapah untuk menghabisi lawannya. Dalam tragedi perang Uhud tersebut Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sempat terluka parah di bagian kepala dan giginya hingga tanggal. Begitu pula saat Beliau melakukan dakwahnya ke daerah Thaif dan mendapatkan penolakan dan perlawanan dari penduduk kota tersebut, saat Malaikat Jibril menawarkan balasan bagi penduduk Thaif justru dengan bijaknya Beliau menengadahkan kedua tangannya seraya berdoa: “Ya Allah, ampunilah kaumku, karena sesungguhnya mereka benar-benar tidak tahu”.1 Kesabaran dan sikap ksatria Beliau untuk mau memaafkan musuh-musuhnya itupun akhirnya terbayar dengan peristiwa penaklukan kota Mekkah (Fath Makkah) di kemudian hari.
Saat duduk bersama para sahabatnya, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pernah bertanya, “Maukah kalian aku beri tahu sesuatu yang menyebabkan Allah memuliakan dan meninggikan derajatmu?” Para sahabat menjawab, “Tentu, wahai Rasulullah.” Rasulullah lalu bersabda, “Bersabarlah terhadap orang yang membencimu, maafkan orang yang menzalimimu, memberi kepada orang yang memusuhimu, dan menyambung silaturahim dengan orang yang memutuskan silaturahim denganmu.” (HR. Thabrani)
Memaafkan adalah sikap para ksatria agung, dan karenanya nama-nama besar mereka senantiasa dikenang bukan hanya oleh kawan, namun juga lawan. Pribadi-pribadi pemaaf sebagaimana yang telah dilakukan semisal oleh Salahuddin Al-Ayyubi, menorehkan sejarah manis antara muslim dengan musuh-musuhnya. Sejarah juga mencatat saat kota Yerusalem kembali ditaklukkan oleh Salahuddin, beliau memberi maaf sekaligus menjamin kebebasan dan keamanan atas kaum Kristen dan Yahudi. Padahal sebelumnya di kota tersebut banyak dari kaum muslimin yang menjadi korban dalam peristiwa perang Salib. Sikap Salahuddin yang pemaaf dan murah hati disertai dengan ketegasan beliau adalah contoh kebaikan bagi seluruh alam yang diperintahkan ajaran Islam.
Peristiwa penaklukan benteng Konstantinopel oleh Muhammad Al-Fatih juga menjadi momen berharga betapa kejayaan Islam semakin agung tatkala orang-orang besarnya bersikap pemaaf bagi sesamanya. Ketika berhasil menaklukkan Konstantinopel (857H/1453M), sebagian besar penduduk kota Konstantinopel berlindung di dalam Gereja Hagia Sophia (Ayasofya). Setelah berkeliling ke seluruh pelosok kota, Sang Sultan mendekati gereja itu. Ia mendengar jeritan suara-suara takut dan sedih yang diiringi doa dan sembahyang di dalam gereja. Kaum Nasrani Konstantinopel mengira pasukan muslim di bawah panji sang Sultan akan melenyapkan mereka dari kota itu, sebagaimana yang telah dilakukan kaum Katolik terhadap mereka dua abad silam. Namun, saat sang pendeta yang tengah memimpin misa mengetahui kedatangan Muhammad Al-Fatih, ia pun membuka pintu Gereja Hagia Sophia. Sultan masuk dan meminta rahib untuk meneruskan misa sembahyangnya dengan aman. Bahkan setelah itu Fatih Sultan Mehmed, memberi jaminan keamanan kepada mereka untuk beraktivitas bebas sehari-hari sekaligus untuk melaksanakan ajaran agama sesuai dengan keyakinannya masing-masing.
Sikap memaafkan juga termasuk maqam (kedudukan) yang tinggi di sisi Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Ia berfirman: “Sungguhlah orang yang bersabar dan memaafkan, sesungguhnya (perbuatan) yang demikian itu termasuk hal-hal yang diutamakan. “(QS. AsySyura (42]: 43). Pribadi yang pemaaf juga Allah tempatkan dalam maqam ihsan. Derajat ihsan merupakan maqam tertinggi dari keislaman seorang hamba, dan tidak semua orang bisa meraih derajat yang mulia ini. Hanya hamba-hamba Allah yang khusus sajalah yang mampu mencapai derajat mulia ini. Sebagaimana firman-Nya dalam Al-Qur’an: “(yaitu) Orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. “(QS. Ali Imran [3]: 134).
Saat ini kita butuh manusia-manusia yang tidak hanya amanah dalam melaksanakan tugasnya, tapi juga menjadi seorang pribadi pemaaf. Pribadi pemaaf merupakan keutamaan tersendiri bagi hamba yang mampu meraihnya. Semoga kita senantiasa menjadi ksatria yang mau memaafkan kesalahan orang lain, dengan begitu pesan Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang disampaikan bahwa Islam adalah agama Rahmatan Lil ‘Alamin semakin menebarkan aromanya di seluruh alam semesta.
- Al-Qur’an Al-Karim
- Hadits Arba’in An-Nawawi
- Gulen, M. Fethullah. 2013. Cahaya Abadi Muhammad SAW Kebanggaan Umat Manusia. Jakarta: Republika Penerbit.
Discussion about this post